Thursday, June 23, 2011

Yang non Timur Tengah


DISEBUAH pinggir kota, beberapa orang berkerumun didepan langgar. Tiba-tiba salah satu menuding kepada orang jang kebetulan lewat: "Dia orang Ahmadijah" -- sambil berbisik.

Gambaran seperti itu kurang lebih masih tepat dipakai untuk melukiskan sikap umumnja kaum Muslimin terhadap aliran jang didirikan Mirza Chulam Ahmad dari Pakistan itu 1835- 1908. Jakni Djemaat Ahmadijah. Meskipun aliran ini sangat tersohor di Eropa, Amerika dan Afrika (punja pusat-pusat penjiaran Islam dibanjak negara punja masdjid-masdjid di London, Birmingham, Hamburg, Frankfurt, Den Haag, Zurich, Kopenhagen, Washington, Chicago, Pittsburg, Dayton), namun boleh dikatakan orang selalu menghadapi mereka dengan sedikit sikap hati-hati.

Pertama, karena orang-orang Ahmadijah tak djarang di gambarkan sebagai terlalu banjak mempeladjari dalil dan putar balik pikiran buat berdebat. Kedua dan lebih penting, karena beberapa adjaran jang dianggap setjara fundamentil berbeda dengan djemaat besar kaum muslimin. Karena itu lah menghadapi Ahmadijah orang Islam, konon akan melakukan sedikit persiapan mental .

Djalsah Salanah.
Tapi persiapan mental ternjata tak diperlukan untuk mengikuti pertemuan besar Ahmadijah aliran Qadian se-Indonesia jang baru-baru ini di selenggarakan di Tasikmalaja. Pertemuan h1i, diberi nama Djalsah Salanah alias "duduk bersama setahun sekali", memang bukan sidang perdebatan atau diskusi. "Ini adalah pesan Mirza Ghulam Ahmad. Setahun sekali kami mengadakan pertemuan, apa sadja jang dibitjara kan", kata Dr Muhjiddin Danukusumah anggota Pengurus Besar dengan djabatan Sekretaris Chas.

Reporter Sjahrir Wahab jang selama tiga hari dan empat malam mengikuti semua atjara termasuk shalat-shalat tahadjdjud massal dinihari, mendapat kesan tentang suasana pertemuan jang santai. Sekitar 750 orang dari 54 tjabang, ditambah sembarang orang jang mau ikut hadir, berkumpul melimpahlimpah disebuah gedung sekolah. Duduk seenaknja diatas tikar, dengan laki-laki dan perempuan dipisah pakai tabir hidjau seperti biasa disaksikan dipertemuan pertemuan NU atau Muhammadijah, mereka mendengilrkan sedjumlah tjeramah jang dilontarkan dengan bermatjam gilja. Maka tjeramah-tjeramah inilah hanja jang penting dari Djalsah Salanah ke 2 tahun ini lebih lagi karena- seperti ditundjukkan oleh djudul-djudul sematjam Chilafat dalarn Islam, Djasa-djasa Imam Mahdi, Watat Isa Almasih atau Tertib Baru--pertemuan itu merupakan penondjolan dan penekanan kembali materi-materi adjaran chas Ahmadijah dan dalam hal ini Ahmadijah Qadian, Jang menimbulkan kontroversi dikalangan golongan-golongan majoritas seagama. Dan kontroversi mula-mula lahir dari soal kenabian.

Apa jang dianggap aneh tentang Ahmadijah ialah, aliran ini menganggap Mirza Chulam Ahmad sebagai Nabi padahal Islam berdiri diatas landasan kejakinan tentang kehadirannja sebagai agama terachir, jang dihawa oieh Muhammad sebagai Nabi terachir. Tapi hakikatnja memang bukan konsepsi tentang Nabi terachir itulah jang dipertentangkan -- tapi taksirannja. Jang di maksud dengan istilah nabi terachir menurut Ahmadijah, adalah Nabi dalam pengertian pembawa sjari'at. Ini berarti bahwa kesempatan tetap terbuka bagi di bangkitkannja Nabi-Nabi lain jang kedudukannja hanja penerus Nabi pembawa sjari'at jang terdahulu: sematjam Isa Almasih sebagai hanja penerus sjari'at Musa atau Chulam Ahmad sebagai hanja penerus sjari'at Muhammad.

Bukti kcbenaran hal ini adaiah adjaran Muhammad sendiri tentang akan bangkitnja kembali Jesus kedunia -- sebagai Nabi jang akan memurnikan sjari'at Muhammad pada masa kekatjauanllja. Dan djustru nubuat, ramalan kenabian tentang Isa inilah, titik-tolak lahirnja Djemaat Ahmadijah: manakala Ghulam Ahmad dijakini sebagai Jesus jang didjandjikan itu (TEMPO, 4 September), disamping kedudukannja sebagai Imam Mahdi, sebagai Krishna dan Budha Avatara alias Maltreya, Diluar Timur Tengah. Tidak seorang pantas menganggap kejakinan itu sebagai hanja sesumbar.

Ahmadijah bukan tidak paham semua agama dengan segala ramalan masing-masing jang bersangkutan dengan kebangkitan sang Mirza. Bulanan The Review of Religions misah1ja, jang mereka terbitkan di London pada 1901, dan jang mengupas berbagai agama dan aliran-aliran kepertjajaan dengan tjara jang lazim dianggap menakdjubkan para teolog dan orientalis Eropa, dipenuhi dengan kupasan-kupasan jang berangkat dari dunia keimanan masing-masing agama, harapan-harapan mereka masingmasing dan pathos mereka masing-masing -- dan achirnja mengalir kepada satu figur: Ghulam Ahmad.

Induk dari djalan fikiran sematjam itu, djelas, adalah adjaran kesatuan seluruh agama: bahwa mulanja, sebelum terdjadi tjampur-tangan manusia, semua nja berasal dari Wahju iang satu djuga. Dan bahwa Qur'an misalnja bukan tidak memberi isjarat tentang adanja Nabi-nabi diluar Timur Tengah. Tapi sampai pada kesirnpulan berikut ini majoritas dunia Islam umumnja tidak akan begitu jakin: bahwa Krishna, Budha, Konghubu, Guru Nanak, Spitama Zarathustra, adalah benar Nabi-nabi jang diisjaratkan Qur'an itu, seperti jang dipastikan kaum Ahmadi. Dan bersama dengan penolakan spekulasi-ilmiah diatas, umumnja mereka menolak pula kebolehan diturunkannja wahju setelah zaman Muhammad, baik wahju-kenabian ataupun bukan wahju kenabian. Dan wahju kenabian atau bukan kenabian lalu mendjadi problim lain jang sangat menentukan. Sebab akan seger njata bahwa masalah ini merupakan pangkal perpetjahan didalam Ahmadijah sendiri, jakni menjebalnja sekelompok pengikut Ghulam Ahmad jang menganggap wahju jang diterima sang guru bukan wahju kenabiam Djelasnja ia bukan Nabi.

Dan kalau bukan Nabi, apa? Djawaban akan kembali kepada figur jang dianggap merupakan pokok pangkal jakni Mirza Basjiruddin Mahmud Ahmad,jang berpangkat Chalifah 11 alias The Second Successor of Prmised Messiah. Chalifah jang pada tahun 1914 mengeluarkan adjaran jang menetapkan kenabian Ghulam Ahmad. Padahal, demikian menumt kaum penjebal jang selandjutnja mendirikan Ahmadiyah Lahore, Ghulam Ahmad sendiri berkata: "Saja tidak pernah mengaku mendjadi Nabi pengakuan saja hanjalah sebagai muhacats (orang jang diadjak bitjara Tuhan), dan pengakuan ini didasarkan atas perintah llahi". Dan selandjutnja:"Djika ini disebut kenabian dalam arti kiasan atau disebut nabi djuz-i (nabi sebagian), ini bukan berarti pengakuan sebagai Nabi".

Terhadap itu lawan mereka, jang selandjutnja disebut Ahmadiyah Qadian, menjatakan bahwa dalam evolusi rohaniah pada diri Ghulam Ahmad telah terdjadi perobahan, dan evolusi sematjam itu, mengingat Kebidjaksanaan Allah, hukan barang mustahil terdjadi pada Nabi-nabi. Maka dari itu semua tulisan Ghulam Ahmad jang menjangkal kenabiannja, jang di tulis sebelum perobahan itu, tak boleh didjadikan bahan untuk menarik kesimpulan tentang status kenabian sang Masih. Maka berkatalah Maulana Muhammad Ali MA LLB, pemimpin kaum Lahore: "Teori perobahan kepertjajaan itu bikin-bikinan Basjiruddin semata-mata".

Pedoman besar.
Dan bersama dengan penolakan terhadap Basjiruddin, Lahore menolak pula prinsip chilafat, kechalifahan. Gerakan mereka dipimpin oleh dewan jang disebut Pedoman Besar dengan seorang Presiden. Aliran inilah jang sampai sekarang mempunjai madjalah di London, The Islamic Review, jang sebagai mottonja ditulis ajat Qur'an:"Muhammad is ...the Messenger of God and the Last of the Prophets" serta hadis: "There will be no Prphet after me" - jaitu teks-teks jang tetap sadja kontroversial antara mereka: apakah prophet disitu Nabi-dengan-sjari'at ataukah Nabi-tanpa-sjari'at. Tetapi dengan prinsip-prinsip sematjam itu, kaum Lahore seharusnja bisa di terima bulat dikalangan majoritas muslimin. Toh kenjataannja tak bulat. Padahal, setelah memegangi utjapan Ghulam Ahmad tentang dirinja sebagai muhaddats, mereka menetapkan statusnja hanja sebagai musjaddid, pembaru lengkapnja Pembaru Abad I4 hiljrah - berdasar hadis Nabi bahwa pada tiap abad akan terdapat seorang Pembaru. Dan sebagai pembaru kedudukannja dinjatakan tak berbeda dengan Al-Ghazali, Ibn Taimiah atau As-Sajuthi.

Namun mereka, seperti djuga kaum Qadian, betapapun populernja tetap sadja merupakan kelompok mini. )iseluruh dunia pengikut Lahore tertjatat � djuta, pengikut Qadian 2 djuta. Di Indonesia Lahore seribu orang, Qadian 20 ribu orang. Maka djawaban terhadap kenjataan ini lazim disimpulkan begini: Taroklah majoritas muslimin bisa mempertjajai bahwa Ghulam Ahmad itu Masih jang didjandjikan meskipun bukan Nabi. Taroklah bahwa mereka tjukup berani menggunakan pikiran untuk menafsirkan segala ajat dan hadis mu'djizat sedemikian rupa seperti kaum Ahmadi sehingga "hilang keimanan kita akan kekuasaan Allah" seperti dibilang para ulama. Tapi apakah semua kepertjajaan itu termasuk Rukun Iman jang absolut sifatnja? Mereka, setidak-tidaknja Lahore mendjawab: tidak. Maka sampai disitu tampaklah apa jang dituduhkan orang sebagai motif satu-satunja bagi adjaran Chulam Ahmad, jaitu: memenuhi kebutuhan kesatuan spirituil umat Islam sedunia mengembalikan sifat missionaris Islam dalam satu kesatuan Djama'ah seperti keadaannja dizaman Nabi (TEMPO, 3 Djuli). Apabila itu jang ditudju, kalangan ulama laim berkata: untuk itu tak perlu memindahkan pusat spirituil Islam dari Makkah ke Pakistan -- seperti jang sering dituduhkan sebagai semangat jang dimiliki kaum Ahmadi.

Tafsir IAIN.
Namun malfaat dari hadirnja kaum Ahmadi setelah usaha mereka merintis da'wah Islam di Barat bukan tak djelas Ahmadiah betapapun djuga merupakan salah satu gertakan kuat untuk mempertjepat proses penindjauan kembali penafsiran dan djalan fikiran tentang agama, kalau ini memang benar dibutuhkan. Tak boleh dibantah bahwa pengaruh mereka besar dikalangan orang-orang Islam jang djustru enggan bergabung. Siapa jang membatja buku-buku dan brosur-brosur jang melimpah-limpah terbitan JAPI Surabaja misalnja, boleh menganggap telah menerima setidak-tidaknja djalan fikiran baru dalam apologi. Siapa jang mengkadji Tafsir Qur'an Departemen Agama jang populer sebagai "Tafsir IAIN", boleh melihat disitu bagaimana Maulana Mohamad Ali (Lahore) menerangkan hakikat Islam diantara agama-agama, hakikat Qur'an dan sematjam itu. Untuk batas ini sadja, dan belum tentu untuk harapan bahwa "umat Islam akan berdujun-dujun berbai'at kepada sang Masih alias Ghulam hmad", seperti jang konon diramalkan, Ahmadiah kiranja sudah boleh mengharapkan perkenan Tuhan.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1971/09/18/AG/mbm.19710918.AG58004.id.html (Accessed on 6/23/2011)

Kategorisasi Minoritas dalam Sejarah Islam


Novriantoni Kahar
Manajer Jaringan Islam Liberal

SALAH satu persoalan serius Indonesia setelah reformasi adalah kegamangan pemerintah melakukan proteksi terhadap kelompok minoritas agama yang tertindas. Rezim demokratis yang sampai kini sangat peduli pada aspek pencitraan diri ini tak kuasa melawan aspirasi intoleran yang disalahpersepsikan sebagai kekuatan arus utama umat. Pemerintah ragu mengambil tindakan proteksi, dan dalam banyak kasus justru cenderung didikte oleh kekuatan-kekuatan yang bermain di lapangan. Kegamangan itulah yang memasung sikap pemerintah dalam beberapa kasus kekerasan terhadap minoritas Ahmadiyah, Lia Eden, nabi-nabi dan agama-agama lokal, penutupan gereja, serta kasus kekerasan lainnya.

Untuk mengakhiri kegamangan pemerintah, mungkin ada baiknya berkaca pada manual sejarah Islam dalam memperlakukan minoritas secara beradab. Mantan intelektual islamis asal Mesir, Kamal Said, menunjukkan bahwa sikap penguasa muslim terhadap minoritas tidaklah tunavisi dan nihil dari standar keberadaban. Dalam kitabnya, Al-Aqalliyyat wa al-Siyaasah fi al-Khibrah al-Islaamiyyah, ia mengulas bagaimana otoritas politik sejak zaman nabi sampai era Utsmani mengelola dan memperlakukan kelompok minoritas secara kategorial.

Untuk minoritas non-Islam, standarnya dituntun oleh dokumen-dokumen normatif Islam ataupun praktek luhur penguasa muslim yang dibakukan dalam sistem zimmah. Sistem proteksi dan perlakuan setara bagi nonmuslim itu-sekalipun tak relevan di zaman modern ini-secara komparatif jauh lebih beradab dalam mengurus minoritas lain agama dibanding praktek negara-negara Eropa di zaman yang sama.

Yang problematis dan jauh lebih kompleks justru perlakuan terhadap minoritas internal Islam, yang didefinisikan Said sebagai "mereka yang keluar dari konsensus arus besar umat". Said menunjukkan bahwa dalam sejarah politik Islam, mereka yang dicap sempalan atau devian ini sangat bergantung pada definisi kelompok atau sekte yang sedang berkuasa. Karena itu, sang devian, sempalan, dan minoritas bisa berganti-ganti dari satu rezim politik berkuasa ke rezim politik lainnya. Namun ada beberapa kategori yang menjadi standar perlakuan yang beradab bagi mereka.

Pertama, penyikapan terhadap mereka sangat ditentukan "kepentingan strategis" suatu kedaulatan politik, bukan semata-mata didasarkan atas sesat-tidaknya keyakinan agama yang mereka anut. Kedua, standar perlakuan itu juga ditentukan penilaian tentang "tingkat ancaman" mereka terhadap kepentingan strategis suatu kedaulatan politik. Otoritas politik muslim dan para intelektualnya ikut berkontribusi dalam membuat kriteria. Jika sekadar menyimpang dari keyakinan arus utama, biasanya pemerintah berkuasa akan tetap bersikap netral dan imparsial.

Minoritas jenis ini normalnya disikapi sebagai bentuk keragaman ekspresi keyakinan internal umat, yang dalam nomenklatur Islam dikenal sebagai adabiyyat al-firaq atau khazanah sekte-sekte. Mereka lazimnya tidak dianggap ancaman terhadap keutuhan bernegara. Soal ini berada di domain dakwah, bukan domain dawlah atau negara. Karena diletakkan sebagai urusan persuasi di antara masyarakat sipil, negara biasanya tidak memperlakukan mereka secara semena-mena, bahkan cenderung menenggang keberadaan mereka. Namun tetap saja tingkat toleransi dan intoleransi penguasa dapat diwarnai dan dipengaruhi oleh propaganda ulama di lingkungan kekuasaan.

Ketiga, bila suatu kelompok minoritas dianggap mengancam negara, aspek ancaman itu pun masih dibagi menjadi dua. Pertama, yang bersifat mengancam di level identitas dan legalitas kenegaraan (tahaddiyan haqiiqiyyah fi mustawa al-huwiyyah wa al-syar'iyyah). Yang berada di level ini biasanya dianggap ancaman laten saja, dan karena itu tidak ditindak secara represif. Kedua, bagi yang mengancam secara nyata pada level stabilitas dan keamanan sosial (tahaddiyan haqiiqiyyan fi mustawa al-istiqraar wa al-amn al-ijtimaa'i), penyikapannya mulai berbeda. Pada tingkat ini, penguasa politik biasanya mengambil tindakan nyata dan represif. Mereka dikategorikan sebagai bughaat, kaum pembangkang, atau kelompok separatis yang ancamannya terhadap negara sudah beralih dari laten menjadi manifes.

Berkaca pada studi Said, kita dapat mengatakan bahwa dalam sejarah politik Islam sekalipun, mereka yang hanya menyimpang secara keyakinan tidaklah dianggap sebagai ancaman bernegara. Pejabat semacam menteri agama dalam sejarah negara Islam, apalagi negara Pancasila, tidak sepantasnya memperlakukan minoritas jenis ini secara semena-mena. Justru karena keberadaan mereka dianggap minoritas yang tidak mengancam, mereka tolerable di negara Islam. Di negara Pancasila, tentu sudah semestinya minoritas jenis ini lebih tolerable.

Untuk yang jelas-jelas mengancam sendi dan jati diri bangsa pun, sejarah Islam masih memberikan ruang toleransi. Di lingkungan Sunni, minoritas internal Islam seperti Druz dan Syiah masih dimaklumi asalkan tidak berbuat kekacauan. Dalam sejarah Indonesia modern, ini persis seperti mereka yang tak sudi hormat bendera dan menyanyikan Indonesia Raya. Tidak seperti teroris atau ormas garis keras yang melakukan agresi ke pihak lain, mereka sudah sewajarnya mendapat dispensasi meskipun sudah melemahkan sendi-sendi bernegara.

Yang pantas disikapi serius tentulah minoritas yang merongrong sendi-sendi bernegara, sekaligus membuat kekacauan sosial-politik ataupun secara berulang-ulang main hakim sendiri ke kelompok lain. Sejarah politik Islam menunjukkan kelompok seperti ini akan direpresi tanpa ampun. Namun, di sebuah negara beradab seperti Indonesia, perlakuan manusiawi terhadap minoritas apa pun tetaplah harus dijunjung tinggi. Dari situlah tingkat peradaban suatu bangsa dapat diukur dan dibanggakan. Keluhuran budi dalam memperlakukan kaum minoritas yang nonagresif merupakan ciri bangsa yang maju dan beradab.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/09/13/KL/mbm.20100913.KL134575.id.html (Accessed on 6/23/2011)

Beku Dulu, Larang Kemudian


RAPAT itu tertunda oleh sebuah pengumuman penting. Masuk melalui pesan pendek, sang pemberi kabar memastikan surat keputusan bersama tiga menteri tentang Ahmadiyah diteken sudah.

Nong Darol Mahmada, aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, tak percaya keputusan itu diumumkan begitu cepat. "Kami mengecek informasi itu di Internet dan radio," kata Nong. Tim advokasi Ahmadiyah Jan Husein Lamady juga segera dikabari. "Dia mengaku juga baru tahu soal keputusan itu."

Menteri Agama Maftuh Basyuni, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, dan Jaksa Agung Hendarman Supandji, Senin pekan lalu, mengumumkan keluarnya keputusan tentang Ahmadiyah. Intinya, penganut Ahmadiyah diminta menghentikan penyebaran keyakinannya, sedangkan kelompok Islam lainnya diminta tak melakukan tindakan di luar hukum terhadap mereka.

Awalnya rapat Nong dan kawan-kawan itu digelar untuk membahas perkembangan insiden Monas. Itulah saat sekelompok orang dari Komando Laskar Islam menyerang aksi damai yang diadakan Aliansi Kebangsaan.

Setelah muncul pengumuman, pertemuan di kantor The Wahid Institute, Jakarta Pusat, itu berubah topik: segera mereka membahas langkah-langkah yang akan diambil sehubungan dengan beleid pemerintah itu. Ada usul untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang No. 1/PNPS/1965, yang menjadi landasan keluarnya surat keputusan bersama. "Kalau ini diuji, berarti surat keputusan itu tak ada dasarnya," kata Nong Mahmada. Achmad Suaedy mengatakan, selain upaya hukum, lobi politik dan internasional juga dilakukan. "Kami juga mengirim setiap perkembangan terbaru kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa dan komunitas internasional," kata Direktur The Wahid Institute itu.

Seusai rapat, Aliansi menggelar konferensi pers. Menurut Suaedy, banyak sekali catatan atas keluarnya keputusan itu. "Positifnya, surat keputusan itu tak memuat soal pelarangan. Secara moral kami merasa menang," katanya. "Kami sepakat untuk mengambil sisi positifnya."

l l l

JURU bicara Hizbut Tahrir Ismail Yunanto sudah berada di kantornya, ruangan 702 lantai 7 Gedung Anakida, Jalan Dr Soepomo, Jakarta, sore itu. Ia baru saja ikut aksi di depan Istana Negara, Jakarta, yang menuntut pembubaran Ahmadiyah. Hizbut Tahrir adalah salah satu penentang ajaran Mirza Ghulam Ahmad itu. Demonstrasi pagi itu dilakukan untuk mendesak agar pemerintah melarang Ahmadiyah.

Desakan senada disampaikan perwakilan demonstran yang diterima ke Istana Negara dan ditemui juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng. Selang beberapa jam, dari televisi ia mendengar bahwa surat keputusan sudah diteken. Kata Ismail, pengumuman itu sebenarnya tak terlalu mengherankan. "Semua orang tahu, surat keputusan itu akan keluar. Tapi yang kita tak tahu, kapan waktunya," kata Ismail.

Hiruk-pikuk Jakarta ini terdengar jelas oleh sekelompok orang di Parung, Bogor. Inilah markas terbesar Jemaat Ahmadiyah, sebelum akhirnya dipindahkan ke kantor pusat di Jalan Balikpapan, Jakarta. Tapi tak ada reaksi warga perkampungan yang dibangun pada 1981 dan dihuni sekitar 500 jemaah itu. Warga Ahmadiyah di sana tetap beraktivitas seperti biasa. Soal keputusan tiga menteri tentu jadi bahan omongan. Tapi, "Kami hanya ngobrol biasa dan saling memberi komentar," kata Ruhdiyat Ayyubi Ahmad, pengurus Ahmadiyah Parung.

Ahmadiyah menyampaikan sikap resmi keesokan harinya. "Sebagaimana dijelaskan Jaksa Agung, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri, surat keputusan itu tidak melarang, membekukan, dan membubarkan Ahmadiyah, tapi semata-mata peringatan," kata Wakil Amir Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Muhammad Siddiq Jian. Mereka masih mempelajari keputusan itu. "Kita juga akan melakukan dan menempuh jalur hukum," kata Siddiq.

Di tempat lain, Ketua Laskar Pembela Islam Munarman akhirnya nongol dari persembunyiannya. Bekas Ketua Yaya-san Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ini sempat buron setelah menjadi salah satu tersangka kasus penyerangan di Monas, 1 Juni silam. "Saya datang untuk membuktikan saya bukan pengecut," kata Munarman, dengan kaus polo dan topi putih, kepada wartawan, di gedung Direktorat Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian.

Ketika berstatus buron, Munarman sempat mengirimkan pesan melalui email dan rekaman video kepada media massa. Dalam rekaman ala Usamah bin Ladin itu ia menyatakan akan menyerahkan diri jika Ahmadiyah dibubarkan, dan proyek penelitian milik Amerika Serikat Namru-2 yang ia tuding bagian dari proyek intelijen Amerika tak dilanjutkan.

l l l

DUA hari setelah keputusan tiga menteri dilansir, anggota Front Pembela Islam menggelar pengajian rutin. Menjelang sore, puluhan pria berkopiah putih memenuhi Masjid Al-Ikhlas di Petamburan III, markas Front. Malam itu, Sekretaris Jenderal Front, Sobri Lubis, memimpin pengajian. Dalam ceramah sekitar dua jam itu, Sobri membacakan surat dari Ketua Front Rizieq Shihab yang ditulis dari sel polisi. Intinya, Rizieq menjelaskan sikapnya tentang Ahmadiyah.

Sobri meminta kepada sekitar 300 jemaah itu memberikan dukungan kepada Rizieq, yang disebutnya "guru kita". Front juga memutuskan menggugat praperadilan polisi karena telah menangkap Rizieq dan kawan-kawan. Sidang pertama gugatan praperadilan akan dilakukan pada Senin pekan ini.

Sobri minta massa Front memberikan dukungan dengan datang lebih pagi ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. "Siap bela guru kita?" teriak Sobri. Jemaah seraya mengepalkan tangan serempak berteriak, "Siap!"

Kepada jemaahnya, Sobri menyampaikan hasil demonstrasi besar Senin pekan lalu. Menurut dia, tak kurang dari 500 ribu orang yang tumpah ke jalan untuk meminta pembubaran Ahmadiyah. Ia menyebut aksi itu sebagai sukses besar. "Kalau tak turun demo, tak keluar surat keputusan itu," kata Sobri, sembari diikuti teriakan Allahu Akbar. "Kita akan mengadakan aksi besar-besaran pekan depan," kata Sobri melanjutkan.

Seusai pengajian, massa tak langsung pulang. Sobri menghampiri salah satu jemaahnya sembari berbisik pelan: "Rapat ya." Malam itu, tak kurang dari 20 orang tetap bertahan di rumah Rizieq Shihab. Setelah sekitar sejam berselang, satu per satu pria berbaju putih keluar dari rumah yang pintu masuknya seperti labirin berlorong sempit. "Saya tak mau bicara," kata Sobri, ketika ditanya soal materi rapat.

Keesokan harinya, organisasi massa Islam merapatkan barisan dan menyatukan persepsi dalam pertemuan di gedung Majelis Ulama Indonesia. Ma'ruf Amin, Ketua Komisi Fatwa Majelis, mengatakan bahwa pertemuan itu inisiatif lembaganya karena banyaknya perbedaan persepsi dalam menafsirkan keputusan tiga menteri itu. "Kami ingin menyamakan persepsi. Kalaupun melakukan aksi, jangan sampai terprovokasi," kata Ma'ruf. Semua organisasi massa Islam diundang. "Semua memang masih menginginkan Ahmadiyah dibubarkan."

Dalam pertemuan itu, Majelis Ulama mengingatkan posisi pemerintah. Menurut dia, keputusan bersama itu hanya bisa memperingatkan. "Kewenangan surat keputusan hanya sebatas itu. Kalau pelarangan, melalui keputusan presiden," kata Ma'ruf. Pertemuan itu memutuskan akan membuat tim pemantau kepatuhan. Hasil tim inilah yang diharapkan bisa mendorong lahirnya pelarangan. Ma'ruf yakin, Ahmadiyah pelan-pelan bisa sepenuhnya hengkang dari Indonesia. Katanya, "Ada indikasi (surat keputusan itu) bisa menuju pelarangan."

Abdul Manan, Rina Widiastuti, Bunga Manggiasih

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/06/16/NAS/mbm.20080616.NAS127474.id.html (Accessed on 6/23/2011)

Potret Mutakhir Islam Indonesia


Oleh Hamid Basyaib
Anggota Jaringan Islam Liberal

Warga Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang diserbu ribuan orang harus dievakuasi dengan sejumlah bus, diiringi lemparan batu. Bagaimanakah nasib aset JAI di dalam dan sekitar markas tujuh hektare yang ditinggalkan itu? Ada ulama menawarkan pemecahan dengan memetik langsung ayat Al-Quran tentang ghanimah. Harta benda milik warga dan lembaga JAI adalah rampasan perang. Perlakuan ini lazim dipraktekkan tentara Islam pada masa awal ekspansi mereka ke luar Jazirah Arabia.

Tiada satu pun partai politik yang bersuara menyatakan sikap apa pun. Tiada seorang pun anggota DPR yang menanggapi invasi itu. Jaksa Agung tidak pernah mengemukakan sikap dan kebijakan instansinya secara jelas, cenderung melempar tanggung jawab kepada kepolisian, yang bersikap sama kaburnya. Tiada seorang pun penyerbu yang dinyatakan melanggar hukum dan konstitusi.

Segelintir kecil cendekiawan dan aktivis hak asasi manusia meminta aparat negara menegakkan hukum atas pelanggaran telanjang itu. Sementara itu Majelis Ulama Indonesia (MUI) bermusyawarah. Dibuka oleh Presiden, musyawarah nasional itu berlangsung lancar. Presiden bahkan mempercayakan penjagaan "kemurnian akidah umat" kepada MUI. Para peserta musyawarah menjawab amanat Presiden dengan 11 fatwa. Antara lain, penegasan kembali fatwa MUI tahun 1980 bahwa Ahmadiyah adalah kelompok non-Islam, diharamkan dan dilarang keberadaannya di NKRI; pernikahan antara muslim dan non-muslim terlarang; pemikiran liberalisme, sekularisme, dan pluralisme dalam agama adalah haram.

Liberalisme dalam Islam didefinisikan sebagai "upaya memahami agama berdasarkan penggunaan akal dan pikiran semata". Ini salah. Sekularisme adalah "pemisahan urusan privat dan publik; pemisahan urusan negara dan agama". Ini pun salah, karena ajaran Islam juga mengatur cara-cara bermasyarakat dan bernegara. Pluralisme dianggap sebagai paham bahwa semua agama adalah baik dan benar, dengan demikian menutup peluang umat Islam untuk mengklaim bahwa agamanyalah yang paling benar, meski MUI mengakui kehadiran agama-agama lain sebagai fakta sosiologis.

Pagi hari seusai musyawarah nasional itu, ratusan peserta dijamu dengan sepenuh keramahan di Istana Wakil Presiden. Segelintir kecil cendekiawan dan aktivis hak asasi manusia kembali mengeluhkan fatwa yang bertentangan dengan prinsip universal hak asasi manusia dan konstitusi itu. Kontroversi merebak. Para petinggi MUI memberikan "pertanggungjawaban" dengan mengelaborasi seperlunya ide di balik fatwa itu. Ahmadiyah disarankan membentuk agama baru. Sekte yang hadir di Indonesia sejak 1920-an itu diusir dari rumah Islam.

Ketua Komisi Fatwa MUI, Ma'ruf Amin, menegaskan bahwa fatwa itu dirumuskan secara cermat dan seksama, bukan di komisi fatwa seperti biasa, melainkan dalam forum musyawarah nasional, guna menjamin kebulatan legitimasinya. Fatwa diputuskan oleh 300 ulama dari semua organisasi Islam, sehingga memenuhi prinsip representasi. Maka semua usikan terhadapnya pasti tidak sahih, karena mereka bukan representasi umat Islam.

Ma'ruf Amin benar. Bahkan, dalam kepengurusan baru MUI, representasi tersebut sempurna. Ketua umumnya kembali dijabat oleh Rais Syuriah NU, wakilnya adalah Ketua PP Muhammadiyah. Para ketuanya petinggi kedua ormas Islam terbesar itu, ditambah beberapa tokoh puncak ormas Islam lainnya. Dan Ma'ruf Amin kembali benar. Yang kontroversial, kata dia, adalah tanggapan-tanggapan terhadap fatwa itu, bukan fatwanya sendiri.

Cabang JAI di sejumlah daerah terus diganggu oleh massa. Pada Jumat, 5 Agustus 2005, kantor Jaringan Islam Liberal (JIL) di Utan Kayu, Jakarta Timur, dicoba diserbu oleh massa dari beberapa ormas Islam. Mereka tentu berhasil tiba di kantor JIL jika tak dihadang polisi. Seorang utusan menemui pengurus JIL dan menyatakan ingin berdialog, tidak saat itu, tapi lain waktu. Mereka pun pulang-tanpa ada jaminan bahwa mereka tidak akan datang lagi untuk "berdialog" dengan datang berombongan besar.

Di manakah kaum moderat muslim Indonesia yang tak henti disanjung sebagai mayoritas antikekerasan itu? Mereka sedemikian banyak jumlahnya sehingga sedemikian mudah bersembunyi.

Tiada reaksi apa pun yang setimpal dari para pengelola negara (presiden, wakil presiden, seluruh birokrasi dan aparat di bawah mereka; lembaga-lembaga legislatif, partai-partai politik). Tiada tanggapan resmi apa pun dari kedua ormas Islam terbesar yang selalu diandalkan sebagai penjamin moderasi Islam, selain komentar personal satu-dua tokohnya.

Habis terang turunlah gelap. Dan saksikanlah bahwa saya, warga Negara Hukum Indonesia, pemeluk Islam di negeri muslim terbesar di muka bumi ini, sungguhsungguh takut hanya karena berpikir.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/08/08/KL/mbm.20050808.KL116200.id.html (Accessed on 6/23/2011)

Bagaimana menghapus sebuah sekte


CARA baru dalam "menghapus" sebuah aliran agama, itulah barangkali yang sedang dilakukan di Pakistan. Sebuah dekrit, yang dikeluarkan oleh Presiden Zia-ul-Haq hari Kamis dua pekan lalu, bisa diperkirakan mengawali tahun-tahun paling sulit bagi Jamaah Ahmadiyah. Yang unik, dekrit itu bukan melarang paham keagamaan ini. Apa lagi mengejar-ngejar para pemeluknya, misalnya. Penjara memang disebut, tapi itu bukan diancamkan kepada orang yang tetap memeluk Ahmadiyah. Tetapi kepada orang Ahmadi yang mengaku sebagai orang Islam atau yang tetap menamakan tempat ibadahnya sebagai masjid atau yang masih saja memakai istilah-istilah Islam, juga yang tetap menerbitkan buku-buku ajaran.

Agak musykil, memang. Bagaimana orang yang meyakini dirinya Muslim harus mengingkari keislamannya? Tapi ini memang hanya kelanjutan dari musibah yang sudah diderita jemaah ini sejak sepuluh tahun yang lalu - ketika dari konperensi organisasi-organisasi Islam sedunia (Rabithah 'Alam Islami) di Mekah, April 1974, datang rekomendasi yang menyatakan Jamaah Ahmadiyah berada di luar Islam. Dan pecahlah keributan di Pakistan, negeri pusat aliran Ini. Rabwah, tempat kedudukan imamnya, diobrak-abrik massa. Itu terjadi setelah umat Muslimin mayoritas di sana tidak juga melihat tindakan pemerintah - dibawah Ali Bhutto - yang sejajar dengan rekomendasi Mckah itu.

Dan benar: Parlemen, yang didominasi P3, partai Ali Bhutto (yang juga didukung warga Ahmadiyah) kemudian mengeluarkan keputusan yang menyatakan Ahmadiyah sebagai non-Muslim. Dalam UU Pakistan, negeri yang - menurut perkiraan 1975 - berpenduduk 70,26 juta, dengan 97,2%-nya beragama Islam (waktu itu termasuk Ahmadiyah), kedudukan non Muslim berarti status "minoritas". Dan status itu membawa konsekuensi baik dalam jabatan jabatan sipil maupun militer, yang di sana diatur menurut perimbangan. Tapi juga dalam hal perwakilan di parlemen. Di sini, buat kepenungan minoritas, disediakan kursi-kursi tersendiri - dan Ahmadiyah lalu mendapat kursi pula, berdasarkan jumlah mereka. "Tapi kursi itu kami tolak," kata H. Mahmud Ahmad Cheema, Amir/Ketua Tabligh Jamaah Ahmadiyah Indonesia, kepada TEMPO.

Bahkan pemungutan zakat, yang di Pakistan juga dilakukan dengan cara memotong uang simpanan di bank milik deposan Muslim tak lagi dikenakan pada harta orang Ahmadi. Tetapi permusuhan antara Ahmadiyah dan Muslimin selebihnya memang sudah lama umurnya - segera sesudah Mirza Ghulam Ahmad menerima sumpah prasetia- baiat - yang pertama, 1889. Dua tahun setelah itu ia mengumumkan bahwa, berdasarkan wahyu Allah, ia telah ditunjuk sebagai Imam Mahdi dan Isa Almasih yang dijanjikan. Maka menjadi layaklah klaim Ghulam Ahmad yang Iebih populer ini: ia seorang nabi. Dan status nabi itu pun harus dipahami sebagai "nabi didalam kenabian Muhammad," atau "nabi tanpa syariat." Itulah pula cara Mirza Ghulam Ahmad"mengoreksi" keimanan kaum Muslimin dimana-mana. bahwa Muhammad s.a.w. adalah nabi terakhir.

Bukankah, kata kaum Ahmadi, Nabi Isa - yang dalam sementara hadis diberitakan akan turun kembali - akan "bekerja" di dalam syariat (alias kenabian) Muhammad, dan toh akan berpangkat nabi? Dan dialah Nabi Isa itu - Mirza. Itu prinsipiil, tentu saja. Dan orang tak mungkin bisa memastikan apakah klaim Mirza itu berdasarkan keimanannya yang jujur, yang juga menyangkut dirinya sendiri, ataukah berdasarkan taktiknya bagi kejayaan Islam di masa depan, hal yang sering dinyatakannya. Munculnya Mirza memang pertama kali berarti penghapusan "harapan berlarut-larut" akan turunnya Almasih atau Almahdi itu - dan dengan itu diharap perhatian umat bisa dibelokkan untuk diajak memasuki tahap baru.

Kesan adanya "taktik" itu malah bisa muncul pula dari terjadinya perpecahan intern pada 1914 - ketika sebagian pengikut keluar dari jemaah besar, dan kemudian dikenal sebagai golongan Ahmadiyah Lahore - sementara yang tetap setia biasa disebut kaum Ahmadiyah Qadiani. Ahmadiyah Lahore itu, yang dipimpin Maulana Muhammad Ali, menolak kenabian Ghulam Ahmad. Mereka bilang, Mirza sendiri tak mengaku nabi - kecuali hanya pengakuan majazi, suatu kiasan samar-samar seperti yang sering diungkapkan para sufi, yang kemudian hanya dikongkretkan lewat manipulasi terhadap tulisan-tulisan Mirza sepeninggalnya. Mereka hanya menganggap Ghulam Ahmad sebagai mujaddid - pembaru -seperti juga para Imam mazhab, misalnya. Mereka berpegang pada hadis: Allah akan mengutus, di setiap permulaan abad, seorang pembaru dalam agama. Yang terakhir itu - pemunculan "hadis pembaruan" dalam rangka Ghulam Ahmad- kedengaran seperti rasionalisasi, memang. Tetapi, sambil mengesampingkan adanya tuduhan bahwa Muhammad Ali "murtad" karena gagal beroleh kedudukan khalifah ke-2, memang agak aneh bahwa kaum Ahmadi begitu memperhatikan hadis tentang Almasih dan Mahdi tetapi tidak hadis tentang pembaru.

Dua jenis hadis itu sendiri bagi umumnya umat Muslimin tidak termasuk yang paling penting dalam hal keimanan. Tapi bukankah grup-grup fundamentalis Kristen juga sangat peduli pada ayat-ayat Bibel jenis ramal-ramalan, sementara umat mayoritasnya kalem-kalem saja? Paling tidak, pada kalangan Lahore, "taktik" Itu sering tampak sebagai supaya kembali ke kepercayaan mayoritas Muslimin sehingga menjadi, seperti dikatakan Menteri Agama ketika menjawab wartawan baru- baru ini, "Dari segi akidah tidak bertentangan dengan Islam." Organisasi mereka, yang hanya dipimpin pengurus biasa, menjadi sangat longgar, bahkan tak penting lagi.

Dengan jumlah warga yang tak bisa diketahui persisnya (di Indonesia sekitar 2.000 orang), kaum Lahore ini dicatat bergerak lebih jauh dalam daerah liberalisasi dan intelektualisasi pemikiran Islam, sebagai kelanjutan rambahan jalan yang telah dimulai Ghulam Ahmad. Sebaliknya kalangan Qadian. Dengan pusat sekarang di Rabwah, mereka membentuk organisasi misionaris dunia yang modern, dengan jumlah pengikut empat juta di Pakistan dan delapan juta tersebar di negeri-negeri Asia, tapi terutama Afrika (Barat), dan negeri- negeri Eropa serta Amerika, masing- masing dengan mayoritas pemeluk peribumi setempat.

Jangan dianggap bahwa ke"modern"-an Qadiani dan Lahore menyentuh bidang syariat. Kalangan Qadian misalnya bahkan tetap mempertahankan pemakaian penutup wajah untuk wanita. Dan mereka ini, yang Qadiani, rupanya dinilai eksklusif. Tidak boleh tidak, memang, mereka akan memusatkan agama ke Rabwah, tempat nabi dan almasih mereka sementara ibadah haji ke Mekah sekadar pelaksanaan wajib. Juga mereka tidak salat bersama ataupun kawin-berkawin dengan Muslimin selebihnya. Pun mereka lepas sama sekali dari segala problem umat Muslimin dunia - termasuk dalam soal Palestina, misalnya.

Hari Kamis Presiden Zia mengumumkan dekritnya. Konon itu setelah adanya ultimatum dari sidang-sidang para Muslimin mayoritas, yang akan bertindak dengan kekerasan bila tuntutan mereka tak dipenuhi dalam tiga hari. Dan esoknya, untuk ibadat Jumat di Rabwah, Imam, yakni khalifah ke-4, Mirza Tahir Ahmad, memerintahkan agar azan tidak diserukan ke luar masjid. Tulisan "masjid" pada pintu gerbang pun dihapus. Dan segera sesudah itu sang imam pergi ke London, tempat jemaah Ahmadlyah terhitung kuat. Sampai sekarang memang tidak ada larangan melakukan salat buat mereka, meski tentu saja akan dianggap salat main-main. Hanya saja, kalau dekrit itu konsekuen dijalankan - dan bukan sekadar gebrakan ke arah pemerintahan Zia, yang konon tetap tak disukai para ulalma- Ahmadiyah disana tak bakalan hidup, kecuali dengan memungkiri diri berkali-kali. Tapi mungkinkah itu?

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1984/05/12/AG/mbm.19840512.AG40549.id.html (Accessed on 6/23/2011)

Pesan Pendek Sebelum Angkara Murka

Tempo, 14 Februari 2011

ISMAIL Suparman sedang menerima tamu ketika pintu depan rumahnya diketuk dari luar. Ketua Ahmadiyah Pandeglang ini membuka pintu dan menjumpai dua petugas Kepolisian Resor Pandeglang. "Anda akan diperiksa di kantor dalam kasus imigrasi," kata seorang dari mereka.

Pagi beranjak pergi di Kampung Peundeuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten, pada Sabtu dua pekan lalu itu. Jarum jam menunjukkan pukul sembilan. Suparman segera mengaitkan "urusan imigrasi" itu dengan istrinya, Haina Toang Aquino, warga negara Filipina yang sudah dua tahun menetap di situ. "Surat-suratnya lengkap," kata Suparman, ditirukan Aminah, ibunya. Sang petugas berkukuh dan meminta Suparman ikut.

Suparman meminta Haina berkemas. Ia juga mengajak Atep Suratep, Imron, dan Rochim-tiga pemuda anggota Ahmadiyah-yang berada di rumahnya. Putri Aquino Suparman, anaknya yang berumur dua tahun, merengek ingin ikut. Tak tega, Haina mengajak putri bungsunya itu. Tiga anak lain dititipkan ke rumah neneknya.

Sebelum berangkat, Suparman dibantu Atep, orang dekatnya setahun terakhir, memindahkan pesawat televisi, kulkas, dan mesin cuci ke rumah Aminah. Tepat pukul sepuluh, mereka berangkat ke kantor Kepolisian Resor Pandeglang, sekitar tiga setengah jam perjalanan mobil dari Cikeusik.

Di kantor polisi, Suparman kaget. Menurut Muhamad Isnur, anggota tim kuasa hukum Ahmadiyah, polisi menyebutkan pemanggilan tidak berkaitan dengan masalah imigrasi Haina. Suparman hanya diminta tinggal sementara waktu. "Dia dievakuasi karena ada ancaman," kata Isnur.

Suparman mengenal Ahmadiyah ketika bersekolah di Madrasah Aliyah Pandeglang. Pada 1994, dia pindah ke Filipina. "Untuk belajar bahasa selama dua tahun. Lalu tinggal di sana menjadi mubalig selama delapan tahun," kata Aminah. Di sana pula Suparman memperistri Haina. Pada 2009, Suparman pulang dan menetap di Desa Umbulan. Sejak itu, dia menjadi tokoh sentral Ahmadiyah Pandeglang.

Pria kelahiran 12 Mei 1969 ini mendapat sorotan di lingkungannya. Apalagi dengan posisinya sebagai juru dakwah Ahmadiyah untuk daerah Banten. "Dia sudah lama diincar," kata seorang anggota Ahmadiyah. Sejak November tahun lalu, tekanan terhadapnya semakin keras.

l l l

RENCANA pengerahan massa menuntut pembubaran Ahmadiyah di Desa Umbulan tersebar lewat pesan pendek di kalangan pemuka agama pada Kamis dua pekan lalu. Pesan berantai itu berisi ajakan kepada ulama dan santri untuk mendatangi rumah Suparman pada Ahad, 6 Februari, pukul 10.00 WIB. Pengirimnya mengajak "bersama-sama mengusir warga Ahmadiyah dari Cikeusik".

Munir bin Masri, pengasuh Pesantren Darul Iftidha, Cikeusik, menerima pesan itu. Merasa setuju, Munir lantas mengerahkan santrinya ikut demonstrasi. Muhammad bin Syarif, Ketua Gerakan Muslim Cikeusik, mendapat pesan yang sama. Belakangan, ketika diperiksa polisi, Munir mengatakan datang belakangan. "Saya enggak ikut-ikut," katanya.

Pesan pendek berbeda beredar pada Sabtu, sehari sebelum penyerangan. Kepala Desa Umbulan Muhammad Djohar, yang tinggal tak jauh dari rumah Suparman, mengatakan sempat melihat pesan berisi dua kata: "Kiai siapkan."

Siapa pengirim pesan dua kata itu? Munir terang-terangan menyebutkan satu nama, "Kiai Ujang." Kerabat seorang pengasuh pesantren di Cibaliung mengatakan hal serupa. "Kakak saya di-SMS Kiai Ujang," ujar dia. Tapi Muhammad Djohar mengaku tak tahu. "Pokoknya dari sebuah nomor yang tak dikenal," katanya.

Kiai Ujang Arif bin Surya berasal dari Kampung Bengkung, Desa Cigeulis, yang jaraknya 30 kilometer dari Cikeusik. Merujuk kampungnya itu, ia dikenal dengan sebutan "Kiai Ujang Bengkung". Ia memimpin Pesantren Bani Surya, dan kesohor paling getol menyerukan pengusiran warga Ahmadiyah dari Cikeusik. Menurut Aziz, warga Kampung Cibaliung, di antara tokoh penentang Ahmadiyah, Ujang paling vokal. "Mungkin karena dia Ketua Front Pembela Islam Pandeglang," katanya.

Pada akhir Januari lalu, dalam pengajian yang digelar Gerakan Muslim Cikeusik, Ujang mengajak jemaah yang hadir mengusir warga Ahmadiyah. Gerakan Muslim Cikeusik baru dibentuk sebulan lalu. Kelompok ini gencar mendesak pembubaran Ahmadiyah di Pandeglang.

l l l

SETELAH Suparman dijemput, Kepala Kepolisian Resor Pandeglang Ajun Komisaris Besar Alex Fauzi Rasyad semula berpikir massa tetap datang ke Cikeusik tapi tak akan menimbulkan kericuhan. Prediksi itu keliru. Tanda-tanda ketegangan terasa ketika 17 pengikut Ahmadiyah dari Jakarta, Bogor, dan Serang datang dengan dua mobil ke rumah Suparman.

Menurut Alex, sekitar pukul 03.00 dinihari, dua peleton Satuan Sabhara (60 personel) bersama sejumlah reserse dan intel berangkat ke Desa Umbulan dari Pandeglang. Total jumlahnya sekitar 100 orang. Ditambah anggota Kepolisian Sektor Cikeusik, jumlah polisi di sekitar rumah Suparman sekitar 115 orang.

Polisi sebenarnya tiba lebih dulu ketimbang rombongan Deden Sujana. Setiba di rumah Suparman, polisi menyebar. Begitu rombongan Deden dan kawan-kawan tiba, mereka panik. Menjelang pukul 10.00, Kepala Unit Reserse Kriminal Kepolisian Sektor Cikeusik Inspektur Satu Hasanuddin mendatangi rumah itu dan membujuk Deden pergi. "Massa sedang bergerak ke sini," kata Hasanuddin.

Deden, Ketua Pengamanan Nasional Ahmadiyah, menolak permintaan Hasanuddin. Dia beralasan kedatangannya untuk menjaga aset properti milik organisasi. Ketika bernegosiasi dengan Hasanuddin di dalam rumah, Deden mempersilakan polisi melepaskan penjagaan. "Kami akan mempertahankan sampai titik darah penghabisan," katanya. "Biarlah berdarah-darah."

Setengah jam setelah Hasanuddin gagal membujuk Deden dan kawan-kawan, massa dari arah Cangkore berhamburan menuju rumah. Meneriakkan takbir, mereka bertindak beringas. Seseorang dari kelompok ini menuding Deden telah memprovokasi dan memamerkan kekebalan tubuhnya dengan menebas-nebaskan golok ke lengan.

Polisi juga menuding rombongan Deden yang memulai keributan dengan melemparkan batu ke arah massa. Alfi Syafri, anggota Ahmadiyah, mengaku rombongannya melemparkan batu setelah melihat Deden hendak diterjang massa. Selepas hujan batu, massa dari dua sisi datang bak air bah menuju rumah Suparman.

Choirul Anam, anggota tim kuasa hukum Ahmadiyah, menolak tudingan bahwa anggota Ahmadiyah melakukan provokasi. Menurut dia, pernyataan Deden itu hanya disampaikan ke aparat kepolisian dan bukan untuk menantang massa. "Pertanyaannya, kenapa pernyataan itu bisa sampai ke massa," katanya. "Siapa yang membocorkan?"

Tak susah menjawab pertanyaan Choirul. Pembicaraan Hasanuddin dan Deden itu terdengar jelas dalam rekaman yang dibuat Arif Rahman. Pegawai negeri sipil di Pemerintah Kota Serang yang juga anggota Jemaat Ahmadiyah ini membawa handycam dan leluasa merekam ke segala penjuru. Hasilnya video berdurasi 30 menit itu. "Dia selamat karena mengaku wartawan," ujar Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Yoseph Adi Prasetyo.

Sumber Tempo mengatakan Arif sehari-hari memang terbiasa menggunakan kamera perekam. Sebab, selain menjadi pegawai negeri, Arif biasa menerima tawaran merekam pesta perkawinan.

Dalam rekaman yang sebagian sekuelnya sempat diunggah di situs YouTube itu, terlihat dengan jelas tokoh-tokoh garis depan yang melakukan penyerangan, termasuk menyiksa anggota Ahmadiyah yang tengah meregang nyawa. Dalam rekaman itu tampak juga bagaimana petugas kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia membiarkan massa melakukan pembunuhan dan perusakan.

Bentrokan tak seimbang meletup. Sekitar 1.500 orang terus merangsek menuju rumah Suparman. Mereka melempari dan menghancurkan rumah. Anak muda Ahmadiyah yang sempat melakukan perlawanan lari tunggang-langgang. Tidak semuanya bisa selamat. Tiga anggota rombongan Deden, yaitu Warsono, Chandra, dan Roni, tewas. Adapun Deden berhasil menyelamatkan diri, dengan pergelangan tangan kanan nyaris putus.

l l l

SEORANG saksi mata, Mamat, melihat Kiai Ujang ada di antara massa penyerbu rumah Suparman. Saat itu masih sekitar pukul 09.00. Massa dari arah Cibaliung, Cigeulis, Munjul, dan kecamatan lain di wilayah Pandeglang berkumpul di depan Masjid Al-Huda. "Ada Kiai Ujang Bengkung di sana," katanya. Saksi lain, sebut saja Ali, yang berada di depan rumah Suparman saat kejadian, mengatakan sempat mencium tangan Ujang.

Sumber di kepolisian membenarkan Ujang dicurigai terlibat peristiwa Ahad berdarah itu. Saat ini polisi terus memburu lelaki itu. "Dia kabur seusai penyerangan," katanya.

Agus Setiawan, anggota tim pembela muslim Banten yang mendampingi para kiai saat diperiksa polisi, berharap Ujang Bengkung segera keluar dari persembunyian. "Dia memang disebut polisi sebagai penyebar pesan singkat ajakan demonstrasi Ahad itu," katanya.

Adapun juru bicara Front Pembela Islam, Munarman, mengaku tak mengenal Ujang Bengkung. Menurut dia, organisasi FPI di Pandeglang juga tidak eksis. "Setahu saya enggak ada," katanya. Munarman juga menolak FPI dikait-kaitkan dengan insiden Cikeusik.

Sumber Tempo menyebutkan adanya peran Kepala Desa Umbulan Muhammad Djohar. Pada pemilihan kepala desa April 2010, Djohar berjanji akan mengusir warga Ahmadiyah jika terpilih. "Jangan panggil nama saya Djohar jika tidak terlaksana," katanya ketika itu, seperti ditirukan sang sumber.

Djohar kepada Tempo membantah pernah menjual isu itu. "Enggak ada itu. Saya enggak berani," ujarnya. Dia mengatakan keinginan mengusir Jemaat Ahmadiyah murni dari warga. Sebab, warga Cikeusik resah lantaran Suparman mengajak orang lain memeluk Ahmadiyah. Selain itu, "Kalau salat, dia enggak mau berjemaah di masjid."

Dari mana para penyerang? Mamat ingat betul, orang yang berduyun-duyun ke rumah Suparman tegap-tegap tubuhnya. "Sepertinya mereka bukan santri, tapi jawara," katanya. Golok yang masih tersarung menyembul dari balik baju. Di bagian dada, terpacak pita biru sebagai penanda.

Ali, yang berada di depan rumah Suparman saat kejadian, melihat sejumlah kendaraan dengan pelat B melintas sebelum penyerangan. Saat massa Ujang Bengkung tiba, sebagian massa terdengar berbicara dengan logat Betawi. "Warga sini biasanya berlogat Sunda atau Jawa," ujarnya. Menurut dia, massa yang datang bersama Ujang Bengkung bercirikan pita hijau.

Massa berduyun-duyun mengendarai sepeda motor tanpa membawa panji-panji. Ahad pagi itu juga ia melihat ada tiga mobil yang digunakan massa terparkir di dekat-dekat Masjid Cangkore.

Ridha Saleh, anggota Komnas HAM, mengatakan tim yang meneliti kemungkinan terjadinya pelanggaran berat hak asasi manusia sudah diturunkan. Penyelidikan itu akan berfokus pada dugaan pembiaran oleh aparat keamanan. "Apalagi polisi sudah tahu akan ada penyerangan," katanya.

Kepala Kepolisian Negara Jenderal Timur Pradopo mencopot Kepala Kepolisian Daerah Banten Brigadir Jenderal Agus Kusnadi dan sejumlah anak buahnya. "Pergantian ini karena ada sistem yang tidak berjalan," kata Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Anton Bachrul Alam.

Setri Yasra, Sunudyantoro (Jakarta), Anton Septian, Agung Sedayu (Pandeglang)

Serangan Pasukan Berpita

TAKBIR diteriakkan dengan marah pada pagi di Desa Cikeusik, Pandeglang, Banten, Ahad dua pekan lalu. Ribuan penyerang menyerbu rumah Suparman, menghadapi belasan pengikut Ahmadiyah yang berusaha mempertahankannya. Hasilnya tragedi: tiga pengikut Ahmadiyah dibunuh, lima lainnya terluka.

Dikepung dari Dua Arah
Penyerang datang dari dua arah: utara dan selatan Cikeusik.

SELATAN
Massa dari Malingping, Bayah, dan kecamatan lain di Kabupaten Lebak berkumpul di depan Balai Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik. Saksi melihat massa menggunakan dua bus kecil berpelat nomor A (Banten), dua mobil bak terbuka, dan ratusan sepeda motor.

UTARA
Massa dari Cibaliung, Cigeulis, Munjul, Angsana, Cikeusik, dan kecamatan lain di Kabupaten Pandeglang bertemu di Masjid Al-Huda Cangkore, Desa Rancaseneng, Kecamatan Cikeusik. Menurut saksi, mereka menggunakan tiga mobil Kijang dan ratusan sepeda motor.

PEMIMPIN

Massa dari Cibaliung dikomando Ujang Bengkung.
Massa dari Cikeusik dipimpin Muhammad dan Junaedi.
Massa dari arah Malingping dikomando Endang.

Kekuatan Tak Seimbang
Jumlah penyerang, pengikut Ahmadiyah yang berada di rumah Suparman, dan polisi sangat tak seimbang. Polisi pun tak berdaya menahan penyerang.

Polisi
115 orang

Dibagi ke dua tempat: selatan dan utara Cikeusik
2 peleton Satuan Sabhara
Reserse
Intel
Anggota Polsek Cikeusik

Ahmadiyah
17 orang

Penyerang
1.500 orang
Sebagian mengenakan pita biru dan hijau.

Jam-jam Mencekam

3 Februari
Polisi menyatakan memperoleh pesan pendek yang beredar bahwa ada massa yang menuntut pengusiran dan pembubaran Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik.

4 Februari
Polisi berkoordinasi dengan pemerintah daerah, Komando Daerah Militer, Kejaksaan Negeri, dan tokoh masyarakat, membahas rencana demonstrasi.

5 Februari
Polisi mengevakuasi Suparman dan istrinya, Haina, juga tiga orang lainnya.

6 Februari:
03.00:
Kepala Polres Pandeglang Ajun Komisaris Besar Alex Fauzi Rasyad mengirim personel ke Cikeusik, mengamankan rumah Suparman yang kosong.

07.00:
Sebanyak 17 anggota Ahmadiyah dari Jakarta tiba di rumah Suparman.

09.26:
Deden Sujana, kepala keamanan nasional Ahmadiyah, dan anak buahnya berkumpul di rumah Suparman. Inspektur Satu Hasanuddin, Kepala Unit Intel Polsek Cikeusik, datang dan meminta mereka pergi agar menghindari bentrokan. Deden menolak, mengatakan rumah Suparman merupakan aset yang harus dipertahankan.

09.50:
Mobil patroli Polsek Cikeusik siaga di depan rumah Suparman.

10.08:
Dua truk �dalmas" (pengendali massa) siaga di depan rumah Suparman. Tak lama, satu di antaranya bergerak menuju jembatan arah Cangkore. Mobil Panther polisi juga siaga di depan pos ronda depan rumah Suparman, tempat polisi dan penduduk sekitar duduk.

10.31:
Massa datang dari arah jembatan Cangkore dan berjalan cepat menuju rumah Suparman. Hanya terlihat beberapa polisi di sekitar rumah Suparman.

10.36:
Massa berjalan cepat. Ketika melewati beberapa orang di sekitar jembatan, seseorang di barisan depan berteriak : �Polisi minggir! Kafir ini, kafir!"

10.39:
Polisi hanya bisa berdiri menyaksikan penyerang yang terus melempari batu, juga merusak atap rumah Suparman.

10.40:
Kerumunan massa menguasai rumah Suparman.

10.42:
Orang semakin banyak berdatangan dari arah Umbulan.

10.55:
Polisi mengangkat seorang warga Ahmadiyah yang terkulai ke atas truk.

11.00:
Massa masih berkumpul di jalan di depan rumah Suparman. Massa meneriaki polisi: �Polisi Pandeglang mundur. Polisi mundur! Aing tanggung jawab.� Polisi menjauh.

11.08:
Massa mengerumuni dua mayat tak berbaju, dan terus memukulinya.

11.14:
Satu mayat tergeletak di sebelah halaman tetangga Suparman. Penyerang memukulinya dengan bambu dan batu.

Sumber: Kepolisian Pandeglang, video penyerangan, keterangan saksi mata, Pusat Data dan Analisa Tempo

Serangan ke Ahmadiyah

Kekerasan terhadap Ahmadiyah meningkat setelah terbit Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri tentang Ahmadiyah pada 9 Juni 2008. Berikut ini beberapa di antaranya.

2009
2 Juni
Dua orang mencoba membakar Masjid Al-Hidayah milik Ahmadiyah di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

2010
14 Juli
Gerakan Rakyat Anti-Ahmadiyah menyegel dan merazia beberapa kantor di lingkungan Pemerintah Kabupaten Garut, mencari pegawai penganut Ahmadiyah.

29 Juli
Ratusan orang bentrok dengan Jemaat Ahmadiyah di Desa Manis Lor, Kecamatan Jalaksana, Kuningan, Jawa Barat.

10 Agustus
Sekitar 200 orang dari Front Pembela Islam dan Gerakan Umat Islam Bersatu Surabaya menyerang Masjid An-Nur milik Ahmadiyah.

1 Oktober
Sebuah masjid dan lima rumah milik warga Ahmadiyah di Kampung Cisalada, Desa Ciampea Udik, Bogor, dibakar oleh ratusan orang.

4 Oktober
Pemerintah Kota Pekanbaru menghentikan aktivitas Jemaat Ahmadiyah di Kecamatan Tampan.

11 Oktober
Pemerintah Kabupaten Garut melarang aktivitas Jemaat Ahmadiyah di wilayah itu.

5 November
Perguruan Tinggi Dakwah Islam Tanjung Priok menuntut penyegelan Masjid Nuruddin di Tanjung Priok, Jakarta Utara, yang dituduh sebagai milik Ahmadiyah.

26 November
Massa merusak dan membakar rumah warga Ahmadiyah di Dusun Ketapang, Lombok Barat.

3 Desember
Sekelompok orang bersepeda motor merusak dan membakar masjid Ahmadiyah di Jalan Ciputat Raya, Banten.

8 Desember
Pemerintah Kota Tasikmalaya memutuskan untuk menutup sejumlah sarana milik Ahmadiyah.

10 Desember
Seribu orang membongkar masjid Ahmadiyah di Kampung Panjalu, Warnasari, Sukabumi, Jawa Barat.

27 Desember
Madrasah Al-Mahmud milik Ahmadiyah di Kampung Rawa Ekek, Sukadana, Campaka, Cianjur, dibakar.

2011
29 Januari
FPI unjuk rasa memaksa Jemaat Ahmadiyah meninggalkan Masjid An-Nushrat, Makassar.

6 Februari
Ribuan orang menyerang rumah Suparman, pengikut Ahmadiyah di Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/02/14/LU/mbm.20110214.LU135931.id.html (Accessed on 6/23/2011)

Nabi Pamungkas dan Nabi Sekunder

Tempo, 28 Januari 2008

Luthfi Assyaukanie

Peneliti Freedom Institute dan Koordinator Jaringan Islam Liberal, Jakarta

Salah satu doktrin utama yang dijunjung tinggi kaum muslim adalah keyakinan tentang Muhammad sebagai nabi pamungkas (khatam al-nabiyyin). Begitu sucinya doktrin ini, para ulama berpandangan bahwa siapa saja yang melanggarnya dapat dianggap murtad atau keluar dari Islam. Menurut hukum Islam (fikih), seorang yang murtad haruslah dibunuh. Para ahli fikih sepakat bahwa pemerintahlah yang harus menjalankan hukuman, namun seorang ulama dari mazhab Syafi'i berpendapat bahwa hukuman itu bisa dilaksanakan secara individual jika pemerintah tak mampu melaksanakannya.

Mungkin karena doktrin fikih yang kaku itu, kaum muslim memusuhi dan menyerang Ahmadiyah, sebuah aliran yang meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Baik di Pakistan (negara asal Ahmadiyah) maupun Indonesia, anggota Ahmadiyah dikecam, dikejar-kejar, dan properti mereka dirusak dan dibakar. Tanpa mau mengerti persoalan kompleks tentang konsep kenabian, kaum muslim meminta pemerintah membubarkan Ahmadiyah dan melarang sekte ini hidup di Indonesia.

Doktrin khatam al-nabiyyin bukanlah milik kaum muslim saja, tapi ia juga milik semua agama. Setiap agama besar memiliki doktrin nabi pamungkas. Agama Yahudi menganggap Musa sebagai nabi pamungkas; Agama Kristen menganggap Isa sebagai nabi pamungkas; dan agama Buddha menganggap Siddharta Gautama sebagai nabi pamungkas. Masing-masing agama ini menjunjung tinggi doktrin khatam al-nabiyyin, dan akan menganggap siapa saja yang melanggarnya telah tersesat.

Pada awal-awal kemunculan agama Kristen, kaum Yahudi menganggap pengikut Isa (Yesus) sebagai kaum heretik, karena mendaulat Isa (bukan Musa) sebagai nabi pamungkas dan bahkan menganggapnya sebagai anak Tuhan. Begitu juga, pada masa-masa awal kemunculan Islam, kaum Kristen di kawasan Bizantium (Kekristenan Timur) menganggap pengikut Muhammad sebagai "sekte Kristen" yang sesat dan menyesatkan. Islam dianggap sekte sesat karena memperkenalkan nabi baru selain Isa, yakni Muhammad, sebagai nabi pamungkas.

Sesat menyesatkan terhadap siapa saja yang menolak doktrin nabi pamungkas dalam suatu agama bukanlah unik milik Islam. Setiap agama baru selalu melewati proses semacam ini. Saya menyebutnya "proses heretisasi", yakni upaya menjauh dari pemahaman ortodoks. Jika proses heretisasi berlangsung mulus, sebuah agama baru bakal muncul; jika tidak, konflik dan ketegangan akan terjadi.

Proses heretisasi terjadi sepanjang sejarah. Orang-orang Yahudi menganggap Kristen sebagai agama heretis yang menyempal dari agama Yahudi. Begitu juga, kaum Kristen memandang Islam sebagai sekte sesat yang menyempal dari agama Kristen. Pada gilirannya, kaum muslim menganggap Baha'i sebagai agama yang menyempal dari Islam. Baha'i tidak lagi dianggap sebagai bagian dari Islam karena para pemeluknya tak mau menganggap Muhammad sebagai nabi pamungkas, tapi malah menjadikan pemimpin mereka, Baha'ullah, seorang alim dari Persia, sebagai gantinya.

l l l

Ahmadiyah, menurut saya, belum bisa dianggap sebagai agama baru, karena proses heretisasi dalam dirinya belum sempurna. Para pengikut Ahmadiyah masih terbelah antara menerima Muhammad sebagai nabi pamungkas dan menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi baru. Kecuali jika mereka sendiri yang mendeklarasikan Ahmadiyah sebagai agama baru, tak seorang pun berhak menganggapnya demikian.

Saya tidak tahu apakah ada anggota Ahmadiyah yang benar-benar menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi pamungkas. Setahu saya, dari sejumlah literatur tentang Ahmadiyah yang pernah saya baca, seluruh anggota Ahmadiyah di Indonesia tetap menganggap Muhammad sebagai nabi pamungkas, sedangkan Mirza Ghulam Ahmad dianggap sebagai nabi sekunder yang kedudukannya lebih rendah daripada Nabi Muhammad.

Konsep nabi sekunder memang tidak dikenal dalam teologi Sunni. Tapi, konsep itu dikenal secara luas dalam agama-agama lain, khususnya Yahudi dan Kristen. Orang-orang Yahudi, misalnya, menganggap Musa sebagai nabi pamungkas, tapi pada saat yang sama meyakini Isaiah, Jeremiah, Ezekiel, dan Daniel sebagai nabi juga, namun bersifat sekunder. Orang-orang Kristen menganggap Isa sebagai nabi pamungkas, tapi pada saat yang sama bisa menerima Simon, James, Matius, dan Thomas sebagai nabi (rasul).

Islam tidak mengadopsi teologi semacam itu, tapi mengembangkan doktrinnya sendiri tentang nabi sekunder. Kaum Syiah menyebutnya "imam", sedangkan kaum Sunni memiliki istilah yang beragam, seperti "wali", "ulama", dan "mujaddid" (pembaru). Baik imam maupun wali (dan istilah lain dalam dunia Sunni) sesungguhnya memiliki posisi yang kurang-lebih sama dengan nabi sekunder dalam teologi Yahudi dan Kristen. Para imam dua belas (itsna asy'ariyah) bagi kaum Syi'ah memiliki kharisma dan posisi yang tak bisa disejajarkan dengan kaum muslim biasa. Kedudukan mereka hanya bisa dikalahkan oleh Muhammad, sang nabi pamungkas.

Begitu juga, dalam dunia Sunni, para awliya (bentuk jamak dari wali), ulama, maupun mujaddid memiliki kedudukan yang tinggi, disanjung, dihormati, dan didengar pandangan-pandangannya. Abdul Qadir al-Jailani, misalnya, adalah salah satu wali yang sangat dimuliakan kaum muslim Sunni. Begitu juga, Abu Hamid al-Ghazali merupakan ulama yang menempati posisi sangat khusus di kalangan umat Islam. Begitu uniknya posisi Al-Ghazali sehingga Montgomery Watt, seorang orientalis Inggris, menganggapnya sebagai muslim terbesar kedua setelah Nabi Muhammad.

Mujaddid juga memiliki posisi unik yang bisa disejajarkan dengan konsep nabi sekunder dalam teologi Yahudi dan Kristen. Istilah mujaddid diperkenalkan oleh Nabi Muhammad sendiri dalam sebuah sabdanya: "Setiap 100 tahun Allah mengutus seorang mujaddid yang akan memperbarui ajaran agama (Islam)." Tokoh Islam seperti Muhammad Abduh (1849�1905), Ali Abd al-Raziq (1888�1966), dan Fazlur Rahman (1919�1988), adalah para pembaru Muslim yang dimaksudkan Nabi. Tentu saja, istilah "100 tahun" tidak harus diartikan secara literal, karena "100 tahun" yang dimaksud dalam hadis itu adalah masa yang dibutuhkan suatu doktrin untuk menjadi kedaluwarsa. Dan itu harus diperbarui dalam setiap kurun waktu tertentu agar tetap segar.

l l l

Para teolog Sunni memang tidak menganggap wali atau ulama atau mujaddid sebagai nabi, tapi mereka memandang posisi mereka begitu tinggi, dan bahkan meletakkannya setingkat di bawah nabi. Ulama, misalnya, dianggap sebagai ahli waris para nabi (al-ulama waratsat al-anbiya).

Sebenarnya, jika para pengikut Ahmadiyah menyebut Mirza Ghulam Ahmad sebagai wali, atau ulama, atau mujaddid, pasti tidak akan ada masalah. Sayangnya, mereka lebih memilih bersitegang dengan ortodoksi Sunni dengan tetap menggunakan istilah "nabi" untuk pemimpin mereka. Padahal, yang mereka maksudkan dengan nabi ketika menyebut Mirza Ghulam Ahmad sebetulnya adalah "wali" atau "mujaddid" dalam pengertian kaum Sunni.

Hal ini bisa dilihat, misalnya, dari cara mereka membeda-bedakan tiga istilah, yakni "nabi independen" (naby mustaqill), "nabi tidak independen" (naby ghayr mustaqill), dan "nabi bayangan" (naby al-dzill). Nabi independen adalah pemuka agama yang membawa risalah murni, seperti Musa, Isa, dan Muhammad. Nabi tidak independen adalah pemuka agama yang meneruskan risalah nabi independen, seperti Harun (dalam kasus Musa) dan Paulus (dalam kasus Isa). Sementara nabi bayangan adalah pemuka agama yang menyebarluaskan risalah itu.

Para pengikut Ahmadiyah Qadiyan memandang Mirza Ghulam Ahmad sebagai naby ghayr mustaqill, sementara pengikut Ahmadiyah Lahore menganggap Mirza sebagai naby al-dzill. Kedua sekte ini tetap menganggap Muhammad sebagai nabi pamungkas (naby mustaqill) yang kedudukannya tak bisa digantikan oleh siapa pun.

Ketegangan yang terjadi dalam menyikapi Ahmadiyah selama ini sesungguhnya dipicu oleh kesalahpahaman terhadap penggunaan istilah "nabi". Baik Ahmadiyah maupun Sunni sama-sama bersalah. Ahmadiyah bersalah karena menggunakan istilah yang tak bisa diterima dalam teologi Sunni. Kaum Sunni bersalah karena tak mau mengerti bahwa istilah nabi bisa dimaknai dengan beragam arti, tidak mesti hanya satu makna saja seperti yang mereka pahami secara keliru selama ini.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/01/28/KL/mbm.20080128.KL126191.id.html (Accessed on 6/23/2011)

Hangusnya Masjid di Lembah Sejuk

RATAP Mak Ikah, 58 tahun, meledak ketika menyaksikan kitab Al-Quran yang biasa ia baca hangus habis. Anggota Jemaat Ahmadiyah itu melangkah cepat menghampiri Mimi Sumiati, 46 tahun, tetangga sesama Ahmadiyah. Keduanya berpelukan, hanyut dalam air mata. "Mereka membakar Al-Quran... mereka membakar Al-Quran...," hanya itu yang terdengar di tengah isak tangis.

Di sekitar kedua perempuan itu hanya tinggal puing dan abu sisa Masjid Al-Furqon milik Ahmadiyah Desa-Kecamatan Parakansalak, Sukabumi, Jawa Barat, Kamis pekan lalu. Polisi mengais tinggalan reruntuk yang bisa dijadikan barang bukti amuk massa, Senin dini hari sebelumnya.

Ikah dan Mimi sebetulnya sudah menduga semua barang masjid pasti terbakar. Tapi mereka tetap tak kuat menahan tangis begitu menyaksikan kitab Al-Quran yang hangus. Biasanya Ikah, Mimi, dan setidaknya 60 perempuan lain mengaji Al-Quran di masjid itu pada bakda isya dan subuh. "Setelah masjid dibakar, kami takut," kata Ikah.

Polisi juga memungut batu sebesar kepala sapi, batu sebesar kepalan tangan, dan rehal dari reruntuhan masjid. Ada juga logam bekas perangkat pengeras suara, lampu, sisa karpet, dan pecahan lampu. Barang-barang ini dibawa ke kantor Kepolisian Resor Kabupaten Sukabumi.

Massa juga merusak tiga ruang kelas madrasah dan rumah guru mengaji, persis di depan masjid. Kaca jendela hancur dan berhamburan di lantai. Bangku dan papan tulis diobrak-abrik. Dua bata singgah di atap. Sebagian genting rompal.

Amuk itu bermula ketika 600-an orang anti-Ahmadiyah menunggu detik-detik pukul 12 malam, Ahad pekan lalu, di dekat mulut gang menuju Al-Furqon. Itulah tenggat ultimatum agar papan nama Ahmadiyah diturunkan dan pintu masjid dipalang kayu. Ultimatum itu hasil istigasah, doa bersama, Forum Komunikasi Jamiatul Mubaligin Kecamatan Parakansalak di Masjid At-Taqwa, setengah kilometer dari Al-Furqon, seusai salat Jumat, dua hari sebelumnya.

Forum komunikasi ini merupakan kumpulan sekitar 50 ustad, kiai, dan ulama di tujuh kecamatan bekas Karesidenan Cicurug. Istigasah yang diikuti 400-an orang ini menerbitkan lima tuntutan. Intinya: Ahmadiyah sesat sehingga harus bertobat dan menyetop kegiatannya. "Ini soal akidah, tak bisa ditawar-tawar lagi," kata Ustad Endang Abdul Karim, Ketua Forum.

Dalam surat tuntutan terselip klausul ancaman. Jika dalam dua hari-tenggatnya Ahad pekan lalu pukul 24.00-Ahmadiyah tak patuh, kelompok yang mengatasnamakan umat Islam se-Cicurug itu tidak bertanggung jawab jika terjadi sesuatu. Salinan tuntutan yang diterima Tempo menyebutkan draf tuntutan ini telah disiapkan lima hari sebelumnya. Istigasah berlangsung Jumat, 25 April, sedangkan di draf tercantum tanggal 20 April.

Hingga jatuh tempo, pengurus Ahmadiyah tidak memenuhi tuntutan. Pengurus Ahmadiyah memang sudah menurunkan papan nama. Tapi massa tetap menghendaki semua pintu masuk masjid Ahmadiyah dipalang. Pengurus Ahmadiyah menolak. Katanya, belum ada ketentuan hukum yang menyatakan Ahmadiyah terlarang. "Kalau kami menutup, kami melanggar konstitusi," kata Asep Saepudin, Ketua Ahmadiyah Parakansalak.

Seperempat jam lewat 24.00, seorang remaja berdiri dalam kegelapan halaman Al-Furqon. Pengurus memang sengaja mematikan lampu. Prang... prang... kaca masjid pecah oleh lemparan batu. Kurang dari semenit, massa dari segala penjuru mara merusak masjid. Teriakan memuja kebesaran Tuhan dan melaknat Ahmadiyah bersahutan.

Ada yang membawa pentungan, bersenjata batu kali, dan sebagian menenteng batu bata. Lima menit kemudian, seseorang menyulut tirai masjid, dan api pun menjilam ke seluruh bangunan. Massa juga hendak membakar madrasah, tapi tak jadi. Jika madrasah itu nyala, api bisa menjalar ke perkampungan, karena madrasah berimpitan dengan rumah warga.

Sebetulnya, sebelum api membesar, mobil pemadam kebakaran tiba dari Cicurug, sekitar 15 kilometer dari Pa rakansalak. Namun, setengah kilometer menjelang Al-Furqon, massa menghadang mobil itu, bahkan mengancam membakarnya. Branwir pun balik ke Cicurug. Mobil pemadam tiba kembali setelah polisi menjamin keamanan, karena massa sudah bubar.

Api pun sudah tak mengamuk lagi. Polisi menemukan botol bekas minuman suplemen bersumbu, tapi menampik masjid terbakar akibat bom molotov. "Itu lampu minyak untuk berjaga-jaga jika listrik padam," kata Kepala Kepolisian Resor Kabupaten Sukabumi Ajun Komisaris Besar Guntor Gaffar.

Sejumlah saksi mata mengatakan para pembakar berasal dari luar Desa Parakansalak. Mereka datang bergelombang, dengan tiga mobil pikap dan puluhan sepeda motor. Sebagian berasal dari Cicurug, Cidahu-10 kilometer dari Parakansalak-dan Bojongasih, tetangga desa Parakansalak. Rombongan dari Bojongasih menumpang pikap milik Kepala Desa Bojongasih Heri Suheri. "Benar, itu pikap saya," katanya.

Menurut Heri, sejak bakda isya malam itu, massa berkumpul di depan rumahnya. Namun, ia menangkis tudingan memprovokasi massa. Kata Heri, ia hanya memfasilitasi warganya yang ingin menegakkan akidah. Kedatangan ke masjid Ahmadiyah malam itu, kata dia, justru untuk mencegah anarki. "Itu bentuk tanggung jawab saya kepada warga," ujarnya.

Kini polisi menetapkan sepuluh tersangka pembakar, termasuk Heri. Dari mereka, hanya satu orang yang warga Desa Parakansalak. Menurut Guntor, ada kemungkinan pembakaran berkaitan dengan istigasah Forum Komunikasi, dua hari sebelum insiden. Tapi Ustad Endang menampik. Pembakaran itu, kata dia, aksi spontan massa.

Ahmadiyah, sebetulnya, telah menjadi bagian hidup damai di Parakansalak sejak 1975. Penganut awalnya adalah keluarga Djadjun. Belakangan, penganutnya meliputi 212 orang. Sebagian besar tinggal di Rukun Tetangga 02 Rukun Warga 02. Parakansalak dihuni 8.000-an jiwa. Sebagian besar menganut Islam mazhab Imam Syafii, seperti yang dianut Nahdlatul Ulama, meski tak semua bergabung ke organisasi itu. Muhammadiyah, Sarekat Islam, dan Persatuan Islam juga tumbuh, dan tak pernah berkonflik.

Kepala Desa Parakansalak Yayat Supriyatna mengatakan warga Ahmadiyah berbaur dan aktif dalam segala kegiatan masyarakat. Mereka memberi warna sosial yang baik buat desa seluas 2.000 hektare-dan separuhnya kebun teh-di lembah Gunung Salak yang sejuk itu. Yayat heran mengapa desanya tersulut amarah. "Kami menyesal," katanya.

Sunudyantoro (Parakansalak), Deden Abdul Aziz (Pelabuhan Ratu)

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/05/05/LU/mbm.20080505.LU127087.id.html (Accessed on 6/23/2011)

Mormon "ahmadiyah kristen"


SEPULUH tahun beroperasi di sini, toh agaknya hanya sedikit orang yang tahu apa sebenarnya Gereja Mormon

Dua hari, 21 - 22 Oktober lalu, mereka mengadakan konperensi pertama untuk seluruh Indonesia -- yang menandai 10 tahun masa penyiaran itu --di Elotel Jakarta Mandarin. Marvin J. Ashton, anggota Dewan Duabelas Rasul (lembaga tertinggi Gereja di Salt Lake City, Utah, AS), datang bersama Nyonya. Dan bersama Lester C. Hawthorne, presiden Gereja di Indonesia, mereka menjadi tua-tua konperensi yang dihadiri 500 orang.

Orang barangkali hanya pernah membaca nama resmi 'Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir'. Tentang aliran Mormon sendiri, yang memakai nama tersebut, barangkali hanya pernah didengar samar-samar misalnya inilah mazhab Kristen yang membolehkan poligami secara tak terbatas. Atau, inilah gereja yang mewajibkan zakat -- dan melarang minuman keras, rokok, kopi dan teh. Dalam kenyataan, Mormon memang Gereja yang mandiri. Orang tentu saja melihat kelahirannya dari tengah kancah Protestantisme Amerika. Toh, "sebenarnya mereka tidak lebih dekat kepada keprotestanan daripada kekatolikan," seperti ditulis Gordon B. Hinckley, juga anggota Dewan Duabelas Rasul.

Masalahnya justru Mormonisme lahir dari kancah pertentangan berbagai sekte yang, di awal abad 19 itu, di Negara Bagian New York sekarang, bukan main sengitnya. Dan seperti dituturkan Joseph Smith, pendiri aliran ini, perkelahian itu menyebabkan ia mengalami kegoncangan--lalu berusaha bertanya kepada Tuhan manakah kiranya yang harus ia ikuti? Maka Tuhan pun menjawab kesemua sekte itu salah--bahkan keji dalam pandangan Tuhan. Dan itulah sebabnya lahir Mormonisme. Nabi Kimball Dan Joseph Smith, 1805-1844, dengan demikian seorang nabi (lihat box) dan itulah hal besar yang membedakan Mormon dari sekte Kristen lainnya.

Menarik, dasar pemikiran tentang kenabian ini persis sama dengan yang dipunyai kalangan Ahmadiyah, khususnya Qadiani yang menabikan Mirza Ghulam Ahmad (1839 - 1908)--bahwa wahyu Tuhan tidak putus hanya pada Yesus, (para murid Yesus) atau Muhammad saja. Hanya saja, kelanjutan penurunan wahyu itu sudah bisa diduga diklaim oleh pihak penerima wahyu terakhir. Dalam Mormon, presiden Gereja yang sekarang misalnya, Spencer W. Kimball, juga dipercayai sebagai "seorang nabi modern sama seperti para nabi pada zaman kuno". Bedanya dengan kenabian Joseph Smith sang penegak ini diberi mu'jizat berujud Kitab Mormon--yang bersama dengan Bibel, dan dua karangan Smith sendiri yakni Ajaran dan Perjanjian serta Mutiara yang sangat Berharga, menjadi sendi Mormonisme.

Adakah orang Mormon menganggap Bibel tidak cukup, maka diperlukan kitab tambahan? "Para Orang Suci zaman Akhir menyadari," kata Hinckley, "bahwa kekeliruan telah menyusup ke dalam karya suci ini Bibel red) disebabkan caranya kitab ini sampai kepada kita. Lagi pula mereka menganggapnya tidak lengkap sebagai petunjuk." Dan dengan menggunakan wahyu Smith itu, Mormon berketetapan untuk mengujudkan kehidupan Kristen "sesuai dengan aslinya". Hal pertama yang bikin keki Joseph Smith rupanya soal keaslian sistim kependetaan. Karena itu ia dengan sadar menghapuskan klas rohaniwan ini dengan jalan menjadikan pelayanan gereja sebagai jabatan sewaktu-waktu yang bisa dimasuki setiap orang sejak usia 12 tahun--baik sebagai pelayan sakramen sebagai imam, sebagai Juru Da'wah dan hahkan presiden kelompok -- hanya untuk jangka tertentu, kemudian kembali ke keaktifan biasa.

Semua orang dipanggil untuk pernah mengalami kehidupan kegerejaan--tanpa gaji atau tunjangan apapun, kecuali tenaga-tenaga tertentu pada pimpinan pusat plus para presiden jemaat (yang biasa mengasuh antara 250 sampai ribuan orang). Sifat kebersamaan dan keakraban mengikat umatnya sampai ke satuan-satuan paling kecil dalam peribadatan maupun usaha kesejahteraan. Bahkan pada mulanya terdapat pemilikan harta bersama--yang kemudian dilonggarkan hanya tinggal pada zakat, yang seperti tertulis dalam Perjanjian Lama berjumlah 10% dari penghasilan (bandingkan dengan zakat orang Islam: 2'% dari barta berlebih). Inilah yang digunakan bagi kepentingan Gereja dan da'wah--dan bukan bagi orang miskin Sebab untuk yang terakhir ini ada pula aturan lain lagi.

Juga dengan tujuan menetapi Bibel pula mereka mempraktekkan poligami bukankah para nabi zaman kuno (kecuali Yesus, tentunya) rata-rata tak terbatas jumlah isterinya? Joseph Smith sendiri diketahui bergaul dengan tak kurang dari 50 orang isteri -- meski yang diumumkan hanyalah isterinya pertama, Emma Hale Smith. Memang soal poligami tak ada didoktrinkan secara jelas, juga tidak dalam kitab Mormon. Namun di tahun 1852 Brigham Young, pengganti mendiang Smith, menetapkan praktek tersebut atas nama wahyu sang nabi.

Di pihak lain, putera Joseph Smith yang juga diberi nama persis ayahnya (dia ini memimpin gereja pecahan yang minoritas bersama ibunya) berjuang selama hidupna untuk membuktikan: bahwa ayahnya tak pernah mempraktekkan poligami. Tetapi Joseph Fielding Smith, kemenakan sang nabi yang menjadi presiden ke-6, diketahui mempunyai enam orang isteri--meskipun akhirnya setuju untuk menceraikan yang lima, setelah Gerejanya mau menaati ketetapan Mahkamah Agung berdasar rekomendasi Senat yang melarang poligami, di tahun 1890.

Tapi sesudah itu toh beberapa kelompok umat di Arizona misalnya tetap melaksanakannya. Mormon, yang jumlah pemeluknya seluruh dunia kira-kira 4 juta adalah aliran yang kenyataannya banyak dimusuhi Dari beberapa hal fundamental yang menjadi sasaran kritik sekte-sekte lain, yang terpenting tuduhan politheisme. Bukan hanya karena dalam karya-karya Smith (konon terjemahan dari lembar-lembar kuno) ada disebut berbagai macam tuhan. Atau bahwa bintang-bintang di langit hakikatnya dihuni oleh kekuatan atau roh. Tetapi juga tafsiran terhadap Trinitas--yang oleh mereka tak difahami sebagai 'satu pribadi tiga oknum', melainkan benar-benar tiga pribadi yang berbeda.

Di segi lain, ketuhanan juga merupakan satu pencapaian dari evolusi spiritual manusia--seperti yang bisa dituju oleh seorang Mormon. Millennialistis Orang Mormon sebaliknya menjawab: justru keimanan mereka itu mudah dan langsung. Mereka misalnya tak mempercayai takdir. Manusia bertanggungjawab hanya terhadap perbuatan sendiri. Arti penebusan Kristus bukan pula pembebasan manusia dari dosa asal -- yang tidak mereka akui. Melainkan dari dosa-dosa aktuil mereka sendiri. Juga mereka tidak percaya kepada "surga dan neraka yang statis".

Seperti kalangan Ahmadiyah, surga bagi mereka adalah anugerah kelanjutan dari kemajuan rohani yang terus-menerus sejak di dunia ini. Tetapi yang lebih mendekatkan mereka dalam perbandingan dengan Ahmadiyah sesudah soal kebangkitan nabi di belakang nabi yang jadi sumber ajaran, ialah semangat millennialistis: keyakinan akan masa kejayaan yang telah dinubuatkan dan ditunggu-tunggu, yang berhubungan dengan kedatangan seorang messiah alias almasih. Betapapun juga bagi para pemeluk, setidak-tidaknya orang Indonesia pribumi, berbagai akidah di atas agaknya tak lebih penting daripada kenyataan akan Gereja Mormon yang memang dinilai rapi, sangat memperhatikan kesejahteraan dan terutama kehidupan keluarga optimistis dan modern--meskipun kenyataannya tidak begitu cepat berkembang. Hari kedua konperensi di Hotel Mandarin itu diisi dengan perbincangan soal da'wah--scmentara hari pertama dipergunakan hampir melulu untuk berbagai ceramah. Dalam 10 tahun, aliran ini mempunyai 10 cabang di delapan kota, dengan 75 orang tenaga misionaris plus 10 tenaga kesejahteraan pemeluk. Tetapi berapa jumlah semua pengikutnya di sini? 1795 orang.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1979/10/27/AG/mbm.19791027.AG55408.id.html (Accessed on 6/23/2011)

Hukum, Fatwa, dan Ahmadiyah

Tempo, 21 April 2008

Ulil Abshar Abdalla
Mahasiswa PhD Universitas Harvard dan peneliti di Freedom Institute Jakarta

Fatwa harus secara tegas dibedakan dengan hukum. Keduanya tak boleh dicampuradukkan. Fatwa adalah pendapat hukum yang dikeluarkan oleh ulama atau sarjana yang mempunyai keahlian dalam hukum Islam. Orang yang mengeluarkan fatwa disebut mufti. Fatwa sama sekali tak mengikat. Kedudukannya persis seperti pendapat medis yang dikeluarkan dokter. Seorang pasien biasa mencari pendapat kedua dan seterusnya sebagai perbandingan. Begitu pula dalam fatwa: seseorang yang tak puas dengan fatwa A bisa mencari ulama lain untuk memperoleh fatwa B.

Dalam Islam, ada semacam "pasar bebas fatwa" yang memperlihatkan betapa cairnya diskursus agama, tidak seperti dibayangkan oleh kalangan fundamentalis dan konservatif yang cenderung ingin "membekukan" situasi yang cair itu. Setiap orang bebas memberikan vote of confidence kepada fatwa tertentu atau mencabutnya. Fatwa yang mendapat dukungan luas akan menjadi semacam standar normatif. Fatwa yang tak laku di pasaran akan gugur dengan sendirinya.

Tapi, pada akhirnya, tak ada sebuah fatwa yang benar-benar diikuti oleh semua penganut Islam. Tidak seperti agama Katolik, Islam sama sekali tak mengenal otoritas puncak yang memegang hak tunggal untuk memberikan kata putus. Dalam Islam, klerikalisme sama sekali tak dikenal. Struktur sosial Islam lebih mirip agama Protestan yang bersifat "poliarkis", yang kekuasaannya tersebar ke segala penjuru. Dalam Islam tak ada "paus" atau "Vatikan". Sebuah fatwa bisa saja dibantah oleh fatwa lain. Dalam hukum Islam, sejumlah pendapat hukum (baca: fatwa) tidak bisa saling membatalkan (al-ijtih�d la yunqadlu bi al-ijtih�d). Fatwa ulama A hanyalah salah satu di antara lusinan fatwa yang lain; masing-masing berhak ada dan tak bisa saling membatalkan. Perkara umat percaya pada salah satu fatwa, itu urusan lain.

Hukum sama sekali berbeda watak: ia bersifat mengikat dan universal, dalam pengertian berlaku untuk semua warga negara dalam batas-batas geografi tertentu. Hukum muncul ke permukaan melalui proses "penetapan politik" (enactment) dalam parlemen. Ia kurang-lebih mencerminkan konsensus normatif yang berlaku dalam masyarakat. Karena ia berlaku universal, hukum tidak mengenal batas-batas sektarian. Hukum selayaknya berlaku untuk semua pemeluk agama.

Tentu hukum tidak lahir dalam ruang sosial yang kosong. Hukum bisa saja diilhami oleh norma yang berlaku dalam masyarakat. Jika sebuah fatwa bisa dianggap sebagai cerminan dari aspirasi normatif yang berlaku dalam masyarakat, ia bisa saja mengilhami rumusan sebuah hukum. Tapi batas antara fatwa dan hukum tetap tak bisa dikaburkan. Fatwa adalah urusan rumah tangga suatu komunitas agama tertentu. Ia ibarat kepompong yang sangat terbatas. Jika fatwa hendak melampaui kepompongnya sendiri dan ingin menjadi hukum yang berlaku universal, ia harus menjalani uji publik serta harus pula melampaui proses penting, yakni penetapan politik lewat parlemen. Hanya gara-gara didukung oleh ayat suci, fatwa tidak bisa meminta "jatah gratis" menjadi hukum.

Karena itu, fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang sesatnya sekte Ahmadiyah adalah urusan rumah tangga umat Islam sendiri. Negara sama sekali tak diikat oleh hukum itu. Tugas pemerintah bukan ikut-ikutan menyokong pendapat kelompok itu untuk memberangus keberadaan kelompok lain. Dalam silang-sengketa doktrinal yang biasa terjadi dalam sebuah agama, pemerintah tak boleh menjadi partisan. Tugas pemerintah adalah seperti "polisi lalu lintas" yang menjaga agar semua anggota masyarakat menikmati kebebasan melaksanakan keyakinan mereka masing-masing. Syukur-syukur negara bisa bertindak lebih jauh lagi, yakni mendorong dialog antarsekte atau antaragama. Kalaupun tak sanggup mencapai tahap ini, pemerintah cukup melakukan pekerjaan yang minimal saja: menjaga kebebasan berkeyakinan semua kelompok tanpa pandang bulu.

Ini semua adalah kebenaran sederhana yang semestinya diketahui oleh semua pihak. Tapi arus konservatisme yang sekarang meruyak dalam tubuh umat Islam tampaknya membuat banyak orang mengalami miopia atau kekaburan pandangan. Ada pihak yang mengatakan bahwa Ahmadiyah tidak bisa ditoleransi, karena mereka mengaku Islam, tapi tidak mengikuti doktrin standar dalam agama itu. Hanya ada dua jalan: kembali ke "jalan yang benar" atau keluar dari Islam sama sekali.

Pandangan ini memiliki kelemahan mendasar. Pertama, sesat-tidaknya sebuah sekte biasanya bersifat relatif; tentu sekte tertentu sesat dalam pandangan sekte lain. Setiap tindakan menyesatkan biasanya mengandung elemen politis, yakni kehendak sekte tertentu untuk menggusur pengaruh sekte lain yang dianggap pesaing.

Kedua, kalaupun sekte tertentu dianggap sesat dalam sebuah agama, ia bisa saja kehilangan "ruang hidup" sebagai warga agama melalui proses ekskomunikasi, misalnya. Tapi ia tak kehilangan ruang hidup sama sekali sebuah warga negara. Hukum melindungi ruang hidup untuk semua warga negara tanpa melihat ikatan sektarian. Karena itu, kebebasan beragama dan keyakinan berlaku tanpa pandang bulu. Fatwa penyesatan hanya sebatas menutup ruang hidup warga agama, tapi bukan warga negara. Lagi pula fatwa itu bisa dibantah dengan fatwa lain. Sekali lagi, fatwa dan hukum harus dipisahkan.

Jika negara diperbolehkan menentukan mana kepercayaan yang lurus dan mana yang bengkok, di sini kita membiarkan pengaburan batas antara fatwa dan hukum. Tugas negara adalah menegakkan hukum yang berlaku untuk semua golongan, bukan fatwa yang sifatnya partikular. Negara yang menjadi alat sekte tertentu untuk mengadili iman sekte lain adalah negara abad pertengahan yang tak layak lagi dipertahankan saat ini. Tampaknya, sejumlah kelompok dalam Islam mencoba menggiring negara ke arah yang sama sekali berbahaya ini.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/04/21/KL/mbm.20080421.KL126933.id.html (Accessed on 6/23/2011)

Anggapan Kafir


MENARIK perbandingan Mormon sebagai "Ahmadiyah Kristen" sih boleh saja. Tapi yang orang harapkan dari TEMPO tidak hanya sekedar itu. Ambil contoh konsepsi/persepsi tentang wahyu. Dalam omong-omong santai di rumahnya awal 60-an, bapak sosiologi Indonesia Prof. Djojodiguno berkisah: dia dan istri melihat wahyu keraton berupa bola emas turun ke rumah Bung Karno pada awal revolusi. Pertanda BK pemimpin yang dibenum Tuhan . . . Kalau orang Jawa memateri-kan wahyu berupa bola emas, Mormon me-materi-kannya dengan ujud lempeng emas. Dari segi ini judul artikel TEMPO harusnya bukan Mormon Ahmadiyah Kristen, tetapi Mormon Kejawen Amerika.

Tentang kesinambungan wahyu, betapa prinsipilnya perbedaan Ahmadiyah dengan Mormon. Dalam kata kesinambungan tersiat pengertian jalur dan validitas. Nabi Yunus, adalah nabi sederhana yang diakui ketiga ummat Yahudi, Kristen dan Islam. Dalam tesis Hazrat Ahmad, Yunus dan Isa a.s. adalah bintang dan bulan dalam sun system-nya Musa Israili -- sebagaimana beliau sendiri Mirza Ghulam Ahmad red) adalah bulan, yang hanya menerima sinar dari matahari dalam tata surya kerajaan rohani Muhammadi.

Mengenai kedatangan nabi sesudah Muhammad, saya tidak sependapat kalau dikatakan sebagai khas Ahmadiyah. Ketika masa kecil saya di kampung, kedatangan Imam Mahdi dan Isa merupakan buah bibir orang tua-tua. Munculnya gejala alam sedikit aneh seperti bintang kemukus tentu dikaitkan dengan kedatangan tokoh itu. Menurut Ensiklopedia Indonesia, kepercayaan itu merupakan eschatologi ummat Islam. Tanyakan pada NU, karena merupakan keputusan Muktamar tahun 30-an. Disebut dalam kl. 250 buah hadis. Dalam Al-Qur'an? Ya mungkin di sinilah persoalannya: Karib saya, seorang kolumnis, menyatakan tidak terdapat ayat yang tegas mengatakan akan ada nabi sesudah Muhammad. Amboi. Ambillah kalimat pendek pertama dalam surat paling pendek: al Kautsar. "Telah kami beri engkau harta yang melimpah." Bukankah Al-Qur'an, kata Nabi, punya tujuh lapis pengertian zahir, tujuh lapis batin? Kesinambungan wahyu-yang-tidak-syariat, yang tidak membawa agama baru, adalah jalan berfikirnya Al-Qur'an, Rasulullah dan para sahabat.

Telah lahir puluhan bulan dan gemintang dalam tata surya Musa Israeli. Akankah matahari Muhammad sepi sendiri? J.H. LAMARDY Cilandak XII/34, Kebayoran. Konon golongan Islam Jamaah beranggapan, orang yang tidak masuk golongannya adalah kafir. Saya sendiri pernah mendengar pidato seorang muballigh di podium terbuka, yang menyatakan barang siapa percaya bahwa setelah Nabi Muhammad s.a.w. masih ada nabi lagi, orang itu kafir. Orang yang dimaksud Muballigh kita itu pasti saja orang Ahmadiyah (Qadian). Kemudian menurut buku Qadianism, A Critical Study tulisan S. Abul Hasan Ali Nadwi, 1975, sebagai telah dikutip Tuan Chcfik Chehab (TEMPO, 10 November, Komentar), Mirza Ghulam Ahmad dan puteranya, Basyiruddin Mahmud, yang kemudian menjadi Khalifah Jemaat Ahmadiyah II, berkata bahwa barang siapa tidak percaya kepada da'wah Mirza Ghulam Ahmad (sebagai Nabi Isa dan Mahdi yang dijanjikan oleh Nabi Muhammad s.a.w.), orang itu bukan Islam --atau keluar dari Islam.

Saya baca buku A Short Sketch Of Ahmadiyya Movement in Islam susunan M. Th. Houtsma, orientalis Prancis (pertama kali terbit dalam Review af Religions tahun 1907. Tertulis dalam halaman 2 baris-baris terakhir dan halaman 3: "In 1891, Ahmad declared that the Muslims were in error in believing Jesus Christ to be alive, that he was dead, and that Almighty God had raised him (Ahmad) in the spirit and power of Jesus Christ, in accordance with the promise contained in prophecies speaking of the advent of Messiah in the last ages. " Klaimnya yang demikian itu menimbulkan reaksi dan oposisi yang keras di kalangan para ulama. Sehingga "Maulvi Mohammad Husein, the admirer of former days, stirred up the whole country from one end to the other with fatwa of heresy against him. The praparation of the fatwa cost the Maulvi immense pains for he had to travel from place to place to obtain the signatures of the leading Mullas and Maulvies of the country. The Verdict returned was one of archheresy and the exasperated Mullas gave vent to their bitter feelings against the claimant in the nar. sbest words and Jronoun(fd almost hntish judgments. They enjoined the Muslim public to refrain from having any connection with any member of the new movement. Marriage relations with them were utterly forbidden Muslim grave-yards were pronounced to be too sacred for them places of public-worship were declared closed for them and their persecution was announced to be a meritorious deed."

Bahkan beberapa Mullah went farther still and declared that the founder and the members of the movement could be murdered with impunity their murder being a deed of great merit and their properties could be taken away by all unlawful means." Fatwa Maulvi Mohammad Husein yang didukung para ulama (mullah dan maulwi) itu, kalau kita simak dengan cermat, bukan hanya sekedar memberi cap 'kafir' melainkan sungguh menyeramkan. Kenyataannya, sekarang, anggota golongan ini dilarang menunaikan ibadat haji ke Makkah oleh Pemerintah Saudi Arabia tentunya juga karena fatwa para ulama bahwa mereka "kafir" dan "bukan Islam". Kemudian dari cerita-cerita orang-orang tua, saya dapat tahu bahwa para pengikut Imam Muhammad bin Abdul Wahab (Kaum Wahabi) dulu juga dikafirkan oleh ulama-ulama aliran lain. Kaum Wahabi dilarang menunaikan ibadat haji ke Makkah. Bahkan menurut Shorter Encyclopedia of Islam halaman 621, Sayyid Ahmad Barelwi, tokoh Wahabi dari benua India, diusir dari Makkah tatkala menunaikan ibadat haji tahun 1822-1823. Dengan demikian, jelas bahwa kalau kita perturutkan fatwa para ulama, maka sudah tidak ada orang Islam lagi (?) Akan halnya apa yang disebut "bahan pikiran baru" buat Kejagung oleh Tuan Chefik Chehab itu, itu sesuatu yang cukup halus -- tentu dipahami oleh Sdr. Mahar Effendi. Tetapi saya kira, kalau dasarnya cuma apa yang disuratkan oleh Tuan Chefik Chehab, KEJAGUNG tentunya akan terlebih dahulu memperhatikan kenyataan sejarah yang telah saya tuliskan itu.

SUPARNO HASANMIHARJO Jl. Paledang 108, Karawang.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1979/12/15/KL/mbm.19791215.KL56645.id.html (Accessed on 6/23/2011)

Nabi Palsu, Sikap Nabi, dan Ahmadiyah)*

Rabu, 16 Februari 2011 | 07:12 WIB

TEMPO Interaktif, Pada tahun kesepuluh Hijriah, Nabi Muhammad SAW menerima surat dari seseorang yang mengaku jadi nabi. Namanya Musailamah bin Habib, petinggi Bani Hanifah, salah satu suku Arab yang menguasai hampir seluruh kawasan Yamamah (sekarang sekitar Al-Riyad). Dalam suratnya, Musailamah berujar: “Dari Musailamah, utusan Allah, untuk Muhammad, utusan Allah. Saya adalah partner Anda dalam kenabian. Separuh bumi semestinya menjadi wilayah kekuasaanku, dan separuhnya yang lain kekuasaanmu….”

Seperti dituturkan ahli tafsir dan sejarawan muslim terkemuka pada abad ketiga Hijriah, Imam Ibn Jarir Al-Tabari (838-923), dalam kitabnya Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah Para Rasul dan Raja) atau yang dikenal sebagai Tarikh al-Tabari, Musailamah bukanlah sosok yang sepenuhnya asing bagi Nabi. Beberapa bulan sebelum berkirim surat, Musailamah ikut dalam delegasi dari Yamamah yang menemui beliau di Madinah dan bersaksi atas kerasulannya. Delegasi inilah yang kemudian membawa Islam ke wilayah asal mereka dan membangun masjid di sana.

Menerima surat dari Musailamah yang mengaku nabi, Rasul tidak lantas memaksanya menyatakan diri keluar dari Islam dan mendirikan agama baru, apalagi memeranginya. Padahal gampang saja kalau beliau mau, karena saat itu kekuatan kaum muslim di Madinah nyaris tak tertandingi. Mekah saja, yang tadinya menjadi markas para musuh bebuyutan Nabi, jatuh ke pelukan Islam. Yang dilakukan Rasul hanyalah mengirim surat balasan ke Musailamah: “Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah dan Pengasih. Dari Muhammad, utusan Allah, ke Musailamah sang pendusta (al-kazzab). Bumi seluruhnya milik Allah. Allah menganugerahkannya kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Keselamatan hanyalah bagi mereka yang berada di jalan yang lurus.” Rasul menempuh dakwah dengan cara persuasi dan bukan cara kekerasan. Musailamah memang dikutuk sebagai al-Kazzab, tapi keberadaannya tidak dimusnahkan.

Namun, setelah Nabi wafat, ceritanya jadi lain. Umat Islam yang masih shocked karena ditinggal pemimpinnya berada dalam ancaman disintegrasi. Sejumlah suku Arab menyatakan memisahkan diri dari komunitas Islam di bawah pimpinan khalifah pertama, Abu Bakr al-Shiddiq. Sebagian dari mereka mengangkat nabi baru sebagai pemimpin untuk kelompok mereka sendiri. Musailamah dan sejumlah nabi palsu lain, seperti Al-Aswad dari Yaman dan Tulaikhah bin Khuwailid dari Bani As’ad, menyatakan menolak membayar zakat, suatu tindakan yang pada masa itu melambangkan pembangkangan terhadap pemerintah pusat di Madinah. Abu Bakr lalu melancarkan ekspedisi militer untuk menumpas gerakan pemurtadan oleh para nabi palsu tersebut, yang menurut dia telah merongrong kedaulatan khalifah dan membahayakan kesatuan umat. Perang Abu Bakr ini dikenal sebagai “perang melawan kemurtadan (hurub al-ridda).”

Tampaknya, “perang melawan kemurtadan” inilah yang diadopsi begitu saja oleh para pelaku kekerasan terhadap Ahmadiyah tanpa disertai pemahaman yang mumpuni terhadap duduk perkaranya. Penyerangan brutal di Banten minggu lalu, yang menewaskan tiga warga Ahmadiyah, secara luas memang telah dikecam bahkan oleh banyak kalangan muslim sendiri, entah dengan alasan menodai citra Islam yang damai, merusak kerukunan beragama, atau melanggar hak asasi kaum minoritas. Tapi bagi para pelaku penyerangan dan yang membenarkannya, seperti FPI, apa yang mereka lakukan semata-mata demi membela Islam dari noda pemurtadan. Jemaah Ahmadiyah dianggap telah murtad karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, dan karena itu mesti dikeluarkan secara paksa dari Islam.

Ironisnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Menteri Agama, dan pihak-pihak yang mengaku tidak menyetujui anarkisme terhadap Ahmadiyah, yang terus memaksa agar Ahmadiyah menjadi agama baru di luar Islam, sebenarnya juga memakai pendekatan “perang melawan kemurtadan” secara gegabah. Dalam hal ini, perbedaan MUI dan Menteri Agama dengan kaum penyerang Ahmadiyah hanya terletak dalam hal metode, tapi tidak dalam tujuan. Saya sebut ironis karena majelis ulama, yang berlabel “Indonesia” di belakang, ternyata merubuhkan prinsip kebinekaan Indonesia. Ironis karena seorang menteri yang merupakan hasil pemilu demokratis ternyata mempunyai pandangan yang melenceng dari konstitusi demokratis yang menjamin hak setiap warga menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya. Yang paling ironis, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membiarkan saja semua itu terjadi.

Lepas dari itu, kalau kita tinjau dari sudut doktrin dan sejarah Islam pun, pemakaian kerangka “perang melawan pemurtadan” untuk menyikapi Ahmadiyah sejatinya sama sekali tak berdasar. Patut diingat, sebutan “perang melawan kemurtadan” bukanlah kreasi Abu Bakr sendiri, melainkan penamaan belakangan dari para sejarawan muslim. Disebut demikian barangkali karena yang diperangi saat itu memang arus pemurtadan yang terkait dengan munculnya sejumlah nabi palsu. Dan gerakan nabi palsu pada masa itu berjalin berkelindan dengan upaya menggembosi kedaulatan kekhalifahan. Penolakan membayar zakat bukan hanya pelanggaran terhadap rukun Islam, tapi juga sebentuk aksi makar. Ini karena, berbeda dengan ibadah salat yang hanya melulu menyangkut hubungan hamba dan Tuhannya, urusan zakat berkaitan dengan negara. Tambahan pula, para nabi palsu tersebut juga membangun kekuatan militernya sendiri. Musailamah, misalnya, menggalang tidak kurang dari 40 ribu anggota pasukan untuk melawan pasukan muslim dalam perang Yamamah, sampai-sampai armada muslim di bawah Khalid bin Walid sempat kewalahan pada awalnya. Karena itu, perang Abu Bakr melawan kemurtadan mesti dibaca sebagai sebuah tindakan yang lebih bersifat politis ketimbang teologis, yakni berhubungan dengan penumpasan terhadap kelompok pemberontak.

Karena itu, “perang melawan kemurtadan” versi khalifah Abu Bakr tidak bisa begitu saja diterapkan dalam konteks Indonesia sekarang. Taruhlah memang jemaah Ahmadiyah telah murtad karena mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Tapi bukankah sejauh ini mereka belum pernah membangun kekuatan militer untuk merongrong umat Islam dan pemerintahan yang sah seperti Musailamah pada masa khalifah Abu Bakr? Bukankah sejauh ini warga Ahmadiyah hanya menuntut untuk diberi ruang menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya? Kalau memang begitu, apakah tidak keliru kalau mereka diperlakukan seperti para pemberontak?

Ditinjau dari perspektif kaidah fiqh “hukum berporos pada alasan”, gerakan pemurtadan oleh para nabi palsu pada masa Abu Bakr memang wajib diperangi, karena saat itu kemurtadan identik dengan pemberontakan yang mengancam kedaulatan khalifah dan integrasi umat. Adapun kalau sekadar murtad saja tanpa dibarengi pemberontakan, hukum yang berlaku tentu tidak sama. Pada titik inilah kita bisa mengacu pada peristiwa korespondensi antara Nabi Muhammad dan Musailamah seperti saya paparkan di awal tulisan.

Di sinilah pemahaman tentang metodologi hukum Islam mutlak diperlukan dalam melihat pokok soalnya. Tanpa pengetahuan yang mumpuni tentang metodologi hukum Islam, keputusan yang muncul dan tindakan yang diambil mungkin saja tampak sesuai dengan ajaran syariat, tapi bisa jadi esensinya bertentangan dengan maqashid al- syari’ah (tujuan-tujuan syariat) yang lebih bersifat universal, seperti perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia.

Lagi pula, satu-satunya dalil Al-Quran tentang kemurtadan sama sekali tidak menyeru kaum muslim untuk memerangi kaum murtad semata-mata karena kemurtadannya. Simaklah Surat Ali Imran ayat 90. Ayat ini tidak menyinggung soal perlunya menggunakan cara-cara kekerasan dan paksaan terhadap si murtad, karena Tuhanlah yang akan menjadi hakim atas perbuatannya di akhirat nanti.

Dalam kerangka Qurani semacam inilah kita bisa mengerti kenapa Nabi tidak menghukum Musailamah, yang tanpa tedeng aling-aling mengaku sebagai nabi. Bukan karena beliau mendiamkannya--toh Nabi melabelinya dengan gelar “Al-Kazzab”. Menurut saya, nabi bersikap seperti itu karena, dalam Al-Quran, hukuman terhadap si murtad memang sepenuhnya menjadi hak prerogatif Allah SWT. Nabi Muhammad hanyalah seorang manusia biasa yang bertugas menyampaikan risalah Ilahi. Beliau bukan Tuhan yang turun ke bumi. Itulah sebabnya Al-Quran menegaskan tidak ada paksaan dalam agama.

Kalau Nabi saja demikian sikapnya, alangkah lancangnya Front Pembela Islam (FPI), MUI, dan Menteri Agama yang merasa punya hak untuk mengambil alih wewenang Tuhan untuk mendaulat diri mereka sebagai hakim atas orang-orang yang dianggap murtad seperti terlihat dalam sikap mereka terhadap jemaah Ahmadiyah. Di sinilah saya kira umat Islam mesti memilih dalam bersikap, mau mengikuti cara-cara FPI, MUI, dan Menteri Agama, atau meneladan sikap Rasulullah.

*) Akhmad Sahal, Kader NU, kandidat PhD Universitas Pennsylvania

http://www.tempointeraktif.com/hg/kolom/2011/02/16/kol,20110216-324,id.html (Accessed on 6/23/2011)