Friday, September 23, 2011

Anak Ahmadiyah di Pengungsian Transito

Peace Dika (Foto: Yohana Purba)

Peace Dika (Foto: Yohana Purba)

KBR68H, Wednesday, 06 April 2011 09:59 Yohana Purba

KBR68H, Lombok - Belasan anak lahir di Asrama Transito, sejak orangtua mereka dipaksa mengungsi ke sana. Karena mereka Ahmadiyah. Pada 2007 lalu KBR68H mengangkat cerita soal Transita dan Transiti yang lahir di Transito. Bagaimana kabar mereka sekarang? Bagaimana pula orangtua lain mengasuh anak-anak mereka di tempat pengungsian dengan fasilitas yang serba terbatas? Reporter KBR68H Johana Purba mencari lagi kedua bocah ini, juga berbincang dengan anak-anak lainnya.

Munikah tengah menimang bayinya yang gelisah karena cuaca begitu panas. Sesekali bayi digendongannya itu menangis. Perempuan berkerudung biru itu adalah salah satu penghuni Asrama Transito di Mataram, NTB.

Di samping Munikah, Transita Sinta Nuriyah tampak tenang. Balita 3 tahun itu sibuk bermain dengan kertas gambarnya. Sinta yang kurus dan berkulit hitam ini jarang tersenyum meski sudah diberikan sebatang cokelat. Kata Munikah, Sinta memang bukan anak yang periang.

“Kebetulah dia lahir di dalam Transito, di ruangan Transito, makanya dia kasih nama Transita. Trus itu bertepatan dia lahir di dalam Transito, kebetulan Ibu Gus Dur datang ke sini, waktu puasa mungkin, sudah datang Ibu Gus Dur. Terus pas lahir dia lahir dua hari setelah Lebaran. Makanya itu dia dikasih nama panjang sekali”, kata Munikah mengawali ceritanya.

Munikah beserta suami dan tiga anaknya tinggal di bilik bagian depan asrama seluas lapangan bola ini. Transita alias Sinta, lahir tiga tahun lalu di sini. Asrama Transito sejak 2006 menjadi rumah bagi 30-an keluarga Jemaat Ahmadiyah yang terusir dari kampung mereka di Desa Ketapang.

Hidup Serba Pas-pasan

Cat warna krem di asrama ini sudah tampak kusam. Setiap keluarga menempati bilik, yang dibatasi kain, tripleks atau karton. Dalam setiap bilik ada dipan, meja, lemari, layaknya rumah mini. Penerangan hanya berasal dari cahaya alami lewat jendela, atau lampu pijar ukuran 5 watt. Listrik hanya menyala di malam hari. Seluruh penghuni asrama harus berbagi kamar mandi yang terletak di belakang asrama. Tanpa lampu.

Ahmadi kecil disela kaki ibundanya (Foto: Yohana Purba)

Ahmadi kecil disela kaki ibundanya (Foto: Yohana Purba)

Teman sebaya Sinta, namanya Transiti Mariam Sidikah, disapa Dikah. Putri ketiga pasangan Sahidin dan Ida Masnah lahir di tahun yang sama, setahun sejak diusir dari kampung sendiri. Mereka adalah generasi pertama anak yang lahir di pengungsian.

Perawakan Dikah kecil dan kurus, dengan wajah nyaris tanpa ekspresi. Kata Sahidin, sulit membesarkan anak di asrama ini. Jangankan soal sandang, soal pangan dan gizi saja sulit dipenuhi Sahidin.

“Terus terang aja dia enggak pernah minum susu. Cuma itu, nasi saja. Tidak pernah seperti anak lain, minum susu, karena saya tidak mampu dari penghasilan ngojek untuk belikan susu. Jadi apa adanya aja”, kata Sahidin.

Padahal ketika masih tinggal di Desa Ketapang, Sahidin sanggup memenuhi kebutuhan anak-anaknya.

Munikah juga kesulitan membesarkan ketiga anaknya di Asrama Transito.

“Kita kalau ada rejeki kita bagi bagi sama-sama. Kita kasih tahu enggak boleh bertengkar. Apalagi yang kecil ini suka berantem aja sama adiknya. Namanya masih anak anak. Kita maklumi aja, kan tempatnya begini, masa ribut sama anak sendiri. Gak minum susu, cuman ASI saja dulu, tapi sudah satu tahun saya hamil lagi, dia brenti minum ASI. Cuman saya beliin susu SGM dua kotak saja. Brenti, gak mampu saya beli susu. Adiknya juga gak minum susu. Kalau sekarang sudah bisa makan nasi, ya makan nasi saja”, lanjut Munikah.

Penghasilan suami Munikah sebagai tukang pangkas rambut tak memadai. Seharian bekerja, kadang hanya dapat uang 50 ribu rupiah. Itu pun kalau banyak pelanggan. Padahal ada lima mulut yang harus diberi makan.

Mayoritas pengungsi Ahmadiyah di Asrama Transito bekerja serabutan. Semula mereka berdagang atau bertani di kampung asal, tapi kini harus menjadi kuli atau tukang ojek. Belum lagi mereka harus kehilangan harta benda, setelah pembakaran rumah mereka di Ketapang, pada 2006 silam.

Ingin Kembali Ke Kampung

Munikah bercerita, bukan sekali ini ia dipaksa jadi pengungsi hanya karena ia Ahmadiyah.

“Kalau saya sudah berapa kali buat rumah. Pertama di Sambil Elen, di Lombok Timur, Sumbawa, kena juga di sana. Terus balik ngontrak di BTN Swite. Sudah ngontrak ada anggota yang beli rumah di Ketapang, bangun rumah di sana, sekadar rumah bedeng. Lalu kejadian. Nah Desember kemarin saya buat rumah lagi, saya bawa Sinta dan Azis ini masih kecil-kecil”, kata Munikah.

Masita dan anaknya Hazain (Foto: Yohana Purba)

Masita dan anaknya Hazain (Foto: Yohana Purba)

Munikah mencoba membangun rumahnya kembali di Ketapang. Tapi dihancurkan lagi oleh para penyerang pada November tahun lalu.

Sahidin bercerita, Dikah anaknya kerap bertanya, kapan mereka bisa pulang ke rumah. Mereka beberapa kali kembali ke Ketapang menjenguk kondisi rumah.

“Kadang dia bertanya sama saya, ayah di mana sih rumah kita. Oh di Ketapang, ayok ke sana, dia bilang. Saya ajak dia ke Ketapang. Sampai dia ajak pulang kesana. Saya perbaiki rumah, perbaiki pintu, kan rumahnya sudah habis dirusak”, lanjut Sahidin.

Warga Ahmadiyah di pengungsian terus memelihara harapan mereka untuk pulang. Menjalani kehidupan normal, membesarkan anak sebaik mungkin.

Munikah menyimpan impian untuk berkumpul dengan anggota keluarganya yang terpecah, dalam rumah mungil mereka di Ketapang. Saat ini dua anaknya tinggal di tempat lain. Salah satunya Agus Zamroni yang dikirim untuk sekolah dan tinggal di Panti Asuhan Khasanah Al Kautsar, Tasikmalaya sejak tahun 2002 lalu.

“Kalau bisa kita sekolahin di sini, sama-sama kita ajak di sini. Kita kan belum tahu rencana belakangan. Kalau diijinin kita pulang (ke Ketapang-red)”, kata Munikah.

Kehidupan yang berat dan sulit bagi Jemaat Ahmadiyah di Asrama Transito ternyata bukan hambatan bagi anak-anak itu untuk berprestasi. Apa saja prestasi mereka?

Anak-Anak Transito Menimba Asa

Anak-anak ini terlihat menikmati hidup mereka di Asrama Transito. Kata Sera, kelas 3 SD, hidup memang serba kekurangan, tapi senang karena ada banyak teman.

Wajah secantik ini ditempat sekumuh ini (Foto: Yohana Purba)

Wajah secantik ini ditempat sekumuh ini (Foto: Yohana Purba)

“Enak tinggal disini, banyak teman, senang, enggak BT. Enggak kesepian juga”, kata Sera malu-malu.

Di Asrama Transito, Sera tinggal bersama ibu, paman, bibi dan kakeknya. Mereka beruntung karena bisa tinggal di sebuah kamar tersendiri, dekat mushola. Ibunya bekerja sebagai pedagang.

Tinggal serba kekurangan di sini tak membuat semangat belajar mereka pudar. Kebanyakan anak-anak di sana duduk di bangku SD.

Hibatul Nur alias Hibah termasuk anak yang berprestasi. Siswa kelas 6 SD ini selalu jadi juara kelas, juga juara umum di sekolah. Baginya, orangtuanya adalah pahlawan. Meski Sehabudin dan Sontah hanyalah buruh tani, mereka bekerja keras untuk menyekolahkan Nur dan dua saudaranya.

Nur tinggal di Asrama Transito bersama kakaknya, sementara orangtuanya tinggal di sebuah rumah, dekat Desa Ketapang, supaya dekat dengan sawah mereka. Hibah tahu persis mengapa ia harus tinggal di Transito.

”Orang-orang sering mengolok-ngolok. (Disebut) anak Ahmadiyah, (disebut) Al Qurannya lain, nabinya lain. Kamu orang kafir. (Tapi) dulu pas baru baru kelas satu (diolok) tetapi sekarang udah enggak ada lagi” ujar Nur.

Kata Nur, anak-anak berhenti mengolok-olok karena dia galak. Apalagi karena ia pintar, Hibah juga jadi kesayangan guru di sekolah. Kepala SD Negeri 42, Mataram, Muhidin menerangkan, dari awal masuk Nur memang sudah terlihat menonjol. Anaknya pendiam, tetapi sigap dalam menerima pelajaran.

Area dapur dan sumur yang kumuh (Foto: Yohana Purba)

“Hibahtul Nur memang andalan kita. Anaknya memang cerdas, teliti. Karena kita anggap mereka murid kita, jadi kita perlakukan sama dengan yang lain”, kata Muhidin.

Tinggal terpisah dari orang tua di penampungan yang tidak memadai, tidak lantas membuat Nur putus asa. Ada teman, saudara, guru yang selalu memberi dia semangat, katanya.

“Belajar sendiri kan orang tua di Ketapang. Di sini kan sama saudara aja. Gitu ya dulu terganggu belajarnya, waktu baru baru datang dari Ketapang. Kalau ada lampu belajar di ruangan, kalau enggak, ya di mushola”, lanjut Nur.

Nur kecil sudah punya rencana untuk hidupnya. Masuk ke SMP Favorit, lantas keluar dari Lombok, mencari tempat kuliah yang bergengsi. Melihat dunia luar, katanya.

“Kalau bisa sekolah yang tinggi ke tempat lain. Bisa keluar dari Lombok, yang (sekolah) lebih (tinggi) ilmunya”, lanjut Nur.

Sera kecil juga punya cita-cita setinggi langit. Jadi dokter.

“Ingin jadi dokter. Kalau ada Ahmadiyah yang sakit kita sembuhin, biar enggak perlu ke dokter susah-susah”, kata Sera tertawa.

Orang tua Ahmadiyah di Asrama Transito berusaha keras untuk menyediakan pendidikan yang layak bagi anak-anak mereka. Sahidin, ayah Transiti, berharap bisa menghantarkan keempat anaknya ke bangku sekolah.

“Mudah-mudahan ada rejeki untuk menyekolahkan anak anak saya, mudah mudahan kami cepat keluar dari transito dan punya rumah sendiri. kami jadi pengungsi ditanah kelahiran sudah enam tahun. Ya mudah mudahan anak saya tidak jadi anak dijalanan, itu yang saya doakan”, kata Sahidin.

Sementara Masita, ibu Transita, ingin anaknya jadi mubaligh atau guru agama. Agar bisa mengabdi bagi jamaah dan agamanya.

“Pasrah aja, soalnya mau kemana lagi. Pasrahkan sama Allah. Ya sekolah. mau satu itu aja, anaknya dua duanya jadi mubaligh”, kata Masita.

Demikian SAGA yang disusun Reporter KBR68H Johana Purba.

Retrieved from: http://www.kbr68h.com/saga/77-saga/4656-anak-ahmadiyah-di-pengungsian-transito

Thursday, September 22, 2011

Yang Terdampar di Transito

anbti.org, Fri, 03/25/2011 - 10:24

Senja memayungi langit Mataram. Di asrama Transito, Majeluk, sekitar 10 kilometer dari kota Mataram, suara riuh anak-anak yang bermain di halaman sudah tak terdengar lagi. Tinggal lantunan azan magrib yang menutup sore itu, 15 Februari 2011 lalu.

Penghuni asrama bergegas menunaikan salat magrib. Satu per satu mereka mendatangi ruangan di depan kamar mandi salah satu barak asrama. Di ruangan itu, sejak 2005 lalu, 33 keluarga Ahmadiyah biasa menunaikan salat berjamaah. Tak hanya orang dewasa. Anak-anak pun terbiasa salat bersama di ruangan seluas ruangan kelas.

Magrib itu, tubuh kurus Hibatunur tampak menyempil di deretan paling belakang bersama ibu-ibu dan anak-anak lainnya. Gerakan imam dia ikuti dengan tertib. Begitu imam mengucapkan salam, Hiba, panggilan murid kelas enam sekolah dasar itu, tak langsung bangkit. Duduk bersimpuh, bocah berperawakan kurus itu menyempatkan diri memanjatkan doa.

“Saat kejadian itu saya lari ke sawah depan rumah, lihat orang teriak-teriak membawa jerigen dan batu,“ kata Hiba memulai pembicaraan selepas magrib itu. “Takut lihat banyak orang datang, saya diam lama di sawah depan rumah.”

Hiba mengisahkan petaka yang terjadi pada 26 Desember 2010. Malam itu, rumah keluarga dia di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, kembali menjadi sasaran amuk masa anti Ahmadiyah. Tembok belakang rumah jebol, kaca jendela pecah, pintu rumah hancur berkeping-keping. Peralatan sekolah dan buku milik bocah itu pun tak luput dari keberingasan massa.

Sebelum penyerangan itu, Hiba mendengar suara lantang seorang ustad di masjid kampung Ketapang. Ceramah dengan pengeras suara sang ustad isinya melulu hujatan terhadap Ahmadiyah. Tak lama setelah ceramah itu, orang-orang mendatangi rumah anggota Ahmadiyah. “Mereka bilang Ahmadiyah kafir dan harus diusir,” Kata Hiba dengan mata menerawang jauh.

Serangan di pengujung tahun lalu itu merupakan peristiwa kedua yang membuat trauma bocah seusia Hiba. Sebelumnya, pada 2005, rumah Hiba di wilayah Lombok Barat nyaris rata dengan tanah, setelah diamuk warga anti Ahmadiyah. Setelah serangan pertama itulah, keluarga Hiba dan warga Amadiyah lainnya mengungsi ke Transito.

Dua tahun kemudian, harapan untuk bisa hidup normal sempat bersemi ketika keluarga Hiba membangun rumah baru di Ketapang. Tapi, mereka hanya menempati rumah selama dua tahunan. Serangan massa anti Ahmadiyah kembali meluluhlantakkan rumah yang dibangun dengan menjual harta warisan keluarga itu.

Setelah serangan kedua, Hiba kembali terdampar di Transito. Dia bersama dua orang kakaknya tinggal berdesakan dengan sepuluh keluarga Ahmadiyah di salah satu dari tiga barak di sana.

Tempat Hiba dan kedua kakaknya melepas penat hanya disekat dengan kain sarung dan bekas spanduk dari tempat keluarga lain. Di 'bilik sarung' Hiba, tempat tidur berebut tempat dengan sebuah kompor minyak tanah. Buku dan pakaian anak itu menumpuk begitu saja di atas tempat tidur. Tak ada lemari atau meja untuk menyimpannya.

“Pulang sekolah saya biasa masak sendiri. Kalau belum ada sayur, masak apa sajalah,” Kata Hiba sambil membuka wajan kecil di atas kompor itu. Malam itu Hiba lebih beruntung. Di wajan masih ada sisa sayur sawi hijau bercampur bakso. “Kadang kakak yang masak kalau nggak lagi ke sawah,” kata Hiba.

Di Transito, ada 20 anak Ahmadiyah yang masih duduk di bangku sekolah dasar seperti Hiba. Satu anak duduk di bangku sekolah menengah pertama Lima anak lainnya belajar di sekolah menengah kejuruan.

Meski banyak anak usia sekolah, di barak-barak penampungan transmigran itu tak ada ruangan khusus untuk belajar. Di malam hari, barak yang ditinggali Hiba, misalnya, hanya diterangi lampu bohlam lima watt yang menggantung di tengah ruangan. “Kalau mau belajar lebih terang, saya harus ke musala,” kata Hiba.

Sejak awal Februari lalu, ruang solat itu memang mulai dipasangi lampu neon. Sebelumnya, lampu teplok berbahan bakar minyak tanah lebih sering menerangi musola plus tempat belajar itu.

Meski didera segala keterbatasan, lama-lama Hiba mengaku terbiasa tinggal di Transito. Tapi, gadis mungil ini tak kuasa menyembunyikan keinginan untuk berkumpul dengan ibu dan bapaknya. “Senang rasanya bisa ketemu bapak dan ibu di sana,” kata Hiba.

Lalu, di mana orang tua Hiba? Bocah ini sering terdiam ketika menuturkan kisah orang tuanya.

Saat semua warga Ahmadiyah kembali terusir dari Ketapang, ayah dan ibu Hiba rupanya memilih bertahan di sana. Untuk menghidupi keluarga, mereka bekerja sebagai penggarap lahan milik satu keluarga beragama Hindu di Ketapang. Mereka pun diizinkan menempati salah satu ruangan di rumah peristirahatan keluarga bernama Tutut itu.

Warga anti Ahmadiyah pernah mempersoalkan keberadaan orang tua Hiba di Ketapang. Beruntung, keluarga Tutut bisa meyakinkan mereka dan menjamin keselamatan orang tua Hiba.

Bila musim liburan tiba, Hiba sesekali berkunjung ke rumah tempat orang tuanya menumpang. Dari rumah yang hanya terpisah sungai dari perumahan Ketapang itu, Hiba bisa melihat reruntuhan rumah dia dan keluarga Ahmadiyah lainnya. “Saya suka mengintip dari sawah,” kata Hiba. “Rasanya ingin kembali ke sana.”

Tapi, sejauh ini, Hiba harus memendam keinginannya. Soalnya, sang ibu lebih yakin akan keselamatan anak-anaknya bila berkumpul dengan warga Ahmadiyah lain di Transito. Di luar Transito, “Ibu bilang, banyak orang tidak suka karena kami Ahmadiyah,” ujar Hiba.

Kekhawatiran sang ibu tak berlebihan. Hingga kini, pemerintah setempat pun tak kunjung menjamin keselamatan warga Ahmadiyah. Bupati Lombok Barat, Zaini Aroni, misalnya, malah mengingatkan agar warga Ahmadiyah tidak memaksa kembali ke kampung halaman mereka.

Zaini mengakui, sejak serangan terhadap Ahmadiyah kembali terjadi pada 2005, warga Ahmadiyah dan warga anti Ahmadiyah belum pernah bertemu untuk berdialog. Pemerintah pun baru bisa mengajak kedua pihak berbicara secara terpisah. Jadi, kata Zaini, "Terlalu berrisiko jika mereka memaksa pulang kampung."

***

Siang masih menyisakan panasnya, ketika anak-anak Sekolah Dasar Negeri 42 Majeluk meninggalkan ruang kelas. Sebelum pulang, Hiba dan teman-teman menyempatkan bersenda gurau di halaman sekolah yang rindang.

Setelah puas bercanda, Hiba baru pulang menuju asrama Transito, sekitar 100 meter dari sekolah. Dia berjalan beriringan dengan dua temannya: Sopia dan Jihan.

Sopia merupakan teman sekelas Hiba yang juga tinggal di Transito sejak 2005. Meski tinggal di barak terpisah, Sopia sering belajar bersama Hiba.

Adapun Jihan bukanlah anak anggota Ahmadiyah. Namun, dia sering bermain dan mengerjakan pekerjaan rumah bersama Hiba di Transito. “Anaknya baik-baik di sini,” kata Jihan. Apalagi, orang tua Jihan pun tak melarang anaknya bergaul dengan anak-anak Ahmadiyah. “Kita semua manusia, sama kok,” ujar gadis berambut panjang itu.

Tapi, tak semua teman Hiba seperti Jihan. Pernah suatu waktu, Hiba Menuturkan, ada teman yang mengolok-olok dia. “Kamu Ahmadiyah, kafir kan,” kata Hiba menirukan ucapan sang temannya.

Hiba tak tahu dari siapa temannya meniru istilah seperti itu. Tapi, ejekan itu lebih dari cukup untuk membenarkan ucapan ibu Hiba bahwa di luar sana, ada orang yang membenci anak yang kebetulan lahir dari rahim orang Ahmadiyah.

Olok-olok dari teman sekolah menjadi beban tersendiri bagi anak-anak Ahmadiyah. Agar tak jadi korban ejekan, Seira Yulia, anak Transito lainnya, sampai menyembunyikan latar belakang keluarganya. Hingga kini, teman-teman sekolah Seira umumnya tak tahu bahwa dia berasal dari keluarga Ahmadiyah. “Waktu ditanya tinggal di mana, saya bilang di Jalan Transmigrasi,” kata Seira.

Rauhun, ibunda Seira, membenarkan keterangan anaknya. Gara-gara berstatus anak Ahmadiyah, Seira pernah mendapat perlakuan berbeda. Misalnya, waktu pertama kali masuk sekolah. Bersama anak-anak Ahmadiyah, Seira dikumpulkan di satu kelas, tidak dicampur dengan murid lainnya.

Begitu musim bagi rapor tiba, buku yang diterima anak Ahmadiyah pun berbeda dari buku rapor murid lainnya. “Anak saya diberi selembar kertas saja, bukan rapor biasa,” kata Rauhun.

Warga Ahmadiyah pun melaporkan perlakuan itu ke Dinas Pendidikan. “Akhirnya anak-anak punya rapor yang sama,” kata Rauhun.

Gubernur Nusa Tenggara Barat, Muhammad Zainul Madjdi, menceritakan hal berbeda soal pendidikan bagi warga Ahmadiyah. Katanya, di mana pun anak Ahmadiyah berada, pemerintah menjamin mereka bisa mengakses pendidikan.

Pemerintah, menurut Gubernur, sudah menganggarkan bantuan siswa miskin (BSM) dan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) untuk mereka. “Silakan saudara-saudara kita Ahmadiyah memanfaatkannya,” kata Zainul.

Masalahnya, menurut Koordinator Pengungsi Transito, Sahdidin, warga Ahmadiyah punya kendala tersendiri untuk memperoleh dana bantuan itu. Setelah sekian lama terbuang ke Transito, warga Ahmadyah banyak yang tidak memiliki kartu tanda penduduk. Anak-anak mereka pun umumnya tak memiliki akta kelahiran. Padahal, kedua dokumen itu merupakan syarat memperoleh dana BSM dan Jamkesmas.

Bersama warga Ahmadiyah lainnya, Sahidin pernah mengurus dokumen kependudukan itu ke kantor kelurahan terdekat. Tapi hasilnya nihil. “Kami tidak diberi dengan alasan kami hanya titipan di Transito.” Sahidin lalu mengurus dokumen itu ke kelurahan di Ketapang. “Tapi, di sana pun tidak diberi,” Kata Sahidin.

Sekolah-sekolah dasar negeri di Majeluk memang tidak memungut biaya bulanan. Tapi, menurut Sahidin, setiap semester orang tua murid wajib membeli buku-buku pelajaran. Harganya Rp 30 ribu sampai Rp 40 ribu. “Dengan penghasilan tidak menentu, uang sebesar itu pun tak mudah didapat,” kata Sahidin.

Ya, di Transito, Hiba dan teman-temanya terus bergumul dengan segala keterbatasan. Mereka mencoba merakit masa depan yang tak kunjung terang. “Saya ingin tetap bersekolah,” kata Hiba yang sejak kelas satu meraih peringkat pertama di kelasnya. "Tapi, kalau orang-orang masih memusuhi kami, tidak tahu harus bagaimana lagi." (editor Jajang Jamaludin, Tempo)

===AGNES D R==

Retrieved from: http://anbti.org/content/yang-terdampar-di-transito

Wednesday, September 21, 2011

Surat Djohan Effendi untuk Petinggi Negeri

Jakarta, 7 Agustus 2010

Kepada Yang Terhormat Para Petinggi Negara RI! Para Pemuka Agama! Para Pemimpin Parpol dan Ormas!! Para Cerdik Cendekia dan Tokoh Masyarakat!

“Berilah kami tempat, Bapak Wali Kota, di mana saja di wilayah kota Mataram ini, di pinggiran yang dianggap angker banyak setannya sekalipun, atau di pekuburan-pekuburan , yang penting kami dapat keluar dari penampungan, hidup normal, menghirup udara kebebasan dan kemerdekaan. Atau, jika telah dianggap menodai agama, telah melanggar UU No.1 PNPS/1/1965, sebagaimana selama ini diancamkan, jebloskanlah kami, Bapak Wali Kota, ke dalam penjara. Kami seluruh warga Ahmadi, pengungsi laki-laki, perempuan, tua, muda maupun anak-anak, lahir batin, ikhlas dipenjara, tanpa proses hukum sekalipun. Atau jika sama sekali tidak ada tempat bagi kami, di ruang penjara tidak ada tempat bagi kami, di pekuburan-pekuburan juga tidak ada tempat bagi kami, maka galikanlah bagi kami, Bapak Wali Kota, kuburan. Kami seluruh warga Ahmadi pengungsi, laki-laki, perempuan, tua, muda maupun anak-anak, siap dan ikhlas dikubur hidup-hidup. …”

Bapak-bapak Yang terhormat!

Kalimat-kalimat di atas saya kutip dari surat yang berisi jeritan warga Ahmadiyah Lombok, yang sejak beberapa tahun ini terpaksa tinggal di penampungan, terusir dari tempat tinggal mereka, hanya karena mereka difatwakan menganut faham yang sesat. Mereka menjadi pengungsi di negeri mereka sendiri. Padahal mereka turun temurun warga negara RI. Mereka turun temurun tinggal di atas bumi yang disediakan oleh Allah Tuhan Yang Maha Rahman, yang menyediakan bumi ini bagi segenap dan seluruh anak-cucu Adam, yang rahmat-Nya dikaruniakan kepada segenap umat manusia tanpa diskriminasi, tidak membedakan beriman atau kufur bersikap kufur kepada-Nya, beragama atau tidak, menganut ajaran yang benar atau ajaran yang sesat. Peristiwa pengusiran dan pengungsian ini sama sekali bukan kisah fiktif, tapi kisah nyata yang terjadi di negara kita yang berdasarkan Pancasila yang di antara sila-silanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Peristiwa ini terjadi sekarang, tidak di masa penjajahan, tidak di masa Revolusi Kemerdekaan, tidak di masa Pemerintahan Parlementer, tidak di masa Orde Lama dan juga tidak di masa Orde Baru. Tapi terjadi sekarang di masa Reformasi ketika Piagam Hak-hak Asasi Manusia diterima dan dimasukkan dalam Konstitusi kita. Lalu di mana tanggung jawab konstitusional para Petinggi Negara RI? Di mana tanggung jawab moral para pemuka agama bangsa kita? Di mana hati nurani tokoh-tokoh parpol, ormas, cendekiawan dan pemuka masyarakat kita?

Dan sekarang Bapak-bapak yang terhormat, warga Ahmadiyah di Manis Lor, Kuningan sedang terancam, mesjid tempat mereka sebentar lagi menunaikan ibadah tarawih, tadarus, i’tikaf, akan disegel oleh Bupati sendiri. Pengalaman perih dihalang-halangi dan diganggu untuk menjalankan ibadah menurut keyakinan sendiri juga terjadi di Bekasi. Dua orang umat Bahai masih ditahan di Lampung. Dilarang membuka warung sebagai usaha mencari nafkah sehari-hari. Seorang umat Bahai yang meninggal dunia di Pati terpaksa dimakamkan di bentaran kali karena ditolak Kepala Desa untuk dimakamkan di Pemakaman Umum Desa, bahkan dilarang dimakamkan di lahannya sendiri. Penganut Aliran Kepercayaan Penghayat Ketuhanan Yang Maha Esa, masih dipinggirkan, hak-hak sipil mereka tidak terjamin dan tidak dipenuhi. Daftar berbagai kasus penistaan hak-hak asasi dan hak-hak sipil terlalu panjang untuk dikemukakan. Komnas HAM mempunyai data yang relatif lengkap tentang kasus-kasus seperti ini. Kenapa masih ada warga negara kita yang tidak menikmati kebebasan berkeyakinan dalam negara yang berusia 65 tahuin ini?

Pernahkan kita membayangkan bagaimana kalau nasib yang dialami warga negara yang teraniaya dan terzalimi ini justru menimpa kita sendiri? Pernahkan kita membayangkan betapa perihnya hati kita jika kebebasan kita untuk beriman dan beribadah menurut ajaran yang kita yakini akan menyelamatkan kita di dunia dan di akhirat kelak direnggut hanya karena kita berbeda dengan keyakinan mayoritas?

Menyaksikan peristiwa-peristiwa memerihkan di atas izinkanlah saya bertanya kepada Para Petinggi dan Penguasa di negeri ini, apakah negara dan pemerintah sudah tidak mampu lagi menjamin, melindungi dan mempertahankan hak-hak asasi manusia dan hak-hak sipil yang tercantum dalam Konstitusi Negara kita bagi kelompok-kelompok minoritas? Kepada siapa lagi mereka harus mengharapkan perlindungan?

Kepada Para Pemuka Agama, khususnya al-Mukarrimun Para Ulama, perkenankan saya bertanya, apakah manusia yang non Islam, atau yang menganut ajaran yang dianggap sesat itu, tidak termasuk anak-cucu Adam yang dimuliakan dan dianugerahi rezeki oleh Tuhan (Q. 17:70) sehingga mereka halal dilecehkan, diusir dan diperlakukan seolah-olah mereka tidak berhak hidup di atas bumi Tuhan yang menciptakan mereka? Andaikan mereka tersesat, apakah mereka tidak bisa menikmati kebebasan sebagaimana mereka yang kufur kepada Tuhan (Q. !8:29) sehingga kita merasa berhak memaksa mereka untuk mengikuti pendapat dan keyakinan kita? Apakah tidak sebaiknya kita mengikuti metoda yang dianjurkan Tuhan dalam menyeru manusia ke jalan Tuhan dengan cara bijaksana, nasehat yang baik dan kalau perlu dengan dialog yang lebih baik lagi; dan akhirnya menyerahkannya kepada Allah sendiri yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dan siapa yang benar-benar beroleh petunjuk? (Q. 16:7). Dan bukankah ketidaksukaan kita terhadap suatu kelompok tidak menghalalkan kita untuk bertindak tidak adil terhadap mereka? (Q. 5:8). Apakah menurut al-Mukarrimun negara atau aparat pemerintah atau kelompok masyarakat berwenang membatasi anugerah Allah berupa hak hidup di atas bumi-Nya kepada mereka yang dianggap sesat? Apakah negara atau pejabat yang berkuasa berwenang membatasi kebebasan berkeyakinan yang diberikan Allah al-Khaliq kepada manusia, makhluk yang dimuliakan-Nya? Apakah hal itu tidak berarti merampas wewenang Allah dan hak sesama manusia?

Bapak-bapak yang terhormat!

Dengan surat ini saya hanya ingin menyampaikan jeritan hati nurani saudara-saudara kita yang menderita. Hati saya merasa tidak tahan lagi melihat penderitaan saudara-saudara yang teraniaya tersebut, dan saya merasa berdosa kalau saya tidak melakukannya.

Hormat Takzim saya;

Djohan Effendi Mantan Menteri Sekretaris Negara Masa Presiden Gus Dur

Available at: http://politikana.com/baca/2010/08/13/surat-djohan-efendi-untuk-petinggi-negeri.html and http://anbti.org/content/surat-djohan-effendi-untuk-petinggi-negeri

Tuesday, September 20, 2011

Asrama Transito sebagai "Emperan Surga"

Cerita Penganut Ahmadiyah Hidup di Asrama Transito
Tribunnews.com - Senin, 13 Juni 2011 18:15 WIB

TRIBUNNEWS.COM - Erna sedang memasak nasi siang itu, perempuan yang sedang hamil tua itu membetulkan letak kayu bakar di tungku. Tak ada kompor minyak tanah ataupun kompor gas yang menyentuh kehidupannya. Ia tinggal di Transito, Lombok, Nusa Tenggara Barat, bersama 3 orang anak, 1 orang anak sudah bersekolah dan 2 anak masih balita.

Ia memasak di deretan dapur yang menempel di asrama Transito. Bangunan dari bambu berjajar di samping tempat tinggal mereka. Dapur itu dibangun masing-masing penghuni untuk keperluan memasak. Selain karena ruangan di dalam hanya cukup untuk tidur, mereka memilih untuk menggunakan halaman samping agar lebih aman.

Keceriaan wajah para perempuan Transito yang sedang memasak terlihat dari sapa yang mereka berikan, meskipun mereka tidak mengenal siapa yang datang, namun sapa ramah tetap mereka sampaikan.

"Selamat datang di emperan surga," sapa Erna ketika saya temui di Transito, 17 Februari 2011. Erna menyebut Transito sebagai emperan surga karena menurutnya di sinilah mereka merasakan kehidupan bersama dan saling berbagi. (Agnes Dwi)

"Hanya yang punya kompor minyak tanah memasak di dalam," kata Erna. Menurut Erna adalah di dalam bilik kain yang menjadi penanda antar keluarga. Hidup di Transito harus dinikmati sebagai kehidupan yang harus dijalani sebagai seorang Ahmadi, sebutan untuk penganut Ahmadiyah.

Asrama Transito terdiri dari tiga bangunan gedung yang berjajar. Tiap gedung dihuni sekitar 10 keluarga, mereka berbagi tempat dengan menyekat ruangan menjadi "rumah pribadi" mereka. Satu keluarga rata-rata terdiri dari orang tua dan anak tinggal dalam satu bilik bersama.

Erna telah melahirkan 1 orang anak di Transito, bahkan kali ini ia tengah hamil anak yang ketiga. Balita yang lahir di Transito mencapai 17 anak. Dalam suasana terbatas mereka tetap mengembangkan suka cita. Seperti anak-anak yang tetap bermain meskipun dalam ruang-ruang sempit dan lorong gelap.

Saya pun bertemu dengan keluarga Transita, bilik bersekat yang berada di depan gawang bola. Begitu orang nenandakan tempat tinggal keluarga Sita. Tempat tinggalnya memang berseberangan dengan lapangan bola. Di situlah Sita lahir dan kini telah berusia 3 tahun. Ia pun telah memiliki seorang adik perempuan. Keceriaan khas anak-anak tidak melunturkan canda dan tawa mereka.

"Anak-anak pernah bertanya kapan kita pulang bu?" ungkap orangtua Sita. Namun mereka selalu berusaha untuk mencari alasan agar anak-anak tidak kecewa. Dari alasan rumah yang belum selesai dibangun hingga menunggu orangtua punya dana.

Saya bertemu dengan Ida Zenah, perempuan itu sedang menggendong Muhammad anak paling kecil. Beberapa kali Muhammad merengek di gendongan ibunya. Ida kemudian menunjukkan tempat ia masak. Ia menggunakan sebuah dapur bersama keluarga lain. Sebuah ketel (tempat menanak nasi) sedang bertengger diatas perapian yang menggunakan kayu bakar. Kayu itu didapatkan dari pohon-pohon yang tumbuh di luar pagar Transito.

Ida hanya pasrah menjalani kehidupan saat ini, baginya apapun yang terjadi adalah perjalanan hidup yang mesti terjadi. Di penampungan itu Ida melahirkan dua anak, Transito 3 tahun dan Muhammad 1 tahun. Kegetiran jelas tergambar di wajah perempuan itu. "Saya hanya katakan sabar ke anak-anak". Kata Ida. Saat ini anak-anak Ida masih 3 orang yang tinggal bersamanya, sementara 2 anak lain tinggal terpisah. "Ada yang sudah menikah, tapi ada yang sedang belajar ditempat lain," kata Ida.

Transito menjadi saksi sejarah bagi keterangsingan Ahmadiyah di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Setelah lebih dari 5 tahun mereka menempati penampungan Transmigrasi, mereka menjadi bersabahat dengan penderitaan. Bagi mereka Transito mengajari mereka untuk tidak membalas, tidak dendam dan menjalani kehidupan dengan lebih iklas. "Kalau kami tidak iklas ya sulit menjalani hidup" kata Erna.

Iklas menjadi Ahmadi bagi perempuan di Transito termasuk mereka harus mendampingi anak-anak bermain dan bertanya tentang situasi yang mereka hadapi. Lima tahun menjadikan mereka ibu yang kuat bagi anak-anak dan keluarga. Bagi mereka Transito sudah menjadi bagian dari hidup mereka "Dijadikan bahagia saja disini, jangan dibuat mikir sedih, bahkan kami sering mengatakan di emperan surga ini kami belajar untuk sabar dan tidak dendam," kata Erna.

Erna dan Ida kembali melanjutkan memasak ketika terdengar riuh anak-anak pulang sekolah, setiap hari mereka berusaha untuk menyiapkan makan bagi anak-anaknya. Di emperan surge itu mereka ingin menjadi bidadari bagi keluarga, memberikan rasa aman dan damai bagi keluarga. Karena bagi mereka kedamaian itu ada dihati, meskipun tempat mereka saat ini sangat terbatas dan sengaja dibatasi karena mereka seorang Ahmadi. (Hening Ratri)

Retrieved from: http://www.tribunnews.com/2011/06/13/cerita-penganut-ahmadiyah-hidup-di-asrama-transito

Monday, September 19, 2011

Sebuah Sore Menjelang Berbuka di Wisma Transito

Rm Panca Nugraha

AKTIVITAS sejumlah wanita menyiapkan makanan berbuka puasa, baru saja usai, Selasa sore (2/8) menjelang Maghrib di Wisma Transito. Sebelas petak dapur darurat terbuat dari papan bekas, potongan kardus, dan sisa terpal, yang berderet di belakang bangunan Wisma, masih menyisakan aroma masakan.

Suriyani (32), salah seorang wanita pengungsi Ahmadiyah, mencuci perabot wajan yang baru saja ia gunakan. Putri kecilnya, Amiatun Azizah (1 tahun) duduk bersimpuh, dua meter dari ibunya, sambil menyantap nasi di mangkuk plastik yang ia pegang, tanpa lauk.

“Tidak ada yang istimewa di sini. Ramadhan atau bukan, menunya sama saja, karena memang keterbatasan kami. Berbuka dengan sayur sudah cukup, yang penting masih ada nasi,” kata Suriyani.

Ramadhan tahun ini menjadi bulan ramadhan ke enam yang harus dilalui para pengungsi Ahmadiyah di kamp penampungan Wisma Transito, Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).

1312688869595605161

Anak-anak pengungsi Ahmadiyah bermain di depan Musholla Wisma Transito saat para orangtua berjamaah sholat Maghrib.

Selama itu pula, mereka bertahan dalam hidup yang serba terbatas, dan selama itu pula mereka mengharapkan kehidupan yang normal layaknya warga Indonesia yang lain.

Secara ekonomis, menurut Suriyani, Ramadhan kali ini lebih sulit dari tahun sebelumnya. Harga minyak tanah eceran saat ini sudah menyentuh Rp9.000,- per liter, lebih mahal dari minyak tanah industri yang hanya Rp7.500 per liter. Sementara untuk LPG 3Kg bersubsidi, para pengungsi Ahmadiyah ini tidak mendapatkan, karena selama ini mereka tidak tercatat sebagai warga di Kelurahan Majeluk, tempat Wisma Transito berada.

“Untuk masak sehari-hari, kita butuh 4 liter minyak tanah seminggu. Makanya sekarang lebih banyak pakai kayu, agar lebih hemat,” kata ibu empat anak ini.

Ranting pohon dan sisa kulit durian, dikumpulkan oleh Khaeruddin (35), suami Suriyani, yang sudah dua tahun ini bekerja sebagai tukang ojek, “Sambil jalan cari penumpang, kalau ada kulit durian saya ambil dikeringkan untuk kayu bakar,” kata Khaeruddin.

Toh, bagi Khaeruddin dan Suriyani, Ramadhan tetap bulan suci yang harus dijalani dengan penuh keikhlasan. Ia hanya berharap bisa melalui bulan suci ini dengan menjalankan perintah agama secara tuntas.

“Harapannya ya supaya puasanya lancar, bisa selama sebulan penuh tidak ada batalnya,” katanya.

Khaeruddin dan Suriyani merupakan satu dari 36 keluarga Ahmadiyah, terdiri dari 138 jiwa, yang masih ditampung di kamp pengungsian Wisma Transiwo Mataram, sejak terusir dari tempat tinggal mereka di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, 4 Februari 2006 silam.

13126890471311273711

Seorang wanita pengungsi Ahmadiyah, berbuka puasa di dapur darurat bersama anak-anaknya. Potret keluarga Ahmadiyah saat berbuka puasa di Wisma Transito.

Sejak 2008, nasib warga Indonesia ini seolah terabaikan, sejak bantuan pengungsi korban konflik sosial dihentikan oleh pemerintah. Bukti kewarganegaraan berupa KTP yang sudah kadaluarsa pun tak bisa diperpanjang dengan beragam alasan, baik di wilayah Kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat, bahkan Pemprov NTB.

“Selama pengungsian ini sudah ada 16 bayi yang lahir di sini. Yang membuat kami sedih mereka semua belum punya akta kelahiran, karena orang tuanya tidak punya KTP. Mau urus pelayanan kesehatan dan pendidikan juga sulit akhirnya,” kata koordinator pengungsi, Syahidin (46).

Berada di pusat ibukota Provinsi NTB, para pengungsi Ahmadiyah seperti dikotakkan. Mereka tidak tersentuh program-program pemerintah untuk masyarakat miskin, meskipun kondisi mereka miskin. Mereka sudah tidak bisa lagi mengakses tanah pertanian di tempat tinggal asal di Ketapang, Lombok Barat, sementara keahlian dasar mereka yang umumnya petani ini, hanya bisa bercocok tanam.

Menurut Syahiddin, sudah tiga pekan ini program pembinaan dari Pemprov NTB berjalan di pengungsian. Namun, program itu belum menyentuh kebutuhan mendasar para pengungsi.

Bentuk nyatanya hanya ceramah keagamaan kepada para pengungsi, setiap malam Kamis dan malam Sabtu, usai shalat Isya’ di Wisma Transito. Padahal yang dibutuhkan pengungsi, tambah Syahiddin, adalah status kependudukan mereka.

“Kami sambut baik pembinaan itu. Tapi hendaknya pembinaan juga dilakukan bagi masyarakat umum lainnya agar bisa juga menerima kami sebagai warga Indonesia yang sama dengan mereka,” katanya.

1312689388905952466

Amiatun Azizah (1 tahun), duduk bersimpuh, di deretan dapur darurat sambil menyantap nasi di mangkuk plastik yang ia pegang, tanpa lauk. Ia hanya satu dari 16 anak yang lahir di pengungsian Transito sepanjang enam tahun pengungsian warga Ahmadiyah di sini.

Apalagi, papar Syahidin, isi ceramah itu merupakan apa yang selama ini sudah mereka kerjakan. Sholat lima waktu, mengaji dengan kitab Al-quran, dan bersyahadat yang sama juga dengan muslim pada umumnya.

“Penceramah bilang kami jangan baca Tazkirah, ya memang kami tidak pernah baca itu. Bacaan kami, ya Alquran, Alquran itu kitab suci kami, sama dengan yang lain,” katanya.

Namun kondisi yang terbatas selama enam tahun ini, tidak membuat para pengungsi patah semangat. Wajah gembira dan ucapan syukur terdengar saat adzan Maghrib berkumandang di Wisma Transito.

Mereka kemudian sholat Maghrib berjamaah di musholla Wisma, sebelum akhirnya kembali ke bilik untuk makanan berbuka puasa.

Para pengungsi berbuka puasa, masing-masing keluarga di bilik kamar mereka yang hanya bersekat potongan spanduk bekas dan kain sarung, di dalam bangunan Wisma.

“Hanya urap-urapan dan tempe goreng, tapi kami bersyukur hari ini,” kata Sarim Ahmad (43), yang berbuka bersama istri dan anaknya, Raudatul Nisa (9).

Sarim sudah beberapa tahun ini bekerja menjadi pelayan di warung jajan gorengan di Mataram. Tapi, selama Ramadhan ia terpaksa libur karena pemerintah Kota Mataram menutup semua warung di siang hari.

Menurut Mubaligh Ahmadiyah Mataram, Basiruddin, belum ada perkembangan yang berarti terkait nasib para pengungsi Ahmadiyah ini, selama enam tahun terakhir.

“Masalah penggantian asset Ketapang, sudah terhenti sejak Januari pembicaraan dengan para pihak di Kejaksaan Tinggi NTB. Pemda Lombok Barat bilang akan bikin tim 9 dan mau turun ke pengungsian, tapi sampai sekarang mereka tidak datang,” katanya.

Penyelesaian status kependudukan, pun masih menggantung, tanpa kejelasan. Menurutnya, hak-hak dasar kemanusiaan dan kewarganegaraan para pengungsi sudah dilanggar selama ini.

“Kami akhirnya seperti rakyat yang tidak punya pemerintah. Sebenarnya yang kami butuhkan hanya status dan jaminan keamanan saja. Tanpa itu, masalah ini tidak akan bisa tuntas,” katanya.

Malam-malam Ramadhan tahun ini, masih akan terisi dengan pengajian dan tadarusan dari musholla di Wisma Transito. Yang berbeda hanya semakin banyak bagian musholla yang nampak rusak, langit-langit banyak yang jebol karena tripleks yang rapuh, dan hanya ada enam bohlam listrik menyala untuk seluruh Wisma Transito.

Tak ada lagi keceriaan anak-anak bermain kembang api di halaman Wisma, layaknya kegembiraan anak-anak seusia mereka di sudut lain kota Mataram. Karena orangtua mereka tak bisa membeli “kebahagiaan kecil” itu.

“Sebagai warga negara, kami menerima semua program pembinaan dari pemerintah, meski kami sendiri tidak pernah tahu bagaimana ujung akhirnya. Seperti laying-layang putus, kami terbawa angin tapi tak tahu akan jatuh di mana,” keluh Khaeruddin.(**)

Retrieved from: http://sosbud.kompasiana.com/2011/08/07/sebuah-sore-menjelang-berbuka-di-wisma-transito/

Sunday, September 18, 2011

Indonesian Ahmadiyah Members Mark Fifth Ramadan in Limbo

The Indonesian Globe, Tangguh | August 08, 2010

Lombok.
For four years and five months, 33 Ahmadiyah families have been staying at the Transito shelter in Mataram, West Nusa Tenggara, after having been driven from their homes.

The families ended up here in February 2006 after their neighbors in Lingsar Barat village, West Lombok district, turned on them during the height of the anti-Ahmadiyah sentiment that was sweeping the country at the time. The families’ homes were razed.

Most mainstream Muslims oppose the Ahmadiyah sect because its members believe that its founder, Mirza Ghulam Ahmad, was a prophet.

“We just want to go back home,” a spokesman for the group, Dzulkhair Mujip, tells the Jakarta Globe. “No matter how nice a place is, it’s still not home.”

The group has several times announced its plan to return to its home village. Each time, it has been stayed by the Ministry of Religious Affairs and the police, who claim such a move would threaten the peace that the families’ expulsion has brought to their village.

Like other Indonesian Muslims, these Ahmadiyah members are looking forward to Ramadan, which begins on Wednesday.

Unlike most Muslims, however, the 137 people here will be forced to spend the holy month at this “temporary” refuge for a fifth straight year.

Despite everything, Dzulkhair says, the Ahmadiyah will not let the situation sully their Ramadan, which they cherish as a chance to get closer to God.

There is not much they can do to prepare, he points out, except figure out how to accommodate everyone in the tiny local mosque for the obligatory evening prayers during the holy month.

The group has also been without electricity for the past six months after failing to pay the bill for the shelter, which the government is supposed to be managing for them.

Dzulkhair says that during the refugees’ stay in Mataram, they have been treated as second-class citizens. They are denied ID cards that are obligatory for all Indonesian citizens.

“None of us here has a driver’s license, because to get one you have to have an ID card, which we don’t have,” Dzulkhair says.

He adds that this problem extends to other civic documents, such as marriage licenses and birth certificates.

Couples from the community who want to marry must do so without official state permission, which several Islamic organizations frown upon. This perpetuates a vicious circle of animosity directed at the Ahmadiyah members.

For the first two years of their stay in Mataram, the group members received a stipend of rice and cash from the Social Welfare Ministry. However, that aid dried up in mid-2008 when the ministry said they were no longer eligible for it, without explaining why.

Dzulkhair says he and several other Ahmadiyah representatives have repeatedly tried to get the West Lombok administration to clarify their legal status, but to no avail.

“The regional administration keeps telling us to take it up with the provincial government, and the provincial administration passes us back off to the West Lombok administration,” he says.

“We’re being tossed around like a bunch of playthings, and there’s nothing we can do about it.”

Dzulkhair also tells of persistent threats group members have received from local Islamic hard-liners, although the shows of aggression are not as vicious or public as they used to be.

Yet Dzulkhair adds that despite these challenges, the group is still trying to lead a normal life.

Most of the adults are employed as manual laborers, farmhands and vendors — anything that helps put food on the table and keeps the children in school, Dzulkhair says.

Hafiz Kidratullah, 12, says he had to repeat a whole year at school because of the disruption to his studies caused by the move to the Mataram shelter.

His father, Hairuddin, ekes out a living selling plastic bags at a local market.

Another parent, Yunus, says he sells tapes at Mataram’s Pangesangan Market. He makes around Rp 30,000 ($3) a day.

“At least I have a job, that’s what really matters,” he says.

What these Ahmadiyah members want more than ever, Dzulkhair and the others say, is for the government to tell them where they stand, especially in relation to their home village.

The Ahmadiyah members say they are willing to make a permanent home at the Transito shelter, but only if the government allows them basic civic rights like the right to get an ID card, Dzulkhair says.

He adds the group has lost all faith in the district and provincial administrations, and has now pinned all its hopes on the government of President Susilo Bambang Yudhoyono.

“Our last hope is the central government, is the president himself,” he says.

“Hopefully amid his important duties managing the nation’s problems, he can spare a thought for us out here in Transito.”

Retrieved from: http://www.thejakartaglobe.com/home/indonesian-ahmadiyah-members-mark-fifth-ramadan-in-limbo/390177

Saturday, September 17, 2011

Bahrum Rangkuti: Sastrawan Ahmadiyah

Bahrum Rangkuti

Bahrum Rangkuti
lahir pada tanggal 7 Agustus 1919 di Galang, Riau. Ayahnya bernama M. Tosib Rangkuti dan ibunya, Siti Hanifah Siregar. Jadi, walaupun Bahrum lahir di Riau, ia adalah putra Mandailing asli. Rangkuti adalah marganya. Bahrum dibesarkan dalam keluarga Islam yang kental, ayahnya mendalami tarikat dan ibunya menyenangi tasawuf dan mistik.

Bahrum mengawali pendidikan formalnya di kota Medan. Ia masuk ke HIS (Hollands Inlandse School) , sekolah Belanda, setingkat sekolah dasar. Dari HIS, ia melanjut ke HBS (Hogere Burger School), setingkat dengan sekolah menengah pertama. Tamat dari HBS, Bahrum pindah ke Yogyakarta dan melanjutkan studinya di AMS (Algemene Middekbare School), setingkat dengan sekolah menengah atas. Dari AMS ini ia melanjutkan lagi pendidikannya ke Faculteit de Lettern, yang kemudian menjadi Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Ia belajar bahasa-bahasa Timur sampai tingkat sarjana muda.

Ia juga pernah belajar di Jamiatul Mubasheren, Rabwah, di pakistan pada tahun 1950. Rabwah adalah sebuah desa kecil di tepi sungai Cenaab, tempat latihan para misionaris Islam yang bertugas ke seluruh dunia. Akan tetapi, ternyata, Bahrum tidak berminat menjadi misionaris.

Sekembali dari Pakistan, Bachrum melanjutkan kuliahnya di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, untuk mendapatkan gelar sarjana penuh dan tamat pada tahun 1960. Ia menguasai tujuh bahasa, Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Arab, Urdu, dan bahasa daerahnya.

Dengan pengetahuan bahasa yang dimilikinya, Bachrum, kemudian bekerja sebagai penerjemah. Ia bekerja sebagai penerjemah bahasa Inggris dan Prancis, di samping menjadi wartawan freelance dan guru di sebuah sekolah menengah atas di Jakarta.

Bachrum Rangkuti pernah berceramah mengenai aspek sosial hari raya di depan para perwira ALRI pada saat Angkatan Laut RI itu dipemimpin oleh Edi Martadinata. Ternyata, ceramahnya itu sangat memukau Edi dan para perwira. Lalu, Edi meminta Bachrum untuk menjadi Ketua Dinas Perawatan Rohani Islam di AL dan diberi pangkat kolonel tituler.

Walaupun telah menjadi kolonel tituler ALRI, Bahrum tidak dapat mengabaikan kecintaannya terhadap dunia sastra. Dunia itu selalu menarik dan memanggil hati nuraninya. Oleh karena itu, ia pun muncul di Pusat Kesenian Jakarta pada tanggal 28 September 1969 membacakan sajak-sajak Iqbal, pengarang dari Pakistan.

Karya Bahrum Rangkuti

1)
Puisi:

a. Sajak-sajak yang Sudah Diterbitkan
(1) “Tuhanku” Pandji Poestaka (1943)
(2) “Langit dan Bumi Baru” Pandji Poestaka (1944)
(3) “Peperangan Badar” Pandji Poestaka (1944)
(4) “Prajurit Rohani” Pandji Poestaka (1944)
(5) “Akibat” Pantja Raja (1946)
(6) “Borobudur” Pantja Raja (1946)
(7) “Cita-Cita” Pantja Raja (1946)
(8) “Doa Makam” Pantja Raja (1946)
(9) “Hidupku” Pantja Raja (1946)
(10) “Insyaf” Pantja Raja (1946)
(11) “Kembali” Pantja Raja (1946)
(12) “Laut Kenangan” Pantja Raja (1946)
(13) “Sakura” Pantja Raja (1946)
(14) “Tugu Kenangan” Pantja Raja (1946)
(15) “Laila” Gema Suasana (1948)
(16) “Pasar Ikan” Gema (1948)
(17) “Sajak-Sajak Muhammad Iqbal” Siasat (1951)
(18) “Syuhada” Hikmah (1952)
(19) “Iqbal” Hikmah (1953)
(20) “Malam dari Segala Malam” Gema Islam (1962)
(21) “Pesan” Gema Islam (1966)
(22) “Nafiri Ciputat” Horison (1970)
(23) “Anak-Anakku” Horison (1971)
(24) “Dunia Baru” Horison (1971)
(25) “Ayahanda” Horison (1971)
(26) “Bunda” Horison (1971)
(27) “Lebaran di Tengah-Tengah Gelandangan” Horison (1971)
(28) “Mercon Malam Takbiran” Horison (1971)
(29) “Pejuang” Horison (1971)
(30) “Rumah” Horison (1971)
(31) “Sembahyang di Taman HI” Horison (1971)
(32) “Tuhan di Tengah-Tengah Insan” Horison (1971)
(33) “Sumbangsih” Koninklijke Boekhandel dan Drukkery G. Kollf dan Co
(34) “Hikmah Puasa dan Idul Fitri” Koninklijke Boekhandel dan Drukkery G. Kollf dan Co

b.
Sajak-sajak yang Belum Diterbitkan dan Tahun Ciptaannya
(1) “Tao Toba” (1970)
(2) “Sipirok” (1970)
(3) “Natalandi Gita Bahari” (t.th.)
(4) “Nunukan” (1970)
(5) “Mesjid di Tanjung Selor” (1970)
(6) “Ka’bah” (1971)
(7) “Bungan Bondar” (1971)
(8) “Mina” (1971)
(9) “Madinah” (1971)
(10) “Arafah” (1971)
(11) “Makkah” (1971)
(12) “Hajir” (1971)
(13) “Nisbah” (1971)
(14) “Yang Genap dan Yang Ganjil” (1971)
(15) “Bengkel Manusia” (t.th.)
(16) “meluruskan bahtera” (1973)
(17) “Nyanyian di Pohon Kelapa” (1973)
(18) “Mi’raj” (t.th.)
(19) “kepada Biniku A. Bara” (t.th.)
(20) “Isa a.s.” (1969)
(21) “Idul Fitri” (t.th.)
(22) “Mula Segala” (1969)
(23) “Muhammad s.a.w.” (1969)
(24) “Beton, Beling, dan Besi” (t.th.)
(25) “Laut Lepas Menanti” (t.th.) (PDS. H.B. Jassin)

2) Drama
(1) “Laila Majenun” Gema Suasana (1949)
(2) “Sinar memancar dari Jabal Ennur” Indonesia (1949)
(3) “Asmaran Dahana” Indonesia (1949)
(4) “Arjuna Wiwaha”

3) Cerpen

(1) “Ditolong Arwah” Pandji Poestaka (1936)
(2) “Rindu” Poedjangga Baroe (1941)
(3) “Renungan Jiwa” Pandji Poestaka (1942)
(4) “Ngobrol dengan Cak Lahama” gema Suasana (1946)
(5) “Sayuti Parinduri Alfaghuru” atau “Antero Krisis Cita, Moral, dan benda” Zenith (1952)
(6) “Laut, Perempuan, dan Tuhan” Gema Tanah Air (1969)


4)
Esai
(1) “Setahun di negeri Bulan Bintang I” Zenith (1951)
(2) “Setahun di negeri Bulan Bintang II” Zenith (1951)
(3) “Setahun di negeri Bulan Bintang II” Zenith (1951)
(4) “Angka dan Penjelmaannya” Zenith (1951)
(5) “Pengantar kepad Cita Iqbal” Indonesia (1953)
(6) “Kandungan Al Fatihah” (1953)
(7) “Nabi Kita” Bacaan untuk Anak-anak (t.th.)
(8) “Islam dan kesusastraan Indonesia Modern”: skripsi s-1 (1961). Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul
(9) “Islam and “Modern Indonesian Literature”
(10) “Pramudya Ananta Toer; dan Karya seninya” (1963)
(11) “Terapan Hikmah Isra dan Mikraj dalam kehidupan Sehari-hari” Operasi (1968)
(12) “Muhammad Iqbal Pemikir dan Penyair” ceramah di TIM (1969)
(13) “Ceramah Tentang Cita-Cita M. Iqbal” TIM (1976)
(14) “Al Quran, Sejarah, dan Kebudayaan” Pidato pengukuhan sebagai Guru Besar (1976)
(15) “Sejarah Indonesia I dan II”
(16) “Metode Mempelajari Tafsir Qur’an dan Bahasa Arab”
(17) “Sejarah Khalifah Usman r.a”
(18) “Sejarah Nabi Muhammad s.a.w”
(19) “Islam dan PEmbangunan”
(20) “The Spritual Wealth in Islam”

5) Terjemahan

(1) “Puisi Dunia” karya Sophocles dari Antagone (1948)
(2) “Dengan Benih Kemerdekaan” karya Alexander Pushkin (1949)
(3) “Kepada Penyair” karya M. Iqbal
(4) “Insan dan Alam” karya M. Iqbal (1953)
(5) “Waktu itu Adalah Pedang” karya M. Iqbal (1953)
(6) “Iqbal Di Hadapan Rumi” karya M. Iqbal (1953)
(7) “Soledad Montoya” karya Lorca
(8) “Lintas Sejarah Dunia” karya Jawaharlal Nehru
(9) “Asrar-J. Khudi” karya Dr. Muhammad Iqbal.

http://www.pusatbahasa.depdiknas.go.id/

Retrieved from: http://bumibebas.blogspot.com/2007/06/bahrum-rangkuti.html.
Also available at: http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/lamanv42/?q=detail_tokoh/699 and http://bimasislam.kemenag.go.id/index.php?view=article&id=1643&option=com_content&Itemid=91

Tambahan din blog:
http://bimasislam.kemenag.go.id/index.php?view=article&id=1643&option=com_content&Itemid=91

Di antara karya-karyanya di atas, tafsir Kandungan al-Fatihah adalah yang paling monumental. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang Jakarta tahun 1976. Buku ini merupakan cetakan ke depalan.

Karya Bahrum Rangkuti ini merupakan hasil diskusi dan perdebatan dirinya dengan kedua temannya, yaitu Amin Suroso dan Sumantri. Tema yang dibincangkan adalah seputar koherensi teologis islam dengan cita pancasila sebagai dasar negara. Sebagai sumbernya maka diambillah surat al-Fatihah sebagai tema diskusi. Ketiganya melakukan ekplorasi mendalam terhadap isi kandungan surat al-Fatihah, yang merupakan induk atau ruh dari isi al-Qur’an secara utuh, dengan menggunakan visi kebudayaan, kemudian menghadapkannya dengan cita pancasila sebagai upaya dialog guna memperoleh nilai dan hakikat kerohanian pada pancasila. Bahrum menulis : “ Adalah maksud pengarang menafsirkan al-Fatihah dengan visi kebudayaan dan lalu menghadapkannya dengan nilai-nilai Pancasila supaya oleh konfrontasi yang jujur antara sumber cita itu dapatlah menjelma kiranya nilai dan hakikat kerohanian pada Pancasila”

Intinya, Bahrum Rangkuti dan kedua temannya bermaksud mengkaji al-Fatihah di satu sisi sebagai firman Allah, dan Pancasila sebagai dasar negara, agar diperoleh sinkronisasi keduanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka hendak mengatakan bahwa tidak ada perbedaan ataupun pertentangan antara nilai-nilai ketuhanan yang diwakili surat al-Fatihah dengan pancasila. Justru keduanya saling menguatkan satu sama lainnya.

Dilihat dari karakteristiknya, Kandungan al-Fatihah ini dapat dikategorikan sebagai tafsir bil-Ma’tsur. Hal ini dibuktikan dengan adanya hadis sebagai sumber penafsirannya. Tema-tema yang terdapat dalam buku ini banyak diperkuat dengan hadis-hadis yang dikuatkan dengan kekuatan nalarnya.

Launnya adalah adabi-ijtima’i. Sebagaimana dijelaskan dalam kata pengantarnya, Bahrum Rangkuti menjelaskan bahwa penafsirannya berdasarkan visi kebudayaan. Artinya ia lebih menitikberatkan kepada visi al-Fatihah dalam konteks kebudayaan bangsa Indonesia dengan Pancasila sebagai sandingannya.
Sebagai contoh dalam bab X dengan tema “ Al-Fatihah dengan Pancasila”. Bahrum mengawali tema ini dengan realitas sosial yang melahirkan dua kubu dalam memandang Pancasila, yaitu kelompok yang “haram” menpancasilakan al-Fatihah, dan kelompok yang menganggap “gila” mengalfatihahkan Pancasila. (hal. 115).

Dalam uraiannya, Bahrum Rangkuti mencoba mengungkap keselarasan antara al-Fatihah sebagai hukum Tuhan dengan Pancasila sebagai hukum manusia. Menurutnya al-Fatihah dan Pancasila memilki kesesuaian dalam menata kehidupan berbangsa di Indonesia. Inti dari ajaran al-Fatihah pada dasarnya juga diakomodasi dala Pancasila.


Sistematika penulisan buku ini disusun berdasarkan tema yang ditandai dengan nomor urut. Terdapat 12 tema yang diangkat dalam buku ini, yaitu : tema Surat al-Fatihah, Manifestasi Cita Islam, Al-Fatihah Mengenai Nilai Politik, Sosialisme Dari Tinjauan Sinar Islam, Cita Ekonomi Islam, Latar Belakang Larangan Islam, Cara Islam Mengsirkulasikan Uang/Harta, Lingkupan Sejarah Dalam Untaian Dialog, Al-Fatihah Dengan Pancasila, dan Tirta Rohaniah Bagi Menyuburkan Pancasila.


Bahrum Rangkuti adalah salah satu tokoh yang telah meninggalkan jejak emas melalui karya-karya yang monumental. Apa yang dihasilkannya dalam karya-karya tersebut adalah sebuah sumbangsih yang amat berharga bagi bangsa ini. Pemikiran Bahrum yang padat dengan nuansa Islam yang damai, ramah, dan berkeadilan adalah sebuah semangat yang harus dijaga oleh para penerus bangsa.(jaja)

Friday, September 16, 2011

Ahmadiyah Indonesia dan Depag RI di Masa Awal Kemerdekaan

Kemesraan Yang Terkoyak

Oleh Abdurrahim Abdullah Daeng Patunru

jejak langit, 07 Agustus 2007

“KEMESRAAN itu sudah sudah lama terkoyak. Kita terlena, tak bisa merawat persahabatan.” Setidaknya inilah jawaban seorang Ketua Cabang Ahmadiyah di Ujung Kulon, Banten, menjawab pertanyaan kritis seorang Khadim Ibukota Jakarta yang berkunjung ke kawasan itu beberapa waktu lalu sekaligus berdikusi tentang banyak hal terutama soal-soal sejarah bangsa yang terkait dengan sejarah jemaat di panggung kebangsaan. Topik diskusi adalah: Ahmadiyah Indonesia dan Departemen Agama (Depag) RI di dasawarsa awal kemerdekaan.

Terungkap dalam diskusi betapa mesranya kedua institusi di masa itu yang semuanya diawali oleh kebutuhan banyak tokoh nasional tentang literatur Ahmadiyah yang mencerahkan umat dan para pemimpinnya. Persahabatan yang mesra itu semakin terlihat ketika di awal tahun 1950-an, Depag sendiri yang menuntun dan memberikan banyak saran dan petunjuk kepada JAI (PB Ahmadiyah Indonesia) dalam penyusunan AD dan ART-nya. Penyusunan ini disetujui langsung oleh Menteri Agama (Menag) RI di masa itu, K.H. Abdul Wahid Hasyim, (Ayahanda Gus Dur—Red.). Dari persetujuan beliau inilah, baru disampaikan lagi ke Menteri Kehakiman (Menkeh) RI. Yang kemudian kita kenal dengan Keputusan Menkeh Nomor J.A./5/23/13 tanggal 13 Maret 1953 itu.

Di awal Orde Baru, kemesraan itu makin mencapai puncak ketika Prof. Dr. Mukti Ali menjadi Menag RI dan Bachrum Rangkuti menjadi Sekjennya. Seperti dalam catatan Sejarah Hidup H.S. Yahya Pontoh Sahib rahmatullah ‘alaih, (catatan masih dalam bentuk naskah—Red.), Mukti Ali lama menjadi anak kost dan tinggal di pavilium Pontoh Sahib ketika masih kuliah di anak benua India. Pontoh Sahib seorang Diplomat RI di masa itu dan Sahabi dari Muslih Mau’ud r.a. Konon, setiap harinya, Mukti Ali Sahib melahap buku-buku Jemaat. Beliau sangat kuat belajar dan merokok.

Tentang Bachrum Rangkuti Sahib, tadinya beliau seorang Ahmadi dan salah seorang murid tercerdas Hadhrat Maulana Rahmat Ali HAOT.

Kedekatan dan kemesraan JAI – Depag RI tercermin juga dalam kepanitiaan Penyusunan Tafsir Alquran Depag yang “menerjemahkan mentah-mentah” Pengantar Mempelajari Alquran karya Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad Khalifatul Masih II r.a.. “Almarhum” Majalah Ahmadiyah Sinar Islam tak sepi memuat kemesraan ini, terutama di era tahun 50 hingga 70-an.

Kini 30 tahun berlalu, kemesraan itu terkoyak. Kita saling terasing dan saling mengasingkan diri. Padahal, kita masih sesama anak bangsa. Bukan hanya itu, bahkan—Menag kita sekarang (Muhammad Maftuh Basuni, 64 tahun) berkali-kali menginginkan Ahmadiyah hengkang dari negeri yang juga sama-sama kita bangun dengan penuh pengorbanan. Tongkat estafet kemesraan itu, tak terasa jatuh dari tangan dan: Hilang! Suatu generasi yang harus bertanggungjawab! Dan, generasi kini yang harus bekerja keras untuk menjahit kemesraan yang terkoyak itu. Dan rasanya, bukan hanya di satu sektor ini. Tapi hampir di semua lini. Wallâhu a’lâmu bi'sh-shawâb.[] (AADP/06082007)***

Available at: http://rahmatalidm.blogspot.com/2007/08/kemesraan-yang-terkoyak.html and
http://aadaengp.blogspot.com/2007/08/kemesraan-yang-terkoyak.html?zx=e03558c4ecd5f051

Thursday, September 15, 2011

Inilah Sepenggal Kisah WR Soepratman & Ahmadiyah

Oleh: MA Hailuki
Nasional - Kamis, 17 Februari 2011 | 06:03 WIB

INILAH.COM, Jakarta - Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) mengklaim pencipta lagu Indonesia Raya, WR Soepratman sebagai pengikut Ahmadiyah.


Amir Nasional Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Abdul Basit menyatakan hal itu secara terang-terangan saat dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi VIII DPR, Rabu (16/2/2011) malam.

Namun sayangnya Abdul Basit tidak menjelaskan secara detail dan memberikan bukti-bukti kuat bahwa WR Soepratman adalah pengikut Ahmadiyah.

Kendati demikian, isu bahwa WR Soepratman adalah pengikut Ahmadiyah telah berhembus sejak lama. Di beberapa blog dan forum diskusi dunia maya telah lama di bahas tentang isu ini.

Isu ini berhembus dari sebuah artikel yang memuat kisah WR Soepratman dengan mengutip buku 'Kenang-Kenangan 10 Tahun Kabupaten Madiun' karya Soejono Tjiptomihardjo. Namun sayangnya tak dijelaskan tahun berapa buku ini terbit dan diterbitkan oleh siapa.

Berikut ini adalah penggalan artikel tersebut, "Tahun 1932, Soepratman mendapat sakit urat sjaraf, disebabkan lelahnja karena bekerdja keras. Setelah beristirahat 2 bulan, di Tjimahi, beliau kembali ke Djakarta untuk mengikuti aliran Achmadijah. Sedjak April beliau bersama kakaknja bertempat tinggal di Surabaja. [Kutipan tulisan Soejono Tjiptomihardjo dalam ‘Buku Kenang-Kenangan 10 Tahun Kabupaten Madiun’ halaman 171 J."

Seperti diberitakan, Amir Nasional Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Abdul Basit mengklaim organisasinya banyak berkontribusi besar dalam proses kemerdekaan Indonesia.

Salah satu bentuk kontribusi yang sangat besar dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah, adalah dalam terciptanya lagi Indonesia Raya, yang diciptakan oleh pengikut Jemaat Ahmadiyah, WR Soepratman.

"Pencipta lagu Indonesia Raya (WR Soepratman) itu seorang Ahmadiyah. Ini bukan main-main. Pelajari sejarah," ungkap Basit. [mah]

Retrieved from: http://nasional.inilah.com/read/detail/1243922/inilah-sepenggal-kisah-wr-soepratman-ahmadiyah

Reference of this claim: Soejono Tjiptomihardjo. "28 Oktober dan arti 'Indonesia Raya' untuk bangsa kita." in Buku kenang-kenangan 10 [i.e. sepuluh] tahun Kabupaten Madiun. 1956. Madiun: Panitya. pp. 168-173.

This book is available at the following five libraries:
Other
reference for this claim: Winarno, Bondan. 2003. Lagu kebangsaan Indonesia Raya. Jakarta: TSA Komunika.

Pencipta Lagu Indonesia Ray
a ternyata pengikut Ahmadiyah
denagis.wordpress.com, 25 October 2008

Tahun 1932, Soepratman mendapat sakit urat sjaraf, disebabkan lelahnja karena bekerdja keras. Setelah beristirahat 2 bulan, di Tjimahi, beliau kembali ke Djakarta untuk mengikuti aliran Achmadijah. Sedjak April beliau bersama kakaknja bertempat tinggal di Surabaja. [Kutipan tulisan Soejono Tjiptomihardjo dalam ‘Buku Kenang-Kenangan 10 Tahun Kabupaten Madiun’ halaman 171 J

Lahirnya ‘Indonesia Raya’
Tanggal 28 Oktober memiliki hubungan yang rapat sekali dengan perasaan dan jiwa serta perjuangan bangsa kita, karena pada hari itulah telah lahir sesuatu, yang kini telah menjadi pusaka bagi bangsa kita, ialah lagu Kebangsaan kita ‘INDONESIA RAYA’. Tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1928, dalam Kongres Pemuda Indonesia yang ke-2 di Jakarta, lagu Indonesia Raya diresmikan sebagai lagu Kebangsaan Indonesia.
Bertepatan dengan peresmian Lagu Kebangsaan itu, diucapkan juga dalam Kongres itu sumpah sakti, ialah Sumpah Pemuda yang berbunyi:

“Kita bertanah air satu, ialah Tanah Air Indonesia. Kita berbangsa satu, ialah bangsa Indonesia. Kita berbahasa satu, ialah bahasa Indonesia. “

Sejak detik itu, sumpah itu menjadi sumpah dari bangsa kita seluruhnya. lagu Kebangsaan dan sumpah bangsa yang dilahirkan dalam Kongres Pemuda itu, terbukti telah menjadi ‘anasir’ yang maha penting dan mendasar, di atas mana negara kita sekarang berdiri. Sejak detik itu, lagu Indonesia Raya diakui oleh seluruh bangsa kita sebagai lagu Nasionalnya, dan kini lagu itu telah dikenal serta diakui pula oleh seluruh dunia sebagai lagu Kebangsaan Indonesia.

Dalam masa penjajahan Belanda, lagu Indonesia Raya merupakan pendorong dan pengobar semangat rakyat yang sangat besar artinya bagi perjuangan nasional kita untuk melemparkan (mengusir) penjajahan. Melihat besarnya pengaruh lagu Indonesia Raya atas bangsa kita, Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu menjadi begitu khawatir sehingga Indonesia Raya dijadikan lagu yang terlarang, karena dianggapnya membahayakan. Namun semakin dilarang lagu itu, semakin naiklah harga lagu itu dalam hati rakyat, dan semakin cintalah rakyat kepadanya. Semakin besar kekangan untuk menyanyikan lagu itu, semakin besarlah hasrat rakyat untuk menyanyikannya. Bertambah besarnya pengaruh lagu Indonesia Raya sejalan dengan meningkatnya perjuangan bangsa kita.

Lagu Kebangsaan adalah Suatu Kebanggaan

Bagi mereka yang mengerti arti dari lagu kebangsaan, maka sungguh tinggi nilai lagu kebangsaan itu. Karena itu, memiliki lagu kebangsaan adalah suatu kebanggaan bagi tiap-tiap bangsa. Setiap bangsa yang merdeka dan berdaulat pasti memiliki lagu kebangsaan.

lagu kita, Indonesia Raya, dicipta sewaktu bangsa kita berada dalam alam penjajahan, sewaktu kemerdekaan dirampas dari padanya, sewaktu kita hid up tertindas dan terhina. Karena itu Indonesia Raya menggambarkan kerinduan bangsa kita terhadap kemerdekaan dan kecintaan terhadap tanah air dengan segala isinya. Indonesia Raya menggambarkan juga kebesaran tekad dan ketetapan hati bangsa kita, juga menggambarkan suatu keyakinan yang teguh, bahwa bangsa kita pasti akan merdeka dan negara kita akan menjadi negara yang besar, sekalipun pada masa itu masih dijajah oleh bangsa lain.

Memang, dari isi dan gaya lagu Indonesia Raya, kita dapat mengetahui bagaimana dalamnya si pencipta (W. R. Supratman) menyelami lubuk hati bangsa kita pada masa itu. Dengan tepat si pencipta telah menggambarkan bagaimana isi hati dan keinginan serta cita-cita bangsa kita.

Pencipta Indonesia Raya
Ketika kita membicarakan lagu kebangsaan kita Indonesia Raya, ketika kita mengenang kebesaran arti ‘Indonesia Raya’ bagi bangsa dan negara kita, maka tidak mungkin dapat dipisahkan: kita akan teringat juga kepada penciptanya, yakni almarhum Wage Rudolf Soepratman. Wajiblah kita mengenang jasa beliau di tengah-tengah masyarakat kita yang sedang bergolak ini. Soepratman dilahirkan tanggal9 Maret 1903, pada hari Jum’at Wage di Jatinegara (Jakarta), sebagai putera kelima dari keluarga Sersan Soepardjo.
Nama ‘Rudolf diberikan oleh ayah angkatnya, seorang Sersan Belanda yang bernama Eklich, suami dari kakaknya yang bernama Rakijem. Kakaknya (Rakijem) membawa Soepratman ke Makassar pad a tahun 1914. Di sinilah beliau melanjutkan sekolahnya. Di Makassar sudah mulai tampak kegemarannya dalam bidang karang-mengarang dan jurnalistik.

Soepratman Berdarah Seniman
Nji Rakijem pandai bermain biola dan Soepratman belajar bermain biola dad kakaknya itu. Karena terdorong oleh kemauan keras, dan berkat pembawaan serta latihan-Iatihan yang tak kunjung patah, lama-kelamaan, tampaklah beliau sebagai penyairdan penggubah yang ulung.

Soepratman Pemuda Pejuang
Pada tahun 1924 beliau kembali ke Jawa, mula-mula tinggal di Surabaya, kemudian di Bandung. Di Surabaya kepandaiannya dalam musik menjadi sangat maju, dan di sini beliau mulai menjadi wartawan dan membantu beberapa surat kabar. Di Bandung beliau menjadi wartawan ‘Kaum Muda’. Mulai tampak tajam penanya dengan menggambarkan isi hatinya dalam sebuah buku roman yang diberi judul ‘Gadis Desa’, dan yang diterbitkan dengan uangnya sendiri. Tetapi sayang sekali, Belanda melarang bukunya itu beredar, hingga beliau mendapat kerugian uang yang tidak sedikit jumlahnya. Itu merupakan tekanan lagi bagi jiwa yang ingin berjuang memperbaiki keadaan masyarakat.

Pada tahun 1925 beliau nikah dengan Soedjenah. Hidupnya tidak mementingkan kebendaan dunia, bahkan bertambah pula rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Rasa yang demikian terlukis dalam lagu-Iagu kebangsaan buah ciptaannya, antara lain: Di Timur Matahari, Bendera Kita, dan lagu K.B.!. Tetapi beliau belum puas dengan lagu-Iagu yang telah diciptakan itu. Beliau ingin ada lagu kebangsaan yang lebih tepat dengan jiwa dan perjuangan bangsa Indonesia, menuju Indonesia merdeka. Maka akhirnya selesailah sebuah lagu yang diberi nama ‘Indonesia Raya’.

Lahirnya Indonesia Raya
Dalam Kongres Pemuda Indonesia ke-2 di Jakarta, tanggal 28 Oktober 1928, muncullah seorang pemuda dengan orkesnya ‘Indonesia Merdeka’ dan memperdengarkan sebuah lagu yang baru sekali bagi telinga pergerakan kebangsaan. Isi syair dan lagunya sungguh-sungguh mempengaruhi jiwa semua hadirin dalam kongres itu. Lagu itu ialah lagu Indonesia Raya ciptaan Soepratman, dan diakui sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Lagu Indonesia Raya makin terkenal di dunia, namun sebaliknya penciptanya tidak mendapat perhatian seperti lagunya. Beliau hid up dalam kemelaratan dan kekurangan.

Detik Terakhir
Tahun 1932 Soepratman menderita sakit urat syaraf, disebabkan lelahnya karena bekerja keras. Setelah beristiraha: 2 bulan di Cimahi, beliau kembali ke Jakarta untuk mengikuti aliran Ahmadiyah. Sejak April beliau bersama kakaknya tinggal di Surabaya. Sebelumnya beliau bercerai dengan isterinya, karena kesukaran dalam hidupnya. Beliau menderita keletihan bathin, karena banyak cita-citanya yang belum tercapai. Oalam kesukaran ini beliau masih dapat menciptakan lagu ‘Surya Wirawan’ dan ‘Mars Parindra’. Secara mendadak beliau jatuh sakit dan lalu meninggal dunia pada tanggal 17 Agustus 1938. Sehari sebelum wafatnya beliau berpesan kepada Nji Rakijem agar lagu’ Indonesia Raya diserahkan kepada Badan Kebangsaan untuk disiarkan. W. R. Soepratman telah kembali ke haribaan Tuhan dalam usia yang masih sangat muda (35 tahun). Saat jenazahnya diberangkatkan ke makam, hanya beberapa kawannya yang mengiringi. Beliau tidak begitu diperhatikan oleh masyarakat bangsa kita pada waktu itu. Jenazahnya dimakamkan di Surabaya.

Soepratman, seorang pencita ulung, seorang seniman, dan seorang pejuang, telah meninggalkan kita selamanya. Badan kasarnya telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi dan tetap berada ditengah-tengah bangsa kita, rela sejiwa dengan bansa Indonesia dan akan tetap bergelora sampai akhir zaman. Marilah setiap saat kita memperinati lagu kebangsaan Indonesia Raya itu, kita berdo’a sekhidmat-khidmatnya untuk arwah W.R. Soepratman, mengenang jasa serta segala pengorbanan yang telah diberikannya untuk kebahagiaan Nusa dan Banga.

Dikutip oleh GEMA dari Buku Kenang-Kenangan 10 Tahun Kabupaten Madiun halaman 168 s/d 171

Retrieved from: http://denagis.wordpress.com/2008/10/25/pencipta-lagu-indonesia-raya-ternyata-pengikut-ahmadiyah/

Pictures are retrieved from: http://islamireligius.blogspot.com/2009/11/pencipta-lagu-indonesia-raya-ternyata.html

Wednesday, September 14, 2011

Digembok di Panti Ahmadiyah (2)


KBR68H.com, Monday, 10 January 2011 10:32 Johana Purba

KBR68H
Akhir 2010, Jawa Barat dinobatkan sebagai daerah dengan kasus intoleransi terbanyak. Yang jadi korban salah satunya adalah Jamaah Ahmadiyah. Setelah penyerangan Manis Lor dan Cisalada, kini giliran panti asuhan milik Ahmadiyah di Tasikmalaya yang digembok. Reporter KBR68H Johana Purba melompat tembok dan masuk ke dalam panti, juga mencari tahu sampai kapan kondisi buruk ini bakal terus terjadi. Inilah serial kedua cerita dari Panti Asuhan yang digembok.

Upaya Buka Gembok

Panti Asuhan Khasanah Al Kautsar di Tasikmalaya, Jawa Barat, digembok sejak awal Desember 2010. Sebelumnya, Front Pembela Islam mengancam akan menyerang panti tersebut. Alasannya, panti itu milik Ahmadiyah. Polisi lantas menggembok panti, dengan alasan mencegah keributan.

Upaya membuka gembok panti sudah dimulai sebelum kalender berganti 2011. Pengurus panti dan LSM pemerhati anak, SOS, menggagas pertemuan damai dengan pemerintah Kabupaten, Kepolisian dan Kejaksaan Negeri. Nihil.

Shihab, pengurus panti sekaligus pemuka agama Ahmadiyah, mengatakan, jika tak ada kelanjutan, maka anak-anak bakal terkurung, tanpa batas waktu. “Jangan sampai hak-hak paling dasar dibatasi,” katanya.

Akhir tahun lalu, pengurus panti sempat bertemu dengan Dinas Sosial Tasikmalaya. Mereka minta anak-anak dirawat di panti milik pemerintah kabupaten. Panti menolak, kata Shihab. “Kami dari panti tidak butuh materi, tapi bagaimana meningkatkan psikologis anak supayamereka tidak dianggap terasing karena digembok.”

Anak-anak di Panti Asuhan Khasanah Al Kautsar

Sejauh ini Kementerian Sosial masih mengkaji langkah apa yang bakal dilakukan terhadap Panti Asuhan Al Kautsar ini. Direktur Pelayanan Sosial Anak Harry Hikmat mengatakan, pilihannya mulai dari merelokasi anak ke panti lain, mengembalikan mereka ke orangtua sampai mengizinkan mereka tetap di panti. Yang jelas, izin panti bakal dicek lagi. Menurut Harry,”Gembok harus dibuka, dengan catatan kembalikan ke fungsi panti yang sesungguhnya. Kalau digunakan untuk ibadah dan sebagainya, itu yang menjadi pertimbangan Bakorpakem untuk kemudian dihentikan, untuk mengurangi resistensi perilaku anarkis.”

Kejiwaan Terganggu

Kondisi kejiwaan anak-anak menjadi perhatian utama, kata profesor psikologi anak Sawitri Sadarjoen dari Universitas Padjadjaran Bandung. Sawitri meyakini, perlakuan yang kurang kondusif bagi perkembangan jiwa akan memberikan psikologi yang tidak optimal fungsinya. “Mereka akan jadi orang yang takut, tidak percaya diri, cemas dan tidak tahu apa yang akan mereka lakukan. Apalagi orang yang ada di sekitarnya berulang kali mengecek kekuatan gembok di hadapan anak-anak. Kita bisa bayangkan bagaimana ketakutan mereka, bagaimana kesedihan mereka.”

Pemuka agama dari Jawa Barat Maman Imanulhaq menuding penggembokan ini sebagai bentuk perbuatan yang melanggar perintah agama maupun hukum. Lagipula, kata pemilik pesantren Al Mizan ini, permusuhan dan kekerasan terhadap warga Ahmadiyah sudah keterlaluan. Apalagi sampai melibatkan anak-anak. “Tidak ada alasan apa pun, sekali pun atas nama Tuhan, atas nama agama, untuk melakukan kekerasan, apalagi penggembokan, pembunuhan masa depan anak!”

Shalat Maghrib berjamaah

Melanggar Konstitusi

Konstitusi menegaskan perlindungan anak dalam berbagai undang undang. Diantaranya Undang-undang tentang Konvensi Hak Sipil dan Politik, serta Undang-undang Perlindungan Anak. Ketua Komnas Perlindungan Anak Seto Mulyadi mengecam keras semua tindak kekerasan terhadap anak. Sebab hukum sudah menjamin kebebasan mereka untuk beribadah.

“Manusia dewasa saja punya hak asasi, apalagi anak-anak?” kecam Kak Seto. Ia meminta pemerintah bersikap lebih tegas dan tanggap atas seruan yang ada.

Pengurus Ahmadiyah Shibab menekankan, prinsip dan akidah adalah masalah pribadi. Urusannya langsung dengan Tuhan. “Anak-anak juga memiliki keyakinan. Dan itu tak bisa dipaksakan.” Tandas Shihab.

Tetap Meretas Cita-cita

Faisal dan sembilan temannya berusaha menjalani hidup sewajar mungkin. Mereka kompak dan saling memberi dukungan untuk tabah menghadapi semua ini. Satu tujuan mereka, menjadi warga negara dan warga Ahmadiyah yang baik. Ia memastikan, tak bakal meninggalkan akidah yang ia yakini, meski harus hidup dihadang kekerasan terus menerus. “Saya mah percaya diri saja sama aliran. Saya pegang teguh, tidak akan ke mana-mana,” kata Faisal.

Reporter KBR68H Johana Purba mewawancarai anak-anak Ahmadiyah yang digembok di pantinya sendiri. Penggembokan dilakukan 8 Desember 2010 oleh Kepolisian atas desakan FPI.

Meski konstitusi mengatur soal kebebasan beragama, namun penerapannya jauh dari harapan. Pemerintah malah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri pada 2008 lalu yang melarang aktivitas Jamaah Ahmadiyah. Aturan ini yang seringkali dijadikan pembenaran untuk menyerang Ahmadiyah, kata Shihab. Termasuk dengan menggembok panti asuhan.

“Apakah ada jaminan dari negara, kalau gembok dibuka, anak-anak tidak mendapatkan perlakuan kekerasan? Tidak mendapatkan intimidasi? Dan orang di luar sana tidak melakukan penyerangan ke sini?”

Meski hidup dalam kecemasan dan ketidakpastian, namun masih ada tawa dan harapan di wajah anak-anak Panti Asuhan Khasanah Al Kautsar. Faisal tengah meretas mimpinya untuk menjadi atlet profesional. Mulai dari sepakbola, bulu tangkis sampai softball, semua dijajal. “Insya Allah mau jadi atlet. Katanya di Kuningan ada sekolah bola. Coba saja ikut, sedikit-sedikit. Barangkali masuk seleksi.”

Sementara, Agus Rony, sudah 10 tahun ini tak pulang kampung ke Lombok, NTB. Di sana masih ada orangtua dan kakaknya. Dia berniat untuk menyelesaikan sekolah, dan segera pulang ke kampung halaman mencari pekerjaan.

Gembok takkan meruntuhkan impian mereka sebagai manusia bebas. Tak menyerah, meski akidah mereka melulu diserang. Meski negara tak melindungi mereka.

Retrieved from: http://www.kbr68h.com/saga/77-saga/346-digembok-di-panti-ahmadiyah-2