Thursday, June 7, 2012

Teror Panjang di Sukadana (2)

Sejak tahun 2005 warga Ahmadiyah di Desa Sukadana mengalami kekerasan. Rumah-rumah dan masjid dibakar. Kekerasan tidak juga berhenti.
  • Lilik HS / Arwani 
 VHR Media.com, 2 November 2011 - 13:27 WIB
Masjid Neglasari dengan baliho SKB 3 Menteri
Udara dingin mulai menyergap. Malam baru pukul 19.00. Warga Desa Sukadana, Cianjur, mulai bersiap salat tarawih di masjid Kampung Neglasari. Suasana sepi. Hanya suara jangkrik dan desau pepohonan. Dalam suasana setenang ini, dalam beberapa bulan terakhir penyerangan terhadap warga Ahmadiyah terus terjadi.


Pada 20 September 2005, dalam serangan satu malam, 70 rumah dan 6 masjid dibakar di empat kampung yang berdekatan. Setelah penyerangan di Cikeusik, Pandeglang, Banten, pada 6 Februari 2011, pengawasan makin ketat. Maret 2011 Pemerintah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, didukung Gerakan Islam Reformis (Garis) memasang dua buah baliho setinggi empat  meter di depan seluruh masjid Ahmadiyah di wilayah itu. Satu berisi Surat Keputusan Bersama 3 Menteri yang anti-Ahmadiyah dan satu lagi pernyataan 12 butir Amir Nasional Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Pemasangan ini menandai bertambahnya kekerasan terhadap warga Ahmadiyah di Sukadana, Kecamatan Campaka.

Mulai Maret hingga Juli 2011, masjid dipinjam untuk menggelar pengajian, dengan menghadirkan massa dari luar desa. Ade Ruspandi menyatakan ada surat instruksi resmi dari kepala desa bahwa setiap Jumat dan malam Senin diadakan tabligh akbar.

Kiai dan perangkat desa aktif memobilisasi warga. Ruspandi menyatakan Kepala Desa Sukadana Mawan Karmawan giat sekali menggerakkan massa. Rumah Mawan sekitar satu kilometer dari Neglasari. Ia paling keras menentang Ahmadiyah.

Pengajian berisi hujatan terhadap warga Ahmadiyah. Para kiai menuduh warga Ahmadiyah, terutama di daerah, hanya menjadi korban kebohongan para pemimpinnya. Teror kian mencekam warga Ahmadiyah. Kata-kata “bunuh”, “cincang”, “kafir” menyebar sepanjang ceramah. Awalnya beberapa anggota Ahmadiyah ikut pengajian itu. Lama-lama mereka tak tahan dan memilih meninggalkan masjid.

Puncaknya, Sabtu 9 Juli 2011, sebuah tabligh akbar digelar di Kampung Cilimus untuk peringatan Isra Mi’raj Nabi Muhammad. Penceramah dari luar Cianjur, secara terang-terangan memprovokasi warga untuk mengusir warga Ahmadiyah.

“Apabila tidak dituruti, diperbolehkan untuk dibinasakan jiwanya dan dirusak harta bendanya, karena menurut penceramah tersebut, orang Ahmadiyah jelas kafir, murtad dan sesat,” kata Ruspandi.

Madrasah dibakar pada akhir 2010


Ruspandi menceritakan beragam teror: rumah-rumah dibakar dan dijarah, dipersulit dalam urusan administrasi seperti pembuatan KTP, akta lahir, surat nikah, hingga pengurusan haji. “Semua urusan itu harus langsung ke kepala desa. Biasanya harus kasih uang lebih banyak. Kalau nggak gitu, surat nggak keluar.” Sabotase matapencaharian warga Ahmadiyah pun dilakukan. Seorang kiai rajin berkhotbah “haram berbisnis dengan orang Ahmadiyah”. Beberapa warga yang membuka usaha keripik singkong merasakan dampaknya saat para pengecer sungkan mengambil dagangannya.

Rangkaian kekerasan ini, beserta aktor-aktor penggerak di lapangan, tak pernah diusut tuntas dan ditangkap.
 
Mataharimulai meninggi. Beberapa anak yang mengantar kami berlari dan melompat-lompat di hamparan kebun teh.

Pagi itu Ibu Euis, yang rumahnya di Dusun Cieceng ludes dibakar pada Maret 2011, sedang bekerja memetik teh. Perlu agak lama mencari Ibu Euis. Ada tujuh perempuan setengah baya sedang bekerja. Mereka mengenakan baju lengan panjang, celana panjang, dan topi lebar.
Euis memetik daun teh

Euis tersenyum lebar menyambut kami. Keranjang yang ditenteng di bahunya baru terisi separuh. Kolega Euis lebih cekatan. Dalam satu menit, setumpuk daun teh berpindah ke keranjang. Sekilo teh seharga Rp 400. Rata-rata mereka bekerja dari pagi hingga pukul 16.00.

Seorang ibu, yang telah 27 tahun bekerja, bisa mengumpulkan 50 hingga 80 kilogram daun teh atau maksimal Rp 32 ribu sehari. Euis paling banter memetik 20 kilogram daun teh atau seharga Rp 8 ribu. Euis belum cekatan. Ia baru bekerja sejak Maret, setelah rumahnya dibakar. Dia diajak Deti Komariah, anak kedua, yang lebih dulu bekerja di perkebunan.
“Daripada nggak ada kerjaan. Meski sedih, sekarang jadi kuli….”

Hari berangsur siang. Kami lanjutkan perbincangan di rumahnya. Euis telah berganti pakaian, mengenakan baju berwarna biru dan kerudung putih. Baru dua minggu ia menempati rumah kayu berbentuk panggung. Ada dua kamar tidur, ruang tamu, dan dapur. Baru terisi sebuah lemari kayu dan sepasang sofa tua di kamar depan. Bagian depan rumah, rencananya untuk buka warung kecil-kecilan.

Bungah, sudah punya rumah,” ucapnya sambil tersenyum.

Pada 29 Maret 2011 pukul 22.00, Euis bermalam di rumah Deti. Rumah ditinggalkan dalam keadaan kosong. Tiba-tiba sejumlah tetangga tergopoh-gopoh mengabari bahwa rumahnya terbakar.

Tungkai kaki Euis lemas.Ia meraung sambil memeluk kedua anaknya. Rumahnya, berukuran 20 x 8 meter dengan 5 kamar, ludes dalam dua jam. Rumah itu dibangunnya sedikit-sedikit, bertahun-tahun. “Saya ingin melihat, tapi orang-orang melarang, takut saya pingsan.”

Tiga hari setelahnya, diantar polisi, ia menengok rumahnya. Euis tersedu menyaksikan rumahnya tinggal puing. Perabotan lengkap, televisi, alat-alat kerjanya untuk bikin keripik singkong, tiga karung gabah hasil panen terakhirnya juga ludes jadi abu.

Kamila, anak bungsunya menangis. Ia kehilangan baju seragam, buku-buku, dan celengan yang berbulan-bulan dikumpulkan demi membeli sepatu olahraga yang lama diidamkan.

Euis pekerja ulet. Ia punya sawah empat are. Dalam setahun sawahnya dua kali panen. Waktu kejadian itu, ia baru saja memanen. Dapat tiga karung gabah yang sudah dijemurnya beberapa kali. Ia juga punya warung sembako dan usaha keripik singkong.

Peristiwa pembakaran itu tak pernah diusut tuntas. Polisi menyebarkan informasi bahwa kebakaran itu dipicu “hubungan pendek arus listrik”.

Setelah kejadian Euis menginap di rumah Deti. Tetangga berdatangan. Mereka menyumbang beras, telur, baju, alat dapur. Beberapa orang datang, memeluk dan menyelipkan uang di tangannya. Ibu Ida, pengurus Ahmadiyah dan guru SD Sukadana, datang menguatkan hati, “Sudah, nanti juga Tuhan akan berikan penggantinya.”

Organisasi JAI membangunkan sebuah rumah panggung berdinding kayu. Warga menyumbang kayu, genting, makanan, dan uang. Semuanya dikumpulkan ke bendahara. Tak sampai sebulan rumah kayu sederhana seluas 4 x 6 meter berdiri.

“Kami belikan tanahnya dengan uang kas. Kemudian kami gotong-royong untuk membangun,” kata Ade Ruspandi.

Euis dan Kamila kecil

Euis merasakan benar ikatan solidaritas sesama anggota. Ade Ruspandi mengatakan, sebagai minoritas mereka berusaha sebisa mungkin menjaga solidaritas. Di Sukadana, JAI juga memiliki perkebunan kopi seluas satu hektare, yang digarap beberapa anggotanya dengan sistem bagi hasil. Sebagian laba disisihkan untuk kas. Dari uang kas itulah mereka membiayai kegiatan, termasuk sumbangan kepada anggota yang kesusahan. Uang kas juga diperoleh dari infak atau iuran setiap anggota, sebesar 1/16 hingga 1/3 dari pendapatan per bulan.

Dari reruntuhan rumah, Euis cuma menemukan sebuah kastrol. Tempat menanak nasi terbuat dari tembaga itu tak hangus dilahap api.


“Dari semua harta Ibu bertahun-tahun, cuma tersisa ini?”

Euis tertawa. Kastrol dipeluknya erat-erat. Ia ingat peralatan membuat keripik singkong yang telah ludes, juga satu set panci seharga Rp 200 ribu yang belum lunas dicicil. Di warung kelontong Haji Zaenal, Euis juga masih punya utang sekian puluh ribu rupiah.

Euis mendatangi warung itu setelah kejadian. “Utang-utang saya dihitung saja, Pak.” Haji Zaenal enggan memberikan keringanan. Dulu hubungan mereka baik, Euis pelanggan setia warung itu. Setelah pembakaran rumah, Haji Zaenal terkesan sinis dan menghindar.

Euis berkisah, selama bertahun-tahun tinggal di Sukadana, interaksi sosial di kampung itu berjalan “sangat baik”. Jika ada tetangga melahirkan, punya hajat, atau sakit, mereka saling mengunjungi, tak peduli Ahmadiyah atau bukan. Tak pernah sekali pun mereka menyinggung soal keyakinan. Kini, setelah penyerangan tahun 2005, kondisi berubah. Beberapa tetangga berpaling saat berpapasan dengannya.
“Mungkin takut. Ustad Yiyi suka mengancam mereka. Jangan berhubungan lagi sama orang Ahmadiyah. Gitu katanya. Katanya, ‘orang Ahmadiyah sesat’. Padahal, orang sesatmah nggak sembahyang, kan? Orang Ahmadiyah kan sembahyang. Kami juga nggak suka merusak,” kata Euis.

Euis menonton berita di televisi tentang penyerangan anggota Ahmadiyah di Cikeusik. Kemudian mereka bersama-sama berdoa di masjid. Ketika diadakan salat gaib, baik laki-laki maupun perempuan semuanya menangis haru.

Baru-baru ini Euis menyaksikan rekaman video penyerangan Cikeusik yang dibawa seseorang dari Jakarta. Air matanya meleleh.

“Sedih. Di pikir saya, orang nggak punya pikiran! Kan sama-sama orang, sama-sama umat manusia, kok bisa dipukul sampai mati?!”

Euis memiliki empat anak. Suaminya menikah lagi tak lama setelah lahir anak ketiga. Euis menolak dipoligami. Namun, baru mengurus surat resmi beberapa tahun lalu.

Di Ahmadiyah tak ada aturan ketat tentang poligami, hanya tak dianjurkan. Setahu Euis, hanya suaminya yang berpoligami. Imbasnya, kegiatan suami sehari-hari sebagai warga Ahmadiyah berkurang, mungkin karena malu. Namun Euis juga merasakan anaknya marah melihat perceraian ini. Kamila, anak bungsunya, paling terlihat sensitif. Ia jadi pendiam. Di sekolah sering menerima ejekan sebagai Ahmadiyah, di rumah ia melihat orang tuanya berpisah.

Ketika bersama teman-temannya bermain di kebun teh, Kamila sering murung. Ia ikut  berlarian dengan riang, namun menghindar saat difoto.
“Kamila sedih waktu rumahmu dibakar?” tanya saya.
 “Sedih.”
“Nangis ya waktu itu?”
“Nangis. Dalam hati saja. Malu sama orang kalau nangis.”
“Kamila nggak pernah nangis selama ini? Sampai keluar air mata gitu?”
“Nggak.”
“Jadi, kalau sedih bagaimana? Ditahan aja?”
“Iya…”
“Kan, dada Kamila jadi sesak?”
Dia terdiam lama. Mukanya memerah, dan berlari meninggalkan saya.

Ida Rohayati

Menjelang asyar, ibu-ibu mengaji di masjid Ahmadiyah Neglasari. Masjid ini dibangun pada 1970-an di tanah wakaf pendiri Ahmadiyah di kampung tersebut. Masjid benar-benar berfungsi sebagai pusat kegiatan. Ibu-ibu mengaji, anak-anak bermain di halaman masjid. Ada yang bermain sepeda, berlarian-larian. Dua anak asyik bermain tenis meja.
Ida Rohayati masih mengajar mengaji. Biasanya sekali sepekan, namun ditambah frekuensinya pada bulan Ramadan. Senyum Ida merekah begitu tahu saya menunggunya di halaman masjid.

“Maaf ya, tadi pagi ke rumah, ya? Tadi ke Ciparay sebenta,” katanya.

Ida lalu mengajak mengobrol di rumahnya, yang berdiri di tanah berundak di sisi masjid. Penampilannya tenang dan berwibawa. Ida satu-satunya guru PNS di Neglasari. Belakangan ia menghadapi ancaman mutasi.

Ida berasal dari Ciparay, kampung tetangga Neglasari. Setelah menikah pindah ke Neglasari dan dipercaya mengajar pengajian ibu-ibu dan anak-anak. Lulus sekolah pendidikan guru, Ida menjadi guru honorer di SD Margasari, sembari melanjutkan pendidikan sarjana. Pada tahun 2007 ia resmi menjadi pegawai negeri sipil di SD Sukadana, satu kilometer dari Neglasari. Di sekolahnya ada 26 murid Ahmadi dari 240 siswa.
Pada Juni 2010 sekolah mengadakan pengajian sebagai acara kenaikan kelas. Penceramah seorang ustad bernama Budi, yang sudah sering diundang berceramah di Sukadana. Isi ceramahnya hasutan kebencian terhadap Ahmadiyah.

 “Ahmadiyah itu bukan Islam!” katanya.

Ida terkesiap. Hatinya panas. Ia memilih pulang. Beberapa orang tua murid Ahmadi juga. Ia menceritakannya kepada pengurus Ahmadiyah. Khawatir terjadi kekacauan, ada yang berinisiatif melapor ke polisi. Polisi berdatangan ke sekolah untuk berjaga-jaga.

Kepala sekolah meminta maaf. “Nggak menyangka kok jadinya begini,” ujarnya.
Namun, guru agama menyudutkan. “Terima aja, memang Ahmadiyah sesat!” katanya.
“Selama bertahun-tahun mengajar, tak pernah menemui masalah. Padahal dari dulu saya selalu terbuka bahwa saya Ahmadiyah,” kata Ida.

Setahun berikutnya, di acara yang sama, terjadi lagi.
Ustad Budi, yang anti-Ahmadiyah, berseru, “Ada murid Ahmadiyah di sini?”
“Ada,” barisan belakang, kebanyakan orang tua murid, berseru.
“Kita usir, setuju?”
“Setuju!”

Rumah warga Ahmadiyah dibakar

Teriakan bergema. Nyali Ida ciut. Ia sempat menyaksikan murid-murid Ahmadi ketakutan. Juga wajah pias orang tua mereka. Ia kemudian bersembunyi di sebuah gudang sempit, pintu dikunci dari dalam. Ida tayamum dan salat minta pertolongan. Ia menangis. Tubuhnya gemetar.
Seorang anak muda berteriak-teriak di depan gudang, “Wooi… ada orangnya nih. Ayo kita cincang!”

Situasi mulai mencair setelah Ustad Budi turun dari mimbar. Koleganya mengetok pintu. “Keluar Bu, sudah aman….”

Malamnya, murid-murid menemui Ida di rumah. Mereka takut dan menangis, ingin pindah ke sekolah lain.
Ida juga menerima sejumlah pesan pendek, meminta dia mengajukan pindah dari sekolah. Ida mengetahui nomor pengirim pesan, seorang kiai anti-Ahmadiyah, kerabat Ustad Budi. Ida lantas mengganti nomor telepon seluler.

“Suami saya dipanggil kepala sekolah dan kepala desa. Kepala desa juga mendatangi sekolah, meminta saya dimutasi.”

Suparman, pengawas sekolah memanggilnya, “Semua guru harus taat pada aturan, aturan Pergub, MUI, kalau nggak, keluarkan saja!”

Ida menghadap kepala sekolah, yang menguatkannya agak tetap bertahan. Dua puluh enam murid Ahmadi juga masih bersekolah di SD Sukadana.  
 
Pukul 17.00 kami berpamitan. Perjumpaan tak lebih dari 1,5 hari itu terasa hangat benar di lubuk hati. Orang-orang masih melambaikan tangan, hingga mobil yang mengantar menuju Terminal Cianjur melaju. Sukadana nan elok itu perlahan lenyap dari pandangan.

Lebaran lalu, ketika penjuru negeri ini ribut karena belum ada kepastian penetapan Hari Raya Idul Fitri 1432 oleh pemerintah, dari balik keheningan Sukadana, Ade Ruspandi membawa kabar sedih: warga dilarang salat Ied di masjid Neglasari. Bahkan ada ancaman dari Kasat Intel Polres Cianjur: jika Ahmadiyah tidak menurut maka akan terjadi “Cikeusik (jilid) 2”. Aparat desa kembali bersuara keras. Polisi berjaga-jaga dan siap melakukan evakuasi.

Akhirnya Rabu 31 Agustus 2011muslim Ahmadiyah menggelar salat Ied di sebuah madrasah. Mereka tak tahu sampai kapan teror akan berakhir. (E4)
Foto: VHRmedia / Perkumpulan 6211

Retrieved from: http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=4800

Wednesday, June 6, 2012

Teror Panjang di Sukadana (1)

Teror tak juga mereda di Desa Sukadana. Bertahun-tahun warga Ahmadiyah menjadi korban intimidasi dan represi.
  • Lilik HS / Arwani 
VHR Media.com, 31 Oktober 2011 - 9:29 WIB

Tawa anak-anak Sukadana
Hawa sejuk menyergap begitu memasuki Desa Sukadana, Kecamatan Campaka, sekitar 35 kilometer dari kota Cianjur, Jawa Barat. Daerah ini memiliki kontur tanah bergunung-gunung, dikelilingi perkebunan teh dan kopi.


Sukadana merupakan basis Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang cukup besar di Cianjur. Ada sekitar 600 warga Ahmadiyah yang tersebar di beberapa dusun: Neglasari, Ciparay, Cieceng, Cilimus. Berpuluh tahun mereka hidup damai.

Minggu ketiga Agustus 2011, kami mengunjungi Desa Sukadana. Ade Ruspandi, Ketua Pemuda Ahmadiyah Cianjur Tengah, mengantar transit di rumah Pak Kamaluddin. Pak Kamal dan istrinya, Bu Sopiah, menyambut ramah. Minuman dan bertoples makanan segera dihidangkan begitu tahu kami tak berpuasa.
Siang itu ada kunjungan pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia dari Jakarta ke Ibu Euis, yang rumahnya dibakar pada Maret 2011.Warga kemudian bergotong-royong membangunkan rumah. Para pengurus JAI memanjatkan doa di depan rumah baru itu.

“Kebanyakan penduduk sini bertani atau jadi buruh tani di perkebunan kopi dan teh. Banyak juga yang wiraswasta, dagang,” tutur Pak Kamal. Tak lama menemani kami ngobrol, Pak Kamal pamit ke kebun.
Udara berhembus sejuk. Dari teras rumah tampak jajaran pohon pinus di seberang bukit berdiri kokoh. Sayang, keelokan alam dan keramahan warganya ini berbanding terbalik dengan tingkat kekerasan yang terjadi. Di tengah keheningan Sukadana, sejak 2005 pengikut Ahmadiyah terus dihujani represi. Massa yang dimobilisasi para kiai yang anti-Ahmadiyah, menguasai masjid Ahmadiyah untuk pengajian dan salat Jumat. Pengajian itu lebih banyak berisi hujatan yang kemudian berkembang menjadi penyerangan fisik.

Pada Juli 2011 empat rumah anggota Ahmadiyah diserang dan dibakar. Termasuk rumah Etin dan Abah Yahya, yang hendak kami kunjungi sore itu.

Pukul 15.00 kami diantar mobil ke Dusun Cilimus, sekitar 15 menit dari Neglasari. Jalanan berkelok-kelok melewati perkebunan teh milik PT Perkebunan Nusantara VIII. Dari kaca spion, tampak sebuah sepeda motor menguntit sejak keluar dari Neglasari. Pengendaranya mengenakan baju koko dengan kopiah putih.
Tak ada yang tahu nama aslinya. Warga memanggilnya “Ustad” Yiyi. Berusia sekitar 40 tahun. Orang-orang bilang ia mantan residivis. Tak punya keluarga. Tak ada pekerjaan. Warga malas berurusan dengannya, karena ia suka nekat. Suka mengancam macam-macam jika permintaannya --  tak jauh-jauh dari uang -- ditolak. Jika sedang kepepet, disodori lima ribu rupiah pun ia sudah tersenyum lebar dan tak lagi merongrong.

Yiyi gemar memakai baju koko, yang sering kali sudah kumal, dipadu sarung atau celana komprang dan kopiah. Jenggotnya dibiarkan mengembang. Entah siapa yang memulai, orang-orang menyebutnya ustad, kendati seingat mereka Yiyi tak pernah terlihat berceramah.

Yiyi menguntit hingga mobil berhenti di depan rumah pasangan Nuryatman dan Etin. Sebelum berangkat, Ade membekali dengan skenario sederhana: kami adalah saudara Etin dari Cianjur, yang sengaja berkunjung untuk menengok bayinya.

Etin, 26 tahun, sedang menimang bayi yang belum genap 40 hari ketika kami tiba. Etin berparas manis, dengan kulit kuning terang. Ia tersenyum ramah kendati agak bingung atas kunjungan mendadak ini.

Etin melahirkan dalam pelarian

Nuryatman bergegas menggelar tikar. Pasangan ini memiliki tiga anak. Cahya, 9 tahun, Tiara, 6 tahun, dan si bungsu Rangga Purnama. Cahya dan Tiara duduk di sebelah ibunya. Nuryatman sesekali duduk menemani, sesekali keluar mengobrol dengan Yiyi.


“Mereka datang, teriak-teriak ‘Allahu Akbar’, terus lempar-lempar batu. Saya diem saja. Cuma bisa berdoa di kamar…” tutur Etin mengenang peristiwa menjelang Ramadan itu, Sabtu 30 Juli 2011. Sejumlah sepeda motor, dengan knalpot menderu, berputar-putar di jalanan depan rumah. Batu-batu melayang ke atas genting. Empat genting remuk.

Parapenghuni rumah hanya bisa mengunci diri di kamar. Lampu dimatikan. Etin sedang hamil Rangga ketika itu.

Bagi Etin, peristiwa malam itu tak seberapa parah dibanding enam tahun silam. Saat itu kondisinya sama, ia tengah hamil sembilan bulan.

Etin perlu menarik napas panjang sebelum mulai bercerita. 20 September 2005, sejak siang suasana di Sukadana sudah memanas. Malam hari, puluhan orang merangsek ke dalam rumah. Perabot diacak-acak. Kaca-kaca jendela dipecah. Meja kursi dijungkirbalikkan. Warung kelontong dijarah. Suasana sangat kacau. Massa berteriak memanggil namanya.

"Mana awewe geulis, diperkosa wae!”Orang-orang terus berteriak. Etin, suami, dan anaknya terdiam di kamar. Mulutnya terus-menerus mendaraskan doa.

"Saya tak mampu berdiri. Kaki ini gemetar rasanya..." tutur Nuryatman.
Tengah malam itu, dengan bekal seadanya, mereka lari ke hutan.
"Saya lari terus, sambil pegang perut begini…." kata Etin.

Melihat Etin memperagakan memegang perutnya, saya mendadak ngilu. "Nggak sakit? Nggak bikin kontraksi?"

Etin menggeleng. "Nggak tahu ya, kuat saja tuh...."

Selama dua hari mereka mengungsi ke hutan di pinggir desa. Membuat tenda seadanya. Tidur beralas tikar. Dua hari kemudian, ia mengalami kontraksi dan dilarikan ke bidan desa. Cahya pun lahir dengan persalinan normal.

Rangga menggeliat, tak lama kemudian tangisnya pecah. Etin segera meraih dan menimangnya. Di luar, sesekali ekor mata Yiyi melirik ke arah kami. Kami harus sembunyikan kamera dan merendahkan intonasi suara.

Etin hanya bersekolah hingga kelas VI SD. Sejak kecil ia kerap diejek sebagai warga Ahmadiyah. Etin kecil hanya mengadu ke ibunya dan sang ibu berulang-kali berkata, "Sabar. Kita jangan cari musuh…."

Etin tak mengerti mengapa teman dan gurunya selalu mengejek. Kupingnya kerap kali panas dituding “kafir” dan “sesat”. Ia merasa salat dan mengaji dengan cara sama seperti teman-temannya.
“Panas sebenarnya hati ini, tapi bagaimana lagi?! Nggak bisa apa-apa. Sabar ajalah....”
Etin kerap menghibur diri, "Ah, biarin lah, entar gede juga dia ngejar saya.…"
Etin memang berparas manis. Semasa muda ia menjadi kembang desa.

Jika dahulu ibunya menyuruh bersabar atas semua ejekan, kini ia melakukan hal yang sama kepada anak-anaknya. Si sulung, Cahya yang duduk di kelas V SD Sukadana, kerap pulang sekolah dengan menangis. Dia diejek teman-teman dan guru. Kadang juga ditimpuki. Dibanding Tiara, adiknya, Cahya terlihat lebih murung. Ia suka menarik diri dan menolak ketika diminta foto bersama.

“Cahya sering diledek teman-teman?” Saya menatap matanya, bertanya pelan-pelan. Cahya diam. Melirik ke arah ibunya. Tampak marah dan ingin menangis. Lantas ia berlalu meninggalkan kami dengan raut muka memerah.
“Ya, Cahya memang begitu…” kata Etin Etin tersenyum.

Ia memahami konflik batin anak-anaknya. Cahya kerap menangis dan marah-marah tanpa sebab. Toh, Etin dan Nuryatman tak punya pilihan lain selain bersabar. Ia sadar, risiko direpresi akan terus menghampiri.
“Yah, gimana lagi?! Kami tak pernah punya niat buruk….”

Rumah warga Ahmadiyah dibakar massa

Abah Yahya, 87 tahun, masih bisa mengingat jelas peritiwa itu. Sabtu 30 Juli 2011 pukul 00.30, rumahnya di pinggir hutan Dusun Cilimus, beberapa kilometer dari Neglasari, dibakar orang tak dikenal. Cilimus hanyalah dusun kecil yang dihuni 11 keluarga, dengan total warga 35 orang.

Abah sedang terlelap di kamar depan. Irma, 15 tahun, cucunya yang kebetulan menginap, berteriak histeris melihat api membubung. Abah terbangun. Dalam gelap, ia menyaksikan api melalap dinding rumah dari anyaman bambu. Seluruh ruangan dikepung asap hitam. Abah sempat mencium bau minyak tanah. Nenek Rum, istri Abah yang sudah tuli, terlelap di kamarnya. Sengaja tak dibangunkan hingga subuh.
“Abah dan cucu padamkan api pakai selimut dan air,” tutur Abah terbata-bata, sering bercampur bahasa Sunda. Tetangga segera berdatangan. Hingga pagi, Abah tak bisa tidur lagi. Berpuluh tahun tinggal di Sukadana, baru kali itu rumahnya jadi sasaran.

“Abah tahu mengapa rumah mau dibakar?” tanya saya.
“Tahu. Karena Abah Ahmadiyah....”
“Mengapa Ahmadiyah jadi sasaran terus-menerus?”
“Ya, mereka berpendapat kami berbeda keyakinan. Padahal tidak. Yah, Abah cuma bisa sabar.”
“Abah marah atas semua perlakuan itu?”
“Nggak… cuma sedih, takut, kalau terjadi apa-apa sama Nenek. Kasihan Nenek, sudah tak bisa dengar.…” Abah terbatuk-batuk. Ia juga tak kecewa kendati pembakaran rumahnya tak pernah diusut polisi. Aparat desa pun mendiamkan saja.


Abah Yahya

Dalam usia 87 tahun, batuk kerap menderanya. Matanya sudah lamur. Tapi ingatannya tetap jernih. Ia masih hafal tahun lahirnya, 1924. Pada usia 33, tahun ia dibaiat sebagai muslim Ahmadiyah. Ayahnya dari Dusun Ciparay tergolong perintis organisasi keagamaan Ahmadiyah di Sukadana.

Abah menyaksikan ketika terjadi clash dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia pada 1950-an. “Zaman DI/TII itu Abah pulang ke Ciparay, sempat dicegat pasukan mereka. Abah lihat banyak orang dibunuh.”
DI/TII didirikan Kartosoewirjo, semula menentang kolonial Belanda. Setelah makin kuat, Kartosuwiryo memproklamasikan Negara Islam Indonesia pada 17 Agustus 1949 dan tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia. Dipicu kekecewaan terhadap kalangan nasionalis, juga hasil Perjanjian Renville, akhirnya mereka memberontak. Pada 4 Juni 1962 Kartosoewirjo menyerah, mengakhiri 13 tahun gerilya di hutan dan gunung-gunung di Jawa Barat.

Abah ingat, beberapa anggota DI/TII kerap mendatangi kampungnya meminta logistik. Warga Ahmadiyah dianggap pro-pemerintah republik, jadi sasaran empuk. Dengan kondisi geografis dikelilingi gunung dan hutan, Cianjur Selatan merupakan basis gerilya DI/TII.

Sehari-hari Abah tinggal bersama istri dan cucunya. Untuk hidup sehari-hari, ia mengandalkan kebun dan ternak. Ia masih sanggup mencangkul. Dua hari sekali, dengan kaki terpincang-pincang, ia berjalan ke bukit mencari rumput untuk tiga ekor kambingnya. Kadang, saat musim kemarau dan rumput sulit didapat, Abah harus berjalan berkilometer masuk hutan.

Di dapur sempit yang dipenuhi kepulan asap hitam, Nenek Rum, 85 tahun, memasukkan potongan-potongan kayu ke dalam tungku. Ketel nasi bertengger di atasnya. Sebentar lagi matang. Kedua cucunya menemani sore itu: Irma dan sepupunya, Sartika, 13 tahun. Mereka bersekolah di SMP PGRI, beberapa kilometer dari Cilimus yang ditempuh dengan berjalan kaki.

Irma dan Tika agak  pemalu. Bicara pelan dan kerap kali menunduk. Ketika tertawa, mereka menutup mulut dengan tangan. Irma sedikit lebih terbuka. Ia mau bercerita tentang teman-teman di sekolah yang sering mengejeknya.

“Mereka meledek. ‘Nabi Ahmadiyah itu Mirza Gulam. Kalau naik haji ke India.’ Pengen marah, tapi nggak bisa apa-apa. Diem aja.”
Tika bukan anggota Ahmadiyah. Ibunya anggota Ahmadiyah, ayahnya bukan. Ia mengikuti garis ayah.
“Tika tahu Irma sering diledek teman-teman?”
“Tahu..”
“Tika bukan Ahmadiyah, tidak ikutan menjelekkan Ahmadiyah, seperti teman-teman lainnya?”
Tika menggeleng, "Kasihan, kan saudara."
“Kalau Irma diledek, Tika membela?”
Tika menggeleng pelan, “Takut…..” Matanya melirik kepada Irma. Mereka berbagi senyum, lantas saling berpegangan tangan.
“Irma ingin jadi apa?”
“Jadi dokter.”
“Kalau Tika?”

Tika tersenyum, menggeleng. Irma dan Tika sangat sayang pada Abah dan Nenek Rum. Sepulang sekolah, mereka mampir ke rumah Abah, membantu memasak dan bersih-bersih.

Senja mulai turun di Cilimus, kami berpamitan pulang, kembali ke Neglasari. Abah mengantar hingga depan rumah.

“Apa yang membuat Abah yakin dengan Ahmadiyah? “

Abah terdiam sebentar. “Dulu, uyut Abah bilang, kita akan diserang oleh sesama orang Islam. Dulu Abah tak percaya, bagaimana mungkin orang sesama Islam kok menyerang? Baru sekarang setelah Ahmadiyah diserang, terbukti omongan uyut. Orang bacaannya sama. Syahadatnya sama. Qur’annya sama.”

 “Apa yang Abah harapkan?”
“Ingin damai. Mengamankan negara ini. Bukan dikacaukan. Jangan adakan kerusuhan. Yang aman. Tentrem, ayem, elingan. Ini gimana negara kok dikacaukan?” kata Abah dengan suara sedikit meninggi. (bersambung)
Foto-foto: VHRmedia / Perkumpulan 6211
Retrieved from: http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=4768

Tuesday, June 5, 2012

Indonesia's Ahmadis Look for a Home in Novel

The Jakarta Globe, June 05, 2012 | by Olin Monteiro

How does it feel when you are not allowed to go to your own house? How does it feel to know that your house was burned down and someone else now occupies it?

“Maryam,” the third novel of author Okky Madasari, is a story about the suffering of the repressed Ahmadiyah sect in a small coastal village called Gerupuk in Lombok, West Nusa Tenggara.

Maryam, the main character, was born and raised in an Ahmadiyah family. Her father is a devoted Ahmadiyah member and has established good relationships with the members of the village. Growing up, Maryam pursues higher education in a prominent Universitas Airlangga, Surabaya, East Java.

Her parents wish her to marry an Ahmadi man and believe that it’s the best thing for her to have a husband from the same religious background — marrying someone outside the Ahmadiyah sect will not work.

Maryam then falls in love with an Ahmadi man named Gamal. Unfortunately, the relationship doesn’t work when Gamal disappears and joins an Islamic fundamental group, leaving Maryam devastated.

She sets off to Jakarta in search of work, and meets another man named Alam whom she falls in love with and marries. Later in the marriage, she finds out that Alam is not the right man. This unfortunate occasion prompts the pair to divorce and sends Maryam back home to Gerupuk.

By the time she returns, she learns that her house is empty and the whole Ahmadiyah community is forced to leave. The sect is accused of being heretics, not a part of Islam and not an acknowledged religion.

Maryam looses her house and her family because of faith. It is a fictional story based on very real intolerance and expulsion surrounding faith, trends which have been increasing in Indonesia, according to human rights organizations.

The sect, founded by Indian Muslim Mirza Ghulam Ahmad in 1889, is considered controversial in many Muslim majority countries. It is banned in Pakistan and Saudi Arabia. The Ahmadiyah community believes in Islam, but differ in their interpretations of the Koran.

In Indonesia, the Ahmadiyyah existed before the nation’s independence with approximately 200,000 followers. Erfan Dachlan, son of Indonesian Islamic revivalist Ahmad Dachlan who established the Muhammadiyah sect, founded Ahmadiyyah following his study in Lahore, India.

There are two Ahmadiyah groups in Indonesia. The first is Ahmadiyah Qadiyan, popularly known as Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), which started in Bogor. The group claims that Mirza Ghulam Ahmad is a Mujaddid (divine reformer) and a prophet. This is a key point of contention because most Muslims believe that Muhammad was the last monotheist prophet.

The second sect are the Ahmadiyah Lahore, commonly known as Indonesian Ahmadiyah Movement (GAI) based in Yogyakarta, which doesn’t necessarily believe that Mirza Ghulam Ahmad is a prophet, but rather a Mujaddid.

In 1953, JAI was officially recognized in Indonesia to have legal status from a decree handed down by the Minister of Justice. But the acknowledgment did not stop other groups from spreading their hatred. The Indonesian Ulema Council (MUI) issued a fatwa (religious edict) declaring that Ahmadiyah is outside the pale of Islam, heretical and deceiving.

Even worse, JAI have come under increasing violence and deadly attacks since MUI issued another fatwa in 2005, saying the sect is haram and deviating from Koranic teachings regarding the final prophet. Hard-line Islamic groups attacked the Ahmadiyah headquarters near Bogor and assaulted its members in many areas such as in East Lombok, Manislor, Tasikmalaya, Parung, Garut, Cikeusik, and other regions as well.

The Ahmadiyah have the right to exist without fear of expulsion and persecution. Whether Ahmadiyah has deviated from Islam is not relevant. What’s right is protecting its members as citizens.

The character of Maryam represents just one of the many people who follows Ahmadiyah teachings and wants to live a normal, happy life in Indonesia, a country that’s supposed to guard the rights of its citizens. There’s should minimum protection for all of the Maryams, her family and the members of Ahmadiyah in general.

But authorities haven’t guaranteed the safety of these people. The authorities do not guarantee the protection of their houses, their land, their possessions, their rights and above all else, their souls.

Although Maryam and hundreds of thousand other Ahmadis can’t return to their own houses, they still live among us in a pluralistic society. And like many of us, they’re striving just to live their lives.

Through “Maryam,” Okky gives us the opportunity to walk in an Ahmadis’ shoes to foster a better understanding.

Asked what inspires her to write about religious issues, Okky says: “I’m deeply concerned about the intolerance and discrimination against minority groups in Indonesia. Through ‘Maryam,’ I intend to fight for the rights of those who have been outcasted and victims of violence.”

This is a call for Indonesians to give Maryam and the rest of the Ahmadis back their home, their rights, their dignity and their happiness.

Maryam
By Okky Madasari
Published by Gramedia Pustaka Utama
275 pages
Bahasa Indonesia

Olin Monteiro is a writer and feminist working in Jakarta

Retrieved from: http://www.thejakartaglobe.com/lifelived/indonesias-ahmadis-look-for-a-home-in-novel/522461

Monday, June 4, 2012

Fatwa dan Rekomendasi tentang Ahmadiyah 1984

Satu fatwa, empat rekomendasi

HANYA satu fatwa yang dikeluarkan oleh Rakernas MUI tahun ini. Sidang yang berlangsung 4-8 Maret itu, di Jakarta, mengesankan memberi perhatian kepada berbagai permasalahan sosial yang jauh lebih luas dari sekadar masalah hukum - hal yang juga sudah terasa pada Munas 1980.

Menarik adalah ceramah Adi Sasono, Direktur Lembaga Studi Pembangunan, yang mengetengahkan pendekatan masalah dan alternatif operasional bagi dakwah pembangunan yakni dakwah yang merupakan "keseluruhan upaya pengembangan masyarakat dalam mewujudkan tatanan sosial ekonomi dan kebudayaan menurut ajaran Islam."

Fatwa yang diputuskan dalam jangka sidang lima hari itu hanya tentang adopsi. Di situ adopsi dianggap sebagai amal saleh, alias kebajikan besar, bila ia berarti "pengangkatan anak dengan tidak mengubah statusnya", alias tetap mengakui hubungan darahnya dengan orangtuanya yang asli. Melanggar itu, maka adopsi haram.

Di bawah fatwa, terdapat empat rekomendasi. Salah satunya tentang Syiah (lihat: Syiah Kalau-Kalau Datang). Tapi yang juga menarik adalah tentang pendayagunaan tanah warisan. Intinya: agar tanah warisan yang sedikit, khususnya dl desa-desa, tidak dibagi-bagi di antara ahli waris. Melainkan: dimanfaatkan secara kooperatif atau dibeli oleh salah satu dari mereka yang mampu atau oleh pemilik tanah tetangganya. Atau, bila semua butir urutan itu tak bisa dipenuhi, dijual kepada orang sedesa yang Muslim - agar, bila kemudian bisa dijadikan ladang atau sawah, zakatnya bisa di manfaatkan para tetangga. "Ahli waris yang kemudian tidak mendapat tanah, dan hanya menerima uang penjualan bagiannya, supaya bersedia bertransmigrasi," kata K.H. Syukri Ghozali, Ketua Umum MUI, dalam laporannya tentang hasil-hasil Rakernas. Semua itu dengan pertimbangan bahwa tanah di Jawa sudah sangat sempit.

Semua rekomendasi itu memang berdasar maslahat. Soal haji, misalnya. Di sini MUI mengimbau umat agar "menghayati bahwa ibadah haji itu diwajibkan hanya sekali" - itu pun bagi yang mampu. Sehingga untuk haji yang sunah, alias tambahan, dianjurkan umat menggantinya dengan amal jariah "yang dapat dirasakan manfaatnya oieh umum".

Dalam pidato pembukaan Rakernas, Kiai Syukri malah mengemukakan hasil keputusan sidang Majma'ul Buhutsil Islamiyah yang berkedudukan di Mesir. Keputusan itu menyatakan bahwa buah amal jariah, di akhirat, lebih besar dari pahala haji sunah. "Mekah dan Mina itu sangat sempit tidak mungkin diperluas," kata Kiai Syukri. Dan itulah alasan pokok.

Rekomendasi keempat adalah tentang Jamaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) alias aliran Qadian. MUI, untuk itu, minta kepada yang berwewenang untuk meninjau kembali Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI tahun 1953, yang memberi status badan hukum kepada JAI. Dasarnya: kepercayaan Qadiani, yang membawa nama Islam itu, "bertentangan dengan ajaran agama Islam".

Ahmadiyah Qadiani adalah yang menganggap Ghulam Ahmad nabi. Pertemuan para ulama yang dilangsungkan di Mekah sendiri, beberapa tahun lalu, menyatakan jemaah itu berada di luar Islam. Langkah yang sejajar kemudian diambil pemerintah Pakistan, asal kelahiran aliran ini. Tetapi Ahmadiyah yang aliran Lahore, yang tidak menganggap Ghulam Ahmad nabi, dikecualikan oleh keputusan Mekah maupun MUI, sementara pemerintah Pakistan tidak membedakan dua-duanya.

 Menteri Agama sendiri dalam pidatonya juga meminta perhatian majelis kepada jemaah yang, menurut Kiai Syukri, "perkembangannya kita lihat memang pesat" itu. Yang menarik, dalam rekomendasi itu tak ada kalimat permintaan pelarangan - kepada Kejaksaan Agung, misalnya. Tetapi, seperti dikatakan Kiai Syukri, Rakernas mengharapkan agar pemerintah RI, seperti juga Pakistan, "memperlakukan Jemaah Ahmadiyah Qadian sebagai non-Islam".

Available at: http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:8NeukeeZqI0J:majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1984/03/17/AG/mbm.19840317.AG42473.id.html+&cd=1&hl=en&ct=clnk&gl=us&client=firefox-a

Sunday, June 3, 2012

Romi dan Yuli dari Cikeusik

By Denny J A
 
Posted on March 21, 2012

/1/
Juleha namanya, asli Betawi.
Sejak remaja Yuli panggilannya –
Dan ia suka.
Di atas sajadah
Masih juga tersedu si Yuli.
Jam 3.00 dini hari
Ia lantunkan doa pedih
Lirih.
Ya, Tuhan gerakkan hatiku1
Berikan aku isyarat menuju cahaya
Kebimbangan ini menyiksaku.
Foto Romi di tangannya,
Kekasihnya;
Diingatnya Ayah
Yang membesarkannya –
Mengapa aku tak bisa memiliki keduanya?
Ah, yang seorang umat Ahmadiyah
Seorang lagi Muslim garis keras.
Pedas, keras ucapan ibunya
Setiap kali perempuan itu memperingatkannya,
Kita di Indonesia, tidak di Amerika.
Di sini agama di atas segala
Tak terkecuali cinta remaja.


/2/
Ditatapnya sekali lagi foto Romi
Pria penuh kasih dan sayang.
Paduan jiwaku, soul-mate,
Calon suamiku.
Masa silam pun melintas adegan demi adegan:
Ketika itu Yuli lagi patah hati
Menderita penyakit sulit disembuhkan
Karena itulah kekasih lamanya pergi
Menikah dengan gadis lain.
Di masa segalanya terasa kosong,
Di masa semuanya tercecap hambar,
Muncullah seorang pemuda
Romi namanya – membawa aroma berbeda;
Ditemaninya gadis itu ke dokter,
Ditemaninya mencoba resep herbal,
Ditemaninya berdoa
Mengharapkan keajaiban.
Tasbih pemberian Romi di ulang tahunnya
Tak pernah lepas dari tangannya:
Keduanya senantiasa berzikir bersama.
Selembar puisi menempel di dinding kamarnya
Kata dirangkai dalam larik,
Larik ditata dalam bait,
Menyihirnya setiap kali menjelang tidur.
Tak terdengar isak tangis Yuli
Yang dalam, yang berkepanjangan.
Dibayangkannya Romi,
Dibayangkannya dirinya sendiri
Terombang-ambing dalam bayang-bayang kenyataan
Yang kelam: harus pupus cinta karena beda paham agama.

/3/
Rokhmat nama aslinya, Romi panggilannya
Nama yang pas untuk orang kota, katanya,
Berasal dari keluarga kurang berada
Tinggal di salah sebuah kantong permukiman
Satu dari banyak pemukiman Jemaah Ahmadiyah.
Ancaman serius bagi akidah,
Kata sebagian orang.
Ia tak mau lagi mewarisi kemiskinan
Tak mau begitu saja menyerah
Dan berkat kecerdasannya ia peroleh beasiswa
Belajar ilmu bisnis ke mancanegara.
Ayahnya pengurus Ahmadiyah
Itu ia tak minta
Sejak kecil dididik oleh lingkungannya
Juga itu ia tak minta,
Demikianlah, ia pun menjadi seorang Ahmadi.
Dipelajarinya filsafat dan pengetahuan Barat
Ajaran Ahmadiyah mengalir dalam darahnya.
Namun, tidak fanatik ia!
Semua agama warisan dunia
Bisa diikuti siapa saja
Bisa diambil inti sarinya
Untuk kebaikan semua,
Begitu selalu katanya.

/4/
Saat pertama berjumpa Romi
Di taman kampus itu
Dalam sebuah pagelaran seni antaruniversitas
Yuli terdengar melafalkan sajak Kahlil Gibran,
Bila cinta tlah memanggilmu, ikutlah jalannya walau mungkin berliku
Dan bilamana sayapnya mendekapmu…
Ia lupa kata selanjutnya
Diulanginya lagi potongan kalimat Kahlil Gibran itu,
Dan bilamana sayapnya mendekapmu…
Tetap saja tak diingatnya lanjutan larik itu;
Saat itulah terdengar suara dari belakang
Menyambungnya,
Dan bilamana sayapnya mendekapmu, pasrah dan menyerahlah,
Walau pedang yang bersembunyi di sayap itu menghunusmu…
Laki-laki yang menyahut itu memperkenalkan diri,
Saya Romi.
Itulah awal mula segala
Yuli mahasiswi
Romi pengusaha franchise
Yang juga dosen muda dari universitas lain.
Keduanya bertemu lagi
Bertemu dan bertemu lagi
Di kampus
Di toko buku
Di bioskop
Di rumah makan
Di rumah masing-masing.
Sampai pada suatu hari
Yuli dan Romi tersadar:
Bunga tampak lebih indah sore itu
Padahal bunga yang sama,
Burung lebih lincah dari sedia kala
Padahal burung yang itu juga.
Ya, ya, bunga dan burung boleh saja sama
Tetapi hati yang telah berubah
Mampu menyulap apa pun yang kasat mata
Tampak lebih indah.
Di mana pun mereka senantiasa bersama
Tertawa-tawa, berbisik-bisik,
Tukar-menukar kata tentang ini dan itu,
Tentang Yang Di Sana dan yang di sini:
Demikianlah maka mereka pun dikenal
Sebagai Romeo dan Juleha, pasangan pecinta puisi.
Sampai jugalah hari itu:
Rencana pernikahan pun dirundingkan.
Dua keluarga berjumpa
Dua keluarga bulat mufakat
Tanggal, bulan, dan tahun pernikahan
Semua sepakat –
Tanpa bicara paham agama:
Undangan pernikahan segera disiapkan.

/5/
Tak ada hujan tak ada badai
Tak ada petir tak ada kilat
Mendadak pernikahan batal
Langit pun terkejut.
Penyebabnya peristiwa itu!
Tanggal 6 bulan Februari tahun 2011
Kampung Romi di Cikeusik dilanda huru-hara.
Ketika Jemaah Ahmadiyah sedang mengadakan pertemuan
Massa menyerang –
Dan nyawa empat orang2
Melayang!
Kebetulan Romi menyaksikan peristiwa itu
Di layar kaca
Ketika ia dan Yuli makan siang
Di sebuah restoran Jepang.Wajahnya tampak tegang
Itu teman-temanku, ujar Romi;
Yuli tersentak.
Maksudmu? Kamu pengikut Ahmadiyah?
Romi mengangguk, pelan.
Mengapa kamu tidak pernah cerita?
Romi terdiam.Yang sedang ditayangkan itu
Bukan sebuah drama
Bukan pula sinema
Tapi rekaman peristiwa di kampung sana.
Orang-orang berbekal kayu dan senjata tajam
Meneriakkan Allahu Akbar!
Mereka garang
Mereka menyerang
Dan beberapa nyawa melayang.
Yuli ikut sedih, dan hanya bisa berkata lirih,
Pulang sajalah kau, Romi, sekarang.
Cari kabar keadaan orang tuamu
Cari tahu nasib teman-temanmu.
Romi menahan air matanya, lalu dikatakannya,
Maafkan aku Yuli,
Aku tak pernah cerita itu;
Bagiku perbedaan paham agama
Tak perlu menjadi sengketa.
Romi pun bercerita,
Ahmadiyah itu bla…bla…bla…
Ra…ra…ra…
Ra…ri…ru….
Mereka dituding sesat karena bla…bla…bla…
Padahal ra…ra…ra…
Romi diam sejenak, lalu dilanjutkannya,
Mereka tidak mendudukkan
al-Tazkirah sebagai Kitab Suci
dan menganggapnya sebagai karya Ghulam Ahmad
Tiada lebih.
Mereka berkeyakinan sama dengan umumnya akidah Islam
Menjalankan ibadah sesuai lima rukun Islam
karena bla…bla…bla…
Ra…ra…ra…
Romi mengambil nafas panjang
Kembali berkicau,
Polemik Ahmadiyah sering terjadi sejak 1925
Dulu semua damai saja
Tapi orang sekarang pendek sumbunya
Tidak lagi sanggup menenggang perbedaan
Padahal bla…bla…bla…
Ra…ra…ra…
Romi menuturkan semua pengetahuannya,
Yuli menyimaknya
Dengan airmata
Yang terus mengalir di kedua pipinya.
Setelah agak reda
Yuli masuk ke inti perkara,
Ya Romi
Itu kan Ahmadiyah versimu
Versi ayahku jauh berbeda.
Kamu tahu, ayahku pengurus masjid
Yang punya paham anti-Ahmadiyah.
Yuli melanjutkan, sambil menyeka air matanya,
Menurut ayahku, Ahmadiyah itu
Ta…ta…ta…
Bla…bla…bla…
Karena mereka
La…la…la…
Bla…bla…bla…
Mereka berdua larut dalam diam
Hati mereka berpelukan
Tapi pikiran mereka bersilangan.
Melihat wajah Yuli yang memucat
Romi kuatir penyakit lamanya kambuh.

/6/
Sejak huru-hara Cikeusik itu
Yuli mulai berubah
Ia tampak senantiasa gelisah
Kalau ayah dan ibunya tahu
Siapa sebenarnya si Romi itu
Cinta mereka harus tamat
Harus kiamat mat-mat-mat-mat.
Hampir tiap malam
Orang berkumpul di rumah Yuli
Dan huru-hara Cikeusik yang kelam
Jadi pusat gunjingan, jadi inti.
Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Tak jarang teriakan itu terdengar
Di sela-sela kata-kata yang marah,
Di sela-sela sumpah-serapah.
Ayah Yuli aktivis Islam yang tegak
Di garis keras.
Yuli pun berusaha mencari jalan
Untuk melunakkan hati ayahnya,
Untuk mengendorkan kepalan tangannya;
Dicarinya pandangan lain
Dari kalangan pembela hak asasi,
Dari ulama moderat,
Dari tokoh agama yang bisa menjembatani.
Konon, sumber kekerasan adalah sebuah fatwa:
Ahmadiyah dinyatakan sesat tahun 2005.
Dan sejak itulah
Azab-sengsara menimpa para Ahmadi.
9 Juli 2005,
Perguruan al-Mubarok milik Ahmadiyah
di Parung, Bogor
Diserang massa.3
Sejak tahun 2006 hingga entah kapan
Di Mataram ratusan jemaah Ahmadiyah diserbu
Mereka dipaksa mengungsi.4
27 April 2008
Masjid Al-Furqon milik Ahmadiyah
Di Parakansalak, Sukabumi
Dibakar massa: para Ahmadi lari lintang-pukang
Tiga bangunan madrasah rata dengan tanah.5
Juni 2008
Terbit Surat Keputusan Bersama
Menteri Agama,
Menteri Dalam Negeri,
Dan Jaksa Agung.
Isinya:
Titah bagi jemaat Ahmadiyah
Untuk menghentikan semua kegiatan
Yang tidak sesuai
Dengan penafsiran Islam.
Tetapi para pembela hak-hak asasi manusia
Menilai Surat Keputusan Bersama tak adil,
Melanggar hak-hak asasi manusia,
Bertentangan dengan Undang-undang Dasar ‘45,
Dan tidak akan mengakhiri masalah.6
Yuli semakin bingung,
Semakin banyak yang ia dengar
Semakin beragam isinya
Semakin kabur semua baginya.
Satu-satunya hal yang pasti:
Ayah dan Ibu mengubah pikiran
Rencana pernikahan pasti dibatalkan.
Kecuali jika ada mukjizat.

/7/
Suatu malam
Yuli mengajak orang tuanya berbincang:
Disampaikannya cerita tentang Romi
Apa adanya: korban Cikeusik itu kerabatnya.
Orang tua Yuli bagai kena setrum
Bagai tersambar halilintar:
Dan dalam kegeraman mereka berkata,
Demi nama baik keluarga
Pernikahan harus dibatalkan!
Ayah Yuli berteriak mengatakan,
Ahmadiyah telah menyimpang dari Islam yang benar
Ajarannya sudah dinyatakan sesat
Dalam agama berlaku prinsip
Bla..bla..bla…
Ra…ra..ra…
Yuli mencoba menjawab,
Ahmadiyah itu Islam juga
Karena ta…ta…ta…
La…la…la…
Hari itu, Yuli dan ayahnya berdebat keras
Lirih Yuli berkata,
Ayah, aku hidup di zaman yang berbeda
Jangan paksakan pikiran Ayah padaku
Aku memang anak Ayah.
Tapi batinku dan pikiranku bukan punya Ayah.
Ini bukan pikiran Ayah, Yuli.
Ini perintah agama! sahut ayahnya.
Percakapan pun selesai, tak ada jalan lagi
Kecuali yang buntu.
Ayah dan Ibu sepakat bulat,
Agama Allah tak boleh kalah
Oleh cinta sesaat para remaja.

/8/
Di Cikeusik, Romi pun tertunduk
Di hadapan orang tua,
Berterus terang bahwa ayah Yuli
Adalah aktivis organisasi anti-Ahmadiyah.
Ayah Romi kaget, dikatakannya,
Kita semua sedang berduka, Nak,
Kita tahu sikap mereka
Kita merasakan horor yang mereka taburkan.
Mereka itu bla…bla…bla…
Sedangkan kita tra…la…la…tra…li…li…
Romi mencoba mencoba meluruskan,
Ayah, antara Ahmadiyah dan garis keras itu
Sebenarnya ra…ra…ra…
Ra…ri…ru…
Penjelasan Romi terbang terbawa angin;
Ayah memutuskan
Rencana pernikahan dibatalkan,
Stop! Hentikan semua hubungan!
Romi terus menentang
Ia merasa punya hak untuk berbeda
Ia tak ingin mewarisi permusuhan ayahnya,
Perselisihan Ahmadiyah dan garis keras tak menariknya.
Dikutipnya syair dari Kahlil Gibran,
Ayah, dengarkan ya Ayah,
‘Anak-anakmu bukanlah anakmu
Mereka anak-anak kehidupan.
Pada mereka engkau boleh berikan cintamu
Tapi jangan kau paksakan bentuk pikiranmu
Jangan membuat mereka menyerupaimu
Karena mereka tinggal di rumah esok.’
Ayah membentak Romi keras sekali,
Romi, sekarang kamu dengarkan Ayah.
Kedudukan agama itu di atas puisi!
Jangan kaubandingkan penyair dengan Nabi!

/9/
Walaupun orang tua tidak setuju
Romi dan Yuli tetap rajin bertemu
Tanpa orang tahu;
Romi tak letih-letihnya mencari jalan
Untuk menikahi Yuli.
Yuli, kita bukan anak durhaka
Kita tak hendak melawan orang tua
Tapi kita punya hak atas hidup kita sendiri.
Peradaban menjadi maju
Karena di semua zaman
Selalu ada anak-anak yang berani berbeda dengan orang tua,
Tegas Romi.
Yuli hanya menunduk diam.
Sebagai laki-laki
Romi tak harus dinikahkan orang tua,
Tetapi Yuli perempuan
Baginya izin orang tua diperlukan.
Itu adalah keharusan nikah yang sah menurut agama.
Romi, kau tahu pendirianku.
Aku pun tak suka dibatasi hanya karena aku perempuan.
Tapi tanpa izin orang tuaku, kita tak akan sah menikah.
Itu hukum agama, karena aku perempuan, jawab Yuli.
Kedua anak muda itu menatap kosong
Hanya jalan buntu yang terbayang.
Bagaimana jika kita kawin lari, ujar Romi
Mencoba meyakinkan Yuli.
Diceritakannya tabungan dan kesiapannya
Dan jika anak kita lahir nanti,
Agama apa pun sah ia ikuti.
Yuli, oh, Yuli, ujar Romi,
Tak usahlah kita menjadi korban,
Tak usahlah kita terbawa
Oleh huru-hara yang mereka cipta.
Mulut Yuli terkatup rapat
Tapi hatinya yang semakin pahit
Melengking, menjerit.
Tak pernah ada dalam pikirannya
Untuk melawan Ayah
Untuk melawan Ibu
Yang melahirkannya.
Oh Tuhan,
Tunjukkan keajaiban.
Romi, ikhlaskan saja aku –
Aku tak bisa menemui lagi.
Cinta tak harus bersatu
Mungkin ini pertanda kita harus berpisah.
Yuli berlari, menangis,
Menembus malam
Didera keputus-asaan.
Romi pun melompat bangkit,
Disambarnya tangan Yuli
Dan dengan keras dikatakannya,
Yuli, kita hanya akan pisah
Jika ada di antara kita berbuat salah.
Punya paham agama berbeda itu normal!
Itu bukan kriminal!
Teguhkan janjimu
Bajakan hatimu,
Cinta kita tak boleh lemah!
Yuli diam
Lalu pelan ia mengangguk
Tanda setuju.
Diyakinkannya lagi Yuli,
Ayo Yuli, sihir hatimu,
Katakan: ‘Cinta kalahkan segala.’
Ya Rom,’ balas Yuli pelan,
‘Cinta kalahkan segala!’
Ingat, Romi, jangan kira
Aku tak berupaya.
Air tumpah dari mata Yuli
Air menggenang di mata Romi –
Ya, sebagai lelaki, hampir tak pernah
Matanya basah.
Tekad sudah diikrarkan
Tetapi di lubuk hati paling dalam
Diam-diam Romi merasa
Saat berpisah akan datang jua.
Dan saat itu tak lama lagi
Pasti tiba.
Rasa itu begitu saja menyusup di hatinya.
Yuli berlari menerjang malam
Yang dirasanya semakin kelam,
Ia hujat dirinya sendiri,
Ya Allah, mengapa Kau sodorkan padaku
Pilihan ini,
Malapetaka ini?
Romi terpaku
Malam seperti batu
Menindihnya.

/10/
Di rumah, ayah dan ibu Yuli ikhtiar
Romi harus segera disingkirkan;
Yuli perlu jodoh yang baru
Pemuda Muslim dari keluarga baik-baik.
Mereka pun teringat akan Hartono,
Seorang pemuda santun, Pacar Yuli pertama,
Baru pulang sekolah dari Mesir tiga bulan lalu;
Kepada ibunya ia suka bertanya
Tentang kabar Yuli, pacarnya dulu.
Demikianlah maka kedua pasang orang tua
Merancang pertemuan anak-anak mereka:
Sekali
Dua kali
Dan ini kali ketiga.
Hati Yuli pernah merekah
Oleh kasih Hartono –
Tapi itu sudah lama lampau.
Hartono berniat menyambung kembali
Hubungan yang terputus
Semenjak ia pergi ke Mesir.
Tetapi hati Yuli sudah tertutup baginya
Tak kuasa lagi ia membukanya:
Romi tidak bersalah,
Dan janjinya, ‘Cinta kalahkan segala.

/11/
Jam menunjukkan pukul 6.00 pagi
Yuli berzikir sejak dini hari,
Tubuhnya semakin letih, melemah;
Semua tenaga ia tumpahkan,
Semua daya ia curahkan.
Ia pun pingsan.
Ketika ibunya membuka pintu kamar
Dilihatnya Yuli terkapar,
Ia pun menjerit – dan pingsan.
Seisi rumah ribut: kalang kabut
Bawa ke rumah sakit, segera!
Bawa ke rumah sakit sekarang juga!
Penyakit lama Yuli kambuh.
Kanker getah bening stadium dua,
Kata dokter, ia masih bisa disembuhkan
Asalkan pikirannya lebih tenang.
Ayah dan ibunya terdiam
Dan menangis berangkulan.
Ketika gadis itu siuman
Dengan lembut dipanggilnya ayah-ibunya,
Dan ditanyakannya,
Apakah Ayah dan Ibu mencintai saya penuh seluruh?
Tampaknya ajal tak lagi jauh, ujar Yuli.
Ayah dan Ibu menangis lagi,
Umur di tangan Tuhan, anakku, sahut Ayah.
Hartono, pria yang akan dijodohkan itu
Hadir pula di sana;
Mendengar percakapan itu
Buru-buru ia minta pamit.
Tentu ada rahasia
Yang ingin disampaikan Yuli, pikirnya.
Bisakah Ayah dan Ibu mengabulkan permintaanku?
Yuli meneruskan bicaranya,
Inilah satu-satunya suara
Yang berdengung dalam ruang-ruang hatiku –selalu.
Suara ayahnya terbata-bata,
Pasti akan kami kabulkan jika mampu.
Dengan pandangan yang lembut
Yuli pun berkata,
Aku ingin segera dinikahkan dengan Romi
Dialah jodohku!
Halilintar kembali menyambar-nyambar,
Angin topan kembali berputar-putar
Di jantung sepasang laki-bini itu.
Apa yang akan kukatakan nanti
Kepada pengurus masjid
Jika anakku yang semata wayang
Menikah dengan seorang musuh?
Serunya kepada diri sendiri.
Namun, ia pikir, jika mereka bersikeras
Yuli akan tak lagi punya semangat hidup.
Oh Tuhan, ujar Ibu,
Mengapa Kau-sodorkan kepada kami
Pilihan yang pelik ini?

/12/
Meski Yuli belum juga pulih
Keluarga memutuskan
Untuk berobat jalan saja.
Rumah sakit semakin mahal, ujar ibunya.
Maklum, mereka keluarga sederhana.
Sudah tiga hari berlalu
Ayah dan Ibu seperti bisu,
Hati mereka bagai dibelah:
Paham agama dan cinta putrinya.
Jangan-jangan itu benar permintaan terakhir,
Pikir mereka.
Hari-hari pun dipenuhi shalat istikharah
Meminta petunjuk Allah,
Ya Allah,
Kami pasrah.
Bukakan hati kami
Tunjukan jalan bagi kami.
Dalam pikiran yang carut-marut
Ayah Yuli sempat berpikir
Bagaimana jika Yuli dan Romi kawin lari?
Ini solusi mujarab, pikirnya,
Agar mereka terhindar dari kemarahan tetangga
Agar bisa bebas dari cemooh kelompok masjid
Agar bisa lepas dari rasa malu
Terhadap keluarga Hartono.
Namun ibu Yuli malah menangis.
Yuli anak satu-satunya
Dan ingin dilepaskannya masa lajang Yuli
Dengan tangannya sendiri –
Apalagi kesehatan Yuli semakin buruk,
Katanya kepada suami.
Hari demi hari merayap
Terasa pelan sekali
Tercecap pahit sekali.
Ya Allah, tunjukanlah jalan bagi kami.
Seminggu kemudian
Keputusan diambil, walau tidak bulat:
Mereka merestui hubungan Yuli dengan Romi.
Di dalam hati Ayah dan Ibu masih tak yakin
Apakah mereka bisa dibenarkan Allah.
Mereka dahulukan cinta anaknya di atas paham agama
Mereka hanya ikuti suara hati.
Mereka menyesali diri
Karena tak kuasa meneladani Nabi Ibrahim
Yang rela menyembelih anaknya demi agama
Walau Tuhan akhirnya menyelamatkan anak Ibrahim.
Sedangkan mereka
Memilih mengorbankan keyakinan agama
Demi nasib putrinya, semata wayang.
Betapa berat pengorbanan!

/13/
Akan segera disampaikan
Kabar baik itu
Kepada Yuli.
Ayah dan ibunya membayangkan
Betapa bahagia akan menyapu derita,
Betapa mukjizat ini
Akan menyembuhkan anaknya.
Namun, tak terdengar sahutan apa pun
Ketika kamar Yuli diketuk.
Dan ketika pintu dibuka paksa
Mereka menyaksikan akhir sebuah cerita:
Yuli sudah tergeletak
Tanpa nyawa,
Yuli sudah menghadap
Yang Mahakuasa.
Kisah duka sudah dituntaskan
Bagi manusia,
Layar Agung sudah diturunkan
Dari atas Sana.
Yuli sudah tiada
Sebelum sempat mendengar berita bahagia.
Ayah Yuli terjatuh lunglai
Ibunya menjerit histeris,
Nama Tuhan disebut bercampur air mata
Luka yang mahaperkasa bertahta.
***
  1. Dan tatkala Musa menghadap ke negeri Madyan ia berdoa, semoga Tuhanku membimbingku ke jalan yang benar. (Al-Qashash: 22)
  2. Untuk detail kronologi penyerangan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, lihat http://www.ahmadiyya.or.id/index.php?option=com_content
    &view=article&id=95:pers-release-jemaat-ahmadiyah-ttg-peristiwa-cikeusik&catid=41:info&Itemid=61.
  3. Kampus Mubarak merupakan kantor Pengurus Besar Jamaah Ahmadiyah Indonesia yang beralamat di jalan Raya Parung No. 27 Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor. Mereka diserang oleh sekelompok massa yang menamakan dirinya Gerakan Umat Islam yang dipimpin oleh di antaranya Habib Abdurahman Assegaf dan M. Amin Djamaludin. Aksi penyerangan tersebut mengakibatkan rusaknya aset-asetnya Jamaah Ahmadiyah dan jatuhnya korban luka-luka pada beberapa orang anggotanya dan aksi itu berujung pada penutupan secara paksa Kampus Jamaah Ahmadiyah Indonesia tersebut oleh Musyawarah Pimpinan Daerah Kabupaten Bogor melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) atas desakan dari massa penyerang. Sumber: http://www.bantuanhukum.or.id/index.php/
    id/menukasuslbh/
    minoritas/penganut-agamakepercayaan/183-ahmadiah.
  4. Ketika para pengungsi Ahmadiyah ini hendak pulang kembali ke kampung mereka di Gegerung Lingsar pada 26 November 2010, mereka kembali diserang warga setempat. Warga merusak sedikitnya 22 rumah milik pengikut Ahmadiyah. Karena itu, para pengikut Ahmadiyah itu kembali mengungsi ke Asrama Transito. Ada lebih dari 180 pengikut Ahmadiyah di NTB. Sekitar 130 orang tinggal di Asrama Transito Mataram, dan sisanya di Lombok Tengah. Sumber: http://nasional.vivanews.com/news/read/
    220474-ntb-atasi-ahmadiyah-dengan-dakwah-lisan.
  5.  Untuk laporan yang lebih detail peristiwa penyerangan ini lihat, “Hangusnya Masjid di Lembah Sejuk”, http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/
    2008/05/05/LU/
    mbm.20080505.LU127087.id.html.
  6. SKB tiga menteri itu memang tidak berhasil menyelesaikan masalah. Konflik dan tindak kekerasan tetap terjadi. Penyerangan dan pembantaian anggota jemaat Ahmadiyah di Cikeusik pada 6 Februari 2011 merupakan puncak kekerasan menimpa jemaat Ahmadiyah Indonesia. Untuk data dan laporan lengkap kasus Cikeusik bisa dibaca dalam Laporan yang disusun oleh Tim Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) berjudul: Negara Tak Kunjung Terusik, www.kontras.org/data/laporan. Ironisnya, hakim yang mengadili kasus itu pada 28 Juli 2011 hanya menjatuhkan hukuman 3-6 bulan penjara saja kepada 12 terdakwa pelaku penyerangan (www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/
    2011/07/110728_cikeusikverdict.shtml).
Retrieved from: http://puisi-esai.com/2012/03/21/romi-dan-yuli-dari-cikeusik/