Friday, August 17, 2012

Love for All, Hatred for None

Sayings of Hazrat Khwaja Mu'inuddin Hasan Chishti
 

                                          
The final discourse of Khwaja Mu'inuddin Chishti to his students, one month before his death:
Love all and hate none.
Mere talk of peace will avail you naught.
Mere talk of God and religion will not take you far.
Bring out all the latent powers of your being
and reveal the full magnificence of your immortal self.

Be overflowing with peace and joy,
and scatter them wherever you are
and wherever you go.

Be a blazing fire of truth,
be a beauteous blossom of love
and be a soothing balm of peace.

With your spiritual light,
dispel the darkness of ignorance;
dissolve the clouds of discord and war
and spread goodwill, peace, and harmony among the people.

Never seek any help, charity, or favors
from anybody except God.
Never go the court of kings,
but never refuse to bless and help the needy and the poor,
the widow, and the orphan, if they come to your door.

This is your mission, to serve the people.....

Carry it out dutifully and courageously, so that I, as your Pir-o-Murshid,
may not be ashamed of any shortcomings on your part
before the Almighty God and our holy predecessors
in the Silsila on the Day of Judgment.
 

Sayings of Khwaja Mu'inuddin Chishti:
A friend of God must have affection like the Sun. When the sun rises, it is beneficial to all irrespective of whether they are Muslim, Christian, or Hindu.

A friend of God must be generous like a river. We all get water from the river to quench our thirst. It does not discriminate whether we are good or bad or whether we are a relation or a stranger.

A friend of God must display the hospitality like the earth. We are raised and cradled in its lap, and yet it is always under our feet.
The noise of the lover is only while he has not seen his Beloved. Once he sees the beloved, he becomes calm and quiet, just as the rivers are boisterous before they join the ocean, but when they do so, there are becalmed forever.
The Enlightened becomes perfect only when all else is removed from in-between him and the Friend. Either he remains or the Friend.
Whosoever received any blessings, received them due to his generosity.
The Enlightened is one who does not keep anything dear to his heart except the remembrance of God.
There are such lovers of God, whom the love of God has made quiet to an extent that they do not know that there is anything else existing in the world.
When one comes on the path of love of the Friend, he becomes nonexistent (loses himself).
The heart of the Enlightened should be such that, it may efface everything, and may be exclusively devoted to the Glorious vision of the Friend. 
 There are four cardinal virtues of the individual self:
       (i) refraining from begging in the state of poverty;
       (ii) showing the attitude of being well-fed when feeling hungry;
       (iii) maintaining a cheerfulness in the time of sorrow; and
       (iv) befriending the enemy.

The spiritual disciple deserves to be called a Dervish only when he lives in the world with no self-interest.
The lovers of God hear the talk of the Friend directly.
A sin committed does not harm an individual so much as looking down upon one's own fellow human beings.


Khwaja Mu'inuddin Hasan Chishti was born in Asfahan, Persia, around 533 AH / 1138 AD, and brought up in Sanjar.  In Samarqand and Bukhara he completed his religious education. He was initiated into the Chishti Order by Khwaja Usman Haruni around 1156 AD. At Baghdad Mu'inuddin met the great Abdu-l-Qadir Jilani, the founder of the Qadiri Order and also Abu-n-Najib Suhrawardi, the renowned Saint of the Suhrawardi Order. During his visit to Medina, around 1187 AD, he received a mandate from the Holy Prophet to proceed to Ajmer (Rajasthan, India), where he established the first presence of the Chishti Order in India. His high morals, great wisdom and frugal lifestyle deeply influenced thousands of people as he carried on his work in Ajmer for more than 45 years and became known as also known as Gharib Nawaz, the Patron of the Poor. He passed away on the 6th of Rajab 633 AH/ 1236 AD. His tomb in Ajmer  is a well-known place of pilgrimage for  people from many countries, regardless of their religion.
For more information about Khwaja Mu'inuddin Chishti's life and teachings, see the following web sites:
http://www.gharibnawaz.com
http://www.chishti.ru/o_teachings.htm
http://www.soofie.org.za/memorial/hazrat_khwaja.html
http://www.sufiajmer.org/html/lifeandteachings.html
http://muslim-canada.org/sufi/chishti.htm

Retrieved from: http://wahiduddin.net/sufi/muinuddin_sayings.htm
Also available at: http://razarumi.com/2006/11/13/love-all-and-hate-none-muinuddin-chishti/

Wednesday, August 8, 2012

Radikalisasi Pancasila di Bidang Agama



Oleh Ahmad Najib Burhani*

Judul ‘radikalisasi Pancasila’ ini dipakai dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh MPR-RI dan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah di Kartika Chandra, 4-5 Agustus 2012. Tidak hanya orang luar, para peserta pun bertanya-tanya tentang judul itu. Apa yang dimaksud dengan radikalisasi Pancasila?

Istilah ini ternyata mengacu kepada pemikiran almarhum Kuntowijoyo (Kompas, 20 Feb 2001) yang menawarkan untuk: mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara; mengganti persepsi dari Pancasila sebagai ideologi menjadi Pancasila sebagai ilmu; mengusahakan Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antar sila, dan korespondensi dengan realitas sosial; dan Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal.

Penjelasan Kuntowijoyo mengindikasikan bahwa sebetulnya apa yang ia maksudkan dengan istilah radikalisasi itu bisa juga diganti dengan istilah revitalisasi, restorasi, renaisans, dan objektifikasi. Namun demikian, semua istilah pengganti itu memang tidak bisa mencakup seluruh elemen yang dikandung dalam kata radikalisasi sebagaimana dikemukakan Kunto. Karena itu, meski istilah ini membingungkan, namun kriteria-kriteria di atas cukup bisa menjelaskan apa yang dimaksud dengan radikalisasi.
***
Dengan mengacu pada beberapa fenomena yang terjadi belakangan ini, penulis sepakat dengan upaya radikalisasi Pancasila sebagaimana dipaparkan Kuntowijoyo itu. Pertama, pada tahun-tahun terakhir ini, terutama semenjak Era Reformasi 1998, terdapat kecenderungan dari beberapa orang untuk kembali mempertentangkan antara Islam dan Pancasila atau loyalitas kepada agama dan loyalitas kepada negara. Ketaatan pada ideologi lain selain Islam, beberapa kelompok meyakini, bisa disebut sebagai pelanggaran terhadap Islam.

Kedua, beberapa peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang diciptakan belakangan ini terlihat tidak konsisten dengan nilai-nilai Pancasila. Yang paling mencolok terutama adalah peraturan yang berkaitan dengan kelompok minoritas, terutama Ahmadiyah.

Ketiga, nilai utama yang dikandung Pancasila, menurut Sukarno, adalah gotong-royong. Namun sayangnya nilai ini sepertinya sudah luntur di masyarakat. Misalnya, budaya antri di jalan raya sepertinya sudah tidak berlaku. Keamanan di Jakarta sangat tergantung pada satpam, sementara masyakarat tak mau saling bahu-membahu mengamankan daerahnya. Orang hanya mau membantu pada mereka yang seagama, sementara kelompok yang dituduh sesat, meski hidup miskin, tak diberi zakat di Ramadhan.
***
Tiga hal di atas diantaranya yang membuat radikalisasi Pancasila perlu segera direalisasikan. Persoalannya kemudian adalah kearah mana kita mesti mengacu dalam kaitannya dengan pemahaman Pancasila yang benar? Pemahaman Pancasila seperti apa yang perlu diamalkan?

Seringkali orang memandang bahwa pemahaman para pendiri negeri ini, terutama para perumus Pancasila seperti Sukarno dan Mohammad Hatta, adalah yang paling sah dan sempurna dalam menjelaskan nilai-nilai yang dikandung oleh Pancasila. Penafsiran yang dilakukan para perumus Pancasila memang harus tetap dijadikan acuan. Namun demikian perlu dicatat bahwa setiap orang itu hidup pada zamannya dan problemnya masing-masing.

Secara prinsip, penjelasan Sukarno-Hatta ketika mengelaborasi Pancasila perlu dirujuk karena nilai historis di situ. Hanya saja perlu digarisbawahi bahwa pemahaman mereka tak perlu dianggap yang paling sempurna dan otentitas itu tak mesti berada di titik awal sejarah Indonesia. Sikap kritis ini perlu dilakukan untuk menghindari apa yang dikonsepsikan Mircea Eliade sebagai the myth of eternal return, sebuah keyakinan bahwa kita lemah dan buruk sementara orang-orang dahulu itu adalah manusia terbaik.

Contoh terbaik dalam bahasan ini adalah Ahmadiyah. Meski dalam bukunya Di bawah bendera revolusi Sukarno menulis satu bab yang berjudul “Tidak pertjaja bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi”, namun di era Sukarno-lah pemerintah mengakui secara resmi (Keputusan Menteri Kehakiman RI No. JA. 5/23/13 13 Maret 1953) keberadaan organisasi Ahmadiyah di Indonesian. Hanya saja, era Sukarno pula-lah yang melahirkan UU No. 1/PNPS/1965. Meski memiliki konteks yang berbeda pada saat pengeluarannya, UU itu kini dipakai sebagai dasar hukum untuk membubarkan Ahmadiyah. Dan lagi, pada akhir kekuasaannya, ideologi Pancasila ini diubah sedemikian rupa untuk mendukung kekuasaan Sukarno.
--oo0oo--

Tuesday, August 7, 2012

Ramadan di Transito

Seputar Indonesia, Tuesday, 07 August 2012

Bagi orang kaya Ramadan adalah bulan untuk merasakan penderitaan orang yang lemah serta menjadi waktu untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian sosial.

Tapi apa makna puasa bagi mereka yang selama bertahun-tahun hidup tertindas dan tersingkirkan seperti komunitas Ahmadiyah yang menghuni Asrama Transito di Mataram? Sekitar 140 orang telah hidup sebagai pengungsi di tempat penampungan itu selama lebih dari enam tahun. Mereka menempati tiga aula yang disekat dengan kain menjadi kamar-kamar seluas 2x3 meter untuk dihuni setiap keluarga. Mereka ini berkali-kali diusir dari desanya setelah terlebih dulu rumahnya dibakar atau dihancurkan dan harta benda yang mereka miliki dijarah oleh para penyerang. Kebanyakan berasal dari Pancor dan Selong di Lombok Timur.

Mereka terusir dari sana pada 2002 dan kemudian pindah ke Gegerung, Lombok Barat, untuk memulai kehidupan baru. Belum lama menempati rumah baru, pada 2006 mereka kembali diserang dan diusir. Rumah mereka dihancurkan dan dijarah. Sejak itulah orang-orang Ahmadi ini menumpang di Asrama Transito mirip seperti stateless citizens.

Orang-Orang yang Tegar
Ketika saya bertemu para penghuni Transito di awal Ramadan ini, yang mengherankan, tidak ada kesan sedih di wajah mereka. Mereka memadati musala kecil untuk salat tarawih dan tadarus Alquran. Mereka bisa menampilkan senyum dan melayani tamu sebaik yang mereka mampu. Masa yang terlalu lama dalam penderitaan membuat orang-orang ini mampu menyesuaikan diri dengan nasib dan merangkul dengan baik musibah yang mereka terima.Tidak ada tangisan atau keluhan, apalagi kesan untuk dikasihani.

Barangkali, seperti disampaikan oleh pembina spiritual mereka, air mata mereka memang sudah habis. Apa yang justru muncul dari para penghuni Transito ini adalah keyakinan bahwa penderitaan yang mereka alami adalah bukti kebenaran nubuwwah. Sebagaimana dalam cerita nabi-nabi, orang-orang yang berpegang teguh pada keyakinan yang benar akan selalu mengalami persekusi, baik oleh pemerintah maupun masyarakat sekitarnya. Mereka yakin bahwa pada masa-masa tertentu, ulama yang semestinya menjadi pembimbing umat justru banyak yang menjadi sejahat-jahatnya makhluk Tuhan di muka bumi.

Bagi mereka, itu terjadi sekarang ini terutama ketika ulama menuduh mereka sesat dan kafir. Keyakinan akan kebenaran iman membuat mereka tegar dalam penderitaan. Meski dalam kondisi miskin misalnya, mereka tetap menyisihkan apa yang mereka peroleh untuk membayar zakat setiap bulan, bukan hanya pada Ramadan. Mereka rajin bekerja dan tidak mengemis, apalagi menjual kemiskinan dan penderitaan. Dengan sekuat tenaga mereka menyekolahkan semua anaknya meski pemerintah mendiskriminasi mereka dalam memberikan bantuan untuk orang miskin.

Heresi dan Hilangnya Toleransi
Ramadan selalu ditekankan sebagai bulan toleransi dan kesadaran akan penderitaan orang lain. Tapi, sepertinya kesadaran itu tak berlaku terhadap mereka yang dituduh sesat atau heretik seperti jemaat Ahmadiyah. Pada tahun-tahun lalu misalnya, meski semua orang miskin mendapat kiriman zakat, orang-orang di Transito dikecualikan.

Kebencian sebagian umat Islam terhadap Ahmadiyah sebegitu dalamnya, hingga orang semisal Abu Bakar Baasyir dan beberapa orang di Nusa Tenggara Barat menuduh orang Ahmadi lebih buruk dari PKI (Partai Komunis Indonesia). Jika mereka masih menaruh hormat kepada nonmuslim, terhadap Ahmadiyah rasa hormat itu sudah tidak ada lagi. Kebencian ini akan semakin terlihat ketika kita menyimak pernyataan dari Sobri Lubis yang menyebutkan bahwa darah orang Ahmadiyah bukan hanya “halal” (boleh dibunuh), tapi “holol” (berlipat-lipat kehalalannya).

Persamaan ibadah ritual, syahadat, dan kitab suci tidak bisa dijadikan titik yang mempertemukan kelompok garis keras dan Ahmadiyah. Sebaliknya, itu semua menjadi titik permusuhan dan dipakai oleh kelompok garis keras untuk menuduh bahwa Ahmadiyah telah menodai, membajak, dan membunuh Islam dari dalam. Dalam sosiologi heresi, persamaan itulah yang menjadi penyebab kebencian orang kepada mereka yang dituduh sesat jauh lebih sadis daripada kebencian kepada orang murtad atau orang kafir sekalipun.


Beberapa ulama di negeri ini tunduk kepada fatwa dari Saudi Arabia yang dikeluarkan oleh OKI (Organisasi Kooperasi Islam) dan Rabita Alam Islami yang meminta umat Islam memutus hubungan sosial, ekonomi, dan politik dengan orang Ahmadiyah. Fatwa ini berkontribusi menyebabkan orang kehilangan toleransi dan perikemanusiaan terhadap anggota Ahmadiyah yang tinggal di Transito.

Ini juga yang ikut andil dalam menjadikan sebagian orang Islam tidak bisa membagikan kesadaran sosial puasa kepada Ahmadi, tak bisa membagi zakat mereka kepada pengikut Ahmadiyah yang miskin, tertindas, dan terusir. Semoga puasa kita total dan kemanusiaan kita total dan tidak pandang bulu. Amin.



AHMAD NAJIB BURHANI
Kandidat Doktor di Universitas California-Santa Barbara; Peneliti LIPI
 
Available at: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/517490/

Sunday, August 5, 2012

Indonesia a Failed State? Fate of The Ahmadis Shows It Could Be

'The protection of minority groups is part of the essence of democracy. Failure to do this is an indication that the democracy currently employed in this country is superficial at best.'
The Jakarta Globa,  August 04, 2012

Ahmad Najib Burhani
 
In June, the Fund for Peace issued a failed-states index. Of the 178 countries surveyed in this index, Indonesia was listed in the 63rd position, with a score of 80.6. What does that mean? Although Indonesia cannot technically be considered a failed state, its position in the index was in the “very high warning” category. That means that the country is relatively close to becoming a failed state.

One important factor that is used to determine Indonesia’s score in this index was what was called group grievance. Tension and violence in the state, as well as the failure of the country to provide adequate security for its people, played a significant role in ensuring Indonesia ended up where it did in the index.

The index talks more about the majority of populations in certain countries and sometimes hides the fact that a number of minority groups in certain countries experience constant persecution. The case of Indonesia can be used as an example. Although the majority of the population in this country is satisfied with the security they receive and feel, religious minorities like Ahmadi Muslims find themselves living in constant fear. Discrimination and persecution have been experienced at very high levels by this community throughout the last decade.

Actually, resistance and opposition to the Ahmadiyah has been occurring in Indonesia since the 1920s. Historically, the opposition was not only voiced by conservative organizations and persons, but also by moderate Muslim organizations including Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama. In 1929, Muhammadiyah issued a fatwa declaring that whoever believes the existence of a prophet after the Prophet Muhammad is a kafir (infidel). In 1938, NU demanded that the Majlis Islam A’laa Indonesia (MIAI — Supreme Council of Muslims of Indonesia) expel the Ahmadiyah group from this institution, otherwise NU would not be admitted to the MIAI.

One thing must be noted, however. Though there has always been opposition to the Ahmadiyah’s presence in Indonesia, violent attacks and persecution against it did not always exist. It is true that in the 1950s Ahmadis were hunted and killed, but it wasn’t done by the Indonesian government or other Muslim groups. Attacks were carried out by the Tentara Islam Indonesia rebel group. Moreover, when Media Dakwah, the official magazine of the Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, published a blasphemous picture of Mirza Ghulam Ahmad (the founder of the Ahmadiyah Muslim community) in its October 1988 edition, the Ahmadiyah filed and won a lawsuit against Media Dakwah.

There was a shift in the resistance and opposition to the Ahmadiyah after 1998. It became more intense and the level of violence climbed steadily.

At the discursive level, besides old “guards of orthodoxy” like the Persatuan Islam, DDII and MUI (Indonesian Council of Ulema), there are other groups, such as Hizbut Tahrir Indonesia and the Islamic People’s Forum (FUI), that vigorously oppose the Ahmadiyah.

Opposition by force has been committed mostly by a number of vigilante groups established with the main objective to attack Ahmadiyah. Among them are Garis (Muslim Reform Movement) in Cianjur, Gapas (Anti-Apostasy and Deviant Sects Movement) in Cirebon, Geram (Anti-Ahmadiyah Peoples Movement) in Garut and Gerah (Anti-Ahmadiyah Movement) in Kuningan. These groups, all based in West Java, are added to older, established vigilante groups that fiercely oppose Ahmadiyah such as the Islamic Defenders Front (FPI).

Other shifts in the opposition to Ahmadiyah that appear after 1998 is the attitude of the government, particularly the current regime under Susilo Bambang Yudhoyono. It seems that the government does not have the power to give security to its people and prevent violent attacks against the Ahmadiyah community. There are a number of cases related to Ahmadiyah that can be used to underscore the absence of the state in protecting its people, but two of the most serious ones took place in Mataram on Lombok, the capital of West Nusa Tenggara, and the Cikeusik subdistrict of Pandeglang, in Banten province.

Over a hundred Ahmadis have been living in the Transito building in Mataram since 2006, after vigilante groups destroyed their homes, looted their property and then displaced them from their villages. Some of them have been deprived access to education and health care. Most of the time, they have been treated like refugees. Almost none of the attackers who destroyed their houses have been brought to justice.

What is more surprising is the solution proposed by the local government. Rather than taking some sort of action, the local government asked Ahmadis to seek asylum in other countries. There was also the suggestion that they move to an isolated island about 40 kilometers from Lombok.

In the Umbulan village of Cikeusik, three Ahmadis were killed during the attack on an Ahmadiyah mission house on Feb. 6, 2011. The killers were sentenced to between three and six months. One of the injured victims, Deden Sudjana, was given a six-month jail sentence for provoking the attack.

So is Indonesia a failed state? In the most general terms, Indonesia cannot be put in that category. However, in the context of protecting the rights of minority religious groups like the Ahmadiyah, it is a different story.

The protection of minority groups is part of the essence of democracy. Failure to do this is an indication that the democracy currently employed in this country is superficial at best.

Ahmad Najib Burhani is a PhD candidate at the University of California, Santa Barbara, and a researcher at the Indonesian Institute of Sciences (LIPI).

Retrieved from: http://www.thejakartaglobe.com/opinion/indonesia-a-failed-state-fate-of-the-ahmadis-shows-it-could-be/535215

Saturday, August 4, 2012

Berpuasa Bareng Ahmadiyah (4) Ceramah salawat nabi dalam masjid Ahmadiyah

Suasanan salat tarawih di Masjid Al-Hidayah milik komunitas Ahmadiyah di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Senin (23/7). (merdeka.com/Islahuddin)
Merdeka, Rabu, 25 Juli 2012 08:32:00
 
Reporter: Islahudin


Makin mendekati waktu isya, makin banyak jamaah Ahmadiyah mendatangai Masjid Al-Hidayah. Pelataran dipenuhi parkir motor. Setelah bertegur sapa dengan plolisi jaga, mereka masuk menuju ruang salat utama di lantai dua.

Hampir setiap jamaah habis mengambil air wudu langsung melakukan salat rawatib dua rakaat. Seperempat jam selepas azan, salat dimulai. Imam salat berbegas menuju mihrab, kemudian meminta makmum merapatkan barisan. Jamaah salat isya kali ini sampai dua saf, sekitar 40 orang.

Usai salat, isya, makmum diberi waktu buat berdoa, wirid, dan salat rawatib. Ketika melihat sudah banyak hyang selesai, imam memberitahukan salat tarawih akan dimulai. Seperti tiga malam sebelumnya, mereka salat tarawih delapan rakkat dengan empat kali salam. Selepas itu ditambah witir tiga rakaat dengan dua kali salam.

Sekitar pukul delapan malam, dua ibadah sunnah itu selesai. Hampir semua jamaah salat malam itu keluar dari barisan mencari posisi duduk enak. Kebanyak menempel di dinding sambil berselonjoran kaki. Benar-benar santai.

Imam masjid bernama Ya'kub meminta seorang jamaah memberikan ceramah singkat. Seorang lelaki keturunan Pakistan bernama Mujib bangkit dari sandaran dan langsung naik ke atas mimbar. Sambutannya benar-benar singkat, hanya tujuh menit. Meski begitu, materi disampaikan dalam bahasa Indonesia terkesan kaku itu sangat penting dan bahkan bisa menjelaskan kedudukan Ahmadiyah di antara pelbagai kelompok atau aliran Islam.

Mujib menekankan pentingnya dan keutamaan bersalawat kepada Nabi Muhammad. Ia juga menjelaskan tiap muslim harus menjawab saban kali nama Nabi Muhammad disebut. "Muhammad salallahu alaihi wassalam," kata Mujib lantang waalau tanpa pengeras suara. Ia mengutip sejumlah hadits dan ayat Alquran tentang kemuliaan bagi orang-orang bersalawat. Hadirin tampak menganggukkan kepala seolah memahami isi ceramah singkat Mujib itu.

Setelah Mujib turun panggung, jamaah membentuk kelompok-kelompok kecil untuk sekadar ngobrol atau entah membahas pidato barusan.

Kandali Achmad Lubis, Ketua Pengurus Masjid Al-Hidayah, menemui merdeka.com akan berpamitan pulang. Ia mengiyakan ibadah kaum Ahmadiyah serupa dengan lelaku golongan Sunni. "Hanya mereka yang datang dan melihat langsung bisa bilang Ahmadiyah seperti itu," ujarnya.
[fas]

Retrieved from: http://www.merdeka.com/khas/ceramah-salawat-nabi-dalam-masjid-ahmadiyah-berpuasa-bareng-ahmadiyah-4.html

Friday, August 3, 2012

Berpuasa Bareng Ahmadiyah (3) Berbuka puasa dengan komunitas Ahmadiyah

Ruang salat utama di Masjid Al-Hidayah milik komunitas Ahmadiyah di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Senin (23/7). (merdeka.com/Islahuddin)
Merdeka, Rabu, 25 Juli 2012 08:00:00
 
Reporter: Islahudin


Usai salat asar, suasana Masjid Al-Hidayah sepi. Baru sejam menjelang magrib, beberapa muda mudi jamaah Ahmadiyah datang. Menurut Rachmat Ali, 36 tahun, salah satu pengurus masjid, tidak hanya remaja Ahmadiyah di lingkungan itu yang muncul, kadang anggota dari daerah lain kebetulan lewat Kebayoran Lama akan masuk untuk sekadar salat atau mampir.

Seperempat jam sebelum azan  berkumandang, takmir masjid, Muhammad Idrus (61 tahun), meminta jamaah di ruang utama turun ke lantai satu untuk berbuka puasa. Acara buka bersama itu digelar di sebuah ruangan terhubung dengan dapur dan lorong menuju raung-ruang lainnya.

Di depan pintu dapur tersedia es dawet, teh hangat, dan beberapa jajanan pasar, seperti pisang goreng. Keakraban terlihat antara jamaah muda dan orang-orang tua. Semua berkumpul menunggu waktu membatalkan puasa di hari ketiga itu. Yang datang terlambat dipersilakan mengambil sendiri es dawet.

Sebelum berbuka, makanan yang sama telah diantarkan ke polisi jaga di depan masjid. Hanisiah, istri Idrus, 40 tahun, sudah akrab dengan petugas keamanan itu. Bahkan, menurut Hanisiah, beberapa polisi kadang datang bukan dalam keadaan tugas, hanya ingin main dan kumpul dengan teman-temannya berjaga di sana.

Idrus mengungkapkan lantai satu masjid pernah dipakai buat menampung beberapa anggota Ahmadiyah belum mempunyai tempat tinggal di Jakarta. “Dulu masak makanan hingga hitungan karung tiap bulan, dulu pengurus masjid membiayai,” ujarnya.

Para pengungsi Ahmadiyah itu merupakan korban penyerangan dan pengusiran di beberapa daerah di Indonesia. Mau tidak mau, mereka harus menampung saudara mereka itu, termasuk komunitas Ahmadiyah di kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Lambat laun, kondisi mental dan ekonomi mereka membaik. Pengurus masjid meminta pengunsi sudah bisa mencari kerja dan memiliki penghasilan mencari kontrakan sendiri. Hal itu untuk meringankan beban pengurus masjid menangani anggota kurang mampu dan masih sekolah atau kuliah. “Kemandirian selalu didorong oleh pengurus,” kata Idrus.

Waktu berbuka tiba. Semua orang di lantai satu langsung mengambil makanan dan minuman di atas meja dekat pintu dapur. Idrus tak mau ketinggalan. Ia segera menyeruput teh manis hangat sebelum beranjak ke lantai dua buat mengumandangkan azan magrib.

Selepas berbuka puasa, jamaah dengan tertib menuju lantai dua untuk mengambil air wudu. Sebagian menuju serambi masjid untuk sekadar obrolan singkat. Idrus segera melantunkan iqamah saat jamaah lebih dari 30 orang.

Lama-lama orang datang kian banyak. Ada yang sekeluarga, banyak juga datang sendiri. Jeda antara magrib dan Isya banyak digunakan jamaah untuk berbincang-bincang di dalam atau beranda masjid.
[fas]

Retrieved from: http://www.merdeka.com/khas/berbuka-puasa-dengan-komunitas-ahmadiyah-berpuasa-bareng-ahmadiyah-3.html

Thursday, August 2, 2012

Berpuasa Bareng Ahmadiyah (2) Dari salat zuhur hingga membaca Alquran

Imam masjid Ahmadiyah sedang salat rawatib sebelum melaksanakan salat zuhur di Masjid Al-Hidayah, Kebayoran Lama, Jakarta Selatanb, Senin (23/7). (merdeka.com/Islahuddin)
Merdeka, Rabu, 25 Juli 2012 07:29:00

Reporter: Islahudin


Dari luar pelataran Masjid Al-Hidayah, suara azan itu terdengar sayup-sayup. Namun, sekitar enam pemuda datang satu-satu dengan motor. Mereka berpakaian rapi - mengenakan kemeja dan celana kain atau denim - seraya membawa tas punggung.

Masjid itu terdiri dari dua ruang utama. Lantai dasar berisi tempat tinggal takmir,  dapur, dan beberapa ruang untuk menjamu tamu. Naik ke atas, ruang salat seluas 60 meter persegi dan berbentuk persegi panjang buat laki-laki, dilengkapi tempat wudu dan toilet. Lantai tiga untuk jamaah perempuan.

Jamaah datang langsung naik ke lantai dua. Setelah berwudu, sebagian salat rawatib. Sisanya ngobrol dan bertegur sapa di beranda masjid. Yang lain duduk menunggu iqamah.

Gambaran dalam masjid milik komunitas Ahmadiyah ini sama dengan masjid-majid Sunni lainnya. Di bagian mihrab, tergelar sajadah buat imam. Di sebelah kirinya berdiri mimbar dari kayu dan berhiaskan ukiran kaligrafi kalimat syahadat. Tulisan Allah terpatri di dinding sebelah kanan dan lafaz Muhammad di sisi kiri.   

Seperempat jam selepas azan, muazin melantunkan iqamah, tanda salat segera dimulai. Jamaah salat zuhur Senin lalu itu 15 orang, sekitar setengah dari isi satu barisan.

Salatnya kaum Ahmadiyah tidak ganjil. Mereka salat zuhur empat rakaat lengkap dengan rukun versi kalangan Sunni. Mulai dari takbir, iktidal, rukuk, sujud, duduk di antara dua sujud, tahiyat, hingga salam. Seusai salat dan berdoa, beberapa jamaah melaksanakan salat rawatib dua rakaat. Sebagian lagi langsung pulang. sekitar enam orang memilih bertahan dan tidur-tiduran di atas karpet tebal berwarna coklat kalem.

Menurut imam masjid bernama Ya'kub, 34 tahun, saat Ramadan masjid Ahmadiyah bisa menampung 750 jamaah ini tidak seramai seperti Jumat. Menurut dia, penganut Ahmadiyah di Kebayoran Lama dan sekitarnya berjumlah 500. “Masjid ini terbuka untuk umum, bukan masjid tertutup seperti dituduhkan selama ini,” katanya kepada merdeka.com.

Ya’kub menyayangkan berita-berita soal Ahmadiyah selama ini. Mereka dituding tidak mempercayai Muhammad sebagai nabi akhir zaman dan tidak mengimani Alquran sebagai kitab suci. Padahal, Ya’kub menegaskan, tuduhan itu tidak berdasar fakta. Ironisnya, tuduhan itu keluar dari mulut pimpinan Majelis Ulama Indonesia.

Dia menyayangkan  kebanyakan umat muslim di Indonesia menelan mentah-mentah omongan orang dianggap ulama. Padahal, belum tentu perkataannya benar. “Jangan lihat siapa yang mengatakan, tapi dengar apa yang ia katakan,” kata Ya’kub mengutip kata-kata Ali bin Abi Thalib dengan bahasa Arab.

Ia juga membantah syahadat versi Ahmadiyah mengganti kata Muhammad dengan nama Mirza Ghulam Ahmad, pendiri kelompok itu. “Asyhadu alla ilaaha illallah, waasyhadu anna Muhammadar rasulullah,” kata Ya’kub mengulangi kalimat tauhid itu.

Ustad Masjid Al-Hidayah ini balik menuding kalimat syahadat berbunyi "Wa asyhadu anna Mirza Ghulam Ahmad rasulullah" itu hanya buatan orang-orang ingin Ahmadiyah dianggap sesat. “Kami itu Islam, bukan berarti butuh pengakuan ketika berbicara di media,” ia menegaskan.

Menurut Ya'kub, perbedaan Ahmadiyah dengan Sunni adalah Ahmadiyah meyakini Mirza Ghulam Ahmad, lelaki asal India, sebagai Imam Mahdi, seperti kepercayaan kaum Syiah soal imam ke-12. Sunni pun mengajarkan Imam Mahdi bakal turun memerangi dajjal. Hanya saja, sampai saat ini, identitas Imam Mahdi itu belum diketahui.  

Setelah menjelaskan semuanya, Ya’kub minta izin meninggalkan masjid. Belum sempat dia keluar, dua jamaah masuk masjid. Mereka duduk terpisah dan masing-masing membaca Alquran tersedia di dalam masjid. Lamat-lamat terdengar lantunan ayat di awal-awal surat Al-Baqarah.

Masjid Ahmadiyah ini menyediakan banyak Alquran buat jamaahnya. Kitab suci itu diletakkan di pelbagai sudut dalam tempat khusus. Dua orang mengaji itu berhenti setelah mendengar azan asar.
[fas]

Retrieved from: http://www.merdeka.com/khas/dari-salat-zuhur-hingga-membaca-alquran-berpuasa-bareng-ahmadiyah-2.html

Wednesday, August 1, 2012

Berpuasa Bareng Ahmadiyah (1): Kumandang azan zuhur dari masjid Ahmadiyah


Masjid Ahmadiyah. merdeka.com/Islahuddin
Merdeka, Rabu, 25 Juli 2012 07:00:00
Reporter: Islahudin

Selama ini Ahmadiyah dianggap aliran sesat karena tidak mengakui Nabi Muhammad dan mengingkari Alquran. Sebagai gambaran buat pembaca seperti apa kegiatan jamaah Ahmadiyah selama Ramadan, Islahuddin dari merdeka.com selama seharian pada Senin lalu berkumpul dengan komunitas Ahmadiyah di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Berikut laporannya. 
Senin pagi lalu, suasana di masjid tiga lantai itu tampak sepi. Pintu pagar dari teralis setinggi 1,5 meter terbuka lebar. Di samping pintu ada papan nama masjid terpasang manghadap timur. Ukurannya sekitar 1,3 x 1 meter bertulisan kalimat syahadat dalam huruf Arab. Di bawahnya tertera nama dan alamat lokasi masjid dengan huruf latin.

Meski tidak terlihat kegiatan dari luar, sekitar sepuluh sepeda motor terparkir di halaman. Salah satunya RX King berwarna coklat bertulisan POLISI di badan motor. Itulah suasana Masjid Al-Hidayah milik komunitas Ahmadiyah di Jalan Ciputat Raya, Gang Sekolah nomor 18 RT 1/RW 1, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Di pojok pelataran, terdapat meja dan kursi untuk polisi jaga. Dari undakan masjid muncul seorang polisi berpakaian bebas menemui merdeka.com. Ia mengaku bernama Widi, anggota Kepolisian Sektor Kebayoran Lama Selatan. Dia mengatakan sudah setahun lebih masjid itu dijaga. “Polisi tidak ingin kecolongan lagi atas penyerangan masjid Ahmadiyah,” katanya.

Widi menjelaskan saban hari ada empat polisi bergiliran jaga, dua orang kebagian siang dan sisanya malam. Pagi itu, dia menunggu rekannya akan menggantikan tugasnya. Sambil menanti, ia menghidupkan motor dinasnya untuk memanaskan mesin.

Dedi rekan jaga Widi mengaku tidak tahu sampai kapan penjagaan berlangsung. "Mungkin hingga tahun depan," ujar Dedi ikut nimbrung selepas bangun tidur.

Selang setengah jam, datang Firdaus Mubarik, 28 tahun, pengurus masjid bidang hubungan masyarakat. Dia mengaku rumahnya tidak jauh dari masjid. Firdaus menjelaskan sejak penyerangan jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandegelang, Banten, Jawa Barat pada 6 Februari 2011, polisi siaga 24 jam di masjid. “Banyak yang bilang Ahmadiyah hebat bisa membayar polisi menjaga masjid berbulan-bulan,” kata Firdaus.

Firdaus mengungkapkan biasanya masjid ramai saat akhir pekan. Remaja Ahmadiyah dari Kebayoran Lama berkumpul meski hanya untuk obrolan singkat atau berolah raga bersama, misalnya main futsal di Blok M.

Berbeda dengan Muhammadiyah yang mempunyai hitungan sendiri, jamaah Ahmadiyah selalu mengikuti keputusan pemerintah soal awal Ramadan. Kebijakan ini berlaku bagi cabang Ahmadiyah di seantero Indonesia. “Pusat Ahmadiyah di London, Inggris, juga memerintahkan mengikuti pemerintah lokasi keberadaan masing-masing,” ujar Firdaus.

Ritual puasa orang Ahmadiyah tidak berbeda dengan penganut mazhab Sunni, yakni menahan makan, minum, dan hal-hal dianggap membatalkan. Salat tarawih pun juga sama, delapan rakaat ditambah tiga rakaat witir. Sebab itu, Firdaus menolak tuduhan Ahmadiyah dianggap menyimpang dari Islam. Dia menegaskan isu itu untuk memecah belah Islam.

Surat Keputusan Bersama (SKB) menteri agama, menteri dalam negeri, dan jaksa agung  pada 9 Juni 2008 memerintah Jamaah Ahmadiyah Indonesia menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan dianggap menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam. Pelanggar SKB ini diancam hukuman penjara paling lama lima tahun. 

Karena dianggap sesat, jamaah Ahmadiyah di sejumlah daerah, seperti Parung (Bogor), Cikeusik, dan Lombok (Nusa Tenggara Barat) menjadi korban penganiyaan, perusakan dan pembakaran harta benda, serta bahkan pembunuhan.

Sekitar pukul 12 lebih, suara azan zuhur berkumandang dari dalam masjid. Lafaznya sama seperti azan di masjid-masjid kaum Sunni di pelbagai belahan dunia.
[fas]

Retrieved from:  http://www.merdeka.com/khas/kumandang-azan-zuhur-dari-masjid-ahmadiyah-berpuasa-bareng-ahmadiyah-1.html