Tuesday, April 30, 2013

Djohan Effendi dan Ahmadiyah

Murid Masih Mau’ud Menembus Istana Negara
Suaranya lirih, sikapnya teramat santun, pria berkacamata yang akrab dipanggil Pak Johan itu, lebih dikenal sementara orang - sebagai aktivis Lahore. Apapun keadaannya, Dr.Johan Efendy, tetap menjaga hubungan indahnya dengan Amir Rais ut Tabligh- H.MA Cheema Sy, semasa kantor PB JAI masih di Jakarta. Secara berkala Pak Johan mengunjungi Pak Cheema di Jl.Balikpapan- Jakarta, untuk membahas sejumlah isu Nasional maupun International.

Ketika reformasi bergulir di negeri ini, dan Gus Dur menjadi Presiden- Pak Johan sempat diminta duduk sebagai Menteri Sekretaris Negara. Saat suasana panas , akibat berbagai konflik SARA di Jakarta, pak Johan dan sejumlah aktivis Lintas Agama, secara routin menggelar diskusi diberbagai tempat. Ujungnya , tentu saja, untuk mencari solusi bagi Perdamaian Bangsa. 

Pandangan tentang pentingnya menjaga KeBhinekaan NKRI, membuat Pak Johan sering diundang oleh para aktivis Kebangsaan untuk menjadi Narasumber. Foto terlampir diabadikan Redaksi, saat Pak Johan tengah terlibat diskusi dengan sejumlah Tokoh Lintas Agama , yang juga dihadiri para Ahmadi.(jkt. nkhaes,08/10/11)

http://suaraansharullah.blogspot.com/p/profil.html
-----------

Kisah Djohan Effendi, Ahmadiyah dan A. Hassan 
Saif Al Battar 
Ahad, 26 Jumadil Akhir 1434 H / 24 Februari 2013 11:28 - See more at: http://www.arrahmah.com/news/2013/02/24/kisah-djohan-effendi-ahmadiyah-dan-a-hassan.html#sthash.beLqTeiw.dpuf

(Arrahmah.com) - Kisah perjalanan hidup Djohan Effendi sungguh unik. Sejak muda ia menjadi pengagum berat pemikiran Islam Ustadz A. Hassan, tokoh Persatuan Islam (Persis), yang dikenal sebagai penentang keras Ahmadiyah. Namun di usia senja, Djohan Effendi justru menjadi pembela Ahmadiyah. Sungguh ironis!  

Djohan Effendi. Namanya cukup dikenal sebagai pembela kelompok sempalan Ahmadiyah dan senior di kalangan aktivis liberal. Namanya masuk dalam buku “50 Tokoh Liberal di Indonesia” untuk kategori pionir atau pelopor gerakan liberal bersama dengan Ahmad Wahib, Munawir Sadzali, Harun Nasution, Nurcholis Madjid, Mukti Ali, dan Abdurrahman Wahid.  Peneliti asal Australia, Greg Barton juga menyejajarkan pria berkacamata tebal ini dengan tokoh-tokoh pelopor liberalisme di atas.  

Saat umat Islam ramai menolak keberadaan Ahmadiyah dan meminta Presiden SBY agar mengeluarkan Keppres pembubaran organisasi yang didirikan oleh nabi palsu Mirza Ghulam Ahmad tersebut, Djohan Effendi yang lahir di Kandangan Hulu, Kalimantan Selatan, 1 Oktober 1939, justru pasang badan membela Ahmadiyah.  

Pria yang dikenal akrab dengan Gus Dur ini bahkan mengusulkan kepada pemerintah agar membuat pulau khusus bagi warga Ahmadiyah. Ia juga menyerukan agar pengikut Ahmadiyah mencari suaka politik ketimbang harus hidup di Indonesia.  Ketika menjabat di lingkungan Departemen Agama dan menjadi Menteri Sekretaris Negara pada era Presiden Gus Dur, Djohan juga menjadi bumper bagi kelompok Ahmadiyah.  Belakangan Djohan tak sekadar membela hak-hak warga Ahmadiyah, ia bahkan diduga kuat telah menganut ajaran kelompok tersebut. Bagi Djohan, Ahmadiyah mempunyai hak yang sama dalam menjalankan keyakinannya di Indonesia.  

Namun siapa sangka, Djohan yang dikenal vokal membela Ahmadiyah, dahulu adalah sosok yang begitu mengagumi Ustadz A. Hassan, tokoh Persatuan Islam (Persis) yang justru dikenal sebagai penentang keras dan lawan hebat dalam perdebatan melawan Ahmadiyah.  A. Hassan pernah melakukan debat secara terbuka selama tiga hari dengan Ahmadiyah di Bandung dan Batavia pada tahun 1933. Dalam perdebatan yang dihadiri ribuan orang itu, A. Hassan yang mewakili kelompok Pembela Islam, berhadapan dengan para pemuka Ahmadiyah.  

Debat fenomenal yang dikenang sepanjang sejarah itu menghadirkan tokoh-tokoh Ahmadiyah seperti Maulana Rahmad Ali dan Abu Bakar Ayyub. Sementara dari pihak Pembela Islam diwakili oleh A. Hassan.  Pihak Ahmadiyah kewalahan meladeni argumentasi yang disampaikan oleh A. Hassan. Ajaran sesat Ahmadiyah pun dikuliti habis-habisan.  Pada masa remaja, Djohan Effendi begitu terpengaruh dan mengagumi pola pikir dan pemahaman Islam A. Hassan dan organisasi Persatuan Islam. 

Karya-karya A. Hassan, seperti Soal Jawab tentang Masalah-masalah Hukum (Islam), dan tulisan-tulisan ulama tersebut di Majalah Pembela Islam dan Al-Lisan, begitu menarik perhatian Djohan saat itu.  Djohan pun berlangganan Majalah Al-Muslimun, sebuah majalah yang dikenal dengan tulisan-tulisan fiqihnya, yang diterbitkan oleh Persatuan Islam di Bangil. Majalah Pembela Islam dan Al-Muslimun sudah ia baca sejak duduk di Sekolah Rendah.  Ia tertarik dengan kemampuan A. Hassan dalam memaparkan argumen dan dalil-dalil ketika melakukan polemik ataupun debat terbuka. Ia mengkhatamkan risalah perdebatan antara A. Hassan dengan Hussein Al-Habsyi, tokoh Syiah di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, tentang madzhab.  A. Hassan berpendapat, umat Islam tidak wajib bermadzhab, tapi wajib berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah. Sementara Hussein Al-Habsyi yang juga pengelola Yayasan Pendidikan Islam (YAPI) Bangil, berpandangan wajib bermadzhab. 

Sayang, apakah Djohan Effendi juga sudah membaca risalah perdebatan antara A. Hassan dengan para mubaligh Ahmadiyah?  Selain A. Hassan, Djohan Effendi juga mengagumi sosok KH Moenawar Cholil, tokoh Persis yang dikenal sebagai penulis buku terkenal berjudul “Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad”.  Begitu juga dengan tokoh Persis lainnya, seperti KH Isa Anshari, yang begitu menginspirasi Djohan Effendi. Ia kagum dengan “Manifesto Perjuangan Persis” yang digagas oleh KH Isa Anshari, sebagaimana pengakuannya dalam buku “Sang Pelintas Batas: Biografi Djohan Effendi” yang diterbitkan oleh Kompas, tahun 2009. Karena kekagumannya terhadap manifesto itu, Djohan bahkan pernah melamar menjadi anggota Persis. (hal. 27-28).  

Setelah menamatkan sekolah di kampung halamannya, Djohan Effendi merantau ke Jogjakarta untuk menempuh studi pada Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN). Sebelum berangkat ke Jogja, Djohan berkirim surat ke kantor Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis) di Bandung.  Dalam suratnya, ia meminta bantuan dari pimpinan Persis untuk bisa memperkenalkan anggota Persis yang tinggal di Jogja sebagai teman di sana sekaligus bisa mencarikan tempat kos di Kota Gudek itu.  

Dari pimpinan Persis di Bandung, Djohan diminta menghubungi tokoh Persis di Jogjakarta bernama KH Ma’shum, yang juga dikenal sebagai ahli fiqih.  Setelah berkirim surat kepada KH Ma’shum, Djohan mendapatkan balasan dari kiai tersebut. Kepada Djohan, Kiai Ma’shum menyarankan agar ia indekos di rumah tokoh Aisiyah, Hj. Damiri, yang terletak di wilayah Kauman, basis santri di Jogjakarta.  Dalam suratnya, Kiai Ma’shum juga berpesan kepada Djohan, “Kalau mau mencari pangkat silakan ke Jogja. Tapi kalau ingin mencari ilmu Islam, datanglah ke Bangil (Pesantren Persis Bangil).” (hal. 42)  

Sayang, menurut cerita, surat balasan Kiai Ma’shum datang terlambat. Djohan sudah lebih dulu datang ke Jogja dan studi di sana. Andaikan tidak, bisa saja Djohan Effendi mengikuti saran Kiai Ma’shum untuk menimba ilmu di Pesantren Persis Bangil, yang pada masa itu diasuh langsung oleh A. Hassan. Dan bisa saja, Djohan Effendi akan menjadi penentang hebat Ahmadiyah, sebagaimana A. Hassan, bukan malah menjadi pembela Ahmadiyah yang dilakoninya kini. 

A-hassan-pendiri-Persis  A. Hassan (duduk, kiri) bersama pengurus Persis  Dari Jogjakarta inilah, Djohan dikabarkan mulai berkenalan dengan para aktivis Ahmadiyah dan berinteraksi dengan mereka…  Jalan hidup seseorang memang rahasia Ilahi. Begitupun dengan hidayah. Seseorang bisa saja, pagi hari beriman, senja hari menjadi kafir. Sekarang istiqamah, besok bisa menjadi munafik.  

Karenanya, agar pasang surut kehidupan ini tetap berada dalam jalur yang benar, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallammengajarkan kepada umatnya untuk selalu berdoa dan meminta perlindungan Allah, “Wahai Dzat Yang Maha membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku dalam ketaatan kepada-Mu.”  (Artawijaya/salam-online/arrahmah.com) - See more at: http://www.arrahmah.com/news/2013/02/24/kisah-djohan-effendi-ahmadiyah-dan-a-hassan.html#sthash.beLqTeiw.dpuf

Monday, April 29, 2013

Djohan Effendi: Kosmopolitanisme Se-“Urang Banjar”

Oleh
Hairus Salim HS


Catatan: Tulisan ini merupakan pengantar untuk buku biografi Dr. Djohan Effendy: Sang Pelintas Batas. Djohan adalah mantan Menteri Sekretaris Kabinet era Gus Dur, penulis pidato Presiden Soeharto, dan salah seorang tokoh pembaruharuan Islam Indonesia. 2009 yang lalu, beliau berusia 70 tahun. Rekan-rekannya merayakannya dengan di antaranya menerbitkan biografi beliau dan sebuah persembahan dari sejumlah aktivis dan intelektual, Merayakan Kebebasan Beragama: Persembahan 70 tahun Djohan Effendy. Kedua buku tersebut diterbitkan oleh ICRP dan Kompas, Jakarta (HS).

 Di Yogyakarta, atau tepatnya di jalan Mataram, berseberangan dengan Hotel Melia Purosani, persis di pojok jalan, ada sebuah masjid mungil. Quwwatul Islam namanya. Masjid ini didirikan oleh para saudagar asal Banjar, Kalimantan Selatan, beberapa warsa yang lalu, dan awalnya dimaksudkan sebagai ‘transito’ bagi para pendatang Banjar di Yogyakarta, baik mereka yang hendak mengadu nasib maupun yang ingin menuntut ilmu di Yogyakarta. Pendirinya konon berwasiat agar pengurus takmir masjid ini selalu orang Banjar, supaya ia selalu bisa menjadi ‘pusat’ pertemuan dan komunikasi orang-orang Banjar di Yogyakarta. Memang pada tahun-tahun pendiriannya, belum ada asrama daerah milik warga Kalimantan Selatan yang bisa menjadi pusat pertemuan dan kegiatan, serta komunikasi pasti masih sulit. Karena itu, fungsi masjid itu –di luar untuk kepentingan ibadah— sangat penting bagi warga Banjar di Yogyakarta. Dan sesuai dengan wasiat, hingga sekarang pengurus takmirnya selalu orang asal atau keturunan Banjar yang bermukim di Yogyakarta. Meski peranan masa lalunya telah merosot, hingga kini masjid itu tetap menjadi pusat pertemuan warga Banjar di Yogyakarta.


Suatu kali, di awal di pertengahan 1990-an, tak ada mendung tak ada petir, saya diundang rapat pemilihan pengurus baru masjid tersebut. Saya tidak aktif dan tidak terlalu suka dengan perhimpunan yang bersifat etnis, jadi saya tidak tahu mengapa saya diundang. Tapi dengan berbagai pertimbangan, saya memutuskan tetap datang.

Ada satu pembicaraan dalam pertemuan itu yang terus saya ingat sampai sekarang. “Tahu kada. Sabujurannya kita tu baisi orang panting. Panulis pidato presiden (baca: Soeharto) tu orang Banjar. Pajabat jua di depag pusat. Banyak kalo nang kada tahu. Cuma sidin ni urang Ahmadiyah. Jadi kada tapi cucuk lawan kita,” demikian kira-kira ungkap orang tersebut.

Meski nama ‘orang panting’ itu tidak disebut dengan jelas, saya yakin orang yang dimaksud adalah Djohan Effendi (DE) atau Pak Djohan sebagai biasa saya menyebut.  Bagi orang itu, DE dianggap sebagai orang yang sukses dan sepatutnya menjadi contoh bagi para orang Banjar lainnya. Bagi etnis kecil seperti ‘Banjar,’ kehadiran warga mereka sebagai tokoh di level nasional, sangatlah membanggakan. Tapi pada saat yang sama, rupanya orang itu menyayangkan banyak orang Banjar yang tak kenal bahwa penulis pidato presiden dan pejabat tinggi di depag itu adalah DE, yang orang Banjar. Selain itu, ia agak menyesal juga karena, menurutnya, DE mengikuti paham Ahmadiyah.
Anggapan DE sebagai penganut Ahmadiyah ini juga pernah saya dengar dari seorang dosen asal Banjar di IAIN Sunan Kalijaga, yang masa kuliahnya sezaman dengan DE. Pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan serupa tentang Pak Djohan pada masa-masa berikutnya sering juga muncul.

Tak Menonjolkan Diri Sebagai ‘Banjar’
Bukan hanya warga (asal) Banjar, orang kebanyakan pun, menurutku, sering tidak tahu kalau DE adalah orang Banjar. Ia sudah barang tentu dikenal sebagai seorang ‘tokoh’, salah seorang pejuang demokrasi, penganjur perdamaian, dan penggiat dialog antaragama, serta atribut-atribut lain seperti peneliti utama Departemen Agama, penulis naskah pidato presiden, pendukung Forum Demokrasi (FD), Kepala Balitbang Depag, dan puncaknya, menteri sekretaris kabinet era Presiden Abdurrahman Wahid. Tapi saya yakin sedikit orang –termasuk orang Banjar sendiri— yang tahu kalau dia orang Banjar. Ini beda misalnya dengan tokoh-tokoh nasional kelahiran atau berdarah Banjar lain seperti K. H. Idham Chalid (Mantan Ketua PBNU dan Wakil Perdana Menteri), K. H. Hasan Basri alm. (Mantan Ketua MUI), atau yang lebih belakangan Sa’adillah Mursjid (alm.), menteri sekretaris kabinet era Soeharto  atau Sjamsul Mu’arif, Menteri Komunikasi & Informasi era Megawati. Mereka semua dikenal sebagai orang Banjar, lebih-lebih di daerah Banjar sendiri. Nama DE tidak demikian, meski dia sebenarnya menduduki posisi prestise, menjadi penulis naskah pidato Presiden Soeharto dan Menteri Sekretaris Kabinet. Mungkin karena kebanyakan mereka itu bergerak di wilayah politik, yang memang membutuhkan dukungan, termasuk sebagai ‘representasi’ daerah, sedangkan DE bergerak di ranah pendidikan dan pemikiran. Namun, menurut saya, ada satu sebab lagi: DE memang sangat jarang, untuk tidak mengatakan sama sekali tidak pernah, menampilkan atau menonjolkan dirinya sebagai orang Banjar.

Menurutnya, sepanjang ia belajar di akhir 1950-an dan awal 1960-an, ia hanya pernah sebentar bermukim di asrama daerah (tepatnya di asrama Kalimantan Selatan Jalan Jetis, sekarang Asrama Lambung Mangkurat), itu pun ketika dia sedang sakit keras menjelang masa akhir studinya di Yogyakarta. Secara umum ia tak pernah tinggal di asrama mahasiswa daerah atau ikut aktif di organisasi-organisasi kedaerahan, seperti Persatuan Mahasiswa Kalimantan Selatan (PMKS) atau Kerukunan Tatuha Banjar (Katabayo). Bergabung dengan teman-teman sedaerah, dalam pandangannya, bisa membuat orang berpikiran sempit dan kerdil.

Sepanjang puluhan pertemuan saya dengan DE, hanya sekali seingat saya, “kami” sebagai sama-sama berasal dari Banjar membincangkan topik yang berkaitan dengan Banjar, yaitu pentingnya riset dan penelitian sejarah secara khusus terhadap peristiwa pemberontakan Darul Islam (DI) di Kalimantan Selatan dengan tokohnya Ibnu Hajar. Kebetulan peristiwa itu berlangsung di sekitar Kandangan, kawasan kampung halaman DE sendiri. Kalau sejarah DI/TII di daerah-daerah lain, Aceh, Sulawesi Selatan dan di Jawa Barat telah ditulis secara mendalam, seperti karya Anhar Gonggong, Abdul Qahhar Mudzhakar, Dari Patriot Hingga Pemberontak (edisi revisi, Ombak, 2004) untuk peristiwa di Sulawesi Selatan, pemberontakan Ibnu Hajar, menurut kami waktu itu, belum memperoleh perhatian sejarah yang memadai. Karya Cees Van Dick, Rebellion Under Banner Islam, yang edisi Indonesianya diterbitkan oleh Penerbit Grafiti beberapa tahun lampau, terlalu bersifat umum, dipandu oleh perspektif nasional, dan bersandar pada dokumen-dokumen yang dibuat pemerintah atau berita-berita resmi saja.

Bagi kami waktu itu, riset ini penting untuk mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi? Mengapa mereka disersi? Benarkah mereka menginginkan ‘negara Islam’? Ataukah ini reaksi spontan saja terhadap kebijakan “rasionalisasi” Hatta waktu itu, dan lain-lain? Menurut DE, beberapa tokoh pemberontakan itu masih hidup —seraya menyebut beberapa nama— dan perlu segera diwawancarai secara mendalam sebagai basis untuk menulis sejarah dengan perspektif lokal. Sayang, pembicaraan kami sekitar lima belas tahunan yang lalu ini, hanya tinggal pembicaraan. Gagasan itu tidak pernah terealisir dan menguap begitu saja.

Saya lupa mengapa kala itu tidak mengusulkan agar Litbang Depag saja yang mengerjakan proyek riset itu. Bukankah Pak Djohan sendiri peneliti utama di Depag? Tapi seandainya pun diusulkan, saya tidak yakin juga apakah DE sudi menerima, karena itu sudah sebentuk ‘kolusi’ yang cukup menggejala juga di dunia penelitian kita.

Yang jelas, sebagai peneliti di Departemen Agama yang sempat memegang posisi decision maker –sejauh penelusuran saya— DE tak pernah melakukan penelitian di Kalimantan Selatan. Ini agak mengherankan dan menarik, karena biasanya peneliti di Indonesia, entah yang berbasis di perguruan tinggi maupun di departemen pemerintah, kerap kali meneliti masyarakat di kampung halamannya sendiri dengan motif yang kebanyakan bersifat praktis-pragmatis: mulai kemudahan memperoleh akses informasi hingga sekaligus pulang kampung halaman secara gratis. Saya yakin DE ingin bersifat profesional dan menjaga obyektivitas sebagai peneliti, suatu sikap yang patut dipuji.

Orang Banjar yang Tak Biasa
Sebagai orang Banjar, menurut saya, DE bukanlah orang Banjar yang lazim. Tentu saja, ini dengan pengandaian kita percaya pada pandangan ‘esensialis(me)’ dalam kebudayaan yang meyakini ada suatu karakter budaya yang melekat dalam diri seseorang sesuai dengan identitas etnis, agama, ras atau warna kulitnya. Esensialisme ini dalam praktik sehari-harinya secara kasar  kita kenali berupa ‘stereotipe’ yang biasa ditempelkan pada seseorang yang memiliki identitas tertentu. Setiap suku karena itu memiliki stereotipenya sendiri. Orang Banjar, sebagai bagian dari subetnik Melayu misalnya, dianggap memiliki sikap yang ‘keras’, konsumtif, dan memiliki gengsi yang tinggi, serta agak malas. Kalau berbicara, nada suaranya biasanya tinggi dan lantang. Tapi sebagaimana rumus stereotipe, ia memiliki kebenaran dan sekaligus kekeliruannya sendiri. Ia bisa tepat juga bisa salah. Kenyataannya memang banyak orang Banjar yang memiliki karakter demikian. Tapi ketika ditempelkan ke sosok DE, hampir seluruh stereotipe orang Banjar itu meleset.

DE dalam banyak hal adalah sosok yang pendiam dan lembut. Siapapun yang mengenalnya selalu punya kesan ini. Ia tidak banyak omong dan lebih senang mendengarkan. Kalau berbicara seperlunya saja. Dan kalau berbicara, suaranya pelan dan cenderung lambat. Ini pembawaan yang tak umum pada orang Banjar. Apalagi kalau hal ini dikaitkan dengan daerah asal DE di Kalimantan Selatan, yaitu Kandangan, sebuah daerah di Kalimantan (Selatan) yang dikenal (lagi-lagi stereotipe) sebagai orang-orang yang pemberani, memiliki karakter keras, gampang panas, dan tak segan berkelahi. Kandangan juga dikenal sebagai daerah pencetak para jagoan lokal di Kalimantan, bahkan konon para jagoan asal daerah ini telah berkiprah di terminal-terminal dan pelabuhan-pelabuhan di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Betapa jauhnya sosok Pak Djohan dari citra seperti itu.

Saya juga tak pernah melihat Pak Djohan tertawa terbahak-bahak dengan mulut terbuka lebar, yang biasa muncul ketika seorang Banjar terlibat dalam aksi spontan bapapakalahan. Ini adalah tradisi –yang tak menyenangkan terutama bagi mereka yang kalah dan jadi korban, dan ‘menyehatkan’ otot-otot tegang mereka yang mendengarkan— di kalangan orang Banjar, suatu kegiatan saling mengejek dan menyerang, yang biasanya berlangsung di warung teh, acara pertemuan, atau di pinggir sungai. Tak jarang tradisi ini membuahkan permusuhan dan perkelahian. Jauh dari tradisi seperti itu, pada kebiasaannya, Pak Djohan hanya tersenyum kecil jika mendengar sesuatu yang oleh rekan-rekan ngobrol-nya dianggap lucu. Penampilan seperti ini lalu mengesankannya sebagai orang yang selalu serius.

Demikian juga dalam pandangan dan gaya hidup. DE jauh sekali dari kesan orang Banjar, –lebih-lebih sebagai orang Banjar yang sukses dan terkenal—, yang biasanya senang mengenakan pakaian yang mahal, kendaraan yang bagus, dan penampilan yang hebat, serta atribut-atribut yang gebyar lainnya. Dalam praktik hidup sehari-hari, DE sangat sederhana dan asketik, cenderung menghindar dari kegiatan-kegiatan yang berbau hura-hura dan pesta.

Stereotipe orang Banjar lainnya adalah suka kawin dan penggemar poligami. Bukan hanya orang kaya atau ulama, lelaki yang ekonominya pas-pasan pun tak sedikit yang berpoligami. Sedemikian stereotipnya sampai ada lelucon di sana: istri satu itu wajar, istri dua itu baru belajar, istri tiga kurang ajar, dan istri empat? Nah, itu baru orang Banjar. Pak Djohan sudah barang tentu bukan orang Banjar jenis ini. Dalam banyak hal, bahkan Pak Djohan punya perhatian dan pembelaan serius terhadap kedudukan kaum perempuan.  Periode dia bekerja di Kantor Kerapatan Qadhi di Amuntai pada awal dasawarsa 1960, di mana dia banyak bersentuhan dengan masalah-masalah pengadilan agama, memberikannya banyak pengalaman betapa lemahnya posisi perempuan sebagai isteri dan membuatnya kritis terhadap fikih perempuan yang berlaku selama ini.

Pribadi yang Selalu ‘Mencari’
Banjar, mengikuti pendapat antropolog Judith Nagata beberapa tahun lampau, boleh jadi merupakan salah satu suku di Indonesia ini mana identitas kesukuan bertumpang tindih dengan identitas keagamaan. Agama ya suku, suku ya agama. Kebanjaran sejajar dengan keislaman. Hampir-hampir tak ada orang Banjar yang agamanya non-Islam, kecuali dia konversi, yang secara sosial pasti akan menuai masalah, atau ia pendatang dari luar (Jawa atau Manado misalnya) yang setelah bertahun-tahun tinggal di wilayah Banjar, dan terutama karena faktor bahasa, mengaku ‘orang Banjar.’

Dengan identitas yang tumpang tindih demikian, orientasi keagamaan orang Banjar boleh dibilang cenderung eksklusif. Identitas keislaman mereka sangatlah kuat  dan memiliki gaya ‘truth claim’-nya sendiri. Dengan latar itu, jika dineracakan, kecenderungan orang Banjar untuk menjadi ‘radikal’ jauh lebih besar daripada  untuk menjadi ‘pluralis.’ Masyarakat Banjar adalah mayarakat yang monolitik sehingga tak ada lingkungan plural dalam pengalaman sosial dan kehidupan mereka. Memang ada Dayak (Meratus) yang menjadi tetangga mereka, yang dianggap sebagai ‘saudara tuha,’ yang kebanyakan menganut Agama Kaharingan atau sebagian konversi ke Kristen. Tapi batas-batas kehidupan sosial orang Banjar dan Dayak (Meratus) ini sangat terpisah. Dalam praktik sehari-hari, kebanyakan orang Banjar merasa lebih superior secara budaya dan memandang Dayak sebagai  ‘orang yang tak beragama’ dan ‘bukit,’ keduanya bernada nyinyir dan pejoratif. Dengan pandangan ini, orang Banjar merasa perlu ‘mengislamkan’ orang Dayak.

Seperti keluarga Banjar lainnya, keluarga DE –sebagaimana pernah ditulisnya beberapa tahun lampau dalam esai “Arti Hamka Bagi keluarga Kami” (1977) untuk menyambut 70 tahun Hamka— adalah keluarga “kaum tuha,” ini sebutan untuk kalangan Islam tradisional di kawasan Banjar sebagai lawan terhadap ‘kaum muda’ atau biasa disebut juga Kaum Wahabi. Sampai sekarang pun, Kalimantan Selatan tetap menjadi basis penting ‘Islam kaum tuha’ di luar Jawa, yang dekat dengan NU atau al-Washliyah. Kakeknya adalah orang yang keras terhadap mereka yang ‘nyebal’ dan menjadi pengikut ‘kaum muda.’ Orang tua dan guru-guru agamanya semuanya adalah pengikut ‘kaum tuha.’ Dan tentu saja, pendidikan keagamaan masa kecilnya pun dilalui dalam pola pendidikan agama ‘kaum tuha’ ini. Saya bisa membayangkan bagaimana sengitnya pertentangan ‘kaum tuha’ dan ‘kaum muda’ ini pada masa kecil DE, karena pada masa saya kecil di tahun 1970-an pun, pertentangan itu masih terus berlangsung.

Beruntung DE mempunyai orang tua yang agak moderat dan senang membaca. Ayahnya adalah pembaca Pembela Islam dan Al-Lisan yang diterbitkan Persatuan Islam (Persis), juga Pedoman Masyarakat dan Panji Islam yang diterbitkan kalangan muda di Medan. Menurut DE, karena pengaruh orang tuanya dan bacaan masa kecil itulah, ia pada masa sekolah menengah lalu secara kultural menempatkan dirinya sebagai pengikut ‘kaum muda’ dengan mendaftarkan diri sebagai anggota Persis.

Di tengah masyarakat dan keluarga yang sebagian besar para pemeluk teguh ajaran ‘kaum tuha,’ pilihannya bergabung ke Persis (yang baginya waktu itu jauh lebih serius memberantas ‘TBC’ (takhayul, bid’ah, khurafat) daripada Muhammadiyah) sungguh bukan suatu pilihan yang gampang dan mudah. Ia tentu menghadapi dilema-dilema intelektual dan sosial yang mendalam. Ia pastilah harus ‘berkelahi’ dengan lingkungan keluarga dan masyarakat sekitarnya. Tapi sebagai respon terhadap kehidupan agama masyarakat yang dianggapnya ‘beku,’ pilihan itu harus diambil dengan semangat memeluk yang tak kalah teguhnya pula.

Tapi ternyata ini adalah bagian saja dari pencarian intelektual dan spiritualnya. Persis bukanlah terminal akhir pengembaraan keagamaannnya. Didasari pada pertanyaan-pertanyaan mengenai ‘hakikat’ agama dan kemanusiaan, pengembaraannya terus berlanjut. Ketika ia merasa bosan dan tak banyak menemukan jawaban di dalam pemikiran keagamaan salafi, ia memasuki pikiran-pikiran keagamaan Ahmadiyah dan dekat dengan tokoh-tokohnya. Bahkan, diakuinya bahwa bacaan-bacaan terhadap literatur keagamaan Ahmadiyah banyak menyumbang pada pemikiran keagamaannya.
Momen ini perlu saya sebut secara khusus karena hal ini –seperti saya sebut dalam  pembuka tulisan— sering menjadi sumber salah paham terhadap dirinya. Padahal, itu sekali lagi hanya bagian dari fase pengembaraan intelektual dan spiritualnya. Sembari mengakui kontribusi besar Ahmadiyah, dia berbeda paham dalam hal kenabian, al-masih dan imam mahdi, tiga ajaran yang prinsipil di dalam Ahmadiyah.

Penjelasan ini perlu saya tekankan, karena DE selama ini diam dan tidak terlalu menggubris terhadap anggapan-anggapan ini. Saya kira, sebagai seorang ‘pluralis sejati,’ ia memang merasa tak perlu risau dan menanggapi anggapan-anggapan ini. Baginya –dan mestinya bagi ‘kita’ semua— apakah ia Ahmadiyah atau bukan, itu bukan urusan siapapun.

Konsistensinya membela kedudukan dan hak Ahmadiyah –sebagaimana kelompok-kelompok minoritas keagamaan lainnya— untuk hidup di bumi Pancasila ini, membuat anggapan ini, bertahan dan direproduksi terus-menerus. Barangkali ini sebagian kecil dari resiko yang harus diterima seorang pejuang dan pemikir sejati: disalahpahami. Saya ingat cerita Pak Djohan ketika membela hak sekte Seksi Jehovah. Lepas dari cara-caranya yang agresif dan sangat ‘mengganggu’ dalam menyiarkan dan mengkabarkan kebenaran agamanya, Seksi Yehovah bagi Pak Djohan tetap berhak hidup di bumi pertiwi dan pelarangan terhadapnya secara hukum tidak bisa dibenarkan. Besoknya, kata Pak Djohan, ia didatangi oleh pemeluk Seksi Yehovah, dianggap sebagai orang yang telah menerima ‘petunjuk’-Nya dan diajak segera bergabung ke dalam kelompok keagamaan tersebut.
Sejak bergabung ke dalam HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) pada tahun 1962, hubungan emosional dan organisasionalnya dengan Ahmadiyah terputus. Namun, hubungan silaturrahminya dengan mereka tetaplah berlangsung, sebagaimana juga dengan kalangan anggota HMI yang –sebagai bagian dari pengembaraan intelektual dan keagamaannya— juga ia tinggalkan pada 1969.

Sejak itu, saya kira, DE terbang dan mengembara ke mana-mana. Ia tak bisa lagi dikurung dan dihentikan dalam satu pemahaman keagamaan saja. Apalagi kini baginya, “…semua pendapat tidaklah mutlak. Kebenarannya bersifat relatif. Organisasi keagamaan bukanlah bagian dari agama dan karena itu menjadi anggota organisasi keagamaan bukanlah bagian dari keberagamaan melainkan sekedar kegiatan sosial. … semua faham atau mazhab tidak seluruhnya benar dan tidak seluruhnya salah. Ia merasa bebas untuk mengambil mana yang kuanggap benar dari faham atau mazhab apapun…” Demikian tulisnya tentang perjalanan hidupnya yang mirip sebuah manifesto. Ia menjadi pluralis sejati.
***

Itulah sedikit catatan saya tentang DE, yang dengan caranya sendiri terus ingin melampaui primordialisme, baik primordialisme kesukuan, keagamaan maupun ras. Sebagai sama-sama berasal dari Banjar, kami memiliki latar belakang masyarakat yang serupa. Hanya semangat zaman yang berbeda. Jika dulu pada zaman mudanya, DE dipengaruhi bacaan-bacaan yang ditulis mereka yang disebut sebagai ‘kaum muda,’ dan dengan itu semua ‘meloncat’ dari tempurung primordialnya, maka dalam periode saya, justru ‘dipengaruhi’ oleh DE dan intelektual-intelektual segenerasinya, Abdurahman Wahid, Th. Sumartana (alm.), Goenawan Mohamad, dan lain-lainnya, yang tidak bisa lagi dikotakkan dalam bingkai ‘kaum tua’ atau pun ‘kaum muda.’ Saya ingat betul, betapa kami sejumlah santri Al-Falah Banjar Baru, Kalimantan-Selatan, termangu-mangu dan heran tapi sekaligus tertantang ketika secara diam-diam membaca sebuah ‘kitab putih’ berjudul Pergolakan Pemikiran Islam, yang disunting oleh DE (dan Ismet Natsir).

Saya tidak pernah menduga bahwa beberapa tahun kemudian saya bisa bertemu dan berkenalan dengan DE, penyunting catatan kontroversial itu. Saya juga tidak tahu sebelumnya, kalau DE ternyata orang Banjar. Persahabatan kami makin karib setelah saya bergabung dengan Dian/Interfidei di awal 1990-an, di mana DE menjadi salah seorang pengurus yayasannya. Dan tentu saja, dalam kerja-kerja kampanye pluralisme dan perdamaian. Dalam suatu diskusi di ICRP, saya pernah mengatakan bahwa DIAN/Interfidei, dengan motornya Th. Sumartana dan DE, adalah pioner ‘swastanisasi dialog antaragama,’ setelah sebelumnya dialog antaragama hanya diselenggarakan dan dikonstruksi oleh pemerintah saja.

Melihat latar keluarga dan riwayat pendidikannya, Pak Djohan mungkin pernah diproyeksikan menjadi ulama. Tapi harapan menjadi ulama –dalam arti yang telah mapan selama ini—mungkin telah dianggap ‘sirna’, karena Pak Djohan telah menjelma menjadi seorang ‘ulama’ dalam arti yang lain, seorang pemikir Islam yang bebas dan pluralis. Kehilangan DE sebagai ulama dalam arti yang pertama itu di masyarakat Banjar yang dari dulu hingga kini terkenal dengan produksi ulamanya, mungkin bukan sebuah ‘kehilangan.’ Karena di daerah ini, regenerasi ulama tak pernah berhenti dan seolah berjalan secara alamiah. Tapi seorang ‘ulama’ seperti Pak Djohan, belum tentu lahir dalam satu generasi. Mengingat latar keislaman di daerahnya yang cenderung monolitik dan eksklusif, betapa besar arti Pak Djohan sebagai ‘ulama’ tersebut.

Bagi saya, sumbangan besar DE pada Banjar justru terketak pada ketiadaan sumbangannya yang bernilai ekonomis-pragmatis sebagaimana biasa tokoh-tokoh daerah yang menjadi tokoh nasional selama ini. Sumbangan DE, adalah dirinya sendiri, dengan segala pengalaman, pengembaraan, pengetahuan, dan perjuangannya sebagai seorang pejuang demokrasi dan pluralisme. Pak Djohan adalah sebuah preseden, sebuah uswah bagi generasi ‘santri’ Banjar berikutnya, bahwa sangat bisa dan terbuka kemungkinan melampaui gaya keislaman dan kebanjaran yang telah mapan, monolitik, dan eksklusif selama ini. Inilah alasan saya mengungkit-ungkit ‘aspek primordial’-nya itu, demi melampaui ‘primordialisme’ itu sendiri.

Retrieved from: http://haisa.wordpress.com/2010/01/19/djohan-effendi-kosmopolitanisme-se-%E2%80%9Curang-banjar%E2%80%9D/

Sunday, April 28, 2013

MAULANA RACHMAT ALI HAOT - MUBALIGH AHMADIYAH PERTAMA

Saya ingin menyampaikan beberapa cerita mengenai berbagai kejadian yang diceritakan oleh orang tua-tua dan pengalaman pribadi dengan Mubaligh Jemaat Ahmadiyah. Mudah-mudahan cerita ini dapat menambah keimanan dan bermaat bagi kita semua. Dalam tulisan saya ini mungkin ada yang kurang tepat sehingga saya terbuka untuk mendapatkan koreksi.

Mlv Rachmat Ali adalah mubaligh Ahmadiyah Qadian yang pertama datang ke Indonesia. Banyak sekali cerita dan pengalaman para sesepuh di jemaat dan  para sahabat Mlv Rachmat Ali juga sudah wafat. Sebagian besar menyampaikan cerita pengalaman mereka dengan rasa terharu dan kecintaan yang besar terhadap Sang Guru Mlv Rachmat Ali HAOT.  Mlv Rachmat Ali adalah seorang mubaligh yang mengorbankan dirinya untuk menyampaikan pembaharuan Islam dan penyebaran paham Ahmadiyah di Indonesia. Sebagai murid  dari Hazrat Mirza Ghulam Ahmad beliau berpisah dengan keluarga tercinta selama 25 tahun untuk menyebarkan kebenaran Imam Mahdi.

Kisah-kisah mengenai Mlv Rachmat Ali adalah sebagai berikut.
  
1. Hujan dihentikan

Hampir semua Ahmadi pernah mendengar cerita mukjizat doa yang dilakukan oleh Mlv Rahmat Ali HAOT. Pada suatu masa terjada pelaksanaan diskusi antara Mlv. Rahmat Ali HAOT dengan seorang pendeta kristen Bandung. Perdebatan berlangksung sangat sengit dan seperti biasa semua argumentasi sang pendeta dapat dipatahkan oleh Mlv Rachmat Ali.

Pada saat perdebatan berlangsung tiba-tiba terjadi turun hujan yang sangat lebat. Sang pendeta yang sudah terdesak dalam perdebatan tiba-tiba mengatakan kapada Mlv. Rahmat Ali HAOT :” jika anda memang seorang yang benar maka coba tuan hentikan hujan ini.” Mlv Rahmat Ali HAOT langsung menyambut dan berkata :” baik.” Dan beliau langsung berdoa dihadapan hadirin. Setelah doa beliau lakukan tiba-tiba hujan berhenti.

Apa yang terjadi dengan sang pendeta? Pendeta tersebut tidak mengakui mukjizat doa yang diperlihatkan oleh Mlv. Rahmat Ali HAOT. Dia menganggap kejadian hujan berhenti hanyalah suatu kebetulan. Memang seseorang untuk dapat menerima kebenaran diperlukan karunia dari Allah SWT.

2. Kedatangan Rizki.

Bapak saya R. Boenjamin adalah murid dari Mlv Rahmat Ali HAOT. Bapak bercerita bahwa beliau selalu rajin ke petojo untuk sholat dan bertemu dengan sang Guru Mlv Rahmat Ali HAOT yang dicintainya. Suatu saat Mlv. Rahmat Ali mengatakan kepada bapak bahwa beliau sudah lama tidak makan enak. Spontan bapak mengajak Mlv Rahmat Ali untuk jalan mencari makan di luar. Mlv. Rahmat Ali kemudian bersabda kepada bapak:” tidak, tuan duduk saja disini nanti insya Allah akan datang rizki.” Karena itu bapak kemudian duduk saja dan tidak mengerti apa yang akan terjadi. Tidak berapa lama terdengar suara seorang ibu lajnah datang dan mengucapkan salam :” Assalamualaikum.” Apa yang diucapkan oleh Mlv Rahmat Ali HAOT menjadi kenyataan. Ibu lajnah itu membawa makanan berupa masakan ayam yang lezat untuk disampaikan kepada sang guru yang dicintainya Mlv Rahmat Ali HAOT. Masya Allah.

3. Mimpi Mlv Rahmat Ali HAOT

Bapak saya pernah menceritakan suatu kejadian dimana Mlv Rahmat Ali menyatakan penyesalannya. Salah seorang murid Mlv Rahmat Ali HOAT adalah Embun Abdullah. Beliau adalah orang yang sholeh dan saya selalu sering bertemu beliau di Mesjid Balikpapan. Bapak saya menceritakan bahwa pada waktu Embun Abdullah menikah Mlv Rahmat Ali HAOT nampak kurang setuju tapi beliau tidak melarangnya. Namun demikian Mlv Rahmat Ali merasa beliau telah memperlihatkan rasa ketidak senangannya kepada isteri Embun Abdullah. Suatu saat Embun Abudullah sakit dan Mlv Rahmat Ali HOAT memperhatikan bagaimana bakti dan kesetiaan isteri Embun Abdullah. Pagi, siang dan sore isteri Embun Abdullah selalu dengan setia datang ke rumah sakit membawa masakan untuk suaminya tercinta. Hal ini tidak pernah luput dari perhatian sang Guru. Pada suatu siang isteri Embun Abdullah mengalami musibah kecelakaan yaitu dilindas Trem pada saat membawa makanan untuk suami tercinta. Kejadian ini sangat memukul Mlv. Rahmat Ali HAOT. Beliau menyampaikan kepada bapak saya bahwa beliau sangat menyesal. Mlv Rahmat Ali menyatakan bahwa beliau pernah bermimpi dan melihat isteri Embun Abdullah meninggalkan suaminya. Mlv. Rahmat Ali HOAT sangat yakin bahwa mimpinya akan menjadi kenyataan bahwa isteri Embun Abdullah akan meninggalkan suaminya. Tetapi beliau telah salah menafsirkan mimpinya bahwa isteri Embun Abdullah akan meninggalkan suaminya karena tidak setia. Hal ini telah menyebabkan Mlv Rahmat Ali HAOT menyesal dan menyatakan bahwa isteri Embun Abdullah adalah wanita yang baik dan setia serta beliau selama ini telah keliru menafsirkan.

4. Neraca Trading Company

Bapak saya R. Boenjamin pernah menceritakan mengenai Neraca Trading Company. Kisah ini tidak sebenarnya tidak begitu enak untuk diceritakan. Tetapi kisah ini merupakan kisah untuk Jemaat Indonesia yang perlu dicatat. Neraca Trading Company dibentuk oleh Mlv. Rahmat Ali dengan tujuan untuk membiayai penerbitan buku-buku Jemaat. Perusahaan ini telah berhasil menerbitkan beberapa buku karya Mlv Rahmat Ali HAOT. Dari cerita bapak saya menangkap perusahaan ini baru pada perkembangan awal sehingga belum dikelola dengan baik. Keberadaan persahaan ini menimbulkan polemic antara Mlv. Rahmat Ali HAOT dengan mubaligh-mubaligh markazi lainnya. Hampir semua mubaligh markazi menentang keberadaan Neraca Trading Company. Polemik ini berkisar pada masalah manajemen dan transparansi keuangan Neraca Trading Company. Akibat polemic ini kemudian para mubaligh markazi melakukan komunikasi kepada Hazrat Khalifah II. Kemudian diputuskan oleh Huzur ke II Mlv. Rahmat Ali HAOT ditarik kembali ke pusat. Bapak bercerita bahwa Mlv. Rahmat Ali pernah berkata:” Mereka akan menyesal.” Saya pernah bertanya siapa saja yang menentang Neraca Trading Company. Bapak menjelaskan: “ banyak” Beberapa murid Mlv. Rahmat Ali yang sering diungkapkan membantu beliau dalam penulisan buku yang diterbitkan oleh Neraca Trading Coy antara lain Raden joesoef Ahmadi, A. Bachtiar Martapoera, Raden Boenjamin, Ahmad Satiri, Moh. Yaqin Munier, dan kadang-kadang Abdoerahman, Moertolo, dan Ahmad Soepardja. Untuk dukungan upaya mencari pembiayaannya disebutkan oleh Mlv. Rahmat Ali adalah Soepardja, Joesoef, Djakaria, dan Soedarma. Beberapa nama disebutkan memberi sokongan keuangan dalam penerbitan adalah R. Goemiwa Partakoesoema, Lurah Ata dan Rasyid. Pekerjaan Pencetakan dilakukan oleh Soepardja, Djakaria dan Moh. Jaqin Munier. Nama lain yang disebutkan juga memberikan bantuan adalah Raden Kartaatmadja, Emboen Doellah, Bachroem Rangkuti, M Saleh bin Charis, Soelaiman Hasan Bisri.

5. Kecintaan Murid-murid Mlv. Rahmat Ali HAOT kepada Gurunya.

Dari Rahim Panturu saya mendengar kisah bagaimana kecintaan murid-murid beliau kepada Mlv Rahmat Ali HAOT. Rahim rekan saya itu mendengar cerita ini yang dikisahkan oleh alm Dji An Sulaiman yaitu ayah dari Saleh Dji An dan Siddik Dji An. Menurut Rahim profesi Dji An Sulaiman adalah pemangkas rambut dan Mlv Rahmat Ali senatiasa dipotong rambunya oleh Dji An Sulaeman. Dikisahkan bahwa menjelang kepulangan Mlv Rahmat Ali HAOT ke Rabwah berita itu telah menjadi pembicaraan dikalangan Jemaat. Namun kepastian kepulangan beliau baru diperoleh setelah ada telegram dari Hazrat Khalifatul Masih ke II dari rabwah Pakistan. Dengan adanya kepastian ini salah satu dari murid beliau diataranya Satiri rekan-rekan murid beliau lainnya seperti Djia An, Abdul Rachman, Sulaeman membuat goresan di dinding untuk mengitung hari keberangkatan sang guru yang dicintai.

Pada hari keberangkatan semua murid-murid beliau mengantar guru yang dicintai ke pelabuhan Tg Priok. Mereka mengantar hingga keatas kapal dan semua merasakan sangat berat dan gelisah melepas Mlv Rahmat Ali HAOT yang sangat dicintai para murid-muridnya. Saat pluit tanda keberangkatan berbunyi pun mereka masih belum mau berpisah dengan beliau. Hingga akhirnya pada pluit tanda keberangkatan ketiga dengan perasaan sedih dan haru tak terhingga para murid-murid ini harus turun dari kapal. Mereka terus berdiri memandang kapal yang mulai bergerak menjauh ke tepi ufuk horizon hingga akhirnya mulai hilang dari pandangan mata. Dji An almarhum bercerita pada Rahim Panturu bahwa para murid ini masih belum dapat melepas dan mereka terus berusaha untuk memandang kapal yang membawa sang guru ke tanah airnya. Mereka naik keatas gedung pelabuhan sehingga mereka masih dapat kembali melihat kapal yang ditumpangi guru. Ramai mereka memandang kapal itu sehingga kapal itu kembali menjauh dan menghilang. Setelah itu mereka kembali naik keatas atap gedung yang lebih tinggi sehingga mereka dapat kembali menatap kapal yang menajuh itu sehingga akhirnya hanya dapat terlihat kepulan asap kapal. Pada waktu kapal itu sudah tidak dapat terlihat lagi baru mereka ingin pulang dan tanpa disadari waktu telah menjadi malam.

Dari cerita ini kita dapat mengetahui bagaimana kecintaan para murid beliau kepadanya. Bagi saya cerita ini bukan mengherankan karena Bapak saya R. Boenjamin almarhum sudah terlalu sering menceritakan kecintaannya kepada gurunya yang mulia itu. Saya hingga sekarang masih dapat mengingat rasa duka dan cinta di wajah Bapak apabila bercerita mengenai Mlv Rahmat Ali HAOT.

6. Kemuliaan Jiwa Mlv. Rachmat Ali HAOT

Rahim Panturu menyampaikan kepada saya cerita mengenai pengalaman R. Moertolo SH alm., yang semasa akhir hidupnya menjabat Ketua PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan pernah menjabat Jaksa Tinggi dan Jaksa Agung Muda. Cerita ini diceritakan langsung oleh R. Moertolo SH. kepada Rahim Panturu dengan penuh linangan air mata.

R. Moertolo SH bercerita bahwa pada waktu beliau akan mengambil ujian untuk mendapat gelar sarjana hukum Mister in de Rechten, beliau memerlukan biaya yang cukup besar. Dalam keadaan yang mendesak itu beliau datang kepada sang guru Mlv Rachmat Ali HAOT di Mesjid Jl. Balikpapan untuk meminjam uang yang diperlukannya itu. Sang Guru setelah mendengar permintaan muridnya ini meminta untuk menunggu dan beliau masuk kedalam. Setelah lama menunggu akhir Mlv Rachmat Ali HAOT keluar dan menyerahkan uang yang akan dipinjam itu kepada R Moertolo SH.

Setelah menerima uang itu, kemudian R. Moertolo diberitahu bahwa Mlv Rahmat Ali HAOT tadi keluar dari pintu belakang dan pergi ke kawannya seorang bangsa Sheik di Pasar Baru untuk meminjam uang. R. Moertolo SH baru menyadari mengapa beliau menunggu sangat lama sekali dan rupanya Sang Guru telah berusaha menolongnya dan tidak mau memperlihatkan situasinya yang juga tidak memiliki uang kepada muridnya sehingga keluar dari jalan belakang. Pada saat yang sama R. Moertolo juga diberitahu bahwa Sang Guru sebelum bertemu dengan R. Moertolo baru saja mendapat berita dari Pakistan bahwa anak yang dicintainya meninggal dunia. Mlv. Rachmat Ali sangatlah mulia hatinya dan penuh dengan pengorbanan. Dalam keadaan duka hati yang sedih karena kehilangan putra tetapi beliau tetap berupaya untuk menolong orang lain yang membutuhkan pertolongannya.

Menurut Rahim R. Moertolo berkali-kali bercerita hal ini kepadanya dan selalu beliau menyampaikannya dengan penuh linangan air mata. Kita doakan kepada Allah SWT untuk membalas seluruh kebaikan dan amalan Mlv Rachmat Ali HAOT kepada jemaat dan bangsa Indonesia. Amin.
(Sumber : http://redseahawk.blogspot.com/2009_07_01_archive.htmlDiposkan oleh Boenjamin) 

http://suaraansharullah.blogspot.com/p/nostalgia.html
http://redseahawk.blogspot.com/2009/07/saya-ingin-menyampaikan-beberapa-cerita.html

Thursday, April 4, 2013

Sejarah Singkat GAI Cabang Kediri

Oleh : Mutohir Alabas


Ahmadiyah adalah gerakan penyiaran Islam yang tersebar di berbagai negara. Di dunia internasional, terdapat dua organisasi Ahmadiyah, yang lazim dikenal dengan Ahmadiyah Lahore dan Ahmadiyah Qadian. Antara keduanya tidak ada hubungan struktural organisasi dan masing-masing berjalan sendiri.
Di tingkat internasional, organisasi Ahmadiyah Lahore bernama “Ahmadiyya Anjuman Isha’ati Islam Lahore” (AAIIL). Gerakan ini didirikan pada tahun 1914 oleh Maulana Muhamad Ali, murid sekaligus sekretaris pribadi Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Kata “Lahore” sendiri diambil dari salah satu nama kota di negara Pakistan dimana Gerakan ini didirikan. Perlu diketahui bahwa Ahmadiyah Lahore berfaham Ahli sunah wal jama’ah. Ahmadiyah Lahore berkeyakinan setelah kadatangan nabi Muhammad SAW sampai nanti kiamat tidak akan datang nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru.

Di Indonesia, organisasi dari faksi Ahmadiyah Lahore secara resmi bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI), berpusat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sementara dari faksi Ahmadiyah Qadiyan bernama Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), berpusat di Parung, Bogor.
Di Kediri sendiri, masing-masing organisasi ini memiliki kantor cabang. Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) Cabang Kediri berkantor di Jl. Raya Kediri-Pare KM 8 Desa Adan-adan Kecamatan Gurah, Kediri. Sementara JAI berkantor di Kelurahan Ngadisimo, kota Kediri.
Berdirinya GAI Cabang Kediri tak terlepas dari peran seorang pejuang penyiaran Islam yang tinggal di dusun Templek, Desa Gadungan, Kecamatan Puncu, Kediri bernama Raden Mas Sunandar Wiryo Burhanul Arifin, atau lebih dikenal dengan panggilan SWB Arifin. Beliau lahir di Kediri, 31 Desember 1913. Beliau adalah putra R.M. Sunandar Wiryo Dirdjo, seorang Sinder perkebunan se-Karisidenan Kediri pada zaman Belanda.

Meski berpendidikan terkakhir MULO (setingkat SMA), namun SWB Arifin fasih berbahasa Belanda dan Inggris. Di masa muda, beliau mendapat pemahaman tentang Ahmadiyah Lahore langsung dari HOS Tjokroaminoto, yang kelak dikenal sebagai Pahlawan Nasional. Kemudian beliau melanjutkan berguru kepada seorang mubaligh Ahmadiyah dari Pakistan yang bermukim di Purwokerto, bernama Mirza Wali Ahmad Baig.
Dalam aktivitas dakwahnya, SWB Arifin dibantu sang istri, Shofi Retnaningsih, perempuan keturunan Jepang yang berprofesi sebagai ahli hukum. Nyai Shofi dikenal karena selalu membantu rakyat kecil yang mendapat kesulitan di bidang hukum.
Di masa penjajahan Jepang, SWB Arifin diangkat menjadi vuku daitaico untuk Karisidenan Kediri. Karena kedekatannya dengan Residen Kediri, beliau diizinkan membagikan tanah perkebunan bekas peninggalan belanda yang berada di wilayah kecamatan Kepung dan Puncu kepada rakyat. Meskipun, pembagian tanah perkebunan itu disertai syarat agar rakyat berkewajiban menyetor hasil bumi berupa iles-iles, tanaman sejenis tales berkulit lembut  yang disukai bangsa jepang.
Tanah perkebunan pun dibagikan secara adil dan merata. Tetapi SWB Arifin pribadi tidak mengambil sejengkal pun tanah pembagian itu. Beliau sendiri tetap hidup dalam kesederhanaan. Hal inilah yang menyebabkan SWB Arifin sangat disukai rakyat banyak, dan menjadi modal penyiaran Islam melalui Gerakan Ahmadiyah.
Pada tahun 1963, Gerakan ahmadiyah Indonesia Cabang Kediri didirikan. SWB Arifin diangkat sebagai ketua, dan wakil ketuanya adalah Musni Nur Ahmad. Bertindak sebagai sekretaris adalah sang istri, Shofi Retnaningsih, sementara posisi Bendahara dijabat Syafi’udin.
Pada masa awal kepengurusan SWB Arifin, terbentuklah desa-desa binaan sebagai basis GAI di daerah sekitar Sungai Konto, di antaranya Desa Sekuning, Wangkalan, Jaban dan desa Pusuh. Kegiatan yang rutin diselenggarakan adalah Pengajian Tafsir Qur’an, bertempat di rumah SWB Arifin, pada setiap Minggu pagi. Kegiatan ini diikuti oleh tokoh-tokoh ormas dan para pemuda Islam. Kegiatan GAI yang lain adalah mengisi ceramah umum serta mengadakan dialog dengan tokoh-tokoh agama, baik kepada sesama muslim maupun kepada non muslim, terutama dengan Kristen Advent.
Murid-murid SWB Arifin generasi awal yang masih hidup antara lain Kyai SA Yazid Burhany L., Kyai Musni Nur Ahmad, Kyai Djazuli Ali Zein, Sahrudji, Imam Taukhit, Sutedjo, Wakidi, H. Kutadji, Jumarno, H. Mat Susin, Imam Bakri, Abdullah Busyro, Munasrip, Ibu Zahroh, dan Ibu Nafsiyah. Sampai saat ini mereka masih aktif mengembangkan GAI di wilayah Pare, Kediri.
Murid-Murid Kyai SBW Arifin, Generasi Awal GAI Cabang Kediri
Hingga saat ini terbentuk anak Cabang di wilayah Kecamatan Pare, Badas, Plosoklaten, Gurah, Puncu, Kepung, Plemahan, Pagu, Kayen Kidul, dan di Ngampel Mojoroto Kota Kediri yang diketuai Suradi. Bahkan GAI tersebar hingga sampai ke Desa Bacem, Ponggok Kabupaten Blitar yang diketuai Mut’im Sudiono dan Juga di wilayah Gudo Jombang dibawa oleh Drs. Kardji, seorang pensiunan guru.
Sampai dengan saat ini, GAI Cabang Kediri sudah pernah  enam kali ganti kepengurusan, yakni masa kepengurusan SWB Arifin, kemudian dilanjutkan berturut-turut dengan masa kepengurusan K.H. Musni Nur Ahmad, Dimhari Utsman, K.H. Djazuli Ali Zein, Drs Nurudin M.Pd, Usman Gumanti, dan terakhir Drs As’adi Al Fatah.[]

 http://ahmadiyah.org/sejarah-singkat-gai-cabang-kediri/

Tuesday, April 2, 2013

thanatopolitics: the living from the dead

Michel Foucault defines “biopolitics” in the following terms: “the endeavor, begun in the eighteenth century, to rationalize the problems presented to governmental practice by the phenomena characteristic of a group of living human beings constituted as a population: health, sanitation, birthrate, longevity, race…” (2003a). Here, Foucault claims that in modernity the “life” of the population increasingly comes to inform the ways that individuals are governed — as collectivities or populations whose very lives and vital well-being are increasingly subject to governmental control, surveillance, regulation, segregation, health and welfare, pro-life policies, and improvement programmes, through forecasts, education, and statistical measures, among others. Gradually, he claims, individuals are replaced by “biological processes” and individual lives are displaced by “species-life.” This ideology of “life” becomes a public morality that is soon internalised and perpetuated at the micro-level; as a form of “biopower,” this ideology is invisibly taken up in the ways that individuals come to govern themselves.
In recent years, research in the social sciences and humanities has extended Foucualt’s insight and has turned toward the “bios.” Biopolitics, biocapital, biovalue, biosociality, biological citizenship, biomedicine, and biosciences all valuably build on Foucault’s theorising of biopolitics. We can read critical analyses of healthcare (Murray 2007 and forthcoming; Petersen & Bunton; N. Rose), the pharmaceutical industry (Petryna), studies of the insurance industries, and countless others. These discussions often contest the meaning of “bios” or life, whether life is conceived as a natural category, a social production, or whether its “naturalness” is not itself socially and discursively constituted and occluded. These multiple “biodiscourses” nevertheless agree that what is at stake is similar or parallel to what is at stake in regulation and governance: life itself (Agamben 1998). And while these studies are essential, by focusing almost exclusively on “life” as such, they tend to neglect important dimensions of critique that deal with the question of death. It is thus all the more urgent to address this cultural denial, to take death seriously.
Foucault (1976, 2003) famously charts the historical shift that has resulted in the current biopolitics of Western culture. This shift has led to “the famous gradual disqualification of death” (Foucault 2003). In antiquity, political power was conceived under Roman law as “patria potestas” — the power of the family father who enjoyed the right to “dispose” of the lives of his children and slaves. This power is summed up in the formula: “to take life or let live.” Here it was the sovereign’s power, the sovereign’s prerogative, to revoke the life of his subjects or to let them live. In modernity, however, there has been a reversal of sorts, and political power has come to conceive of itself as protecting life, preserving it, controlling it, prolonging it, and maximising its productivity and its very vitality. The slogan for modern power becomes: “to make live and let die.” The shift from ancient power to modern power must be stressed: from “taking life” to “making live,” and from “letting live” to “letting die.” Modern political power is imbued with the power to bestow life — to make live; the consequence, of course, is that others will be “allowed to die.” Thus a whole class of people is born, people whose lives do not count as life: “bare life” (Agamben), the convicted criminal on death row, the refugee (Arendt), the Jew in the concentration camp (Foucault, Agamben), and countless other lives lost as “collateral damage,” through modern wars, through the onward march of globalising capital, and so on.
In an earlier work (Murray 2006), I asked what it might mean to “let die” in this context, how to comprehend a death the hidden but necessary pretext of which is to “make live.” Thus, I began with the problem of these innumerable, invisible deaths, and I asked how they might be represented if our Western biopolitical regimes control the social, political, and ethical terms required for representation — terms that presume the value of “life” above, and eclipsing, all else. How, for example, could the “enemy combatant” or suicide bomber’s death be represented as valuable, or even as a politically and ethically meaningful death, as it is in many cultures that are struggling to resist the biopolitical hegemony of the West. If the death of the suicide bomber is illegible to us in the West — outside our cultural idiom, I wanted to know how his or her death might not merely negate but forcibly challenge the dominant political ideologies that inform Western — and increasingly, global — values. In my essay, I proposed what I call a “thanatopolitics” — a “politics of death.” I argued that we might understand some deaths in a productive sense, as a profound resistance to or a refusal of a Western “political theology” (Schmitt) conceived as an “ethics of life.” I suggested that death might be seen not merely as the negation or destruction of an always-prior “life,” but that death could be seen as socially, politically, and ethically “productive” in itself, in the ways that it binds together communities, galvanises political commitments, and so on. And indeed, I claimed, if we fail to understand this conception of death, we will fail to grasp the transformative potential — the very meaning — of current geopolitics.
The industrialised West fundamentally relies on a politics based in the rhetoric that life carries an innate value: pricelessness. To be sure, while this value is under constant negotiation, it is from the perspective of “making live” that value is calculated. Those who are “made to live” better and longer lives frequently do so only at the cost of those who are “allowed to die” — and they are not killed, not directly, even though their deaths bear some consequential relation to the lives death enables. For instance, we witness how the populations of affluent nations increasingly demand the sacrifices of people of poorer nations who allow their bodies to be harvested for organs (Cohen) or used for drug testing (Petryna). While much good use has been made of studies of social suffering (Kleinman, Das, & Lock) and violence to understand how suffering is internationally distributed, these discourses could be developed in crucial ways through a thorough reconception of death.
How can we understand the inherent limitations of biopolitics, its often violent and exclusionary dimensions? Can a sustained reflection on death serve both to interrupt biopolitical discourses while setting out the terms by which those who resist Western ideologies of “life” might be understood? My aim in this project is not to examine how death is explained or made meaningful (Franklin & Lock), but rather to examine the qualitative differences that emerge by taking death, rather than life, as a central analytic category of social, political, and ethical analysis.
Image reproduced with the kind permission of the illustrator, Lewis Peake

Select Bibliograhy
Agamben, Giorgio. Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life. Trans. Daniel Heller-Roazen (Stanford UP, 1998).
—. “No to Biopolitical Tattooing,” trans. Stuart Murray, Communication and Critical/Cultural Studies (forthcoming 2008).
—. State of Exception. Trans. Kavin Attell (U of Chicago P, 2005).
Arendt, Hannah. Responsibility and Judgment, reprint ed. (Schocken, 2005)
Butler, Judith. Precarious Life: The Powers of Mourning and Violence (Verso, 2004).
Bryan, Bradley. “Reason’s Homelessness: Rationalization in Bentham and Marx,” Theory and Event 6.3 (2003).
Cohen, Lawrence. “Song for Pushkin.” Daedalus (summer 2007).
Cohen, Lawrence “Operability: Surgery at the margin of the state.” Veena Das and Deborah Poole, eds., Anthropology in the Margins of the State (SAR Press, 2004).
Derrida, Jacques. “Je suis en guerre contre moi-même,” Le Monde, Aug. 19, 2004.
—. The Gift of Death. Trans. David Wills (U of Chicago P, 1996).
Foucault, Michel. The Essential Foucault, eds. Paul Rabinow and Nikolas Rose (New Press, 2003a).
—. Hermeneutics of the Subject: Lectures at the Collège de France, 1981-1982. Trans. Graham Burchell (Palgrave Macmillan, 2005).
—. Naissance de la biopolitique: Cours au Collège de France, 1978-1979 (Gallimard/Seuil, 2004).
—. “Society Must Be Defended”: Lectures at the Collège de France, 1975-1976. Trans. David Macey (Picador 2003b).
Franklin, Sarah and Margaret Lock. Remaking Life and Death: Towards and Anthropology of the Biosciences (SAR Press, 2003).
Haver, William. The Body of this Death: Historicity and Sociality in the Time of AIDS (Stanford UP, 1996).
Heidegger, Martin. Being and Time (Blackwell, 1996).
Herzig, Rebecca. Suffering for Science: Reason and Sacrifice in Modern America (Rutgers UP, 2005).
Jain, Sarah Lochlann. Injury (Princeton UP, 2006).
—. “Living in Prognosis: Toward an Elegiac Politics,” Representations (spring 2007).
Kleinman, Arthur, Veena Das, and Margaret Lock (eds.). Social Suffering (U of California P, 1997).
Kosek, Jake. Understories: The Political Life of Forests in Northern New Mexico (Duke UP, 2006).
Kroker, Arthur. The Will to Technology and the Culture of Nihilism: Heidegger, Marx, Nietzsche (U of Toronto P, 2004).
Lavi, Shai J. The Modern Art of Dying: A History of Euthanasia in the United States (Princeton UP, 2005).
Mbembe, Achille. “Necropolitics.” Trans. Libby Meintjes. Public Culture 15.1 (2003).
Murray, Stuart J. “Thanatopolitics: On the Use of Death for Mobilizing Political Life,” Polygraph 18 (2006).
—. “Toward an Ethics of Authentic Practice,” [primary author] co-authored with Dave Holmes, Amélie Perron, and Geneviève Rail, Journal of Evaluation in Clinical Practice (forthcoming).
—. “No Exit? Intellectual Integrity Under the Regime of ‘Evidence’ and ‘Best-Practices’” [primary author] co-authored with Dave Holmes, Amélie Perron, and Geneviève Rail, Journal of Evaluation in Clinical Practice 13 (2007).
Nelson, Diane. A Finger in the Wound (U of California P, 1999).
Norris, Andrew (ed.). Metaphysics and Death: Essays on Giorgio Agamben’s Homo Sacer (Duke UP: 2005).
Petersen, Alan, and Robin Bunton (eds.). Foucault, Health and Medicine (Routledge, 1997).
Petryna, Adrianna. Life Exposed: Biological Citizens After Chernobyl (Princeton UP, 2002).
—. “The Human Subjects Research Industry,” in A. Petryna et al. (eds.), Global Pharmaceuticals: Ethics, Markets, Practices (Duke UP, 2006).
Rose, Gillian. Mourning Becomes the Law: Philosophy and Representation (Cambridge UP: 1996).
Rose, Nikolas. The Politics of Life Itself (Princeton UP, 2006).
Scheper-Hughes, Nancy and Loic Waquant (eds.). Commodifying Bodies (Sage, 2002).
Schmitt, Carl. Political Theology: Four Chapters on the Concept of Sovereignty. Trans. George Schwab (U of Chicago P, 2006).

http://stuartjmurray.com/research/thanatopolitics-2/