Tuesday, August 20, 2013

Silang Paham tentang Minoritas

12:21 WIB | Rabu, 12 Juni 2013
SATUHARAPAN.COM - Pasca pemberian World Statesman Award oleh Appeal of Conscience Foundation (ACF) di New York kepada presiden SBY 30 Mei yang lalu masih menyisakan silang paham tentang arti minoritas, antara SBY dan mereka yang mendukung pemberian award tersebut dengan mereka yang mengeritiknya. Franz Margnis-Suseno, SJ adalah salah satu yang mengeritik keras dengan mengirim surat protes langsung kepada ACF.

Sementara presiden SBY dan para pendukungnya menunjukkan keberhasilan pemerintah dalam menjaga harmoni dan perlindungan terhadap minoritas, meskipun mengakui masih banyak pekerjaan rumah, para pengeritiknya menganggap preisden SBY sangat sedikit, untuk tidak dikatakan abai, terhadap nasib minoritas. Tulisan ini akan mencoba mencari titik di mana akar silang paham tersebut.

Definisi minoritas
Akar silang paham itu tampaknya bermula dari definisi tentang minoritas. Dalam perspektif SBY, minoritas hanya dilihat dari sisi jumlah dan formal negara. Maka wajar jika dalam pidato saat menerima award tersebut SBY menyebut agama-agama formal di Indonesia dan kepercayaan lainnya. SBY juga menghitung jumlah rumah ibadah agama-agama formal, sembari tidak lupa menyebut secara eksplisit bahwa jumlah gereja di Indonesia “lebih banyak dari Inggris Raya maupun Jerman.”

Dengan penyebutan tersebut SBY hendak mengatakan bahwa minoritas di Indonesia terlayani dengan baik. Sementara itu, Sekretaris Kabinet Dipo Alam sebagai pendukung, melalui akun twitternya, menjawab kritik Magnis dengan menulis:  "Masalah khilafiyah antar umat Islam di Indonesia begitu banyak, jangan dibesarkan oleh yang non-Muslim, seolah simpati minoritas diabaikan." (Tempo.co 22/5/13).

Dalam perspektif SBY tersebut, Syiah di Sampang, Ahmadiyah di berbagai daerah yang terdiskriminasi serta Parmalim di Sumatera Utara, misalnya, tidak dimasukkan ke dalam kategori minoritas. Karena Syiah dan Ahmadiyah menjadi bagian dari Islam yang mayoritas, dan jika Islam sudah dilayani, lalu mengapa harus memperhatikan mereka yang justru menyimpang dari mayoritasnya sendiri. Demikian juga Parmalim yang terpinggirkan oleh sikap gereja tertentu di Sumatera Utara. Jika Kristen sebagai minoritas sudah terlayani, mengapa harus memperhatikan Parmalim yang menyimpang dari Kristen itu sendiri.

Minoritas terlayani dan terdiskriminasi
Hans van Amersfoort dalam bukunya “’Minority’ as a Sociological Concept” (2010), misalnya, memberikan beberapa ciri minoritas yang tidak hanya dari segi jumlah. Di antaranya adalah anggotanya tidak diuntungkan dalam suatu sistem masyarakat dan negara sebagai akibat dari tindakan diskriminasi terhadap mereka; mereka merasa memiliki kekhasan daripada mayoritas dan rasa kepemilikan bersama suatu tradisi dan bersifat turun temurun; memandang dirinya sebagai “yang lain” dari kelompok mayoritas.

SBY maupun pendukungnya, dengan demikian, sedang menyebut minoritas yang merasa nyaman dan terlayani dan mengabaikan minoritas yang tertindas dan terdiskriminasi. Sedangkan para pengeritiknya, termasuk Romo Magnis, sedang menyebut minoritas yang tidak terlayani dan bahkan terdiskriminasi. Karena itu, Romo Magnis justru menyebut Syiah dan Ahmadiyah, dan tidak menyebut Katolik, agama yang dia peluk, karena dalam konteks ini tidak sedang tertindas dan terdiskriminasi.

Sudah waktunya pemerintah dan presiden SBY menempatkan minoritas dalam perspektif kewarganegaraan dan hak asasi manusia jika ingin merealisasikan janji dalam pidatonya: “Kami  tidak akan mentolerir setiap bentuk kekerasan yang dilakukan oleh kelompok manapun dengan mengatasnamakan agama.“ Mari kita tunggu!

Penulis adalah Koordinator Abdurrahman Wahid Centre for Inter-Faith Dialogue and Peace-Universitas Indonesia (AW Centre-UI)

From: http://satuharapan.com/content/read/silang-paham-tentang-minoritas/

Wednesday, August 7, 2013

Nabi Muhammad SAW Ajarkan Prinsip Demokrasi yang Menghindari Tirani Mayoritas

Penulis: Melki Pangaribuan
Satu Harapan, 12:21 WIB | Selasa, 06 Agustus 2013

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pakar comparative religions within a single religious tradition (Islam) dan kajian tentang “konsep, teori, dan praktek heresy”, Ahmad Najib Burhani, mengatakan bahwa negara telah mengambil posisi tertentu dalam keyakinan keagamaan, bukan lagi pada posisi netral. Hal ini bertolak belakang dengan kehidupan berdemokrasi, yang saat ini tengah dibangun di Indonesia.
“Demokrasi diciptakan antara lain agar tak terjadi apa yang disebut dengan tirani mayoritas,” kata Najib kepada Satuharapan.com melalui surat elektronik yang dikirimnya pada hari Minggu (4/8), langsung dari Amerika Serikat.
Ada sejumlah pertanyaan yang diajukan kepadanya terkait dengan studi tentang kelompok minoritas keagamaan dalam Islam atau pecahan dari Islam. Berikut ini petikan wawancara dengan salah satu peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia  (LIPI) ini.
Siapakah yang dimaksud kelompok minoritas dalam penelitian Anda?
Mengenai definisi minoritas ini, umumnya para sarjana sepakat dengan definisi yang diberikan oleh Francesco Capotorti, mantan pakar di the UN Sub Commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities (Memisoglu 2007, 4; Ghanea 2012, 4). Menurut Capotorti, yang disebut minoritas adalah, “a group, numerically inferior to the rest of the population of a State, in a non-dominant position, whose members – being nationals of the State – possess ethnic, religious or linguistic characteristics differing from those of the rest of the population and show, if only implicitly, a sense of solidarity, directed towards preserving their culture, traditions, religion or language” (Ghanea 2012, 4-5).
Mengikuti definisi dari Capotorti tersebut, maka dalam konteks Indonesia, yang disebut dengan agama minoritas tidak hanya merujuk kepada institusi yang menyatakan dirinya sebagai agama dengan jumlah pemeluk yang kecil seperti Madraisme, Permalim, Tolotang, Petuntung, Perbegu, Aluk To Dolo, dan Kaharingan, namun juga merujuk kepada komunitas-komunitas keagamaan kecil dalam agama besar seperti Shi‘ah dan Ahmadiyah di tengah komunitas Sunni Islam. Tentu saja untuk konteks Indonesia, agama selain Islam juga masuk dalam kategori minoritas.
Nasib kelompok minoritas keagamaan ini belakangan ini cukup menyedihkan. Karena itu butuh perhatian dan kepedulian khusus. Dalam konteks politik, kelompok minoritas tak terlalu berpengaruh dalam pemenangan calon gubernur atau presiden. Tapi esensi dari demokrasi sesungguhnya terletak, di antaranya, pada bagaimana seorang pemimpin yang terpilih dengan suara terbanyak itu melindungi kelompok minoritas. Demokrasi diciptakan antara lain agar tak terjadi apa yang disebut dengan tirani mayoritas. Karena itu, tes apakah demokrasi di suatu negara telah berjalan baik adalah bagaimana perlindungan terhadap minoritas di negara itu. Dalam konteks Islam, tes keislaman yang benar juga bagaimana seorang Muslim itu memperlakukan minoritas. Dalam sebuah sabdanya, Nabi Muhammad berkata, “Bukanlah bagian dari umatku jika ada kelompok mayoritas atau kuat tapi tak menyayangi minoritas atau lemah. Dan juga bukan bagian dari umatku jika ada kelompok minoritas tapi tak hormat kepada mayoritas.”  Sabda ini sangat relevan dengan prinsip demokrasi yang menghindari tirani mayoritas.
Bagaimana nasib kelompok minoritas itu?
Dalam kasus Ahmadiyah, misalnya, keyakinan Ahmadiyah bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi dianggap menodai Islam yang meyakini tiadanya nabi setelah Nabi Muhammad. Untuk melindungi ‘kesucian’ agama Islam, Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri lantas mengeluarkan lantas mengeluarkan Keputusan Bersama (SKB) tahun 2008 tentang Peringantan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. Intinya, SKB ini melarang warga Ahmadiyah menjalankan dan menyebarkan ajaran agama yang mereka anut.
SKB di atas justru menyulut munculnya beragama tindak intoleransi terhadap pengikut Ahmadiyah. Berdasarkan catatan Setara Institute, Ahmadiyah menjadi korban tindakan intoleransi lebih besar dari kelompok minoritas lain pada tahun 2008 dan tahun-tahun setelah itu. Dari 265 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia pada 2008, 193 peristiwa menimpa Ahmadiyah (Hasani dan Naipospos 2011, 1). Beberapa tokoh Islam meminta kepada pengikut Ahmadiyah untuk memilih antara kembali ke Islam versi mereka atau mendirikan agama baru. Dua pilihan yang mustahil dilakukan oleh pengikut Ahmadiyah yang taat. Ini adalah perpindahan agama secara paksa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam. Perpindahannya bukan dari luar Islam ke Islam, tapi dari Islam ke luar Islam oleh tokoh-tokoh Islam sendiri.
Nasib yang plaing menyedihkan tentu saja terjadi di Asrama Transito, Mataram dan Cikeusik, Banten. Di Asrama Transito, sekitar 140 warga Ahmadiyah harus hidup seperti stateless people sejak tahun 2006 ketika mereka diserang, rumahnya dihancurkan, harta-bendanya dijarah, dan kemudian mereka diusir dari desanya. Mereka telah mengalami pengusiran berkali-kali dan setiap kali ingin kembali ke desa asalnya, mereka selalu diusir kembali. Di desa Umbulan, Cikeusik tiga warga Ahmadiyah dibunuh secara sadis ketika terjadi penyerangan terhadap rumah misi di sana pada awal 2011. Pembunuhan ini sangat sadis karena korban ditelanjangi, dipukuli dengan benda tumpul hingga meninggal. Dan bahkan, ketika korban sudah terlihat tak bernyawa pun, para penyerang masih mengekspresikan kebenciannya dengan terus melempari dengan batu dan menginjak-injak tubuh korban.
Mengapa kelompok seperti Ahmadiyah, Ismai’ili, Baha’i, Druze sering mengalami perlakukan lebih buruk dari non-Muslim di negara seperti Indonesia, Pakistan, Iran, dan Mesir?
Karena mereka dianggap tidak memiliki posisi keagamaan yang jelas. Mereka tidak bisa dikategorikan sebagai ahlul kitab yang memiliki tempat tertentu dalam teologi Islam dan harus dilindungi dalam pemahaman Islam lama. Mereka juga tidak bisa dikategorikan sama dengan mainstream umat Islam. Posisi mereka sering dianggap berada diantara Muslim dan non-Muslim. Konsekuensinya, hak-hak mereka sebagai orang Islam tidak diberikan dan hak-hak mereka sebagai non-Muslim masih ditahan hingga mereka mengakui sebagai non-Muslim. Kondisi ini menyebabkan tidak adanya perlindungan hukum dalam pemahaman kelompok Islam garis keras. Sosiologi tentang heresi dengan jelas menjelaskan tentang posisi kelompok yang sering dituduh sebagai heretik. Contoh yang sering saya pakai adalah tentang perceraian suami istri. Ketika terjadi perceraian yang tidak baik, maka suami atau istri itu sering melampiaskan kebeciannnya kepada bekas suami atau istrinya secara berlebihan. Kebenciannya kepada bekas suami atau istrinya itu jauh melebihi orang asing.
Apa yang saya tulis dalam disertasi saya yang berjudul When Muslims are not Muslims: The Ahmadiyya Community and the Discourse on Heresy in Indonesia adalah berusaha menganalisa tentang mereka yang identitas keagamaanya sering dianggap berada dalam posisi antara (liminal status) dengan menjadikan Ahmadiyah sebagai contoh utama. Ada tiga pendekatan utama yang saya pakai dalam disertasi ini. Pertama, saya melihat Ahmadiyah secara teologis: Bagaimana atau dimana posisi Ahmadiyah dalam pemahaman fiqh Islam klasik dan juga fatwa-fatwa kontemporer. Kedua, saya melihat secara sosiologis tentang posisi kelompok yang disebut heretik pada masyarakat beragama di Indonesia. Terakhir, saya melihat Ahmadiyah dengan pendekatan political-theology dengan terutama memakai perspektif dari Giorgio Agamben tentang homo sacer. Yang dimaksud dengan homo sacer disini bukanlah orang suci yang seperti umumnya dipahami. Konsep ini mengacu kepada mereka yang berada dalam posisi antara bisa dibunuh oleh siapapun dan pelakukan tak akan dihukum. Dalam konteks Ahmadiyah, posisi mereka itu sering dianggap antara orang suci dan orang yang ditabukan; mereka dianggap sebagai kelompok yang dekat dengan Tuhan dalam kelompoknya sendiri, tapi dianggap menjijikan oleh kelompok Muslim di luar mereka.
Sejauh mana Anda melihat fenomena keagamana bagi umat Islam (secara khusus) dan relasinya dalam umat beragama lain (Kristiani, misalnya), atau bagaimana relasi kelompok keagamaan-keagamaan di Amerika pasca 12 tahun tragedi WTC? Dan juga pasca wafatnya Osama bin Laden?
Bisa dikatakan bahwa meningkatnya kebencian kepada mereka yang berbeda, meningkatnya konservatisme keagamaan adalah fenomena global. Ini tidak hanya terjadi di negara Muslim, tapi juga di negara Kristen, Hindu, Buddha, dan negara sekuler. Peristiwa 11 September 2001 hanya satu simbol semakin meningkatnya konservatisme dan radikalisme ini. Banyak orang mengatakan bahwa apa yang terjadi sekarang ini adalah “the last breath of religion before its permanent death” atau nafas terakhir dari agama sebelum ia mengalami kematian total. Namun banyak juga yang menyebut ini sebagai perlawanan terhadap sekularsime yang ternyata tak bisa memenuhi janji-janjinya untuk menenteramkan dan mensejahterakan umat manusia. Namun saya melihat fenomena ini sebagai kebingunan dan kebimbangan umat manusia menghadapi perubahan yang cepat, dunia yang semakin plural, dan kaburnya hampir seluruh batas-batas norma tradisional yang sering dipegangi orang. Meningkatnya imigrasi, pernikahan sejenis, perubahan iklim, dan sejenisnya membuat manusia bingung mencari pegangan yang pasti.
Editor : Windrarto

Sunday, August 4, 2013

Mempertegas Hak Zakat untuk Muallaf

Koran Sindo, 30 Agustus 2013
Oleh Ahmad Najib Burhani*

Dari delapan asnaf (kelompok yang berhak menerima zakat), satu kelompok yang sering dipermasalahkan haknya untuk menjadi penerima zakat adalah muallaf atau lengkapnya muallafati qulubuhum. Secara harfiah muallaf berarti orang yang dilunakkan (hatinya). Namun secara istilah, kata ini sering dimaknai sebagai mereka yang baru masuk Islam. Tulisan ini, pertama, ingin mempersoalan definisi umum dari muallaf dan, kedua, ingin mempertegas hak penerimaan zakat bagi kelompok yang disebut sebagai muallaf.

Pada zaman khalifah Umar bin Khattab, khalifah kedua pengganti Nabi Muhammad, zakat untuk muallaf ini ditiadakan. Alasan dari kebijakan ini adakah karena Umar berkeyakinan bahwa Islam sudah kuat dan tidak perlu lagi merayu orang lain untuk masuk Islam atau menjinakkan hati orang yang baru masuk Islam. Dalam konteks sekarang, golongan muallaf ini juga sering tak diberi zakat jika mereka berasal dari kelompok yang hidupnya sudah berada.

Jika kita mengikuti kategori asnaf yang dibuat oleh Amin Suma (Kamil 2003, 66), hak muallaf untuk menerima zakat itu sebetulnya setara dengan fakir, miskin, dan amil atau lembaga yang mendistribusikan zakat semisal LAZ (Lembaga Amil Zakat) dan BAZ (Badan Amil Zakat). Dalam kategori yang dibuat oleh Amin Suma itu, delapan asnaf yang disebut dalam Al-Qur’an itu bisa diklasifikasikan menjadi dua kelompok berdasarkan awalan penyebutannya dalam Al-Qur’an (Q. 9:60; 60:8). Kelompok pertama adalah mereka yang berawalan “li” (untuk) dan kelompok kedua adalah mereka yang berawalan “fi” (dalam). Kelompok “li” terdiri dari fakir, miskin, amil, dan muallaf, sementara kelompok “fi” terdiri dari riqab (budak), gharim (orang yang terlilit hutang), musafir, dan sabilillah (untuk berjuang di jalan Allah). Pemberian harta zakat untuk kelompok kedua ini, menurut Suma, adalah tak sepenting kelompok pertama. Pemberian untuk mereka hanyalah untuk kemasalahatan saja, bukan sesuatu yang primer.

Jika kita setuju dengan pengkategorian menjadi dua kelompok itu, pertanyaannya adalah mengapa pemberian zakat untuk muallaf justru sering dipermasalahkah, bahkah oleh Umar bin Khattab sekalipun?

Untuk menjawab pertanyaan ini, sangat penting untuk melihat kembali definisi tentang muallaf. Apakah muallaf berarti orang yang baru masuk Islam sebagaimana yang sering dipahami saat ini? Ataukah ia bisa berarti non-Muslim yang berpotensi masuk Islam? Ataukah ia juga bisa berarti orang Muslim yang berpotensi keluar dari Islam karena persoalan ekonomi, politik, dan seterusnya? Ini sebetulnya isu sensitif dalam hubungan antar agama yang ketika dibuka di ruang publik seperti tulisan ini bisa menyinggung perasaan orang yang berbeda agama. Namun tulisan ini bertujuan positif untuk membuka aspek humanisme dari Islam dan karena itu dengan sengaja mendiskusikan isu sensitif ini di ruang publik.

Seperti disebut di atas, meski secara terminologi yang biasa dipahami muallaf berarti orang yang baru masuk Islam, tapi secara bahasa makna muallaf adalah orang yang dilunakkan atau dirayu atau dijinakkan (hatinya). Dalam konteks harfiah ini maka non-Muslim yang berpotensi masuk Islam dan orang Islam yang berpotensi keluar dari Islam adalah masuk dalam kategori muallaf. Bahkan dalam definisi yang dibuat oleh Yusuf al-Qaradhawi, yang dimaksud muallaf adalah “kaum Muslim yang digoda oleh kaum kafir agar masuk dalam kekuasaannya atau masuk agamanya dan pemerintahan non-Muslim yang kemungkinan dapat berafiliasi dengan barisan kaum Muslim” (Kamil 2003, 61).

Apa yang dipaparkan oleh al-Qaradhawi itu menunjukkan bahwa makna muallaf lebih luas dari sekadar mereka yang baru masuk Islam. Dalam konteks yang lebih kongkrit di masyarakat Indonesia sekarang, pertanyaannya adalah, jika kita berpikir sektarian, apakah orang-orang Syi’ah yang terusir dari rumah dan kampung halamannya di Sampang, Madura, dan orang-orang Ahmadiyah yang lebih dari tujuh tahun tinggal di Asrama Transito, Mataram, bisa dikategorikan sebagai muallaf (orang yang perlu dirayu hatinya) dan berhak menerima zakat? Mereka jelas masuk kategori fakir dan miskin, tapi lembaga-lembaga zakat di Indonesia, baik LAZ maupun BAZ, enggan memberikan harta zakat ke mereka karena dianggap orang sesat. Bagaimana kalau cara berpikirnya dibalik; mereka bukan orang sesat, tapi orang yang perlu dirayu hatinya atau dianggap sebagai muallaf?

Menurut penuturan orang-orang Ahmadiyah di Transito setahun yang lalu, ketika penulis berkunjung ke sana, semua fakir miskin di Mataram mendapatkan pembagian zakat, kecuali para penghuni Asrama Transito ini. Jika menengok ayat tentang zakat, definisi tentang fakir-miskin di ayat itu bersifat umum, tidak dipersempit berdasarkan agamanya. Siapapun dan dari agama apapun yang masuk kategori fakir miskin maka mereka berhak menerima zakat. Pemahaman seperti ini juga yang dipahami oleh Yusuf al-Qaradhawi dengan mengacu kepada beberapa pendapat ulama seperti Ibn Sirin, Ikrimah, Jabir Ibn Zaid, dan sebagainya (Kamil 2003, 60). Jika toh masyarakat di sekitar Sampang dan Transito menganggap zakat hanya untuk orang Islam, mengapa tidak dicoba berpikir bahwa orang Syiah dan Ahmadiyah bisa masuk dalam kategori orang yang perlu dilunakkan hatinya tentang Islam dan karena itu perlu dibantu dengan harta zakat?

Jawaban yang berkembang di masyarakat dan disampaikan oleh beberapa ulama dalam menanggapi persoalan ini ternyata berbeda dari asumsi-asumsi di atas. Rumor yang berkembang, orang Ahmadiyah di Transito itu meskipun terlihat miskin namun sebetulnya mereka itu kaya. Mereka memiliki kekayaan dalam lembaga Ahmadiyah yang berpusat di London dan mereka sudah mendapat bantuan material dari lembaganya. Jadi mereka tak perlu menerima zakat lagi. Logika ini tentu sulit diterima mengingat fakir miskin itu lebih dilihat sebagai individu, bukan pada organisasi. Apakah jika ada warga Muhammadiyah yang miskin lantas dia tak berhak menerima zakat hanya karena ada anggapan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang kaya? Tentu saja tidak. Fakir-miskin itu tetap harus menerima zakat apapun afiliasi organisasinya.

Argumen lain yang dipakai untuk menolak pemberian zakat kepada orang Ahmadiyah dan Syiah adalah karena masih banyak orang Islam (Sunni) yang fakir-miskin. Jadi, mereka harus didahulukan sebelum berpikir tentang orang lain. Cara berpikir seperti ini adalah rasial dan diskriminatif, hanya mau menolong orang lain jika mereka seagama. Ini sama dengan cerita umum tentang orang yang mengalami kecelakaan di jalan raya. Ketika melihat orang mengalami kecelakaan, orang yang diskriminatif akan bertanya dulu tentang agama orang yang mengalami kecelakaan. “Apakah anda Muslim? Jika anda Muslim, maka akan saya tolong. Tapi jika anda non-Muslim, maka akan saya biarkan.” Tentu ini adalah cara berpikir yang tidak bijaksana dan jauh dari semangat Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Namun sebetulnya cara berpikir bahwa orang Ahmadiyah dan Syiah sebagai muallaf juga problematik. Cara berpikir seperti ini mengindikasikan bahwa bantuan yang diberikan tidaklah tulus. Ia hanya bertujuan agar penerimanya pindah agama. Dan umat Islam Indonesia perlu belajar dari kemarahannya sendiri ketika melihat orang-orang Islam berpindah agama hanya karena diberikan indomie oleh misionaris agama lain. Jadi, sebetulnya bantuan, zakat, dan kegiatan humanitarianisme itu harus ikhlas dan universal, tanpa pandang agama. Namun daripada tidak memberikan sama sekali kepada orang Ahmadiyah dan Syiah yang menjadi fakir-miskin, maka memasukkan mereka sebagai kategori muallaf adalah langkah yang perlu dipertimbangkan.
-oo0oo-

*Aktivis Muhammadiyah & Doktor dari Univ. Califonia, Santa Barbara.

http://www.koran-sindo.com/node/319664