Sunday, February 23, 2014

Kuburlah Kami Hidup-hidup: Menyoal Proses Bernegara yang Belum Selesai

15:24 WIB | Minggu, 16 Februari 2014

Sampul buku Kuburlah Kami Hidup-hidup karya Anick HT, secara resmi akan diluncurkan pada Minggu (16/2) pukul 18.00 WIB di Pisa Kafe Mahakam, Jakarta Selatan. (Foto: Dokumentasi Anick HT)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sebuah buku karya Anick HT, seorang pegiat advokasi isu pluralisme dan kebebasan beragama, yang berjudul “Kuburlah Kami Hidup-hidup” lahir sebagai keprihatinan Anick atas persoalan proses bernegara yang belum selesai.
Hari ini, Minggu (16/2) pukul 18.00 - 22.30 WIB, buku ini akan diluncurkan secara resmi di Pisa Kafe Mahakam, Jakarta Selatan.

Buku ini memuat lima kisah diskriminasi panjang yang dialami beberapa kelompok minoritas di Indonesia. Meskipun konstitusi negeri ini sudah menjamin kesetaraan antarwarga negara dan kebebasan beragama, namun hingga saat ini diskriminasi terhadap kelompok minoritas masih terus terjadi.
Anick melihat banyak kasus diskriminasi itu yang tak terselesaikan dan mengakibatkan penderitaan berkepanjangan bagi para korban.

...
jika sama sekali tidak ada tempat bagi kami,
di bui tidak ada tempat bagi kami,
di pembuangan sampah tidak ada,
di pekuburan-pekuburan juga tidak ada,
maka galikanlah bagi kami, Tuan Penguasa,
kuburan
kami seluruh warga pengungsi,
laki-laki, perempuan, tua, muda maupun anak-anak,
siap dan ikhlas dikubur hidup-hidup
...

Kutipan di atas adalah sebagian isi surat warga Ahmadiyah yang sejak 2006 tinggal di Asrama Transito, Mataram. Surat tersebut termuat sebagai bagian dari buku puisi esai berjudul "Kuburlah Kami Hidup-hidup" karya Anick.

Menurut Anick, sebagian orang, bahkan juga bagi kebanyakan aparat negara melihat kehidupan antaragama di negeri ini berjalan dengan sangat normal dan toleransi di masyarakat sudah sangat kuat. Kasus diskriminasi dan kekerasan terhadap umat Kristen, Ahmadiyah, Syiah, agama-agama lokal, yang mewarnai keseharian masyarakat seakan tidak terjadi.

Kalaupun mereka tahu, mereka menganggap ini hanya kasus kecil yang tidak terlalu penting. Namun bagi kelompok minoritas yang selama ini menjadi korban diskriminasi dan persekusi, negara ini sudah abai terhadap hak-hak konstitusional warganya.

Buku ini mencoba membuka mata dan ingatan publik bahwa ada lebih dari 100 orang warga negara yang sah di negeri ini yang sudah hampir delapan tahun hidup di pengungsian, hanya karena mereka menganut Ahmadiyah.

Juga bahwa di balik kasus penutupan dan sulitnya mendapatkan izin pendirian gereja, ada ribuan, mungkin puluhan ribu warga negara yang sah tidak bisa mendapatkan haknya secara penuh untuk beribadah, hanya karena mereka Kristen. Dan di balik proses beragama yang kelihatan normal, jutaan penganut agama lokal (penghayat kepercayaan) menjadi korban diskriminasi dan persekusi, hanya karena dianggap belum beragama.

Dalam pengantarnya, Anick HT menegaskan bahwa buku ini diniatkan sebagai bagian dari upaya membangun keresahan dan menebarkannya.
"Kita harus resah ketika di tengah hiruk-hiruk dan pikuk-pikuk kehidupan normal kita, sebagian saudara kita dipaksa untuk menjadi hipokrit di sepanjang sisa hidupnya sebagai warga negara yang sah, hanya karena tidak mampu mencantumkan identitas yang melekat dalam dirinya: keyakinannya sendiri.
Sebagian yang lain selama belasan tahun hidup terasing di negeri sendiri. Sebagian lainnya bahkan mati terbunuh, lalu dilupakan begitu saja. Hanya karena mereka berbeda. Ya, hanya karena perbedaan keyakinan; sesuatu yang fitri." (h. 16)

Meskipun berbentuk puisi-esai, sebuah genre yang diperkenalkan oleh Denny JA lewat gerakan Indonesia Tanpa Diskriminasi-nya, puisi Anick HT ini sangat mudah dipahami dan berhasil memotret emosi pembacanya untuk turut merasakan apa yang dirasakan kelompok minoritas.

Anick HT sendiri mengakui bahwa justru dengan format puisi seperti inilah ia berhasil "menampung luapan amarah yang menggelayut, lalu menularkan amarah itu kepada pembaca, tanpa harus berjarak terlalu jauh dengan bayangan makna yang dipahat dari imaji dan metafor yang terlalu melangit. Di lain pihak, jarak yang sama jauhnya juga seringkali dibangun oleh keniscayaan prosedural ilmiah atawa etika jurnalistik yang harus diamini oleh para penulis fakta." (h. 17)

Di tengah kuatnya fenomena kekerasan atas nama agama, buku ini merupakan protes dan sinisme terhadap peran agama dan tokohnya, serta peran negara dan aparatnya. Buku ini menggugah pembaca untuk bukan hanya merasakan kepiluan para korban, sekaligus menggugah untuk turut ambil bagian dalam kekacauan relasi antar-agama di negeri ini. Juga mengingatkan kita bahwa proses kita bernegara belum selesai.

Judul buku    : Kuburlah Kami Hidup-hidup
Penulis          : Anick HT
Penerbit        : ICRP dan Inspirasi.co
Halaman       : 170 halaman
Edisi              : Cetakan Pertama, Januari 2014
Editor : Sabar Subekti

http://satuharapan.com/read-detail/read/kuburlah-kami-hidup-hidup-menyoal-proses-bernegara-yang-belum-selesai/

Kuburlah Kami Hidup-hidup: Buku Utang Kita pada Indonesia

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Todung Mulya Lubis, pakar hukum sekaligus Direktur Eksekutif Indonesian Legal Roundtable (ILR), mengatakan buku “Kuburlah Kami Hidup-hidup” menceritakan banyak hal tentang utang kita pada bangsa Indonesia.

“Buku ini menceritakan banyak hal tentang utang kita untuk bangsa Indonesia ke depan, untuk membangun kembali persamaan kita, membangun kembali kemajemukan kita, membangun kembali kebhinekaan kita. Saya tidak tahu siapa yang akan terpilih sebagai Presiden, tetapi buku ini layak untuk dititipkan ke presiden terpilih nanti,” ujar Todung.

Dalam peluncuran buku yang dilakukan pada Minggu (16/2) di Pisa Kafe Mahakam, Jakarta Selatan itu, Todung mengatakan, “Tidak tepat untuk berbicara mengenai minoritas dan mayoritas. Kita berbicara mengenai hak warga negara, itulah yang diperjuangkan Anick dan kawan-kawan.”

Kuburlah Kami Hidup-hidup: Sebuah Buku Pembebasan
Selain Todung, sejumlah tokoh turut hadir dan memberikan komentar atas buku kumpulan puisi esai itu, di antaranya Pdt. Albertus Patty.

Berty, demikian ia biasa dipanggil, mengatakan “Anick berhasil merekam pergumulan hidup dan suara hati the voice of the voiceless, mereka yang selama ini tak terdengar suaranya. Berhasil merekam persoalan mereka yang the invisible, mereka yang tidak kelihatan karena orang yang sengaja tidak mau melihat, tidak mau peduli pada nasib dan teriakan juga persoalan yang mereka alami.”

“Namun kelompok-kelompok ini yang diberi label sebagai pelanggar hukum, bahkan dikonstruksi sebagai pelanggar hukum-hukum agama sehingga diberikan kepada mereka, yaitu label sesat. Dan karena sesat, mereka harus dihancurkan,” Berty melanjutkan.

Ia kemudian mengapresiasi buku ini sebagai salah satu bentuk usaha pembebasan.
“Buku ini adalah pembebasan salah satunya pembebasan terhadap kaum yang tertindas, yang mengalami ketidakadilan. Buku ini bagi saya memberikan peluang untuk menceritakan kisah kaum yang selama ini tersisihkan, terdiskriminasi oleh karena agama,” ujar Berty.

Kuburlah Kami Hidup-hidup: Sebuah Pesan Perjuangan Kebebasan Beragama
Juru bicara Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), Zafrullah Ahmad Pontoh pada kesempatan yang sama mengatakan buku karya Anick HT itu telah cukup menggambarkan situasi keberagamaan yang pelik di Indonesia. Melalui peluncuran buku itu, Pontoh berharap akan kebebasan beragama di Indonesia.

“Kita berharap bahwa apa yang beliau (Anick, Red) gambarkan ini dapat diinsafi oleh mereka yang memiliki hati, empati untuk melihat ke depan dan berjuang untuk bangsa kita, bangsa Indonesia yang lebih baik, yang akan memberikan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan selalu bertumpu pada konstitusi,” ujar Pontoh.

Ia menekankan bahwa inilah sesungguhnya yang menjadi pesan yang perlu diambil dari buku “Kuburlah Kami Hidup-hidup” karya Anick HT, untuk memperjuangkan kebebasan beragama.

Dalam kesempatan tersebut, Pontoh juga menyampaikan harapannya untuk para pemimpin bangsa.
Ia mengatakan, “kita juga berharap bawa pemimpin kita ke depan bisa mengambil manfaat dan pelajaran dari apa yang ditulis oleh Mas Anick dan oleh mas anick-mas anick lainnya. Mudah-mudahan Allah SWT memberikan yang terbaik untuk bangsa ini, dan 2014 kita berharap menjadi awal terwujudnya harapan kita itu.

Kuburlah Kami Hidup-hidup: Refleksi Masa Silam, Petunjuk Masa Depan
Hadir pula Abdul Moqsith Ghazali dalam peluncuran buku “Kuburlah Kami Hidup-hidup” yang turut memberikan komentar atas buku yang ditulis oleh Anick HT itu.

Ia mengatakan, “Anick adalah orang yang konsisten di dalam kemarahannya. Jika dulu marah di jalanan, kini Anick marah di dalam bait-bait puisi. Judul buku yang sangat provokatif, “Kuburlah Kami Hidup-hidup”, adalah bentuk kemarahan Anick yang luar biasa.”

Moqsith turut menyampaikan pendapatnya mengenai konten buku tersebut.
“Karena itu menurut saya, buku ini di samping sebagai refleksi masa silam sekaligus merupakan petunjuk untuk menapaki masa depan karena kita tahu tantangan yang kita hadapi sekarang adalah bagaimana kebebasan beragama dan berkeyakinan itu bisa tegak di Indonesia.”
Editor : Bayu Probo

http://satuharapan.com/read-detail/read/kuburlah-kami-hidup-hidup-buku-utang-kita-pada-indonesia/

Friday, February 21, 2014

Heresy and Authority: Understanding the Turn Against Ahmadiyah in Indonesia

Jacqueline Hicks
KITLV
January 12, 2013


Abstract:    
This article adds to the literature explaining a rise in the levels of violence and intimidation against the Islamic sect Ahmadiyah in Indonesia. In contrast to approaches which stop at describing the actors or doctrinal differences involved, this article situates the anti-Ahmadiyah discourse in wider processes of maintaining or securing political and social authority. The first section describes the ways in which charges of heresy have historically served to consolidate state and political authorities. It then extends this analysis into the post-Soeharto landscape by showing how the charges of heresy against Ahmadiyah have supported fragments of the New Order state to claw back some of the authority which was lost following the 1998 political transition. The third section then situates this process in the context of increased competition among religious authorities. The implications of using such an approach are that (1) the Indonesian state’s role in the conflict is not just defined by its absence, but also by its active involvement (2) understanding the rise of conservative ulamas as part of a wider process of an increase in many different voices weakens the claim that Indonesia is becoming more religiously conservative. The more general conclusion is that the role of academic writing should be to contextualize contemporary discourses of heresy by revisiting some of the methods used in classic heresiology.

Keywords: Ahmadiyah (Ahmadiyya), Indonesia, Heresy Religious Authorities, Islam

Download PDF

Wednesday, February 19, 2014

Conversion to the Ahmadiyya in Indonesia: Winning Hearts through Ethical and Spiritual Appeals

SOJOURN: Journal of Social Issues in Southeast Asia

Ahmad Najib Burhani
The Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Jakarta, Indonesia

Abstract
This article aims to provide some understanding about conversion to the Qadiani Ahmadiyya in Indonesia by answering the following questions: How did the Qadiani Ahmadiyya propagate their beliefs and teachings to Indonesian Muslims? What factors that attracted and made people convert to this movement? What is the social impact for those who convert to this movement? Different from commonly held perception that people’s reception to the Ahmadiyya was mainly because of its modernist characters, this article intends to show that the Qadiani’s most attracting points to Indonesian people is not in its modernist stance, but in its belief in the coming of the Messiah, its close knit organization, and the soberness and passionate missionaries. Different from the Lahore, which has been known for its rational tendency, in their propagation the Qadiani emphasized their distinctive beliefs such as the natural death of Jesus and their system of caliphate. The Qadiani Ahmadiyya has also tended to be a mystical movement that has strong belief in supernatural experiences and dreams and used them to show God’s preference to them and His interference in human relationships by siding to them.

Keywords: conversion, propagation, messianic belief, supernatural experience, Indonesia.

Sunday, February 9, 2014

Hating the Ahmadiyya: The Place of "Heretics" in Contemporary Indonesian Muslim Society



Contemporary Islam, 8 (2): 133-152. 
DOI: 10.1007/s11562-014-0295-x

Ahmad Najib Burhani
Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Jakarta, Indonesia

Abstract
Religious diversity and pluralism is commonly understood within the context of the relation between various religious traditions, not within a single religious tradition. This limitation of the boundary of religious pluralism could overlook the fact that conflict within a single tradition can be bitterer and more disastrous than conflict with other religions. In the last decade, for instance, the Ahmadis in Indonesia have become victims of constant attacks. This article, therefore, intends to study the place of the Ahmadiyya in the context of religious pluralism in Indonesia by answering the following questions: Why was the treatment of the Ahmadis in recent years by Muslims more vitriolic than their treatment of non-Muslims? What is the nature and quality of life for people who have been excluded from a ‘normal’ religious identity in a time when religious attachment is a necessary fact for that society? Why did the attacks on the Ahmadiyya occur in the present regime, not during the past authoritarian one? This article argues that the charge of heresy issued by Muslim institutions put the Ahmadiyya in liminal status; they are in the zone of indistinction between Muslims and non-Muslims. This makes them vulnerable to persecution since their rights as Muslims have been deprived, while their rights as non-Muslims still suspended. Non-Muslims, particularly ahl al-kitāb (People of the Book), theologically have been accepted in Muslim society, but there is no place of tolerance for heretics. The rise of intolerance in Indonesia is parallel to the rise of religious conservatism after the fall of Suharto in 1998.

Keywords: homo sacer, liminality, heresy, persecution, religious identity, Ahmadiyya.

Within this Article
    Introduction
    The position of the Ahmadiyya in Muslim society
    Heresy hunt in the democratic state of Indonesia
    The Ahmadiyya minority as Homo sacer
    Conclusion
    References 

http://link.springer.com/article/10.1007/s11562-014-0295-x