Wednesday, November 26, 2014

Khilafah Ahmadiyah sebagai Satu Model Penerapan Sistem Kekhilafahan di Era Kontemporer

Burhani, Ahmad Najib. 2014. "Khilafah Ahmadiyah sebagai Satu Model Penerapan Sistem Kekhilafahan di Era Kontemporer", in Komaruddin Hidayat (ed.), Kontroversi Khilafah: Islam, Negara, dan Pancasila. Bandung: Mizan, pp. 113-129.

Sejak IS (Islamic State, sebelumnya ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) atau ISIL (Islamic State of Iraq and the Levant)) mendeklarasikan terbentuknya kekhilafahan baru bagi umat Islam dengan Abu Bakr al-Baghdadi (lahir 1971) sebagai khalifahnya pada 29 Juni 2014, isu tentang khilafah Islamiyah kembali ramai dibicarakan dan menjadi energi baru bagi beberapa kelompok yang selama ini mendukung khilafah. Sebelum IS, wacana dan upaya untuk mewujudkan khilafah telah dipromosikan secara massif oleh Hizbut Tahrir (HT) sejak 1953 dan Al-Qaeda sejak akhir 1980an sebagai pengganti dari sistem demokrasi yang dipandang oleh kelompok ini sebagai sistem tidak Islami. Meski ketiga kelompok itu sama-sama mempromosikan khilafah, namun masing-masing dari ketiga kelompok itu saling menentang kekhilafahan yang diusung kelompok lain.[1]

Sebagai sebuah sistem pemerintahan, khilafah telah hancur pada Maret 1924 setelah sistem ini berjalan lebih dari 13 abad semenjak wafatnya Nabi Muhammad tahun 632 Masehi. Namun sebagai wacana, gagasan untuk membangun kembali khilafah itu terus muncul dalam tubuh sebagian umat Islam. Tahun 2007 lalu, misalnya, Universitas Meryland mengadakan survey terhadap 4.384 orang Islam di empat negara (Maroko, Mesir, Pakistan, dan Indonesia). Salah satu pertanyaannya adalah pandangan mereka tentang khilafah. Mereka yang memberikan jawaban “sangat setuju” (agree strongly) dan “agak setuju” (agree somewhat) adalah sebagai berikut: Mesir (67%), Indonesia (49%), Maroko (71%), dan Pakistan (67%).[2] Selain HT dan Al-Qaida, salah satu promoter wacana khilafah adalah Abul A’la Maududi (1903-1979) yang, misalnya, menyebutkan bahwa khilafah adalah salah satu dari tiga prinsip politik Islam, yaitu tauhid, risalah (kenabian), dan khilafah (Maududi tt.; Liebl 2009, 373-4).[3]

Dalam wacana tentang khilafah ini, satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa kalau Ahmadiyah diakui sebagai bagian dari Islam, maka sistem kekhilafahan Islam itu sebetulnya tidaklah benar-benar hancur. Ini karena sebelum kekhilafahan Turki Utsmani dibubarkan oleh Mustafa Kemal Ataturk, pada tahun 1908 kelompok Ahmadiyah telah mendirikan kekhilafahan baru di India. Hanya saja, karena kelompok ini sering dipandang sebagai kelompok sesat dan di luar Islam, maka kekhilafahan Ahmadiyah sering tak diperhatikan oleh umat Islam lain.

Tulisan ini secara lebih khusus akan melihat sistem kekhilafahan Ahmadiyah dan sekilas perbedaannya dengan sistem kekhilafan Islam yang lain. Beberapa pertanyaan yang hendak dibahas dalam tulisan ini adalah: Bagaimana sistem khilafah Ahmadiyah itu terbentuk dan bagaimana cara memilih khalifah? Apa dasar otoritas dari khalifah dan apa batas kekuasaan yang dimilikinya? Apakah ada batasan masa kekuasaan dari seorang khalifah? Kekhilafahan Ahmadiyah, yang menjadi bahasan utama tulisan ini, diangkat untuk memberikan bayangan perbandingan tentang wujud dari sistem khilafah itu ketika diterapkan oleh kelompok Islam di masa kontemporer. Tentu saja akan terjadi berbagai variasi ketika sistem khilafah diterapkan oleh umat Islam yang berbeda, namun ada elemen yang sama dalam semua sistem khilafah, diantaranya adalah adanya bayangan tentang persatuan seluruh umat Islam dibawah satu khalifah dan adanya otoritas keagamaan yang luar biasa pada diri khalifah.




[1] Penolakan HT terhadap IS bisa dilihat di link ini: http://hizbut-tahrir.or.id/2014/07/26/bagaimana-sikap-ht-terhadap-khilafah-yang-diproklamirkan-isis/  (Diakases 1 September 2014). Hubungan IS dengan AL-Qaeda bahkan telah putus sama sekali sejak Februari 2014.
[2] “Muslim Public Opinion on U.S. Policy, Attacks on Civilians, and al Qaeda”. Versi online survey ini tersedia di http://www.worldpublicopinion.org/pipa/pdf/apr07/START_Apr07_quaire.pdf (Diunduh 25 Agustus 2014). Hasil ini tentu mengejutkan dan meragukan karena berdasarkan survey yang dilakukan oleh PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat) UIN Jakarta pada 2010, pendukung Hizbut Tahrir, kelompok yang paling getol mengusung khilafah, di Indonesia itu hanya 0,4 persen (Bush 2012). Tentu saja harus dilihat bahwa pertanyaan yang diajukan oleh kedua survey itu memang berbeda; yang pertama tentang khilafah, yang kedua tentang HT. Pendukung khilafah belum tentu pendukung HT, tapi pendukung HT pasti menjadi pendukung khilafah.
[3] Intinya, menurut Maududi, dengan sistem khilafah tersebut maka otoritas manusia dalam politik di dunia ini sebetulnya hanya untuk mewujudkan apa yang diperintahkan oleh Allah.
  



  







Friday, November 14, 2014

Conversion to Ahmadiyya in Indonesia: Winning Hearts through Ethical and Spiritual Appeals

SOJOURN: Journal of Social Issues in Southeast Asia Vol. 29/3 (November 2014): 657-690.

DOI: 10.1355/sj29-3e

Ahmad Najib Burhani

Abstract

What is the manner in which Qadiani Ahmadiyya have propagated their beliefs and teachings to Indonesian Muslims and the factors that have attracted people to this movement and led them to convert to Ahmadiyya? What are the social implications of conversion? There is a perception that people’s receptiveness to Ahmadiyya is due mainly to its modernist character. But for Indonesians Qadiani’s most attractive feature is not its modernist stance, but rather its followers’ belief in the coming of the Messiah, its close knit organization and its sober and passionate missionaries. In contrast to members of the Lahore branch of Ahmadiyya, known for its rational tendency, members of the Qadiani branch have in their efforts at propagation of the faith emphasized their distinctive beliefs, such as the natural death of Jesus and the caliphate system. Qadiani Ahmadiyya has also tended to be a mystical movement whose members have a strong belief in supernatural experiences and dreams. They use these experiences and dreams to show God’s preference for them and God’s interference in human relationships, as when God sides with them.

Download article: https://bookshop.iseas.edu.sg/publication/2029

Tuesday, November 4, 2014

Heresy and authority: understanding the turn against Ahmadiyah in Indonesia

South East Asia Research, 22, 3, pp 1–00 doi: 10.5367/sear.2014.0216

Jacqueline Hicks

Abstract: 
This article adds to the literature explaining a rise in the levels of violence and intimidation against the Islamic sect Ahmadiyah in Indonesia. In contrast to approaches that stop at describing the actors or doctrinal differences involved, this article situates the anti-Ahmadiyah discourse in wider processes of maintaining or securing political and social authority. The author first describes how charges of heresy have historically served to consolidate state and political authorities. This analysis is then extended into the post-Soeharto landscape by showing how the charges of heresy against Ahmadiyah have supported fragments of the New Order state to claw back some of the authority lost after the 1998 political transition. Finally, the author situates this process in the context of increased competition among religious authorities. The implications of using such an approach are twofold: first, the Indonesian state’s role in the conflict is not defined only by its absence but also by its active involvement; and second, understanding the rise of conservative ulama as part of a wider process of an increase in many different voices weakens the claim that Indonesia is becoming more religiously conservative. The more general conclusion is that the role of academic writing should be to contextualize contemporary discourses of heresy by revisiting some of the methods used in classic
heresiology.

Keywords: heresy; religious authorities; Islam; Ahmadiyah (Ahmadiyya); Indonesia

Author details: Dr Jacqueline Hicks is a Researcher at Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV), Reuvensplaats 2, 2311 BE Leiden, The Netherlands. E-mail: hicks.jacky@gmail.com; hicks@kitlv.nl.