Tuesday, February 23, 2016

From Egypt to Indonesia, all Islamic nations must learn from Pakistan’s mistakes



Written by
Farahnaz Ispahani
February 22, 2016 Quartz india 

When Pakistan was founded in 1947, its secular founding fathers did not speak of an Islamic state.
Muhammad Ali Jinnah, recognized as Pakistan’s Quaid-e-Azam (Great Leader), clearly declared that non-Muslims would be equal citizens in the new country. Reflecting his secular views, Jinnah—himself a Shia—nominated a Hindu, several Shias and an Ahmadi to Pakistan’s first cabinet. Now, non-Muslim representation at the Cabinet level is limited to symbolic appointments, while Shias face smear campaigns from Sunni Muslims that declare them non-Muslims. And the Ahmadis—who were some of Jinnah’s most ardent supporters in his quest for a Muslim homeland on the subcontinent—are completely unrepresented; they live as virtual outcasts in modern Pakistan.
In his famous speech of 11 August 1947, Jinnah had stated that, in order to make Pakistan ‘happy and prosperous’, every person living in the country, ‘no matter what is his colour, caste or creed, [should be] first, second and last a citizen of this State with equal rights, privileges, and obligations’. His speech advanced the case for a secular, albeit Muslim-majority, Pakistan: ‘I cannot emphasize it too much. We should begin to work in that spirit and in course of time all these angularities of the majority and minority communities, the Hindu community and the Muslim community … will vanish.’
Jinnah also declared,
You are free; you are free to go to your temples, you are free to go to your mosques or to any other place of worship in this State of Pakistan. You may belong to any religion or caste or creed—that has nothing to do with the business of the State … We are starting in the days where there is no discrimination, no distinction between one community and another, no discrimination between one caste or creed and another. We are starting with this fundamental principle that we are all citizens and equal citizens of one State … Now I think we should keep that in front of us as our ideal and you will find that in course of time Hindus would cease to be Hindus and Muslims would cease to be Muslims, not in the religious sense, because that is the personal faith of each individual, but in the political sense as citizens of the State.
The vision outlined by Pakistan’s founder remains unfulfilled. Indeed, it appears further from realization than at any time since this hopeful declaration of religious pluralism was made. At the time of partition in 1947, almost 23% of Pakistan’s population (which then included Bangladesh) comprised non-Muslim citizens. The proportion of non-Muslims has since fallen to approximately 3%.
 Pakistan has descended to its current state of religious intolerance through a series of political decisions by Jinnah’s successors. 
Furthermore, the distinctions among Muslim denominations have become far more accentuated over the years. Muslim groups such as the Shias, which account for approximately 20-25% of Pakistan’s Muslim population, are often targeted by violent extremists. Ahmadis, barely 1% of the Muslim population, have been declared non-Muslim by the writ of the state. Non-Muslim minorities such as Christians, Hindus and Sikhs have been the victims of suicide bomb attacks on their neighbourhoods, and their community members have been converted to Islam against their will. Houses of worship of non-Muslims as well as of Muslim minority sects have been attacked and bombed while filled with worshippers.
Pakistan has descended to its current state of religious intolerance through a series of political decisions by Jinnah’s successors. The descent began in 1949 with the Constituent Assembly declaring the objective of Pakistan’s Constitution to be the creation of an Islamic state. It reached a nadir with the ‘Islamization’ drive under General Zia during the 1980s. Now, the country is dealing with armed militias and terrorist groups—many of which were sponsored by the state under the Zia regime and in the civil and military governments since—each intent on imposing its version of Islam by violent means.
Pakistan’s most prominent human rights activist, Asma Jahangir, warns that the worst is yet to come. ‘Past experience has shown that the Islamists gain space when civilian authority weakens,’ she pointed out in an article a few years ago. ‘The proliferation of arms and official sanction for jihad have made militant groups a frightening challenge for the government. Pakistan’s future remains uncertain and its will to fight against rising religious intolerance is waning.’ The purpose of examining Pakistan’s embrace of religious extremism is not revealed merely in the recognition of the country’s ill treatment of its religious minorities.
In the context of a Muslim world comprising a youthful population of somewhere in the order of 1.4 billion people, it is equally critical to note the actions of state-sponsored organizations or extremist groups against religious minorities in all Muslim countries. Attacks on religious minorities occur in several Muslim-majority nations, from Egypt to Indonesia, just as they do in Pakistan. But as Pakistan is the first country to declare itself an Islamic republic in modern times, the study of Pakistan’s handling of its minorities can be a helpful guide in understanding and anticipating the threats that would arise wherever Islamist militancy is on the ascendant.
Excerpted with permission from HarperCollins India from the book, Purifying the Land of the Pure: Pakistan’s Religious Minorities, by Farahnaz Ispahani. We welcome your comments at ideas.india@qz.com.

http://qz.com/621778/from-egypt-to-indonesia-all-islamic-nations-must-learn-from-pakistans-mistakes/

Friday, February 5, 2016

Negara Tak Lagi Netral Ketika Terbitkan SKB Tentang Ahmadiyah


Ahmad Najib Burhani (di podium), pada konferensi tentang Kajian Indonesia di Universitas California, Los Angeles (UCLA).

Penulis: Melki Pangaribuan
Senin, 12 Agustus 2013

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Ahmad Najib Burhani, tanggal 5 Juni 2013, memperoleh penghargaan The Professor Charles Wadell Memorial Award 2012-2013 dari Universitas California, Santa Barbara (UCSB). Penghargaan ini diberikan kepada pakar comparative religions within a single religious tradition (Islam) dan kajian tentang “konsep, teori, dan praktek heresy”,  atas prestasinya dalam pengembangan Studi Islam dan Kajian Timur Tengah di Amerika Serikat, secara khusus mengkaji tentang Ahmadiyah dengan judul When Muslims are not Muslims: The Ahmadiyya Community and the Discourse on Heresy in Indonesia.
Dalam wawancara satuharapan.com dengan Ahmad Najib Burhani melalui surat elektronik, dan dijawab pada Minggu (4/8),  dijelaskannya alasan dia tertarik mengkaji tentang kelompok minoritas keagamaan dalam Islam atau pecahan dari Islam.
Menurut peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia  (LIPI)  yang saat ini masih berada di Amerika Serikat, ada beberapa kriteria yang dijadikan acuan ketika menentukan kepakaran yang dia pilih dan juga tema dalam penulisan disertasinya.
Pertama, disertasi yang dia tulis harus menjadi batu pijakan yang kokoh untuk “positioning” dalam masyarakat akademik di dunia dan Indonesia, terutama dalam bidang humanities. Maksud dia, di Indonesia telah ada beberapa sejarawan agama seperti Azyumardi Azra, ada filosof agama seperti Amin Abdullah, ada filolog agama seperti Oman Fathurrahman, ada scholar tentang radikalisme seperti Noorhaidi Hasan. Saya harus punya kepakaran dan spesialisasi yang orang lain tidak punya. Dengan studinya di Amerika Serikat dalam bidang Religious Studies (Kajian Agama), dia akhirnya memilih untuk menjadi ahli dalam bidang “Minority Religions & Religious Sects,” lebih spesifik lagi kepakaran yang dia ambil adalah ahli comparative religions within a single religious tradition (Islam) dan kajian tentang “konsep, teori, dan praktek heresy”. Bidang ini meliputi (1) sekte-sekte sempalan dari Islam dan kemudian membentuk agama baru seperti Baha’i Faith; (2) Sekte-sekte yang masih dalam Islam seperti Ismaili; (3) Sekte yang berada antara Islam dan agama sendiri seperti Ahmadiyah dan Druze. Di Indonesia banyak sekali sekte/aliran keagamaan yang bisa dimasukkan dalam tiga kategori itu, seperti Lia Eden, Satrio Piningit, Wetu Telu, dan berbagai aliran kebatian.
“Beruntung saya mendapat pendidikan yang menekankan teori dan metodologi yang kuat dalam bidang ini dari kuliah-kuliah saya selama ini, terutama dari Dept. of Religious Studies Univ California – Santa Barbara. Nah, disertasi saya harus memiliki pijakan yang kuat dalam area/kepakaran yang saya pilih itu,” kata Ahmad Najib.
Level Internasional
Kriteria kedua dalam penentuan disertasinya adalah bahwa kajian yang dia ambil harus mampu mengangkat dirinya dari sekadar pengakuan akademik tingkat nasional menuju level internasional atau keluar dari boundaries of Indonesian studies. Maksudnya, kontribusi yang dia berikan dalam penulisan disertasi harus memberikan dampak yang lebih luas dari lingkup Indonesia. Ia harus memberi manfaat secara global atau bisa dipakai sebagai acuan pada kajian yang serupa di negara lain. Ia pernah membuat prospektus atau proposal disertasi tentang Muhammadiyah, tapi proposal ini dibatalkannya karena tidak memenuhi kriteria ini. Kemudian, ia membuat lagi proposal tentang construction of Islamic authenticity dengan membandingkan antara kelompok traditionalist, modernist, neo-modernist, dan post-traditionalist. Kembali, tema ini dibatalkannya dengan alasan yang agak sama. Najib lantas membuat prospektus tentangIndonesian Islam dengan harapan bisa menemukan pattern tentang Islam khas Indonesia/Asia Tenggara yang berbeda dari Islam di tempat lain. Meski kriteria ini mendekati kriteria yang bisa membawanya ke kancah internasional, tapi ia tidak memenuhi kriteria pertama. Ini lebih merupakan area studies, bukan religious studies.
“Saya sebetulnya tidak membatalkan sama sekali minat saya pada tema Indonesian Islam, saya hanya menunda. Saya rasa tema ini jauh lebih besar dari waktu yang tersedia untuk menulis disertasi. Tema ini juga membutuhkan landasan teori yang lebih rumit. Untuk saat ini tema ini juga saya batalkan, tapi suatu saat pasti saya akan kembali lagi ke penelitian ini,” paparnya.
Kriteria ketiga adalah sumbangan teori. Ia selalu teringat dengan Clifford Geertz yang menjadikan disertasinya sebagai pijakan membangun teori-teori setelah usai pendidikan doktoralnya. Disertasi Geertz memang khusus tentang Indonesia, tapi teori yang dibangun setelah selesai disertasi adalah untuk wacana internasional. Disertasi bukanlah akhir atau puncak karya, tapi awal dari karya-karya dan karir akademik yang lebih serius. Dengan disertasi yang kuat dan bagus, maka kemungkinan akan menjadi intelektual yang benar. Geertz kemudian terkenal dengan teorinya “religion as symbolic system” berkat studinya di Morocco dan Indonesia.
“Saya tahu diri dengan kapasitas saya, tapi tidak ada salahnya saya bermimpi akan menjadi orang seperti Clifford Geertz dalam bidang religious studies (bukan teologi). Selama mimpi, harapan, idealisme, dan semangat masih ada, saya kira akan sangat baik jika saya mengikuti dan memupuknya. Saya khawatir, pada suatu saat nanti, semangat/mimpi seperti ini akan mati dan diganti dengan semangat yang pragmatis. Untuk lebih tepatnya, saya ingin menyumbangkan teori tentang persoalan sektarianisme, kelompok agama minoritas, perpecahan dalam agama dan sejenisnya,” ungkap Ahmad Najib.
Berdasarkan tiga kriteria itu, dia akhirnya memilih mengkaji tentang Ahmadiyah dengan judul When Muslims are not Muslims: The Ahmadiyya Community and the Discourse on Heresy in Indonesia. Tema ini memenuhi kriteria pertama, sebagai pijakan menjadi ahliminority religions & religious sects. Untuk menjadi ahli bidang itu, tentunya tidak mungkin baginya untuk mengkaji seluruh kelompok keagamaan minoritas untuk disertasi. Pembatasan waktu penelitian dan scope of study membuat dia harus memilih satu topik yang terjangkau dan menarik.
“Saya punya waktu tiga tahun untuk menulis disertasi. Karena itu saya harus memilih satu dari beberapa kelompok agama minoritas di Indonesia. Dan pilihan saya jatuh ke Ahmadiyah,” jelasnya.
Tema ini juga memenuhi kriteria kedua, yaitu memperkenalkan dirinya ke kancah masyarakat internasional dan membawanya ke beberapa negara. Meski dia memfokuskan diri mengkaji Ahmadiyah di Indonesia, tapi Ahmadiyah ada di lebih dari 100 negara. “Disertasi yang saya tulis memungkinkan dikaji atau dibaca oleh peneliti dari berbagai negara. Atau, tulisan ini memungkinkan untuk dikembangkan, diadaptasi, dan sebagainya di banyak Negara,” kata dia.
Pendeknya, orang yang mungkin tertarik pada kajiannya bukan hanya mereka yang mengenal/mengkaji Islam di Indonesia, tapi juga orang yang mengkaji agama secara umum, termasuk pejabat pemerintah yang menghadapi masalah tentang pengungsi dan pencari suaka dari anggota Ahmadiyah dan juga lawyers dalam bidang imigrasi.
Teori Homo Sacer
Tema Ahmadiyah juga memenuhi kriteria ketiga. Tulisan-tulisan tentang Ahmadiyah di Indonesia didominasi oleh pendekatan sejarah, teologi, komunikasi, politik, dan HAM. “Nah, saya akan mengisi dengan perspektif yang berbeda yang saya ambilkan dari kajian religious studies, di antaranya kajian tentang persekusi dengan teori homo sacer dari Giorgio Agamben,” kata Ahmad Najib.
Di antara kesimpulan dari disertasinya itu adalah: Pertama, permusuhan terhadap Ahmadiyah itu bukan fenomena baru di Indonesia. Permusuhan itu sudah terjadi sejak Ahmadiyah datang tahun 1920-an. Namun demikian, ada perbedaan penting antara permusuhan terhadap Ahmadiyah pada masa lalu dan sekarang. Dulu, permusuhan itu terbatas bersifat diskursif, wacana. Sementara sekarang permusuhan itu mengarah terhadap penyerangan fisik, penghancuran rumah ibadah, pengusiran dan sejenisnya. Mengapa ini terjadi? Di antaranya adalah karena lemahnya negara menegakkan hukum dan memberi perlindingan terhadap minoritas. Dengan retorika demokrasi dan suara mayoritas, kelompok Islam garis keras memaksakan kehendaknya hingga pada titik-titik yang melanggar hukum. Tragisnya, ketika mereka melanggar hukum,  mereka tak mendapat hukuman yang setimpal, bahkan sering dibebaskan. Akibatnya, mereka semakin berani menyerang kelompok lemah seperti Ahmadiyah.
Kedua, fatwa sering dituduh sebagai penyebab penyerangan terhadap Ahmadiyah. Bagi saya, fatwa hanyalah satu faktor. Fatwa terhadap Ahmadiyah telah dikeluarkan organisasi Islam sejak tahun 1929. MUI pun telah mengeluarkan fatwa pada tahun 1980. Namun tidak ada penyerangan terhadap Ahmadiyah seperti sekarang. Bahkan pada tahun 1989, Ahmadiyah menang di pengadilan pada kasus pelecehan terhadap gambar Mirza Ghulam Ahmad yang dimuat oleh Serial Media Dakwah. Fatwa memberikan aura sakral atau ideological persuasion dalam penyerangan terhadap Ahmadiyah. Kalaulah pemerintah tegas menindak pelanggaran, maka fatwa ini tidak akan mampu membuat orang berbuat anarkis dan brutal.
Ketiga, posisi Ahmadiyah yang berada dalam posisi antara menjadi salah satu faktor yang dijadikan pembenaran oleh kelompok radikal untuk membenci Ahmadiyah dan memperlakukan mereka lebih buruk dari non-Muslim. Bahasa yang sering dipakai adalah: musuh dalam selimut, bisul, kanker, menusuk dari belakang, tumor, dan sejenisnya. Ahmadiyah pernah dianggap bagian dari Islam tapi kemudian dianggap membawa Islam ke arah dan tujuan berbeda dari Islam. Secara sosiologis, inilah menyebabkan banyak sekali kelompok yang dituduh heretik sering mengalami lebih buruk dari orang dengan agama yang sama sekali berbeda. Tentu saja secara normatif ini tak bisa dibenarkan. Dalam kondisi ketika kelompok konservatif dan gerakan radikal keagamaan meningkat, kelompok seperti ini sering menjadi korban paling mengenaskan.
Keempat, kolaborasi antara agama dan negara dalam menentukan ortodoksi atau pemahaman agama yang dianggap benar atau sah adalah faktor yang paling berpengaruh terhadap persekusi Ahmadiyah yang beberapa tahun lalu tejadi di Indonesia. Posisi negara yang sekular adalah menganggap semua keyakinan sebagai ortodok atau benar. SKB tentang Ahmadiyah tahun 2008 menunjukkan bahwa negara telah mengambil posisi tertentu dalam keyakinan keagamaan, bukan lagi pada posisi netral.
Editor : Windrarto

http://www.satuharapan.com/read-detail/read/negara-tak-lagi-netral-ketika-terbitkan-skb-tentang-ahmadiyah/

Wednesday, February 3, 2016

Nabi Muhammad SAW Ajarkan Prinsip Demokrasi yang Menghindari Tirani Mayoritas


Ahmad Najib Burhani, di depan Universitas California, Santa Barbara (UCSB), Amerika Serikat. (Foto-foto: dok. Maarif Institute)
Penulis: Melki Pangaribuan | Selasa, 06 Agustus 2013
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pakar comparative religions within a single religious tradition (Islam) dan kajian tentang “konsep, teori, dan praktek heresy”, Ahmad Najib Burhani, mengatakan bahwa negara telah mengambil posisi tertentu dalam keyakinan keagamaan, bukan lagi pada posisi netral. Hal ini bertolak belakang dengan kehidupan berdemokrasi, yang saat ini tengah dibangun di Indonesia.
“Demokrasi diciptakan antara lain agar tak terjadi apa yang disebut dengan tirani mayoritas,” kata Najib kepada Satuharapan.com melalui surat elektronik yang dikirimnya pada hari Minggu (4/8), langsung dari Amerika Serikat.
Ada sejumlah pertanyaan yang diajukan kepadanya terkait dengan studi tentang kelompok minoritas keagamaan dalam Islam atau pecahan dari Islam. Berikut ini petikan wawancara dengan salah satu peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia  (LIPI) ini.
Siapakah yang dimaksud kelompok minoritas dalam penelitian Anda?
Mengenai definisi minoritas ini, umumnya para sarjana sepakat dengan definisi yang diberikan oleh Francesco Capotorti, mantan pakar di the UN Sub Commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities (Memisoglu 2007, 4; Ghanea 2012, 4). Menurut Capotorti, yang disebut minoritas adalah, “a group, numerically inferior to the rest of the population of a State, in a non-dominant position, whose members – being nationals of the State – possess ethnic, religious or linguistic characteristics differing from those of the rest of the population and show, if only implicitly, a sense of solidarity, directed towards preserving their culture, traditions, religion or language” (Ghanea 2012, 4-5).
Mengikuti definisi dari Capotorti tersebut, maka dalam konteks Indonesia, yang disebut dengan agama minoritas tidak hanya merujuk kepada institusi yang menyatakan dirinya sebagai agama dengan jumlah pemeluk yang kecil seperti Madraisme, Permalim, Tolotang, Petuntung, Perbegu, Aluk To Dolo, dan Kaharingan, namun juga merujuk kepada komunitas-komunitas keagamaan kecil dalam agama besar seperti Shi‘ah dan Ahmadiyah di tengah komunitas Sunni Islam. Tentu saja untuk konteks Indonesia, agama selain Islam juga masuk dalam kategori minoritas.
Nasib kelompok minoritas keagamaan ini belakangan ini cukup menyedihkan. Karena itu butuh perhatian dan kepedulian khusus. Dalam konteks politik, kelompok minoritas tak terlalu berpengaruh dalam pemenangan calon gubernur atau presiden. Tapi esensi dari demokrasi sesungguhnya terletak, di antaranya, pada bagaimana seorang pemimpin yang terpilih dengan suara terbanyak itu melindungi kelompok minoritas. Demokrasi diciptakan antara lain agar tak terjadi apa yang disebut dengan tirani mayoritas. Karena itu, tes apakah demokrasi di suatu negara telah berjalan baik adalah bagaimana perlindungan terhadap minoritas di negara itu. Dalam konteks Islam, tes keislaman yang benar juga bagaimana seorang Muslim itu memperlakukan minoritas. Dalam sebuah sabdanya, Nabi Muhammad berkata, “Bukanlah bagian dari umatku jika ada kelompok mayoritas atau kuat tapi tak menyayangi minoritas atau lemah. Dan juga bukan bagian dari umatku jika ada kelompok minoritas tapi tak hormat kepada mayoritas.”  Sabda ini sangat relevan dengan prinsip demokrasi yang menghindari tirani mayoritas.
Bagaimana nasib kelompok minoritas itu?
Dalam kasus Ahmadiyah, misalnya, keyakinan Ahmadiyah bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi dianggap menodai Islam yang meyakini tiadanya nabi setelah Nabi Muhammad. Untuk melindungi ‘kesucian’ agama Islam, Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri lantas mengeluarkan lantas mengeluarkan Keputusan Bersama (SKB) tahun 2008 tentang Peringantan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. Intinya, SKB ini melarang warga Ahmadiyah menjalankan dan menyebarkan ajaran agama yang mereka anut.
SKB di atas justru menyulut munculnya beragama tindak intoleransi terhadap pengikut Ahmadiyah. Berdasarkan catatan Setara Institute, Ahmadiyah menjadi korban tindakan intoleransi lebih besar dari kelompok minoritas lain pada tahun 2008 dan tahun-tahun setelah itu. Dari 265 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia pada 2008, 193 peristiwa menimpa Ahmadiyah (Hasani dan Naipospos 2011, 1). Beberapa tokoh Islam meminta kepada pengikut Ahmadiyah untuk memilih antara kembali ke Islam versi mereka atau mendirikan agama baru. Dua pilihan yang mustahil dilakukan oleh pengikut Ahmadiyah yang taat. Ini adalah perpindahan agama secara paksa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam. Perpindahannya bukan dari luar Islam ke Islam, tapi dari Islam ke luar Islam oleh tokoh-tokoh Islam sendiri.
Nasib yang plaing menyedihkan tentu saja terjadi di Asrama Transito, Mataram dan Cikeusik, Banten. Di Asrama Transito, sekitar 140 warga Ahmadiyah harus hidup sepertistateless people sejak tahun 2006 ketika mereka diserang, rumahnya dihancurkan, harta-bendanya dijarah, dan kemudian mereka diusir dari desanya. Mereka telah mengalami pengusiran berkali-kali dan setiap kali ingin kembali ke desa asalnya, mereka selalu diusir kembali. Di desa Umbulan, Cikeusik tiga warga Ahmadiyah dibunuh secara sadis ketika terjadi penyerangan terhadap rumah misi di sana pada awal 2011. Pembunuhan ini sangat sadis karena korban ditelanjangi, dipukuli dengan benda tumpul hingga meninggal. Dan bahkan, ketika korban sudah terlihat tak bernyawa pun, para penyerang masih mengekspresikan kebenciannya dengan terus melempari dengan batu dan menginjak-injak tubuh korban.
Mengapa kelompok seperti Ahmadiyah, Ismai’ili, Baha’i, Druze sering mengalami perlakukan lebih buruk dari non-Muslim di negara seperti Indonesia, Pakistan, Iran, dan Mesir?
Karena mereka dianggap tidak memiliki posisi keagamaan yang jelas. Mereka tidak bisa dikategorikan sebagai ahlul kitab yang memiliki tempat tertentu dalam teologi Islam dan harus dilindungi dalam pemahaman Islam lama. Mereka juga tidak bisa dikategorikan sama dengan mainstream umat Islam. Posisi mereka sering dianggap berada diantara Muslim dan non-Muslim. Konsekuensinya, hak-hak mereka sebagai orang Islam tidak diberikan dan hak-hak mereka sebagai non-Muslim masih ditahan hingga mereka mengakui sebagai non-Muslim. Kondisi ini menyebabkan tidak adanya perlindungan hukum dalam pemahaman kelompok Islam garis keras. Sosiologi tentang heresi dengan jelas menjelaskan tentang posisi kelompok yang sering dituduh sebagai heretik. Contoh yang sering saya pakai adalah tentang perceraian suami istri. Ketika terjadi perceraian yang tidak baik, maka suami atau istri itu sering melampiaskan kebeciannnya kepada bekas suami atau istrinya secara berlebihan. Kebenciannya kepada bekas suami atau istrinya itu jauh melebihi orang asing.
Apa yang saya tulis dalam disertasi saya yang berjudul When Muslims are not Muslims: The Ahmadiyya Community and the Discourse on Heresy in Indonesiaadalah berusaha menganalisa tentang mereka yang identitas keagamaanya sering dianggap berada dalam posisi antara (liminal status) dengan menjadikan Ahmadiyah sebagai contoh utama. Ada tiga pendekatan utama yang saya pakai dalam disertasi ini. Pertama, saya melihat Ahmadiyah secara teologis: Bagaimana atau dimana posisi Ahmadiyah dalam pemahaman fiqh Islam klasik dan juga fatwa-fatwa kontemporer. Kedua, saya melihat secara sosiologis tentang posisi kelompok yang disebut heretik pada masyarakat beragama di Indonesia. Terakhir, saya melihat Ahmadiyah dengan pendekatan political-theology dengan terutama memakai perspektif dari Giorgio Agamben tentang homo sacer. Yang dimaksud dengan homo sacer disini bukanlah orang suci yang seperti umumnya dipahami. Konsep ini mengacu kepada mereka yang berada dalam posisi antara bisa dibunuh oleh siapapun dan pelakukan tak akan dihukum. Dalam konteks Ahmadiyah, posisi mereka itu sering dianggap antara orang suci dan orang yang ditabukan; mereka dianggap sebagai kelompok yang dekat dengan Tuhan dalam kelompoknya sendiri, tapi dianggap menjijikan oleh kelompok Muslim di luar mereka.
Sejauh mana Anda melihat fenomena keagamana bagi umat Islam (secara khusus) dan relasinya dalam umat beragama lain (Kristiani, misalnya), atau bagaimana relasi kelompok keagamaan-keagamaan di Amerika pasca 12 tahun tragedi WTC? Dan juga pasca wafatnya Osama bin Laden?
Bisa dikatakan bahwa meningkatnya kebencian kepada mereka yang berbeda, meningkatnya konservatisme keagamaan adalah fenomena global. Ini tidak hanya terjadi di negara Muslim, tapi juga di negara Kristen, Hindu, Buddha, dan negara sekuler. Peristiwa 11 September 2001 hanya satu simbol semakin meningkatnya konservatisme dan radikalisme ini. Banyak orang mengatakan bahwa apa yang terjadi sekarang ini adalah “the last breath of religion before its permanent death” atau nafas terakhir dari agama sebelum ia mengalami kematian total. Namun banyak juga yang menyebut ini sebagai perlawanan terhadap sekularsime yang ternyata tak bisa memenuhi janji-janjinya untuk menenteramkan dan mensejahterakan umat manusia. Namun saya melihat fenomena ini sebagai kebingunan dan kebimbangan umat manusia menghadapi perubahan yang cepat, dunia yang semakin plural, dan kaburnya hampir seluruh batas-batas norma tradisional yang sering dipegangi orang. Meningkatnya imigrasi, pernikahan sejenis, perubahan iklim, dan sejenisnya membuat manusia bingung mencari pegangan yang pasti.
Editor : Windrarto
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/nabi-muhammad-saw-ajarkan-prinsip-demokrasi-yang-menghindari-tirani-mayoritas/