Catatan Atas Kekerasan Terhadap Beberapa Golongan Minoritas di Indonesia
Antonius Made Tony Supriatma, bekerja pada sebuah lembaga media nirlaba, tinggal di New Jersey, Amerika Serikat
MEMPERHATIKAN aksi-aksi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok
vigilante
seperti FPI, FBR, FUI, MMI dan sejenisnya itu, saya menyimpulkan:
‘Negara sesungguhnya membutuhkan keberadaan mereka.’ Negara
membutuhkannya untuk melakukan teror terhadap rakyatnya sendiri.
Sebabnya, karena aparatus negara yang berfungsi melakukan teror pada
masa otoriterisme Orde Baru, tidak bisa berfungsi pada jaman demokrasi
prosedural ini. Kelompok-kelompok vigilante dibutuhkan untuk
menyingkirkan ideologi perjuangan kelas, membungkam kelompok intelektual
liberal, menghukum bida’ah, dan menegakkan ortodoksi. Hasil akhirnya
adalak kelompok rakyat yang jinak (
docile) dan konservatif.
***
Saat ini, hampir setiap minggu, selalu ada berita tentang kekerasan
atas nama agama di media-media Indonesia. Juga menjadi rutin, para
aktivis demokrasi dan HAM rajin mengecamnya. Sementara, para pendukung
kekerasan itu juga masih tetap rajin berpropaganda lewat media mereka
sendiri. Di sisi yang lain, mayoritas massa-rakyat memilih berdiam diri.
Menonton. Dan dari lautan massa ini, menurut survey-survey, banyak juga
yang setuju dengan kekerasan itu. Sekali pun mayoritas tidak setuju
namun mereka memilih untuk tidak bersuara.
Pelaku kekerasan bisa dipetakan dengan jelas. Beberapa dari mereka
adalah kelompok vigilante radikal yang mengaku berskala nasional.
Artinya mereka memiliki jenjang organisasi dari pusat Jakarta hingga ke
daerah-daerah. Namun pada umumnya, sekalipun tampak sebagai sebuah
organisasi berskala nasional, mereka yang dianggap sebagai pemimpin
seringkali tidak bisa mengontrol apa yang diperbuat oleh orang-orang
yang mengatasnamakan organisasi tersebut di tingkat lokal. Rizieq Shihab
boleh dianggap sebagai pemimpin Front Pembela Islam (FPI), namun dalam
banyak kesempatan dia mengelak bertanggungjawab atas tindakan FPI di
daerah-daerah atau bahkan di Jakarta sendiri.
Organisasi seperti FPI, Forum Umat Islam (FUI) atau Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI), dikelola lebih sebagai organisasi persamaan
kepentingan ketimbang oleh struktur organisasional yang ketat. Di setiap
daerah mereka memiliki orang-orang ‘kuat’ yang disegani, yang dianggap
sebagai pemimpin – baik karena wibawa maupun karena sikap keagamaannya
yang kuat (bukan berarti pintar secara teologis). Orang-orang ini
memiliki keleluasaan untuk bernegosiasi dengan para penguasa di
daerah-daerah. Mereka juga memiliki fleksibilitas untuk bertindak sesuai
dengan situasi setempat.
Yang lebih menakjubkan dari organisasi-organisasi radikal ini adalah
betapa besarnya kekuasaan yang mereka miliki. Bahkan ketika mereka
melakukan tindakan-tindakan yang sangat brutal sekali pun, mereka tidak
terkena tindakan hukum yang serius. Dalam kasus kekerasan yang menimpa
Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, beberapa pelaku penyerangan yang brutal
itu – secara jelas tertangkap dalam gambar video – dikenai hukuman yang
sangat ringan. Sementara itu, warga Ahmadiyah sendiri malah dihukum juga
karena dituduh sebagai pemicu kekerasan.
Elit politik Indonesia – baik yang berada di dalam maupun diluar
administrasi pemerintahan SBY – bersikap sangat toleran terhadap
kelompok-kelompok ini. Demikian pula aparat keamanan yang seringkali
justru berpihak kepada mereka. Dalam banyak kejadian, aparat keamanan
biasanya datang setelah kelompok-kelompok ini melakukan aksinya.
Alih-alih mencegah terjadinya kekerasan, aparat biasanya justru
menyalahkan pihak yang diserbu, meminta mereka untuk menghentikan
kegiatan, atau bahkan membiarkan pihak penyerbu melanjutkan tindak
kekerasannya.
Tidak berdayanya para elit politik dan aparat keamanan yang mewakili
negara dalam berhadapan dengan kelompok-kelompok vigilante ini tentu
menimbulkan pertanyaan: Mengapa? Apa keistimewaan kelompok-kelompok
Islamis militan ini? Adakah mereka demikian kuat sehingga semua aparatus
negara menjadi lumpuh ketika berhadapan dengan mereka?
Minoritas Militan
Sekarang ini, Indonesia menganut sistem demokrasi elektoral. Ini
adalah sebuah sistem yang mensyaratkan agar mereka yang menduduki
jabatan-jabatan publik yang penting dipilih langsung oleh rakyat.
Keberadaan kelompok-kelompok vigilante ini jelas bertolak belakang
dengan politik demokrasi elektoral. Kelompok ini tidak besar. Mereka
tidak memiliki ‘popular mandate’ seperti yang dimiliki oleh para elit
politik, baik di tingkat nasional maupun lokal. Namun mereka mampu
melancarkan tekanan supaya kepentingan mereka bisa dijalankan.
Kelompok-kelompok ini tidak perlu bertarung dalam medan pemilihan
umum. Mereka tahu bahwa mereka tidak mungkin mengambil jalan elektoral.
Jalan menuju kotak suara (
ballot box) mengandaikan mereka harus
bersentuhan dengan masalah-masalah yang sangat riil. Mereka juga harus
mencari pemilih yang signifikan dan membuat kompromi-kompromi ideologis.
Kelompok-kelompok ini tahu bahwa mereka tidak memiliki semua itu.
Dengan kata lain, jika pun mereka masuk ke dalam politik elektoral
mereka jelas akan kalah.
Jika dilihat dalam kacamata ini, sungguh aneh bila aparatus negara
tunduk pada segelintir orang yang bahkan tidak memiliki signifikansi
sebagai kelompok pemilih. Apakah yang ditakutkan adalah keganasan dan
kebrutalan kelompok-kelompok ini? Saya kira tidak juga. Polisi dan
militer Indonesia seringkali jauh lebih brutal dibandingkan dengan
kelompok-kelompok ini. Faktanya adalah bahwa polisi dan tentara
seringkali ‘mengalah’ pada tuntutan kelompok-kelompok ini.
Apakah ketakutan terhadap umat Islam yang membuat para elit Indonesia
sangat toleran terhadap kelompok-kelompok minoritas militan ini? Apakah
para pengelola negara yakin bahwa kelompok-kelompok ini merupakan
representasi simbolik dari umat Islam?
Di sini jawabannya agak rumit. Ketakutan itu jelas ada. Namun kita
juga disodorkan dua kenyataan bahwa Islam politik (paling tidak secara
nasional) tidak memegang posisi yang kuat secara elektoral.
Pertama, suara partai-partai Islam tidak mampu meraih mayoritas;
kedua, kelompok-kelompok ini menolak untuk diidentifikasikan dengan salah satu partai Islam. Ini dilakukan demi menjaga
image sebagai penegak ajaran Islam yang paling murni dan benar.
Pertanyaan ini lebih sulit untuk dijawab karena memaksa kita untuk
menyelidiki sendi-sendi sosiologis masyarakat kita. Banyak hal yang
telah berubah di dalam masyarakat Indonesia dari masa ke masa. Salah
satunya adalah bahwa masyarakat Indonesia semakin bergerak ke kanan, ke
arah konservatisme religius. Ini terjadi akibat proses politik
eksploitasi agama di masa Orde Baru. Agamaisasi tidak hanya menimpa
Islam, tetapi juga Kristen dan agama-agama lain. Pada awalnya,
agamaisasi dipakai sebagai bagian dari kampanye untuk menumpas
Komunisme, namun kemudian dipakai sebagai alat untuk menjaga perimbangan
kekuasaan, dimana militer menjadi pusatnya.
Rejim Suharto secara sadar memainkan agama sebagai alat untuk
memajukan kepentingan politiknya. Rejim ini memakai metode perangkulan (
inclusionary) dan penyingkiran (
exclusionary), yang
dilakukan secara berbeda-beda dari masa ke masa – pertama dengan
merangkul Kristen/Katolik kemudian menyingkirkannya; kemudian merangkul
Islam terutama pada dekade terakhir kekuasaannya.
Akibat terpenting dari pemakaian agama sebagai alat politik adalah masyarakat menjadi tersekat-sekat (
compertamentalized) atas
dasar agama. Ini terjadi terutama di kalangan kelas menengah perkotaan,
sekalipun daerah pedesaan pun tidak terbebas dari proses ini.
Masyarakat menjadi lebih taat untuk mengikuti ajaran-ajaran agamanya
secara literal. Konservatisme agama semakin mendapat tempat dalam
masyarakat, yang bahkan menggeser konservatisme adat dalam kebudayaan
lokal.
Konservatisme ini pulalah yang mungkin menyumbangkan pada sikap diam
dan ‘toleran’ dari masyarakat Indonesia terhadap kelompok-kelompok
minoritas militan ini. Jika sikap diam juga diartikan sebagai dukungan
maka bisa kita duga bahwa dukungan terhadap kelompok seperti FPI,
sebenarnya luas juga. Saya menangkap adanya gejala psikologis
‘good Muslim, bad Muslim‘ disini (Saya meminjam istilah ini dari Mahmood Mamdani. Sekalipun saya memakainya tidak sama persis dengan Mamdani).
Saya pernah bertanya pada seorang teman tentang apakah dia setuju
dengan gerakan memberantas kemaksiatan yang dilakukan kelompok-kelompok
Islamis radikal ini. Jawabannya sangat jelas: Ya. Alasannya? ‘Mereka
(FPI, maksudnya) berusaha menegakkan syariat. Itu artinya mereka berada
dalam jalan yang benar. Sebagai Muslim, mengapa saya harus mengutuk
Muslim yang berani menegakkan jalan Allah? Saya sendiri bukan Muslim
yang baik. Oleh karenanya saya harus mendukung mereka karena mereka
ingin menegakkan Islam.’
Kita tidak tahu seberapa besar skema psikologis ini hidup dalam
masyarakat Indonesia. Namun, kalau kita lihat beberapa jajak pendapat,
seperti Survey Lembaga Survey Indonesia (LSI) tentang dukungan terhadap
keagamaan yang radikal (2006), kita mungkin bisa menangkap kecenderungan
konservatisme yang semakin menguat dalam masyarakat Indonesia. Lebih
dari sepertiga responden LSI setuju dengan segala macam bentuk
radikalisasi agama.
Namun demikian, sangat sulit untuk mendapat kepastian sikap
massa-rakyat terhadap kelompok-kelompok Islamis radikal ini.
Survey-survey dengan metode
polling yang banyak dilakukan hanya
bisa menangkap gejala-gejala sesaat. Saya kira, kita membutuhkan sebuah
penjelasan dengan basis sosial yang lebih kokoh, lebih
durable, dan dengan demikian lebih struktural untuk menjelaskannya.
Saya menawarkan perspektif lain untuk memahami mengapa negara serta
pengurus-pengurus politiknya berdiam diri atau menyokong
kelompok-kelompok Islamis radikal ini. Argumen saya, negara justru
membutuhkan kelompok-kelompok seperti ini. Saya melihat kuatnya kaitan
antara kebutuhan negara untuk menegakkan kedaulatannya atas wilayah dan
massa-rakyatnya dan kapasitas yang dimilikinya untuk menegakkan
kedaulatan itu. Untuk kasus Indonesia – yang sebenarnya juga belajar
dari cara-cara pemerintahan Kolonial untuk menegakkan kedaulatannya di
tanah Nusantara — minimnya kapasitas negara untuk menegakkan
kedaulatannya memaksanya untuk memakai cara-cara yang lebih murah (dan
dianggap lebih efisien), yakni dengan menggunakan teror terhadap
rakyatnya sendiri. Teror itu diperlukan untuk mendisiplinkan,
menciptakan kepatuhan dan ketaatan dari massa-rakyat terhadap negaranya.
Absennya Negara Weberian
Indonesia tidak pernah mengenal konsep negara pengertian Weberian.
Dalam konsep Max Weber, negara adalah institusi yang memegang monopoli
atas penggunaan kekerasan fisik untuk menciptakan ketertiban.
Banyak ahli telah menunjukkan bagaimana konsep negara Weberian ini
tidak bekerja di dalam masyarakat Indonesia. Ahli sejarah politik
menunjukkan (antara lain Soemarsaid Moertono yang menulis tentang
statecraft di
Jawa) bahwa negara di bumi Nusantara ini tidak dikenal sebagai negara
territorial. Para raja pertama-tama menguasai penduduk. Makin banyak
penduduk yang dikuasainya, makin besar kekuasaannya. Kekuasaan ini
tercermin dalam konsep Mandala, dimana kekuasaan ada di pusat,
berpendar, dan makin melemah ketika jauh dari pusat.
Konsep negara dan kekuasaan yang non-territorial ini tentu tidak bisa
dipertahankan terutama ketika konsep negara modern – yang
ditulangpunggungi oleh birokrasi dan militer – diperkenalkan di wilayah
Nusantara oleh penguasa Kolonial Belanda. Para pengelola negara kolonial
tahu persis bahwa mereka tidak bisa menguasai wilayah Indonesia secara
langsung.
Negara kolonial memiliki keterbatasan yang amat serius dalam hal
personil untuk mengawasi rakyat dan wilayahnya. Untuk itulah, negara
kolonial meneruskan kebijakan-kebijakan sebelumnya yang dijalankan oleh
VOC, yakni berkuasa lewat perantaraan penguasa-penguasa lokal yang
diikat dengan perjanjian-perjanjian jangka pendek.
Keterbatasan sumber daya memaksa negara kolonial untuk menggunakan
agen-agen kekerasan yang berada di luar negara. Agen-agen kekerasan itu
biasanya berupa orang kuat, jago, preman, hingga ke
organisasi-organisasi paramiliter yang berlabel etnik atau agama. Studi
Ann Stoler tentang perkebunan di Sumatera Utara, misalnya, menunjukkan
preman dipakai secara intensif untuk menghalau penyerobot tanah (
squatters), mengintimidasi buruh, dan menghalang-halanginya untuk berserikat.
Hubungan antara negara dengan agen-agen kekerasan non-negara ini
saling menguntungkan. Agen-agen kekerasan ini diberikan keleluasaan
untuk beraksi. Mereka tidak dikenakan sangsi atau hukuman. Sebaliknya,
mereka melakukan apa yang tidak sepenuhnya mampu dilakukan oleh negara,
yakni menciptakan ketaatan lewat rasa takut di kalangan massa-rakyat.
Yang lebih unik adalah hubungan antara aparatus keamanan negara
dengan agen-agen kekerasan non-negara ini. Aparat-aparat intelijen dan
kepolisian pada jaman kolonial banyak memakai preman, jago, atau orang
kuat untuk menjalankan operasi-operasi intel. Praktek seperti ini
berlanjut setelah negara kolonial berubah menjadi negara Indonesia.
Pada jaman Orde Baru, hubungan antara aparatus keamanan dengan
agen-agen kekerasan non-negara ini semakin intensif, sekalipun negara
pada jaman Orde Baru dikuasai oleh militer. Aparat intelijen dan militer
melakukan apa yang disebut sebagai ‘penggalangan’ di kalangan preman
dan organisasi-organisasi kekerasan untuk memuluskan kerja dan agenda
politik mereka.
Pada tahun 1982-83, pemerintah Orde Baru melakukan kampanye
anti-preman yang terkenal dengan sebutan ‘Petrus’ (Penembakan
Misterius). Aparat-aparat militer di banyak daerah di Indonesia,
bergerak menahan orang-orang yang mereka anggap sebagai preman (atau
orang yang bertatto), menembak mati, dan meletakkannya di jalanan.
Metode ini dikenal sebagai ‘shock therapy’ yang sesungguhnya metode
teror psikologis dengan mengirimkan pesan brutal kepada seluruh
massa-rakyat untuk menunjukkan siapa yang sesungguhnya berkuasa.
Sekalipun diklaim sebagai kampanye untuk mengenyahkan preman,
‘Petrus’ sesungguhnya dipakai sebagai sarana untuk menundukkan preman
agar sepenuhnya berada dalam kontrol militer. Studi Loren Ryter (2002)
tentang preman menunjukkan bahwa ‘Petrus’ kemudian dipakai sebagai awal
kelahiran organisasi-organisasi kepemudaan. Salah satu yang peling
terkenal adalah Pemuda Pancasila.
Agen-agen kekerasan non-negara ini dalam periode-periode selanjutnya
dipakai sebagai agen untuk mematikan gerakan-gerakan massa-rakyat dari
bawah. Gerakan buruh di Indonesia, misalnya, yang bangkit kembali pada
pertengahan tahun 1980an seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi
substitusi impor pada waktu itu juga harus berhadapan dengan agen-agen
kekerasan non-negara ini. Intimidasi, terror, dan bahkan serangan
langsung kepada buruh sering dilakukan oleh preman-preman yang
terorganisir.
Mobilisasi preman pun dipakai dalam politik. Organisasi seperti
Pemuda Pancasila dan saingannya Pemuda Panca Marga, resmi diterima dalam
organisasi kepemudaan korporatik KNPI, yang pada akhirnya dipakai untuk
memenangkan Golkar. Di daerah-daerah, organisasi yang berafiliasi
dengan militer lokal – seperti Angkatan Muda Siliwangi di Jawa Barat–
juga diinkorporasi sebagai organisasi ‘resmi’ di bawah patronase
militer.
Teror Sipil Sebagai Proxy
Adakah keadaan seperti ini berubah setelah kejatuhan pemerintahan militer Suharto?
Sesungguhnya dalam hal agen-agen kekerasan non-negara, tidak banyak
yang berubah setelah Orde Baru runtuh. Yang baru adalah kekuasaan di
Indonesia menjadi lebih terdesentralisasi. Di daerah-daerah lahir
oligarki politik, yang dengan senang hati berkerjasama dengan orang
kuat, jago, atau preman lokal. Di beberapa tempat, para oligarkh ini
juga menciptakan milisi-milisi untuk mendukung kekuasaannya.
Studi yang dilakukan oleh Jun Honna (2006) tentang hubungan
sipil-militer setelah Suharto jatuh memperlihatkan bagaimana militer dan
sayap-sayap sipilnya mengalihkan dukungan kepada elit yang menguasai
partai-partai politik sipil. Para politisi sipil ini juga tidak
segan-segan mempergunakan agen-agen kekerasan non-negara untuk
memberangus oposisi terhadap kekuasaannya.
Di beberapa tempat di Indonesia, pengorganisasian agen-agen kekerasan
ini juga bercampur dengan organisasi etnik (kesukuan). Namun tidak ada
yang lebih sukses dalam memobilisasi agen-agen kekerasan non-negara
daripada lewat jalur agama. Jalur ini adalah jalur yang paling efektif
untuk saat ini, karena masyarakat Indonesia sendiri memang bergerak ke
kanan, ke arah konservatif-religius.
Seperti saya katakan di atas, negara membutuhkan kelompok-kelompok
ini untuk melakukan teror terhadap rakyatnya sendiri. Persoalannya
kemudian adalah mengapa negara perlu melakukan teror itu? Siapa saja
yang menjadi sasaran?
Untuk menjawab pertanyaan itu kita perlu melihat kembali
legacies
(warisan-warisan) yang ditinggalkan Orde Baru. Dua institusi yang
memainkan peranan paling penting dalam Orde Baru adalah militer
(termasuk kepolisian) dan birokrasi. Militer dan birokrasi yang
diwariskan kepada rejim-rejim demokrasi sesudah Suharto adalah militer
dan birokrasi yang sama. Mereka juga beroperasi dalam sistem ekonomi
yang relatif sama, yakni sistem ekonomi pasar. Bahkan, selama beberapa
tahun belakangan ini (terutama dalam periode pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono), para ekonom yang berkuasa taat sekali menerapkan
prinsip-prinsip neoliberalisme. Mereka berhasil merestorasi pertumbuhan
ekonomi Orde Baru yang sempat macet akibat krisis ekonomi1997.
Militer dan polisi memiliki kedudukan khusus pada masa Orde Baru.
Tugasnya adalah melakukan represi terhadap gerakan-gerakan popular yang
dianggap akan mengancam pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya, target
utama represi pada masa Orde Baru adalah kalangan kiri (yang sudah
ditumpas habis-habisan sejak tahun 1965) serta gerakan-gerakan petani
dan buruh. Dalam taraf tertentu, Orde Baru juga berusaha keras untuk
mengurangi pengaruh kelas menengah perkotaan, terutama para intelektual
liberal seperti akademisi, jurnalis, atau aktivis hak-hak asasi manusia.
Jatuhnya Suharto juga mengakibatkan hilangnya fungsi-fungsi represi
dari aparatus keamanan negara ini. Paling tidak, fungsi-fungsi tersebut
ditanggalkan secara hukum. Indonesia mencoba untuk berjalan di atas
asas-asas demokrasi. Secara prosedural, demokrasi bisa dijalankan.
Pemilihan umum digelar secara teratur, pers (dalam taraf tertentu)
diberi kebebasan, dan kebebasan berbicara, berekspresi, dan
berorganisasi berjalan dalam skala formal-prosedural. Segala macam
kebebasan ini memang tidak dihambat oleh negara, namun dipakai cara-cara
lain yang bergerak di luar negara untuk mengekangnya.
Pada titik inilah organisasi-organisasi vigilante diperlukan oleh
negara. Organisasi-organisasi ini diperlukan sebagai kepanjangan tangan
aparatus keamanan negara yang tidak bisa melakukan fungsi-fungsi
represinya karena dihambat oleh aturan-aturan demokrasi prosedural.
Fungsi dari organisasi-organisasi ini kurang lebih sama seperti fungsi
‘Petrus’ pada tahun 1982-83, yakni melakukan teror kepada massa-rakyat.
Jika ‘Petrus’ dilakukan dengan menggeletakkan mayat-mayat di jalanan;
teror-teror vigilante dilakukan dengan serbuan, razia illegal, hingga ke
pembunuhan brutal. Jika Petrus’ tujuannya adalah menyatukan dunia
preman dan membawanya pada kontrol negara, maka
organisasi-organisasi vigilante ini juga bertujuan untuk memperpanjang
kontrol negara. Demokrasi membatasi negara untuk melakukan represi.
Organisasi-organisasi vigilante ini bisa menjadi
proxy negara dalam melakukan represi.
Target represi pun hampir sama dengan pada masa Orde Baru.
Organisasi-organisasi vigilante memang tidak menyasar
organisasi-organisasi buruh, tetapi mereka menyasar apa saja yang berbau
komunis. Dengan demikian, perjuangan buruh dan petani berusaha
dipisahkan dari dimensi ideologisnya dan dipaksa untuk bergerak pada
tataran normatif seperti kenaikan upah minimum, kenaikan tunjangan
kesehatan, perumahan, dan lain sebagainya. Penghilangan dimensi
ideologis akan memberikan jaminan pada kelas kapitalis bahwa ancaman
perubahan sistematik, yang mengubah hubungan modal dengan buruh, tidak
akan terjadi.
Sama seperti pada jaman Orde Baru, yang juga menjadi target adalah
intelektual-intelektual liberal. Mereka menjadi target karena
jaringan-jaringan internasional yang mereka miliki yang berpotensi untuk
menggoyahkan sistem ekonomi dan politik di dalam negeri.
Persoalan-persoalan kemerdekaan dan kebebasan yang selalu dipersoalkan
oleh para intelektual liberal, selalu berbenturan dengan kepentingan
negara.
Organisasi-organisasi vigilante yang berbasis agama mendapat tempat
khusus pada negara pasca Orde Baru. Ini lebih dikarenakan
perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Seperti yang
dikatakan di atas, kelas menengah Indonesia bertumbuh menjadi
konservatif-religius. Dengan ‘menormalkan’ organisasi-organisasi
vigilante keagamaan, negara sesungguhnya merangkul golongan
konservatif-religious ini. Itulah sebabnya mengapa aparatur negara dan
elit politik dari hampir semua spektrum politik cenderung memberikan
keleluasaan kepada para vigilante religius ini.
Yang paling sering dijadikan target oleh organisasi-organisasi
vigilante keagamaan ini adalah golongan-golongan minoritas seperti
Jemaah Ahmadiyah, Shiah (baru akhir-akhir ini menghangat kembali setelah
keberhasilan menghantam habis Ahmadiyah), serta golongan Kristen,
terutama dari denominasi-denominasi kesukuan yang seperti HKBP atau
denominasi evangelis yang lemah, yang tidak memiliki gereja induk yang
kuat.
Dari pengamatan lebih jauh terhadap target-target kekerasan terhadap minoritas ini, kita bisa menyimpulkan beberapa hal.
Pertama, yang menjadi target kekerasan adalah mereka yang ekonominya relatif lemah;
kedua,
pada umumnya yang menjadi sasaran adalah mereka yang powerless, yang
tidak memiliki patron yang kuat yang mampu memberikan perlindungan
kepada mereka. Jemaah Ahmadiyah, misalnya, tidak saja secara ekonomi
lemah tetapi juga tidak memiliki orang-orang di lingkaran kekuasaan yang
bisa membela mereka;
ketiga, khusus untuk target Kristen, yang
menjadi sasaran adalah denominasi-denominasi eksklusif kesukuan
khususnya HKBP dan denominasi Evangelis yang bergerak di kalangan rakyat
miskin. Sementara gereja-gereja dengan
backing politik dan ekonomi yang kuat tidak pernah mengalami gangguan.
Penutup
Secara umum, yang menjadi target dalam kekerasan agama adalah mereka yang paling rentan (
vulnerable) dalam masyarakat. Mereka tidak memiliki dukungan secara politik maupun ekonomi. Mereka
powerless dan tidak memiliki patron di dalam lingkaran kekuasaan di negeri ini.
Dalam kasus-kasus penyerangan terhadap Jemaah Ahmadiyah, kita melihat
ketidakadilan yang sangat telanjang yang dilakukan oleh negara terhadap
warganya. Di beberapa tempat di Indonesia, Jemaah Ahmadiyah diusir dari
tempat tinggalnya. Para penguasa lokal bahkan menciptakan Kamp
pengasingan di pulau terpencil. Mirip seperti
gettho terhadap
orang-orang Yahudi di Eropa pada jaman dulu. Namun nasib mereka jauh
lebih buruk dari orang Yahudi, karena mereka diasingkan, dirampas
hak-haknya, dan dinistakan.
Di sini, lagi-lagi, kita dipaksa untuk menoleh lagi pada modus teror
negara kepada rakyatnya seperti yang dilakukan dalam ‘Petrus’ di tahun
1982-83. Dan ternyata, setelah lebih dari satu dekade Orde Baru tumbang,
tidak banyak perubahan signifikan yang terjadi.***
Catatan: Artikel ini adalah bagian dari penelitian yang sedang berlanjut. Dimuat di sini sebagai bahan Diskusi dan Pendidikan.
http://indoprogress.com/teror-sipil-sebagai-proxy/