Saturday, November 24, 2012

Sacred Spaces in Qadian and Their Roles in the Construction of Ahmadiyya Theology

Ahmad Najib Burhani, University of California, Santa Barbara


This paper studies the sacred places of Ahmadiyya in the Indian subcontinent, particularly the Minaret of the Messiah, Bahishtī Maqbarah, al-Aqsa Mosque, and the Jesus tomb, by answering these questions: What is the role of these places in the construction of Ahmadiyya theology? How they perceive the sacredness of them compared to Mecca, Medina, and Jerusalem? Since the justification for the sacredness of them is taken from passages of the Qur’an, how different their interpretations of those passages compared to other Muslim exegetes? This paper argues that those places are the manifestations of Ahmadiyya’s main doctrines and the foundation of their basic beliefs on the death of Jesus in Kashmir, the descent of the Messiah in Qadian, the prophethood of Ghulam Ahmad, and the notion about Ahmadis as the chosen community. Second, the prohibition for Ahmadis for making a pilgrimage to Mecca-Medina makes those places more prominent for them

Paper presentation at the AAR Annual Meeting, Chicago, November 17-20, 2012.

A18-267
Islamic Mysticism Group and Sacred Space in Asia Group
Theme: Excavating Layers of Sacred History in Central and South Asia
Sunday - 3:00 PM-4:30 PM
McCormick Place West-194A


Vernon Schubel, Kenyon College, Presiding

Responding:
Talat Halman, Central Michigan University

Retrieved from: http://papers.aarweb.org/program_book?keys=Ahmadiyya&field_session_slot_nid=All

Monday, November 5, 2012

Tiga Problem Dasar dalam Perlindungan Agama-agama Minoritas di Indonesia

Jurnal MAARIF, Vol.7 No.1 Desember 2012, pp. 43-55.


Ahmad Najib Burhani
Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)

‘Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan?... Sudah tentu tidak!...  bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan.  Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”’
--Sukarno, Lahirnya Pancasila, 1947, 7--

‘Dasar Ketuhanan Yang Mahaesa jadi dasar yang memimpin cita-cita negara kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik… Ketuhanan Yang Mahaesa tidak lagi hanya dasar hormat menghormati agama masing-masing, melainkan jadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, kebaikan, kejujuran persaudaraan’
--Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila, 1977, 18--

Abstrak
Meski Indonesia telah mencantumkan jaminan kebebasan beragama terhadap agama-agama minoritas dalam konstitusi dan perundang-undangan yang lain, namun pada kenyataannya masih banyak terjadi pelanggaran hak-hak beragama kelompok minoritas. Karena itu, pertanyaan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah permasalahan idologis atau teologis apa yang menghambat pelaksanaan hak-hak pemeluk agama-agama minoritas? Tulisan ini berargumen bahwa ada tiga persoalan dasar yang bersifat ideologis yang menghambat kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Ketiga hal itu adalah sila pertama Pancasila, paradigm tentang agama yang berkembang di masyarakat Indonesia, dan adanya penetapan bahwa subyek perlindungan adalah agama itu sendiri, bukan pemeluk agama.

Kata kunci: Pancasila, agama minoritas, ortodoksi-heterodoksi, kebebasan beragama, agama resmi dan tidak resmi, Victorian mind

Download file 

Sunday, November 4, 2012

Sekuntum hikmah dari maha guru Sunnah, Syi‘ah, dan Ahmadiyah



Pengantar untuk buku  
Sekuntum hikmah dari maha guru Sunnah, Syi‘ah, dan Ahmadiyah  

Oleh Asrar Mabrur Faza

Ahmad Najib Burhani
Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)

Satu hal yang menarik dari buku ini adalah keberaniannya untuk memasukkan Ahmadiyah dalam kelompok orthodoks Islam dan menyandingkannya dengan Syi‘ah dan Ahlus Sunnah atau Islam Sunni. Tidak hanya itu, penulis buku ini juga menyandingkan Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah, dengan tokoh besar dalam Islam Sunni dan Syi‘ah; Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Ini adalah sebuah langkah besar dan kontroversial karena hampir semua ulama, baik Sunni maupun Syi‘i, menganggap Ahmadiyah sebagai ajaran yang sesat dan Mirza Ghulam Ahmad dituduh sebagai nabi palsu.

Ada beberapa kutipan dari Mirza Ghulam Ahmad yang sangat cocok untuk melihat dan merefleksikan nasib dan kondisi Ahmadiyah di Indonesia saat ini. Di halaman 12, misalnya, dikutip pernyataan Ghulam Ahmad, “Terimalah kehidupan pahit karena Tuhan. Kesulitan yang karena Tuhan suka, lebih baik dari kesenangan yang karena Tuhan murka. Kegagalan yang karenanya Tuhan suka lebih baik dari kemenangan yang menyebabkan kemurkaan Ilahi.” Kalimat ini menjadi keyakinan teologis yang sangat bermakna bagi pengikut Ahmadiyah saat ini, terutama ketika mereka menghadapi persekusi.

Ahmadiyah mengenal teologi yang biasa disebut theology of suffering (teologi penderitaan). Dengan teologi ini, maka banyak orang Ahmadi mampu menghadapi persekusi dengan senyuman, bukan tangisan. Coba kita bertanya, pernahkah orang Ahmadiyah menghujat pemerintah meskipun mereka menghadapi nasib buruk dalam dekade terakhir? Satu-satunya demonstrasi yang dilakukan oleh orang Ahmadiyah sejak turunnya Suharto tahun 1998 adalah pada 1 Juni 2008 yang lalu (peringatan Hari Kesaktian Pancasila). Selebihnya, mereka tak mau melakukan demonstrasi untuk menentang atau memprotes kebijakan pemerintah. Bagaimana orang Ahmadiyah mampu menerima berbagai penderitaan itu tanpa protes? Diantaranya adalah kemampuan mereka untuk menjiwai dan mempraktekkan kata-kata Ghulam Ahmad seperti tersebut di atas.

Kita lihat kutipan lain dalam buku ini yang juga menjadi dasar dari theology suffering dari Ahmadiyah. Di halaman 71, Ghulam Ahmad berkata: “Siapa yang menangis karena-Nya, akan dibuat-Nya tertawa gembira”. Kemudian di halaman 29 dikutipkan: “Jauhilah dendam-kesumat. Berlakulah kepada sesama makhluk dengan kasih-sayang yang sebenarnya.” Inilah beberapa prinsip mengapa Ahmadiyah tidak ingin menyerang balik para penyerangnya. Mereka bahkan mempromosikan motto: “Love for all, hatred for none” (Cinta kepada semua orang, dan tak membenci siapapun). Yang paling mencerminkan prinsip ini adalah kutipan pada halaman 69: “Sudahilah pertentangan-pertentangan antara satu sama lain dengan aman dan damai, serta maafkanlah kesalahan saudaramu. Sebab sesungguhnya jahatlah dia yang tidak bersedia diajak berdamai oleh saudaranya.”

Ada prinsip lain yang menjadi ciri dari Ahmadiyah dan menciptakan kemandirian dari organisasi ini. Seperti dikutip pada halaman 27, Ghulam Ahmad berkata: “Jika kamu sungguh punya mata, niscaya akan tampak kepadamu Tuhan dan hanya Tuhan saja. Segala sesuatu yang ada di duni ini tidak berharga sama sekali.” Kemudian di halamman 46 dikutip pernyataan dari Ghulam Ahmad: “Alihkanlah seluruh perhatianmu kepada Allah, agar perhatianmu kepada dunia ini jadi berkurang”. Kalimat-kalimat itu tidak berbeda dari kalimat-kalimat yang biasa disampaikan oleh para sufi. Bedanya, kalimat ini seringkali diejawantahkan dalam urusan dunia oleh pengikut Ahmadiyah. Misalnya, Ahmadiyah mampu mengumpulkan dana yang cukup besar untuk dakwah dan mengembangkan organisasi dengan berpegang prinsip itu. Mereka tidak membuka kotak amal di jalan-jalan dengan meminta pengendara mobil dan bis memperlambat laju kendaraannya. Untuk membangun masjid yang besar, Ahmadiyah cukup dengan dana dari anggotanya sendiri.

Selanjutnya, ada orang yang bertanya dengan heran, mengapa Ahmadiyah mempu menyulap daerah seperti Rabwah di Pakistan yang dulunya merupakan daerah tandus, kering dan mati, menjadi daerah yang ramai dan subur? Mengapa Ahmadiyah mampu menyulap Manis Lor menjadi desa yang sejahtera dan religious? Padahal sebelumnya Manis Lor adalah daerah miskin dan tempat orang yang kurang beragama. Kemampuan Ahmadiyah ini diantaranya berdasarkan penjiwaan pada prinsip yang dikutip di halaman 63 buku ini: “Waktu sangatlah pendek, sedangkan tugas hidupmu belum lagi terpenuhi. Bergegaslah melangkahkan kaki, karena hari sudah sore dan malam hampir tiba. Apa saja yang kamu persembahkan kepada Tuhan, periksalah berulang-ulang. Jangan-jangan ada kekurangan dan mnyebabkan kerugian.”

Buku ini banyak mengandung kata-kata mutiara, namun ada satu kelemahan yang mencolok. Penulis tidak menyebutkan referensi dari kutipan-kutipan itu. Dari buku apa hikmah-hikmah itu dikutip. Jika itu bias ditambahkan, maka akan menambah keindahan buku ini.