Tuesday, December 24, 2019

313 Ahmadiyah (1)

23 Desember 2019

Oleh Dahlan Iskan



Ada 30 orang Indonesia di sini --sebagian besar untuk kuliah.
Desa Qadian memang tidak lagi menjadi pusat aliran Islam Ahmadiyah. Tapi masih tetap dipertahankan sebagai salah satu pusatnya.
Bahkan ketika umumnya orang Islam mengungsi ke Pakistan tempat ini dipertahankan mati-matian.
"Waktu itu pimpinan Ahmadiyah menugaskan 313 orang untuk mempertahankan tempat ini," ujar Saifullah Mubarak, asal Solok Sumbar.
"Jumlah itu sama dengan pasukan yang diperintahkan oleh Rasulullah untuk perang Badr," tambahnya. "Sebenarnya kan tidak ada niat untuk perang. Hanya mempertahankan diri. Tapi akhirnya terjadilah perang Badr itu," tambahnya.
Saifullah sudah menetap di Qadian. Sudah kawin dengan wanita Punjab.
Waktu itu umumnya orang Islam di Punjab (India) mengungsi ke Pakistan. Semua orang Hindu di Punjab (Pakistan) mengungsi ke India.
Terjadinya begitu mendadak. Dalam satu hari. Kisruh dan rusuh. Saling bunuh. Jutaan orang meninggal.
Itu tahun 1947. Ketika Inggris memutuskan memerdekakan wilayah itu menjadi dua negara: India dan Pakistan.
Itu tahun 1947 --ketika di Indonesia berlangsung perundingan Linggarjati --di pegunungan Kabupaten Kuningan dekat Cirebon.
Di perundingan itu Belanda baru mengakui kemerdekaan Indonesia sebatas untuk Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Di Punjab, kemerdekaan itu berarti kesengsaraan.
Itu tercatat sebagai salah satu tragedi kemanusiaan terbesar di dunia.
Orang-orang Ahmadiyah juga mengungsi ke Pakistan. Pusat Ahmadiyah pun di pindah ke Lahore --sekitar 100 km di balik garis yang ditentukan Inggris sebagai perbatasan.
Pasca pengungsian masal ini nasib Ahmadiyah tidak lebih baik. Dari minoritas di negara Hindu ke minoritas di negara Islam.
Yakni setelah mayoritas Islam di Pakistan memusuhi Ahmadiyah habis-habisan.
Terjadilah tragedi kemanusiaan yang lain. Di sesama orang Islam. Begitu banyak yang meninggal.
Ahmadiyah pun terusir lagi. Kali ini mereka mengungsi jauh --ke Inggris. Menjadi minoritas lagi --di negara Kristen.
Bagi Ahmadiyah menjadi minoritas di negara Hindu ternyata lebih baik daripada menjadi minoritas di negara Islam.
Demikian juga ketika menjadi minoritas di negara Kristen.
Di Inggris Ahmadiyah bisa berkembang. Sampai mendirikan TV Islam.
Saya sempat salat Jumat di masjid Ahmadiyah dekat Wimbledon. Yang tertua di sekitar London.
Berkat 313 orang itulah pusat Ahmadiyah di Qadian bertahan sampai sekarang. Saya pun tidak menyangka ada 30 orang Indonesia belajar di sini.
Untuk ke Desa Qadian saya harus melakukan perjalanan 35 km. Dari hotel saya di pusat kota suci agama Sikh Amritsar --ke arah luar kota.
Setelah tiba di satu kota kecamatan saya harus benar-benar masuk desa. Lewat jalan kecil yang meliuk-liuk di tengah sawah.
Dari sawah ini terlihat pagar tembok panjang sekali. Dari bentuk temboknya saya pikir di baliknya ada situs sejarah kuno.
Sopir saya tidak tahu bangunan apa di balik pagar panjang itu.
Ternyata kami berbelok ke arah pagar itu. Google Map justru mengarahkan kami ke situ.
Di balik pagar itulah kampung Ahmadiyah.
Ups... Salah.
Di balik pagar itulah makam pendiri Ahmadiyah --Mirza Ghulam Ahmad.
Untuk memasuki pagar ini kami harus melewati pos pemeriksaan. Harus pula ada izin dari pengurus.
Saya pun berjalan kaki sekitar 200 meter. Ke kampung dekat makam itu.
Saya dipersilakan masuk ke salah satu bangunan di situ. Oh... Kantor Ahmadiyah. Yang dari depan terlihat kecil. Di dalamnya ternyata ruang besar.
Saya diminta masuk ke ruang yang lebih dalam lagi. Juga besar. Dengan kursi-kursi tamu yang banyak.
Di situlah saya ditemui ustadz muda asal Uttar Pradesh. Ramah dan cerdas. Ia kelihatan ingin menjelaskan panjang lebar apa itu Ahmadiyah.
"Saya sudah tahu itu. Saya ingin tahu soal lain," sela saya.
Ia tidak tersinggung oleh selaan saya itu. "Saya hanya punya waktu setengah jam di sini. Maafkan," kata saya.
"Alhamdulillah kalau sudah tahu Ahmadiyah," katanya.
"Saya pernah salat Jumat di masjid Ahmadiyah di London," kata saya.
Ia kian ramah.
"Maukah bertemu orang yang asal Indonesia di sini?" katanya.
"Lho, ada? Mau sekali."
Ia pun merogoh saku baju panjang khas Indianya --ambil ponsel. Bicara-bicara.
"Lima menit lagi ia bisa tiba di sini," katanya.
Anak muda itu terus memohon agar saya mau bermalam di situ. Ada guest houseuntuk saya. Bahkan ia minta saya di situ selama satu minggu.
Yang dipanggil pun tiba.
"Masyaallah...Pak menteri...," sapanya. Kaget. "Alhamdulillah bisa bertemu justru di sini," tambahnya.


Itulah Saifullah Mubarak. Asal Solok, Sumbar. Yang kawin dengan wanita setempat itu.
Saifullah lantas memperkenalkan siapa saya --ke anak muda itu.
Saya langsung menyela: gak usah disebut-sebut siapa saya.
Tapi kata minister sudah sempat didengar anak muda itu.
"Kalau begitu silakan berdua saja pakai bahasa Indonesia," katanya.
Lalu pamit.
Masih banyak tamu yang harus ia layani.
Belum lama ini, katanya, juga ada rombongan tamu dari Makassar. Para guru besar dari universitas di Makassar.
Maka Saifullah-lah yang membawa saya 'Tour de Qadian'. Masuk-masuk ke kampung padat itu. Yang semuanya Islam. Semuanya Ahmadiyah.
Saya juga diantar ke rumah tempat Mirza Ghulam Ahmad lahir. Dari orang tuanya yang kaya raya --masih keturunan keluarga kerajaan zaman dulu.
Sebenarnya sang ayah kecewa. Kok Mirza tidak mau meneruskan usaha bapaknya. Mirza justru mendalami agama. Sangat intens.
Umur 9 tahun Mirza sudah menguasai soal agama. Ketika muda pun ia sangat sibuk mencari lawan debat. Terutama dari kalangan misionaris Kristen. Yang pusatnya di Kota Ludhiana, sekitar 120 km dari Qadian.
Mirza menjadikan Kota Ludhiana sebagai pusat kegiatan misionarisnya. Termasuk di situlah Mirza membaiat para pengikutnya. Untuk kali pertama.
Di situlah Mirza memproklamasikan prinsip-prinsip keagamaannya. Misalnya: Isa (Yesus) itu memang nabi tapi manusia biasa. Tubuh Isa tidak ditarik ke surga --sebagaimana diyakini dalam Islam maupun Kristen.
Menarik jasad ke surga itu ia anggap tidak masuk akal.
Jenazah Isa itu dikuburkan seperti manusia biasa. Entah di mana dan oleh siapa. Saat itu keadaan kacau.
Mirza terus menantang debat misionaris Kristen. Dengan topik itu. Lama-lama orang Islam juga menentang prinsipnya itu.
Suatu saat Mirza melawat jauh ke Delhi. Nama Mirza sudah terkenal pun sampai ke Delhi.
Di ibu kota itu Mirza pasang iklan: menantang siapa pun untuk berdebat terbuka.
Yang ia tantang ulama Islam. Juga ulama Kristen.
Tempat debatnya Mirza sudah menentukan: di Masjid Jama Old Delhi (DI's Way: Indah Kumuh).
Cara debatnya pun Mirza yang menentukan. Agar tidak terjadi debat kusir. Juga agar tidak ada yang salah dalam mengutip apa yang sudah diucapkan.
Ucapan semua orang di arena itu harus ditulis. Untuk dibacakan. Ada bukti --siapa mengucapkan apa.
Syarat lain: topiknya satu persatu. Satu dulu yang diperdebatankan. Tidak boleh melebar ke topik lain.
Kali pertama itu topiknya soal kematian Isa (Yesus) tadi.
Kian mendekati hari debat suasana kian panas. Terutama dari kalangan Islam.
Mereka tidak mau topik debat dibatasi. Harus juga membahas topik lain: mengapa Mirza menyebut dirinya sebagai nabi.
Padahal, menurut keyakinan Islam, nabi terakhir adalah Muhammad.
Setelah itu memang diyakini akan ada orang hebat yang diturunkan ke bumi. Di akhir zaman nanti. Tapi itu adalah Isa yang diangkat ke surga dulu. Bukan Mirza.
Pro-kontra terjadi. Kian keruh. Di hari perdebatan masa sangat besar. Sulit diatur. Berpotensi bentrok.
Polisi Inggris membubarkan mereka.
Saya juga diajak Saifullah ke masjid pertama. Yang dibangun Mirza di dekat rumah bapaknya.
Awalnya tidak ada yang mau salat. Lingkungan ini semua beragama Sikh. Atau Hindu.
"Makmum pertama Mirza adalah orang yang dibayar untuk mau ikut salat," kata Saifullah.
Lama-lama Islam berkembang di situ. Ayahnya kian khawatir anaknya tidak mau jadi pengusaha.
Di akhir hidupnya sang ayah bangga pada anaknya itu. 
Kini sudah ada masjid besar di situ. Dengan menara-menara tinggi.
Saya lantas minta diantar ke komplek pagar tembok panjang itu. Waktu saya sudah habis.
Ternyata itulah komplek makam Mirza Ghulam Ahmad. Suasana di dalamnya seperti Taman Makam Pahlawan. Luas dan indah. Dengan pohon-pohon besar dan taman yang luas.


Di ujung sana ada ribuan makam lain. Itulah para pejuang Ahmadiyah.
Yang dimaksud pejuang adalah termasuk mereka yang mau sedekah 10 persen dari penghasilannya.
Perpuluhan.
Kisah tentang 313 orang yang mempertahankan Qadian sebenarnya sangat dramatik. Tapi apakah pembaca DI's Way mau? (Dahlan Iskan)

https://www.disway.id/r/776/313-ahmadiyah

Monday, December 16, 2019

Khilafah dan Pancasila

Diskusi Pancasila dan Khilafah, Sabtu, 14 Desember 2019, Hotel Sumber Alam Garut, Jawa Barat.







Pancasila dan Khilafah Jangan Dipertentangkan, Ini Alasannya
https://gentrapriangan.com/pancasila-dan-khilafah-jangan-dipertentangkan-ini-alasannya/

Indonesia Plural, HTI dan ISIS Disebut Bisa Jadi Ancaman Bangsa https://www.liputan6.com/news/read/4134641/indonesia-plural-hti-dan-isis-disebut-bisa-jadi-ancaman-bangsa

Friday, November 8, 2019

Erfan Dahlan: Antara Muhammadiyah & Ahmadiyah


Erfan Dahlan, putra KH Ahmad Dahlan, adalah simbol dinamika keagamaan pada awal abad ke-20. Termotivasi oleh semangat revivalisme Islam, ia dikirim ke perguruan Ahmadiyah di Lahore, untuk belajar Islam. Ketika ia kembali ke Indonesia, hubungan Muhammadiyah-Ahmadiyah sangat buruk. Sebagai alumnus sekolah Ahmadiyah, di satu sisi, dan putra pendiri Muhammadiyah, di lain pihak, ia berada dalam suasana yang sulit.

Artikel ini mengungkap dinamika hubungan Muhammadiyah dengan Ahmadiyah pada 1920-an; membahas kesalahpahaman yang terus-menerus tentang afiliasi keagamaan Erfan Dahlan; dan menunjukkan kerumitan sosial akibat klaim ortodoksi-heterodoksi.

Ahmad Najib Burhani. 2019. “Torn between Muhammadiyah and Ahmadiyah in Indonesia: Discussing Erfan Dahlan’s religious affiliation and self-exile,” Indonesia and the Malay World. DOI: https://doi.org/10.1080/13639811.2019.1663678

Foto 1: Maulana Abdul Haque Vidyarthi yang adalah guru Erfan Dahlan di Lahore. Tanda tangan Erfan muncul di kanan bawah. Penggunaan foto atas izin Dr Zahid Aziz (cucu Maulana Abdul Haque Vidyarthi)



Foto 2: Erfan A. Dahlan di Ishaat Islam (Ahmadiyah) College, Lahore, British India bersama guru-guru dan kawan-kawannya.



Foto 3: Erfan Dahlan (berjas abu-abu berdiri di antara Djojosoegito dan Mirza Wali Ahmad Baig) dalam Kongres I GAI di Purwokerto tahun 1930.


Torn between Muhammadiyah and Ahmadiyah in Indonesia: Discussing Erfaan Dahlan’s religious affiliation and self-exile



The Ahmadiyah in Indonesian Islam has often been seen as a deviant Muslim group, but there was a time when it had a cordial relationship with major Muslim organisations, particularly Muhammadiyah. The Ahmadiyah was once perceived as a highly respected revivalist and modernist Muslim movement, and became a model to be emulated by other Muslims. Erfaan Dahlan is a symbol of the dynamics of this religious relationship in the first half of the 20th century. Motivated by the spirit of Islamic revivalism, he was sent to an Ahmadiyah college in Lahore, British India, during the period of friendly relationship between Muhammadiyah and Ahmadiyah. But when he returned to Indonesia that relationship had deteriorated. As an alumnus of an Ahmadiyah missionary college, on the one hand, and a son of the founder of Muhammadiyah, on the other, he was in the midst of that difficult relationship. His religious identity has been a subject of controversy among competing Muslim communities. The fact that he chose to leave his country to live in Thailand after he completed his study in Lahore further raises curiosity about his religious affiliation. This article, firstly, intends to reveal the dynamics of Muhammadiyah’s relationship with Ahmadiyah in the 1920s. Secondly, it will discuss Erfaan Dahlan’s religious relation with Muhammadiyah and Ahmadiyah, and particularly, the controversy around the alleged heresy of the Lahori Ahmadiyah and persistent misunderstanding of Erfaan Dahlan’s religious affiliation. Finally, the article shows that the case of Erfaan Dahlan reveals the discordancy in a society which categorises its people on the orthodox-heterodox spectrum.

Additional information

Acknowledgements

The author wishes to thank the family of Erfaan Dahlan in Thailand, particularly Dr Winai Dahlan, for their warm welcome and information. The Ahmadiyya community in Thailand was also helpful and generous during my fieldwork. Additional thanks to the two reviewers and to the IMW editorial team for their prompt and helpful feedback. Dr Kevin W. Fogg took time to read and suggest improvements to the draft of this article. The fieldwork in Thailand was partly supported by ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapore. A draft of this article was first presented at the symposium on ‘Religious Literature and Heritage - Cultivating Religious Culture for Nationalism’, in Bogor, Indonesia, 18–21 July 2017.

Disclosure statement

No potential conflict of interest was reported by the author(s).

Note on contributor

Ahmad Najib Burhani is a Researcher at the Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Jakarta, and currently, visiting fellow at ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapore. His research focuses on religious minorities and Islamic movements in Indonesia. Email: najib27@yahoo.com

ORCID

https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13639811.2019.1663678?journalCode=cimw20

Friday, October 4, 2019

Jalsah Salanah Qadian 2016, Satu Nubuatan Yang Tergenapi (Bagian 2-Habis)

 2017/01/23

Belum genap waktu satu tahun, perkataan yang terucap dari mulut berberkat Hudhur ini telah disempurnakan oleh Allah Ta’ala secara menakjubkan. Taufik untuk menggenapi nubuatan tersebut telah diraih oleh para Ahmadi Indonesia karena mereka telah datang untuk mengikuti Jalsah Salanah Qadian 2016 dengan menumpangi sebuah pesawat carteran khusus. 
Berdasarkan ruya tersebut, saya beranggapan bahwa akan tiba waktunya, seperti halnya orang-orang datang ke Qadian untuk mengikuti jalsah dengan mengendarai delman lalu menggunakan kendaraan bermotor yang meninggalkan jejak lubang di jalan-jalan. Saat ini kereta api mengangkut orang-orang ke Qadian. Demikian pula, akan tiba masanya nanti ketika jalsah salanah berlangsung, kita akan kerap mendengarkan pengumuman yang berbunyi “baru saja tiba sekian pesawat dari suatu negara”. Dalam pandangan dunia, hal tersebut akan sangat mengherankan, namun tidak demikian dalam pandangan Allah Ta’ala.
baca juga: 
  • No items.
Lalu beliau Hazrat Muslih Mau’ud (ra) bersabda, “saya meyakini bahwa tidak lama lagi akan tiba masanya ketika orang-orang dari berbagai penjuru dunia akan berdatangan ke Qadian dengan menumpangi pesawat terbang dan moda-moda transportasi lainnya yang sampai saat ini kitapun masih belum mengenalinya. Pada saat itu seluruh jemaat dari berbagai belahan dunia akan berkumpul di Qadian, karena Hazrat Masih Mau’ud (as) telah menerima seluruh ilham yang sama persis seperti yang didapatkan oleh Hazrat Ibrahim (as) ketika membangun Mekah. (Khutbah Jumah 10 Desember 1937).
Hazrat Khalifatul Masih Al-Khamis (atba) telah menyampaikan khutbah Jumah pada tanggal 25 Desember 2015 dari Masjid Baitul Futuh, London. Setelah menyampaikan sabda-sabda Hazrat Muslih Mau’ud (ra) seperti yang tertulis diatas, beliau ABA selanjutnya bersabda,
“Dengan karunia Allah Ta’ala kita sering sekali menyaksikan pemandangan tersebut. Seperti yang telah saya katakan, bahwa para ahmadi yang berasal dari 20 atau 25 negara, saat ini telah tiba di Qadian untuk mengikuti jalsah dengan menumpangi pesawat terbang. Sebagian dari antara mereka ada juga penduduk lokal suatu negeri yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan akan dapat berkunjung ke Qadian. Tidak lama lagi akan tiba masanya, suatu hari nanti orang-orang akan datang ke Jalsah Qadian dengan menumpangi pesawat-pesawat carteran,” (Surat Kabar Badar edisi 21 Januari 2016 Hal. 4 Kolom 2).
Belum genap waktu satu tahun, perkataan yang terucap dari mulut berberkat Hudhur ini telah disempurnakan oleh Allah Ta’ala secara menakjubkan. Taufik untuk menggenapi nubuatan tersebut telah diraih oleh para Ahmadi Indonesia karena mereka telah datang untuk mengikuti Jalsah Salanah Qadian 2016 dengan menumpangi sebuah pesawat carteran khusus. Ketika ucapan tersebut keluar dari mulut berberkat Huzur, saat itu juga Allah Ta’ala memerintahkan “Kun” (Jadilah-Pen), lalu pada waktu itu juga para malaikat mulai bekerja untuk memenuhinya. Berlomba-lomba dalam kebaikan, dengan karunia Allah Ta’ala merupakan keistimewaan Jamaah Ahmadiyah. Kita dapat mengatakan bahwa di masa yang akan datang pesawat-pesawat carteran lainnya akan terus berdatangan dan mata rantai ini akan terus meningkat setiap tahunnya. Insya Allah.
Mln. Sayuti Aziz Ahmad Sahib, Principal Jamiah Ahmadiyah Indonesia termasuk dalam rombongan pesawat tersebut dan hadir pada kesempatan Jalsah Salanah Qadian 2016. Ketika menyampaikan kesan-kesan pada sesi kedua di hari pertama Jalsah Salanah, beliau pun menyampaikan perihal penggenapan nubuatan tersebut dengan penuh rasa haru.
Semoga kita menjadi saksi mata akan tibanya masa ketika para ahmadi yang berasal dari berbagai penjuru dunia berkumpul pada Jalsah Qadian 2016. Amin.
Diterjemahkan dari Surat Kabar Mingguan Badr, Qadian 5-12 Januari 2017
Alih Bahasa : Mln. Mahmud Ahmad Wardi
Editor : Talhah Lukman Ahmad
http://warta-ahmadiyah.org/jalsah-salanah-qadian-2016-satu-nubuatan-tergenapi-bagian-2.html

Jalsah Salanah Qadian 2016, Satu Nubuatan Yang Tergenapi (Bagian 1)

 2017/01/23
10 Desember 1937, Sayyidina Hazrat Muslih Mauud (ra) menyampaikan khutbah berkenaan dengan keutamaan dan keberkatan Jalsah Salanah. Dalam khutbah tersebut, selain menjelaskan berkenaan dengan keutamaan dan keberkatan mengikuti jalsah
INDIA – Alhamdulillah, Jalsah Salanah Qadian telah terselenggara dengan sukses, 26 sampai dengan 28 Desember 2016. Sebagaimana yang anda ketahui bahwa Hazrat Masih Mau’ud (as) telah meletakkan pondasi jalsah berdasarkan wahyu dan Ilham dari Allah Ta’ala. Beliau juga telah memberi kabar ghaib bahwa suatu saat nanti Jalsah akan mengalami puncak kesuksesan dan kemajuan yang luar biasa. Beliau (as) bersabda,
“Janganlah menganggap Jalsah ini sebagai perkumpulan biasa saja. Perkara ini adalah murni mendapatkan dukungan kebenaran dan merupakan pondasi untuk meninggikan kalimah Islam. Batu pondasi Jemaat ini telah diletakkan oleh tangan Allah Ta’ala sendiri dan untuk meraih tujuan tersebut, telah dipersiapkan bangsa-bangsa yang tidak lama lagi akan saling bertemu, karena ini adalah pekerjaan Sang Maha Kuasa yang dihadapan-Nya tidak ada perkara yang mustahil. Nubuatan-nubuatan yang berkaitan dengan jalsah Hazrat Masih Mauud (as) ini tengah tergenapi dengan luar biasa dan pada masa yang akan datang pun akan terus tergenapi lebih dahsyat dari sebelumnya. Nubuatan-nubuatan ini bersifat kontinuitas yang akan terus tergenapi di masa yang akan datang dengan keagungan dan manifestasi yang baru. Insya Allah,”
baca juga: 
  • No items.
Satu keistimewaan pada Jalsah Salanah Qadian 2016 adalah keikutsertaan 183 orang ahmadi Indonesia yang datang dengan menumpangi satu pesawat khusus carteran. Pada tanggal 23 desember, sebuah pesawat khusus Malaysia Indonesia Airline (Malindo Airline) yang mengangkut ke 183 Ahmadi yang beruntung tersebut, mengudara dari Bandara Jakarta (Soekarno-Hatta-red) dan tiba pada hari itu juga pukul 16.00 sore waktu setempat di bandara Amritsar setelah terlebih dahulu transit di bandara Kuala Lumpur, Malaysia. Penerbangan berlangsung selama 8 jam. Sesuai peraturan bandara, tidak diizinkan untuk merekam video di area bandara, namun untuk mengabadikan momen-momen bersejarah ini telah dimintakan izin khusus kepada pejabat tinggi bandara. Dengan karunia Allah Ta’ala semata, disebabkan oleh statusnya yang cinta damai, sehingga pihak jemaat mendapatkan izin untuk mengabadikan video di area bandara.
Pada hari terakhir Jalsah Salanah (28/12), sebelum penayangan pidato Huzur secara live di jalsah gah, terlebih dahulu ditayangkan video dokumentasi Jalsah Salanah Qadian 2016. Pada tayangan tersebut diperlihatkan juga video singkat momen tibanya pesawat carter khusus di Amritsar yang membawa penumpang Ahmadi asal Indonesia. Pemandangan tersebut betul-betul menggugah keimanan dan sangat mengharukan. Setelah menyaksikan kemajuan Jalsah yang luar biasa tersebut dan tergenapinya nubuatan-nubuatan agung Hazrat Masih Mauud As, hati diliputi rasa takjub dan bahagia yang tak terhingga, kebahagiaan yang meluluhkan hati dan meneteskan air mata keharuan.
10 Desember 1937, Sayyidina Hazrat Muslih Mauud (ra) menyampaikan khutbah berkenaan dengan keutamaan dan keberkatan Jalsah Salanah. Dalam khutbah tersebut, selain menjelaskan berkenaan dengan keutamaan dan keberkatan mengikuti jalsah, beliua juga bersabda,
“Para hartawan masih belum masuk ke dalam jemaat kita, sedangkan sarana transportasi yang digunakan untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya, menuntut biaya yang tidak sedikit sehingga pada saat ini para ahmadi masih kesulitan untuk datang ke Qadian dari negerinya. Namun jika pada suatu masa nanti para hartawan masuk kedalam Jemaat ini dengan karunia Allah Ta’ala atau jika biaya perjalanan menjadi sangat terjangkau dan orang-orang mendapatkan berbagai macam kemudahan, maka pada saat itu orang-orang akan berdatangan (ke Qadian) dari berbagai penjuru dunia. Jika pada saatnya nanti terlahir para hartawan ahmadi di Amerika yang memiliki kemampuan untuk membiayai perjalanan (ke Qadian), maka selain ibadah haji adalah penting baginya untuk datang ke Qadian sekurang-kurangnya satu atau dua kali untuk mengikuti jalsah salanah, sebab Qadian merupakan khazanah keberkatan ilmu dan limpahan keberkatan markaz akan tercurah kepada mereka. Saya yakin, akan tiba masanya nanti orang-orang akan berdatangan kemari dari negeri-negeri yang jauh, sebagaimana terdapat satu ru’ya Hazrat Masih Mau’ud (as), di dalam ru’ya tersebut beliau melihat bahwa beliau (as) sedang berenang di udara lalu bersabda. “Dahulu Hazrat Isa (as) berjalan di air sedangkan aku tengah berenang di udara dan karunia Tuhan yang turun kepadaku lebih besar dari pada karunia yang turun kepada beliau (as),”
Diterjemahkan dari Surat Kabar Mingguan Badr, Qadian 5-12 Januari 2017
http://warta-ahmadiyah.org/jalsah-salanah-qadian-2016-satu-nubuatan-tergenapi-bagian-1.html

Hari Pertama Pertemuan Internasional Ahmadiyah di Qadian dihadiri 12.000 orang

 2017/01/04
Ulama-ulama Ahmadiyah menyampaikan ceramahnya dalam acara tersebut, diantaranya Maulana Sultan Ahmad tentang “Eksistensi Tuhan”. 
GURDASPUR – Pertemuan Jamaah Muslim Ahmadiyah Internasional yang ke 122 dimulai di kota Qadian, 26 Desember 2016.
Sesi pertama acara dipimpin oleh Maulana Muhammad Inam Ghaori (Nazir A’la Muslim Ahmadiyah India), beliau menjelaskan bahwa pondasi pertemuan ini (Jalsah Salanah) awalnya telah diletakkan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian, pendiri Jemaat Muslim Ahmadiyah, pada tahun 1891 M.
baca juga: 
  • No items.
Imam Ghaori meminta pada para peserta untuk bergiat dalam meningkatkan rohani mereka dan berusaha meningkatkan peran mereka dalam pembangunan negara mereka.
Ulama-ulama Ahmadiyah menyampaikan ceramahnya dalam acara tersebut, diantaranya Maulana Sultan Ahmad tentang “Eksistensi Tuhan”.
Sesi pertama acara Jalsah ini dihadiri lebih dari 12.000 peserta dari seluruh dunia.
Sekh Mujahid Ahmad, Sekretaris Pers Jamaah Muslim Ahmadiyah mengatakan bahwa berbagai cendekiawan dan perwakilan dari berbagai agama akan ikut hadir dalam acara ini.
Sumber : India Today 
Alih bahasa : Lisnawati
Editor: Mln. Khaeruddin Ahmad Jusmansyah
http://warta-ahmadiyah.org/hari-pertama-pertemuan-internasional-ahmadiyah-qadian-dihadiri-12-000-orang.html

Thursday, September 19, 2019

Ulama dan Buku

Jumat, 6 Desember 2013

Bandung Mawardi

5 Desember 2013, teman-teman berkumpul di Bilik Literasi, mengikuti acara Tadarus Buku. Priyadi mengisahkan buku lawas, berjudul Keindahan Bahasa Kita karangan Pulungan. Ada kesadaran berbahasa dan bersastra. Buku lawas itu cenderung memuat pelbagai hal tentang sastra, dari pantun sampai puisi bercap modern. Sebelum Tadarus Buku, aku berbagi cerita ke mereka tentang 3 orang asal Minangkabau: Haji Abdul Karim Amrullah, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), Abdul Wadud Karim Amrullah. Aku berjanji ke mereka untuk berbagi nukilan buku Haji Abdul Karim Amrullah, ulama moncer, pemimpin gerakan Kaum Muda di Minangkabau, menggerakkan pembaharuan.

Abdul Wadud Karim Amrullah dalam buku Dari Subuh Hingga Malam: Perjalanan Seorang Putra Minang Mencari Jalan Kebenaran mengisahkan sosok Haji Abdul Malik Amrullah meski secuil. Pengisahan panjang telah disampaikan oleh Hamka melalui buku berjudul Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Dua orang telah mengisahkan Haji Abdul Karim Amrullah. Aku kagum membaca dua anak berkisah bapak.


Aku ingin turut berkisah tentang Haji Abdul Karim Amrullah, melalui buku lawas Al-Qauloeccahih (Marah Intan alias Dt. Nan Bareno, Jogjakarta). Buku ini semula terbit tahun 1926 di Bukittinggi oleh Drukkerij Samaratoel Ichwan. Edisi awal mencantumkan keinginan pengarang: “Tidak boleh ditjitak dengan tidak izin saja” dan “Pengarang! Kalau saja meninggal doenja pindah kekoeasaan kepada waris saja jang menoeroet agama soepaja ma’aloem.”


Buku ini dicetak ulang lagi. Penerbit di Jogjakarta menjelaskan: “Maka dari karena boekoe Al-Qawloes-Shahih ini, moela-moela ditjitak didalam bahasa Melajoe toelisan ‘Arab sadja, sedang kebanjakan orang koerang mengerti membatja toelisan ‘Arab bahasa Melajoe itoe, lebih-lebih lagi ditanah Djawa, maka terpaksalah kita mintak kepada Toean Dr. H. Abdulkarim Amrullah itoe, agar kita dapat menjalin ini boekoe kedalam bahasa Melajoe toelisan Latijn itoe, ialah agar ‘oemoem memfa’atnja, lebih-lebih lagi ditanah Djawa…”

Buku ini dikarang oleh Haji Abdul Karim Amrullah di Padang Panjang, diterbitkan di Bukittinggi dan Jogjakarta. Aku merasa ada pola sebaran literasi agama secara beruntun, melibatkan sekian pelaku dan pelbagai kepentingan. Buku ini tentu memiliki pengaruh besar di Sumatra dan Jawa saat ada reaksi atas keberadaan penganut Ahmadiyah. Apakah buku ini pernah dipakai sebagai rujukan saat para ahli menjelaskan tentang konflik berkaitan Ahmadiyah sekian tahun silam? Aku belum tahu. Apakah para pembaca buku-buku Hamka memerlukan juga membaca dan mengoleksi buku karangan Haji Abdul Karim Amrullah? Apakah pengarang juga memberi pengaruh ke Hamka dalam urusan kepenulisan dan pemikiran agama? Wah! Aku terlalu ingin mengerti, berharap bisa merekonstruksi situasi literasi dan keberagamaan di masa 1920-an.

Haji Abdul Karim Amrullah menulis tentang pengakuan Goelam Ahmad sebagai nabi: “Sedang Goelam Ahmad sendiri sementara hidoepnja soedah djoega mengirim soerat seroeannja kepada ‘oelama-‘oelama di Mesir jang mana mereka menoelak soeratnja itoe, seperti sajjidinan Moehammad Rasjid Ridha pengarang Al-Manar dan Moestafa Kamil almarhoem dan lain-lain oelama, akan tetapi adakah dia mengakoe dirinja nabi atau rasoel atau tidak maka tidaklah dapat kita keterangannja jang sahih.”


Perdebatan tentang Ahmadiyah masih berlangsung sampai sekarang. Aku tak terlalu mendalami sumber-sumber perdebatan atau permusuhan, berkaitan kehadiran dan perkembangan Ahmadiyah di Indonesia. Aku cuma tahu bahwa Ahmadiyah pernah membuat sekolah-sekolah di Jawa. H.O.S. Tjokroaminoto dan sekian tokoh agama memiliki hubungan dengan orang-orang Ahmadiyah bersemangat toleransi. Aku tak ingin terlibat urusan pelik. Inginku, beragama tak perlu saling bermusuhan dan adu kekerasan.

Penilaian Haji Abdul Karim Amrullah memang tegas dan lugas. Aku menduga ada ekspresi tegang saat penulisan buku. Bagaimana para pembaca menanggapai keterangan dan argumentasi dari Haji Abdul Karim Amrullah? Aku tentu tak bisa kembali ke masa 1920-an. Aku berharap kelak ada orang mau menerangkan, memberikan pemahaman sejarah Islam di Indonesia. Aku jadi ingat buku terbaru Ricklef, Mengislamkan Jawa, 2013. Aku harus belajar sejarah Islam di Sumatra dan Jawa agar tak bodoh selama seratus tahun. Memalukan!


Haji Abdul Karim Amrullah menulis: “Maka sekarang soedah njata benar bertemoe tanda itoe pada Goelam Ahmad dan kaoem Ahmadi jaitoe mendatangkan wahi-wahi palsoe akan penambah-nambah Qoeran dan hadis-Hadis penghoeloe kita, jang mana wahi-wahi itoe semata-mata dari pada sjetan hantoe jang diperdapatnja didalam pertapaannja diatas goenoeng didalam goea-goea batoe setjara ‘adatnja Hindoe…” Aku tak boleh membaca-menerima konklusi ini tanpa lacak keterangan berkaitan konteks model dakwah dan anutan paham dari umat Islam di Indonesia.

Buku-buku agama dari masa lalu sering menimbulkan penasaran. Para ulama rajin menulis buku, berdakwah dengan huruf-huruf tertulis. Halaman-halaman buku adalah perantaraan untuk menjumpai umat. Dakwah berkaitan melek-aksara, pembesaran selebrasi literasi. Sekarang, ulama masih rajin menulis? Aku enggan menjawab ketimbang mendapat tuduhan-tuduhan aneh. Aku selalu berharapan, para ulama rajin menulis buku tapi “bermutu”. Aku sering melihat buku-buku agama di pelbagai toko buku kurang memberi gairah untuk mengajak publik mempelajari agama. Begitu.

https://bandungmawardi.wordpress.com//?s=ahmadi&search=Lanjut

Buku dan Harmoni

Kamis, 24 Oktober 2013

Bandung Mawardi

Hidup di kamar, ruang seminar, hotel mirip jeda aneh. 17-20 Oktober, aku mengikuti Borobudur Writers & Cultural Festival 2013, bertema Arus Balik: Memori Rempah dan Bahari Nusantara. Aku mengikuti seminar demi seminar, berbekal ingatan dan jaket untuk menahan dingin. Para pembicara mengajukan penjelasan-penjelasan apik, menggugah imajinasi untuk mengerti sejarah Nusantara.

Dua lelaki bercerita tentang laut. Mereka mengisahkan kehidupan di darat dan laut, menjalani pelbagai peristiwa dengan ritual-ritual. Iwan mengisahkan Mandar. Bona mengisahkan Lamalera. Aku duduk gelisah, mendapati kerinduan beragama secara luwes dan harmoni. Di Mandar, Islam merasuk tanpa klaim-klaim kemurnian agama. Di Lamalera, Katolik bisa meresap dalam kehidupan, mengajak orang menjalani hidup sebagai peribadatan. Aku pun menginginkan penjelasan ke mereka, mengenai kehadiran agama di Mandar dan Lamalera. Agama langit bisa dialami sebagai agama bahari.

Imajinasiku mengarah ke peristiwa kehadiran pendeta, ulama tentu menggunakan kapal. Mereka datang membawa kitab suci, mendakwahkan agama. Kapal jadi alat transportasi penting untuk melintasi samudra, selat, sungai. Aku mendapat penjelasan apik dan gamblang. Mereka hidup dalam harmoni, berbeda dengan lakon-lakon mutakhir: agama dijadikan dalih berkonflik.


Pulang dari Borobudur, aku membaca kembali buku Da’watoel ‘Amal karangan Maulana Muhammad Ali. Buku ini tentu bisa sampai ke Nusantara menggunakan kapal. Oemar Said Tjokroaminoto berperan sebagai penerjemah buku, dari bahasa Inggris ke bahasa Melayu. Tokoh kondang dari Sarikat Islam menerjemahkan buku dari pimpinan Ahmadiyah. Buku terjemahan diterbitkan oleh Mirza Wali Ahmad Baig, mubaligh Ahmadiyah di Jogjakarta.

Aku tak pernah menduga jika Oemar Said Tjokroaminoto adalah penerjemah buku. Informasi tentang Oemar Said Tjokroaminoto sering berurusan dengan orasi dan penulisan buku-buku agama. Buku paling terkenal berjudul Islam dan Sosialisme, 1924. Aku harus rajin belajar agar terhindar dari kebodohan. Amin. Buku Da’watoel ‘Amal membuktikan ada harmoni di masa silam. Aku kagum dan terkejut. Oh!

Penjelasan tentang kehadiran buku terjemahan ini memerlukan pengakuan terbuka, dari urusan isi buku sampai misi penerbitan di Indonesia. Oemar Said Tjokroaminoto menjelaskan: “Dengen senang hati kita mengaboelkan permintaannja saudara Mirza Wali Ahmad Baig, oetoesan Pergerakan Ahmadijah di Djokdjakarta, akan menjalin karangan terseboet di atas ini dalam bahasa Melajoe. Kesoekaan kita dengan ichlas mengaboelkan permintaan itoe teroetama sekali ialah kita pandang sebagai satoe tanda silatoerrahmi antara saudara-saudara kaoem Ahmadi dengan saudara-saudara kaoem Moeslimin di negeri toempah-darah kita, jang tentang Islam dan keislaman ada bertoenggal azas, bertoenggal faham, bertoenggal fikiran dan bertoenggal haloean dengan jang bertanda di bawah ini.” Aku mengerti saat membaca kalimat-kalimat dari Oemar Said Tjokroaminoto. Ada pesan penting: buku menjadi ejawantah harmoni dan persaudaraan.

Aku terlambat membaca buku ini jika mengingat adegan-adegan konflik dan kekerasan berdalih agama. Orang-orang membawa pentungan dan berteriak melafalkan nama Tuhan. Adegan pemukulan, pengusiran, pembakaran rumah, pembunuhan terjadi akibat klaim paling benar dalam beragama. Buku ini bisa mengingatkan bahwa ada harmoni di masa lalu meski berbeda paham. Oemar Said Tjokroaminoto menjadi teladan, berada di barisan mencipta harmoni di kalangan Islam.

Buku Da’watoel ‘Amal harus aku perlihatkan ke para ulama, intelektual, politisi…. Buku ini bakal membuat mereka insaf, menghindari konflik dan mengadakan harmoni. Perbedaan paham atau tafsir tak perlu melukai atau menghinakan. Aku jadi ingin mengutip sepenggal penjelasan tentang Islam: “Di kelak kemoedian hari mata-hari terbit dari Barat, begitoelah disabdakan oleh Nabi kita jang soetji. Ternjatalah jang dimaksoedkan dengan mata-hari jaitoe ‘mata-hari Islam’ jang moela-moela pertama terbit di Timoer, dan telah memenoehi negeri-negeri Timoer dengan tjhajanja jang gilang-gemilang. Negeri Barat poen lebih doeloe telah menerima tjahaja batin, sebagai djoega kelak kemoedian hari menerima tjahaja lahir, dan tjahaja batin itoe telah memenoehi negeri Barat ialah kebetoelan pada kalanja Islam soedah kehilangan sebanjak-banjaknja dari kekoeasannja perkara doenia.” Penjelasan puitis, kompetensi dan selera bahasa dari Oemar Said Tjokroaminoto pasti memberi pengaruh dari kehadiran kata-kata. Aku kagum, kagum, kagum.

Di masa lalu, bacaan-bacaan mengajak orang beragama secara indah. Sekarang, buku-buku berlabel agama justru bisa merangsang permusuhan, perang, konflik, diskriminasi. Buku itu simbol harmoni, mengisahkan sejarah persaudaraan dengan keinsafan. Agenda literasi bergerak bersama semaian harmoni. Wah!


Aku perlu menghadirkan kutipan iklan di sampul belakang: “Apakah Toean soedah berlangganan pada soerat kabar bahasa Inggris bernama THE LIGHT? Kalau beloem, soenggoeh Toean kehilangan perdjamoean jang sedap rasanja pada tiap-tiap empat belas hari sekali. sebagaimana namanja ada menoendjoekkan, maka soerat kabar jang terseboet itoe menjiar-njiari dan menerang-nerangi dengan tjahaja Islam jang dejrnih.” THE LIGHT diterbitkan oleh Mirza Wali Ahmad Baig. Aku belum mengenal dan bercakap dengan Mirza Wali Ahmad Baig, manusia cerdas dan beriman, memiliki misi literasi dalam dakwah. Ampuh!

Buku ini pantas dibaca bersama saat lakon perbukuan agama di Indonesia jarang mengurusi harmoni. Begitu.

https://bandungmawardi.wordpress.com/tag/dawatul-amal/

Wednesday, September 18, 2019

TOKOH Oemar Said Tjokroaminoto (1882-1934)

H.O.S. Tjokroaminoto, dianggap sebagai orang pertama yang mengenalkan ahmadiyah di Indonesia
Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat. (Trilogi Tjokroaminoto)
Lahir di Bukur, Madiun pada tanggal 6 Agustus 1882, dan wafat di Yogyakarta pada tanggal 17 Desember 1934. Diangkat sebagai Pahlawan Nasional karena kepeloporannya dalam pergerakan dan sebagai guru para pemimpin-pemimpin besar di Indonesia.
Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai Bupati Ponorogo.
Beliau tamat OSVIA (Sekolah Paugrek Praja) Magelang tahun 1902. Lalu bermukim di Surabaya. Di kota buaya inilah beliau masuk Syarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh H. Samanhudi (1878-1956) pada tanggal 5 Oktober1905 di Solo. Pada tahun 1911 SDI konggres di Surabaya, atas usul SDI cabang Surabaya di bawah pimpinan beliau, SDI dirubah nama dan anggaran dasarnya menjadi Sarekat Islam (SI), dan Tjokroaminoto menjadi Ketua Central Sarekat Islam yang pertama. SI mengadakan kongres pertamanya pada tanggal 26 Januari 1913 di Surabaya, yang mendapat kunjungan puluhan ribu orang. Kristalisasi SDI menjadi SI dan perkembangannya yang pesat ini menakutkan pemerintah kolonial Belanda. Untuk menghemat laju perkembangan SI pemerintah kolonial menugaskan “Sayid Utsman bin Agil bin Yahya” untuk berfatwa. Fatwanya antara lain melarang Quran diterjemahkan dan ditafsirkan, dan khotbah harus dalam bahasa Arab.
Tjokroaminoto mengenal betul Ahmadiyah Lahore. Beliau diperkirakan telah berbai’at kepada Maulana Muhammad Ali, Presiden Ahmadiyya Anjuman Isaha’ati Islam Lahore (AAIIL) melalui surat, jauh sebelum GAI didirikan pada tahun 1928. Bahkan, sebelum dua orang muballigh Ahmadiyah, Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad datang di Yogyakarta pada tahun 1924.
Pada tahun 1921, Cokroaminoto selaku President Central Syarekat Islam mengundang mubaligh Ahmadiyya Anjuman Isha’ati Islam, Lahore, yaitu Khawaja Kamaluddin untuk ceramah agama Islam di Surabaya. Ceramah Khawaja Kamaluddin di kemudian hari ditulis dan diterbitkan dengan judul The Gospel of Action and The Secret of Existence. Ceramah ini kemudian diterjemahkan dalam bahasa Belanda dengan judul Het Evangelie van Den Daad. Buku ini  “berfaedah sekali bagi semua orang Islam,” kata Bung Karno dalam surat dari Endeh, 25 November 1936. (Tahun 1960-an H.M. Bachrun menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Rahasia Hidup).
Tjokroaminoto juga menerjemahkan dan menerbitkan buku Da’watole Amal yang berisi seruan dakwah untuk bergabung dalam Ahmadiyah. Gerakan Penyiaran Islam yang didirikan oleh Hazart Mirza Ghulam Ahmad Mujaddid abad ke 14 Hijriah (pada sampul buku disebutkan karangan Maulana Muhammad Ali, Presiden Ahmadiyya Anjuman Isha’ati Islam, dan diterjemahkan oleh Oemar Said Tjokroaminoto, President Central Sarekat Islam, dan dicetak di Percetakan Moehammadijah).
Karya terjemahan beliau lainnya yang menghebohkan ialah terjemahan The Holy Quran: Arabic Text, Translation and Commutary karya Maulana Muhammad Ali ke dalam bahasa Melayu. Beliau mulai menerjemahkan pada tahun 1926, setelah berulangkali bertemu Mirza Wali Ahmad Baig, muballigh Ahmadiyah di Yogyakarta. Tatkala beliau sebagai wakil SI bersama K.H. Mas Mansyur dari Muhammadiyah berangkat ke Mekah untuk menghadiri Mu’tamar ‘Alam Islami, di kapal beliau tetap melakukan tugas suci menerjemahkan Tafsir Qur’an yang kini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia itu. Oleh karena itu tatkala Konggres SI di Yogyakarta pada bulan Januari 1928 Tafsir Quran Suci karya beliau itu telah siap cetak jilid I sampai dengan III yang berisi Juz ‘Amma.
Majalah TEMPO edisi 21 September 1974, Th. IV No. 29 dalam laporannya yang berjudul “Ahmadiyah, Sebuah Titik Yang Dilupa” menulis:
“Di forum ini juga dibicarakan Tafsir Quran yang sedang dikerjakan Tjokroaminoto. MR. A.K. Pringgodigdo, dalam bukunya Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, ada menyatakan bahwa lantaran dari bagian-bagian pertama Tafsir itu ternyata hanya saduran dari kaum Lahore, timbullah di forum SI itu perlwanan yang keras. Maka tampillah Agoes Salim: beliau ini menerangkan bahwa dari segala jenis tafsir, tafisr Lahorelah yang paling baik untuk memberi kepuasan kepada pemuda-pemuda Indonesia yang terpelajar.
Tapi wibawa dua tokoh besar itu saja rupanya tak cukup; perlawanan baru mereka setelah diambil keputusan untuk menunda penerbitan selanjutntya sampai Majlis Ulama mengambil ketentuan. Dalam ketentuan itu diambil dalam rapat Majlis tahun itu juga di Kediri. Isinya; terjemahan boleh diteruskan asal dilakukan dengan pengawasan Majlis. Dalam forum ini Tjokro tampil bersama Mirza Wali Ahmad Baig, sang muballigh Lahore. Tetapi reaksi kaum ulama sudah tentu belum selesai.
Konggres Muhammadiyah diadakan tahun itu juga di tempat yang sama. Sidang, selain mencela keras disiplin parta SI yang dikenakan kepada anggota organisasi agama non-politik seperti Muhammadiyah, juga menyatakan tidak bisa membenarkan tafsir Quran karangan Maulana Muhammad Ali tersebut. Alasan; tidak cocok dengan ajaran Islam yang sesungguhnya.
Maka naik kudalah Tjokroaminoto. Tokoh ini dengan segera datang ke Yogya, bersedia menghadapi sebuah debat terbuka mengenai itu Tafsir yang heboh. Tokoh-tokoh lanjut usia yang berada di sana waktu itu, boleh menceritakan jalannya peristiwa begini: Pertemuan diadakan di Pakualam, sebagian besar dihadiri orang-orang Muhammadiyah. Alangkah ributnya hadirin waktu itu. Sangat ribut, sampai-sampai pidato tokoh tua ini tidak terdengar. Maka naiklah Tjokro –kalau tidak salah ke atas meja- sembari berseru dengan suaranya yang dahsyat: “Ini Tjokroaminoto, keturunan ksatria! Mau ribut, coba ribut!” maka hadirinpun heninglah … Namun tak ada percebatan. Dan tafsir itu akhirnya terbit pada tahun itu juga,1928. Orang bisa melihatnya sekarang di Musium-musium baru jilid I-III, berisi juz amma atau bagian ke 30. Di dalam kata pengantar bisa pula dibaca tulisan Agus Salim yang dengan semangat membela Tafsir itu” (hlm. 46-47).

Sumber: http://ahmadiyah.org/oemar-tjokroaminoto/