Wednesday, August 31, 2011

Anak-anak (Menjadi) Perantau Ahmadiyah

Anak-anak (Menjadi) Perantau Ahmadiyah

Bagaimana mereka diusir dari kampung halaman dan besar sebagai pengungsi?

Firdaus Mubarik

Firdaus Mubarik, Seorang jemaaah Ahmadiyah, datang ke Pancor dan Mataram, lantas Tasikmalaya, mengikuti apa yang pernah dialami anak-anak pengungsi ini.

Firdaus Mubarik

PADA SIANG RABU, 13 Februari 2002, Ruhiyatun Fajri terkejut selagi melintasi kota Selong. Di persimpangan pertama, dia melihat satu ruko hancur. Ruko itu milik Awaluddin. Atun, nama panggilan Ruhiyatun, berteman karib dengan Ema dan Ica, anak Awaluddin. Pintu depan rumah toko (ruko) rusak. Barang-barangnya berserakan. Pita kuning polisi terbentang di depan ruko. Kantor kepolisian resort Lombok Timur berjarak hanya 50 meter dari arah utara.

Atun pulang dari sekolah, biasa jalan kaki melewati Selong, menuju rumah orangtuanya, terletak di ujung kampung Sawing. Atun kelas dua di Sekolah Menengah Pertama (SMP) 2 Selong. Dia segera mempercepat langkah. Namun pikirannya tertuju terus pada toko plus rumah kedua sahabatnya itu.

Kampung Sawing berdekatan dengan kampung kampung Gamang, limaratus meter dari rumahnya. Atun mengenal beberapa teman di sana, salah satunya keluarga Hammatul Hayyi

Hayyi malam sebelumnya menginap di rumah Malik Saifur Rahman, saudara dekat dan teman sekolah. Rumah Hayyi berjarak 30 meter dari rumah Malik. Pagi Rabu itu Hayyi dan Malik berangkat bersama. Malik menyebut bibi pada Hayyi dari hubungan darah mereka meski umurnya sepantar.

Di sekolah, Hayyi mendengar beberapa anak menggunjing. Tampaknya ada yang tahu dia menginap. Hayyi sebal mendengar teman-temannya berbisik, khawatir mencibir dirinya sebagai anak Ahmadi. Dia tak suka sekaligus takut.

Hayyi dan Malik sudah ditunggu keluarganya di depan sekolah. Mereka tak langsung pulang, alih-alih diajak mengungsi ke Mapolres. Itu hari terakhir mereka melihat rumah.

TIGARATUS METER SEBELAH timur dari kantor bupati Lombok Timur, berdiri masjid Khilafah, pusat aktivitas Ahmadiyah Pancor. Biasanya anak-anak jemaah Ahmadiyah bertemu di masjid ini. Pada 2001, masjid direnovasi, dibikin dua lantai, guna menampung jumlah jamaah yang terus bertambah. Perhitungannya, masjid baru akan menampung hingga 500 orang. Tahun pertama itu baru selesai setengah. Di seberang masjid, terdapat rumah Syahdan, bupati Lombok Timur.

Duaratus meter di belakang masjid, dihela sawah, dengan jalan gang yang sedikit memutar, berdiri rumah ulama Azhar Izuddin. Ia sebuah bangunan kotak 8×6 meter persegi. Masing-masing anak Azhar yang berkeluarga tinggal dalam satu kamar. Keluarga Muhammad Irwan, ayah Irma Nurmayanti, menempati kamar belakang, terpisah rumah induk.

Malam sebelumnya, Azhar dan pengurus Ahmadiyah bicara soal penyerangan terhadap jemaah di masjid Khilafah. Rumah Rehanuddin yang pertama kali dirusak. Jaraknya hanya 20 meter dari rumah Azhar. Kedua rumah itu dalam satu gang.

Keluarga Azhar yakin rumahnya takkan diserang. Azhar ulama yang cukup disegani. Badannya tinggi besar, kulit hitam, janggut putih. Dia punya wibawa.

Sore itu Rehanuddin datang dari kantor kepolisian. Dia mengajak keluarga Azhar untuk mengungsi. Rehan khawatir penyerangan itu akan berlanjut pada rumah lain. Tapi permintaannya ditolak. Bahkan beberapa jemaah ikut mengungsi ke rumah Azhar. Mereka menganggap rumah tersebut paling aman untuk berlindung.

Sebelum maghrib, seorang polisi bernama Sabri datang. Dia satu-satunya Ahmadi dengan profesi polisi di pulau Lombok. Sabri hendak ikut shalat berjamaah. Dia juga ingin melihat kondisi keluarga Azhar. Mereka memutuskan shalat maghrib sekalian isya. Azhar memimpin shalat.

Sekitar pukul 19.00, melingkar di ruang utama, keluarga Azhar makan bersama. Irma Nurmayanti duduk bersama keluarga. Dia terlihat senang.

Tiba-tiba, suara dentingan batu beradu atap mengagetkan mereka. Sebagian atap dari lembaran seng membikin suara makin keras. Lemparan pertama dari arah sawah.

Irma panik. Orang-orang terdiam. Sabri keluar dengan gesit. Naluri polisi mendorongnya segera bertindak.

DOR!

Sabri melayangkan tembakan peringatan ke udara. Hening sejenak.

Lemparan batu muncul dari arah selatan. Bertubi-tubi. Suara benturannya kian kencang. Orang-orang panik. Mereka berhamburan. Mencari perlindungan.

Irma diseret orangtuanya ke satu kamar belakang. Dalam gelap, Irma melihat kamar itu sudah penuh dengan saudaranya. Beberapa paman dan sepupu meringkuk di atas kasur, yang lain di bawah ranjang. Irma duduk bersandar di dinding sisi pintu.

Seluruh penerangan segera padam. Irma ketakutan. Dia menangis tanpa bersuara. Dia sulit tidur. Sampai pukul 2 dini hari, suara lemparan batu terus berdentam.

MARKAS KEPOLISIAN RESORT Lombok Timur terletak di timur kota. Posisinya di sisi barat jalan mendaki. Bagian depan dibatasi pagar di atas tanggul. Taman rumput mengisi halaman depan. Luas gedung sekitar 30×15 meter persegi. Sebuah lorong di tengah-tengah membagi ruangan besar.

Di belakang kantor berdiri sebuah bangunan. Ada tiga buah kamar mandi di sisi kanan. Tangga setinggi lima meter melingkari teras. Di atas dinding depan tertulis “Gedung Dharma Wanita.”

Gedung serbaguna itu kosong melompong. Namun selama dua minggu gedung ini penuh dengan jemaah Ahmadiyah sejak serangan terhadap rumah Azhar Izuddin. Tigaratus orang berjejal. Kadang bertambah dan berkurang. Pengungsian bergelombang ini menimbulkan kesan campur aduk bagi anak-anak.

Ruhiyatun Fajri menangis ketika ikut mengungsi. Namun, tak berlangsung lama, ia terhibur begitu bertemu semua teman baiknya. Atun gadis berambut pendek sebahu. Dia periang dan mudah bergaul.

Bersama temannya di pengungsian, dia bermain dari pagi hingga sore. Kesempatan seperti ini jarang dia dapatkan. Biasanya anak-anak jemaah Ahmadiyah hanya bertemu sore atau akhir pekan saat berkumpul di masjid Khilafah.

Keriangan Atun lenyap menjelang tidur. Bangsal gedung terlalu kecil untuk seluruh pengungsi. Mereka tidur beralaskan tikar tipis. Semua orang berusaha mencari posisi nyaman. Tidur bedempetan. Sebagai gadis beranjak dewasa, Atun merasa kurang memiliki privasi, harus tidur campur bersama pengungsi lelaki.

Mereka juga antri mandi, hingga berjam-jam, giliran memakai tiga kamar mandi. Akhirnya, polisi mengijinkan kamar mandi di dalam kantor.

Bagi orang tua, kejadian pengusiran sulit diterima. Mereka tahu banyak orang sebelumnya benci dengan jemaah Ahmadiyah. Sudah sering kejadian ada orang Ahmadiyah diasingkan dari keluarga, bahkan diarak keliling kota oleh saudara sendiri.

Tapi tak pernah mereka diminta mengungsi. Rumah hancur. Harta ludes. Inilah pertama kalinya mereka menghadapi gelombang kekerasan secara massal dan lebih realistik.

SATU PERSATU JEMAAH Ahmadiyah berkumpul di Mapolres. Semuanya dijemput dengan alasan sama: demi keamanan. Anggota polisi dan tentara berjanji “akan melakukan pengamanan maksimal terhadap rumah-rumah.” Beberapa pengungsi memberikan kunci rumah dan persediaan makanan kepada petugas jaga ketika diminta pergi.

Menurut Khaerudin, selama di Mapolres, mereka dilarang keluar. Mereka tahu situasi di kota dan rumah-rumah mereka dari kerabat dan teman yang berkunjung.

Khaerudin kakak tertua Malik Saifur Rahman. Rumah mereka bersisian. Awalnya bangunan yang sama. Khaeruddin membuat sekat setelah dia menikah. Dia juru pungut rutin anggota Ahmadiyah cabang Pancor.

Dia memperkirakan rumahnya dirusak pada Jumat malam. Serangan-serangan lebih sering terjadi di malam hari saat penghuni sudah mengungsi. Malam itu dia melihat cahaya merah dari arah kampung. Bunyi suara gemeretak atap-atap rumah dari bambu yang terbakar terdengar keras. Khaerudin membayangkan rumah tetangganya, juga seorang Ahmadi, dibakar. Dia yakin rumahnya juga tinggal puing.

JUMAAT, 15 SEPTEMBER pukul 2 dini hari. Polisi membangunkan sepuluh orang. Di antaranya Musifudin, Azhar Izuddin, Syapi’in, Mahmuludin, Sulaiman Damanik, Arifin Faruk, Awaluddin dan Amin Agus. Mereka pengurus Ahmadiyah cabang Pancor. Petugas kepolisian Lombok Timur menyediakan tempat baru untuk mereka.

Amin Agus tak membawa keluarganya. Alasannya, “Saya kan orang pendatang di sini, jadi tak usahlah bawa keluarga.” Ibu mertua Amin memiliki garis darah dengan pendiri Nahdlatul Wathan. Amin berpikir istri dan anaknya lebih aman bersama keluarga mereka.

Nahdlatul Wathan organisasi Islam terbesar dan terkuat di pulau Lombok. Pusatnya di kecamatan Pancor, Selong, tempat sebuah pesantren besar bediri satu blok dari masjid Khilafah. Beberapa keluarga Ahmadi termasuk mertua Amin adalah keluarga besar pendiri Nahdlatul Wathan.

Malam itu, orang-orang dalam daftar khusus dipindahkan ke Markas Komando Distrik Militer Lombok Timur. Di lokasi baru ini mereka mendapat tempat lebih baik. Masing-masing keluarga diberi sebuah kamar kecil. Mereka mendapat kasur, bantal dan selimut. Suatu kemewahan untuk situasi genting saat itu.

Namun penjagaan sangat ketat. Mereka dilarang berkeliaran apalagi keluar dari areal gedung. Musifudin dan Azhar Izuddin gelisah. Sudah dua hari mereka tak mendengar kabar anak-istri di Mapolres. Amin Agus sudah pulang diam-diam ke Mapolres sehari sebelumnya namun juga tak ada kabar darinya. Jarak Kodim dan Maporles hanya 10 menit dengan berjalan kaki.

Musifudin dan Ahzar minta ijin pulang ke Mapolres. Penjaga memberi ijin. Mereka terkejut. Selama ini mereka rupanya masuk sel isolasi, macam tahanan khusus politik.

Pengasingan macam ini sudah direncanakan matang. Isolasi informasi antara Kodim dan Mapolres juga disengaja.

Ketika hari-hari tanpa pengurus dan ulama, jemaah Ahmadiyah mendapatkan tekanan psikologis. Suatu hari Jumat dan Sabtu, Kapolres Lombok Timur, Wiguna mengumpulkan pengungsi laki-laki di mushala. Wiguna memberikan kabar, sebagai pemanas, seluruh pengurus Ahmadiyah di Kodim sudah menyatakan keluar dari Ahmadiyah.

Dia bertanya, ”Siapa yang ingin tinggal di Lombok Timur?”

Beberapa orang pun mengacungkan jari. Pikir mereka, ini cuma soal pilihan untuk tetap ingin tinggal di kampung. Peristiwa ini terjadi beberapa kali.

Anwar Tampubolon menyela, “Sudah, Pak, jangan menjebak kami. Tanyakan saja siapa yang ingin keluar dari Ahmadiyah?!”

Tampubolon pria berbadan gempal. Gaya bicaranya meledak-ledak, khas orang Medan. Dia termasuk orang pertama, bersama pengacara dan seorang sopir, yang langsung dikirim dari Parung, Bogor, basis Jemaah Ahmadiyah Indonesia, untuk menemani para pengungsi. Tampubolon bukan pengurus teras tapi gayanya dinilai tepat menghadapi karakter orang Lombok yang keras.

Wiguna memberikan dua opsi: keluar dari Ahmadiyah atau dari Lombok Timur. Secara halus, ini pengusiran terhadap jemaah Ahmadiyah.

”Aparat kami akan mengantarkan sampai perbatasan. Jika ke barat (Mataram) akan kami antar, jika ke timur (Sumbawa) akan kami antar sampai pelabuhan.”

Setelah malam itu, Ruhiyatun Fajri melihat perilaku ayahnya yang ganjil, sulit berkomunikasi serta makan seperti kesetanan. Nasi atau mie instan dilahap dengan cepat, langsung pakai tangan dan dijejalkan ke mulut.

Ingatan terhadap ayahnya ini membuat hati Atun hancur. Kelak, Atun sungkan bicara soal masa-masa sulit tersebut.

HULTIYA Fatimah duduk di baris kedua banku mobil colt L300. Keluarganya ikut. Fatimah anak kedelapan Musifudin. Dia kakak kelas Irma Nurmayanti, cucu ulama Azhar Izuddin. Rumah Azhar hancur dilempari batu-batu, benteng terakhir perlindungan jemaah Ahmadiyah cabang Pancor.

Postur Fatimah kecil. Kulitnya coklat. Wajahnya tirus. Gigi atasnya terlihat menonjol saat berbicara. Fatimah periang. Bicaranya cepat dengan gaya argumentatif. Susah membuatnya diam jika mulai bicara.

Sebelas mobil keluar dengan perlahan dari Mapolres, berbelok ke arah selatan.

Fatimah terus berbicara. Dia sibuk memperhatikan suasana kota yang baru dilihatnya sejak mengungsi. Mobilnya melewati taman kota menuju arah timur. Ini jalur yang dia lewati jika berangkat ke masjid Khilafah.

Begitu mobil mendekat masjid – di kiri jalan – dia melongok, bersaing dengan para penumpang. Tujuannya satu: sebuah masjid yang sekian lama menjadi tempat mereka beribadah, tempat bermain, tempat keceriaan. Fatimah kaget. Dia melihat bangunan masjid porak-poranda.

Dia bisa menerima rumah dan toko milik orangtuanya rusak. Tak sedikit pun dia menangis selama seminggu di pengungsian. Namun dia tak kuasa melihat masjid hancur. “Saya lebih sedih masjid dirusak daripada rumah saya,” katanya.

Sisa perjalanan itu Fatimah irit bicara. Dia lebih banyak diam. Mobil meluncur cepat.

PULAU LOMBOK TERMASUK salah satu sentra program transmigrasi di Indonesia. Wilayah yang tandus membuat banyak penduduknya memilih merantau. Di sini setiap tahun program transmigrasi dijalankan. Ada sebuah gedung khusus tempat para calon transmigran dilatih selama seminggu. Gedung ini berisi empat bangsal. Luasnya sekira 30×10 meter persegi. Satu bangunan di bagian barat berfungsi rumah penjaga dan gudang. Penduduk menyebut gedung traransmigrasi ini sebagai Transito.

Selama pengusiran jemaah Ahmadiyah, bangsal-bangsal Transito digunakan tempat penampungan. Para pengungsi Ahmadiyah diberi ultimatum dua minggu untuk mencari tempat tinggal baru.

Para pengurus Ahmadiyah dari Jakarta segera dikirim untuk mendampingi jemaah Ahmadiyah Lombok. Pemda Mataram tak punya kepentingan meminta orang-orang Ahmadiyah pindah keyakinan. Agus Mubarik salah satu orang yang dikirim dari Jakarta pada gelombang kedua. Dia turut mendampingi Abdul Basith, Amir Nasional Jemaah Ahmadiyah Indonesia. Mubarik masih kemenakan luar Basith. Keluarga istrinya salah satu keluarga terpenting di lingkaran pusat Ahmadiyah. Mubarik dalam beberapa periode membantu Sekertaris Umur Kharijiah, divisi humas Ahmadiyah Indonesia. Sejak tahun 2008 ia menjabat posisi tersebut.

Mubarik mengatakan, fokus pekerjannya saat itu “bagaimana menyelamatkan pendidikan anak-anak pengungsi serta memberikan kehidupan yang layak bagi keluarga pengungsi.”

Berita penyerangan di Pancor dan Selong masih hangat di pulau Lombok. Para pengurus berpikir sekolah-sekolah takkan mau menerima mereka usai pengusiran. Padahal ujian sekolah makin dekat menjelang akhir September 2002. Abdul Basith memutuskan anak-anak dipindahkan ke lokasi lain untuk bersekolah.

Ruhiyatun Fajri alias Atun, kelas dua di SMP 2 Selong, mendengar kabar kepindahan itu. Beritanya beredar cepat. Sepengetahuan Atun, mereka akan dikirim ke pulau Jawa.

Mereka akan ditempatkan bersama-sama di satu asrama. Atun menyambut gembira. Dia membayangkan tentu menyenangkan melihat kota besar. Apalagi dia akan bersama teman-temannya.

Tak semua anak sekolah diijinkan ikut oleh orangtua. Kelas 4 SD jadi batas minimal. Namun beberapa siswa kelas 3 bersikeras. Anak-anak sungkan berpisah dengan teman sebayanya.

Pagi 29 September 2002, Atun berangkat ke pasar Cakra, 300 meter dari Transito, bersama ibunya untuk membeli beberapa pakaian. Sewaktu mengungsi, orangtuanya sedikit bawa bekal pakaian buat Atun. Ibunya khusus membeli buah-buahan berupa mangga dan jeruk.

Siangnya, 48 pengungsi diberangkatkan dengan bus Safari Darma Raya, sebuah armada besar yang melayani jalur Nusa Tenggara-Jakarta. Badan bus ini ini memiliki ciri khas berupa pemandangan satwa gajah berlatar hutan. Mereka didampingi Amin Agus, pengurus Ahmadiyah cabang Pancor.

Ruhiyatun Fajri senang membayangkan perjalanan ini. Dia sedikit sedih ketika bus siap berangkat. Ibu-ibu menangis.

Dari Mataram, bus menuju selatan ke Lembar, pelabuhan yang menghubungkan Pulau Lombok dan Bali. Sesungguhnya ini bukan titik terdekat. Arus yang kuat di sekitar selat membuat jalur pelayaran lebih memutar. Perjalanan memakan waktu empat jam.

Atun bercerita situasi di dalam bus benar-benar ramai dan kacau. Tiap anak diberi kantong plastik hitam besar. Selama perjalanan mereka muntah. Bau muntah bercampur minyak angin menyebar ke setiap pojok bus. Namun nafsu makan anak-anak juga besar. Meski kemudian makanan ini dimuntahkan selagi bus berjalan.

Atun mengingat, ada temannya bernama Nurhasanah dari Montong Gamang, kakak Hayyi, kejang-kejang perut, mengerang kesakitan di bagian belakang bus, dekat toilet. Suara jeritannya terdengar menyakitkan. Dari kursinya, Atun melihat salah satu sopir bus memijit Anna. Sopir itu bertampang seram. Tubuhnya tinggi dan kurus, kulitnya hitam dan pendiam. Atun sedikit ketakutan saat melihatnya pertama kali. Namun setelah melihat si sopir membantu Anna, Atun menilai sopir itu punya hati baik, tak seseram yang dia bayangkan.

SENIN, 1 OKTOBER 2002. Jemaah Ahmadiyah di Parung, basis Ahmadiyah Indonesia, baru saja menunaikan shalat subuh saat mendengar kedatangan anak-anak dari Lombok. Beberapa pemuda segera menuruni lantai dua masjid. Bangunan masjid bergaya modern, dicat putih dengan konsep minimalis. Tulisan aksara Arab dan aksen menara memberi petunjuk sekilas adanya tempat ibadah. Supir angkutan umum lebih mengenal tempat ini sebagai Kampus Mubarak.

Dibantu siswa-siswa Jamiah, calon mubaligh Ahmadiyah, anak-anak pengungsi diantar ke bagian belakang komplek. Sedikit terpisah ada gedung bernama Lajnah Imailah, sayap organisasi perempuan Ahmadiyah. Gedung tiga lantai ini dibangun awal 1990-an.

Atun kagum melihat gedung di sekitarnya. Di kota Selong, kampung halamannya, sedikit gedung tinggi. Bangunan masjid yang paling mencolok, merangkap gedung kegiatan, terdiri tiga lantai, limapuluh meter dari jalan utama komplek. Lantai satu digunakan kantor pengurus besar Jemaah Ahmadiyah Indonesia. Lantai tiga sebagai gudang peralatan.

Sebetulnya, lokasi Parung tak terlalu asing bagi jemaah Ahmadiyah dari Lombok. Setiap tahun Ahmadiyah mengadakan Jalsah Salanah, pertemuan nasional berisi ceramah agama. Ahmadiyah cabang Pancor dikenal fanatik mengikuti kegiatan ini. Mereka mengirim puluhan anggota setiap Jalsah Salanah. Ini dinilai prestasi luarbiasa mengingat lokasi mereka yang jauh dari Pulau Jawa. Lokasi Parung juga menjadi pusat pendidikan mubaligh.

Perasaan Ruhiyatun Fajri, gadis belia, yang datang dari kampung dan melihat suasana berbeda, mendadak ceria. Dia juga senang saat dirinya dan teman-teman menerima perlengkapan sekolah baru. Satu set buku, tas, seragam sekolah hingga sepatu.

Namun Parung cuma tempat sementara. Tasikmalaya adalah tujuan terakhir anak-anak pengungsi ini.

WANASIGRA TERLETAK DI DESA Tenjowaringin, kecamatan Salawu. Ini daerah perbatasan Tasikmalaya dan Garut, dipisahkan sebatang sungai yang mengalir dari gunung Cikuray. Jalan berbatu dan menanjak sepanjang 300 meter . Ia dikelilingi sawah dan hutan. Delapanpuluh persen penduduk Tenjowaringin pengikut Ahmadiyah.

Menurut Agus Mubarik, saat itu mereka lebih memilih “menangani masalah dalam hening.” Seluruh aktivitas pengungsian dan pemulihan berlangsung tanpa mengundang perhatian media. Beritanya sebatas muncul di media-media lokal Lombok.

Busra, istri Attaul Razak, mengatakan suaminya yang memilih lokasi ini. Razak mubaligh Ahmadiyah Nusa Tenggara. Pada Juli 2002, Razak mengirim enam anak Ahmadi dari Lombok ke kota Tasikmalaya. Mereka ditampung dan disekolahkan di sebuah panti asuhan milik Ahmadiyah. Razak sangat memperhatikan pendidikan anak-anak pengungsi.

Segera sesudah kedatangan, mereka dikumpulkan di masjid. Laki-laki dan perempuan dipisah. Anak-anak ini hendak dipingit sebagai anak asuh.

Ruhiyatun Fajri merasa badannya lelah. Ini perjalanan terpanjang yang baru dia alami. Tenaga terkuras. Udara di Wanasigra dingin, menusuk tulang ketika malam.

Seorang pria muncul dan bertanya, ”Mau ikut saya ke rumah?”

“Ya,” ujar Atun cepat, terlalu lelah menuggu. Atun mengajak Maemunah, anak pengungsi yang dia kenal.

Pria itu bernama Cecep. Rumahnya terletak di kampung Nagrak, satu perkampungan kecil di lereng bukit bagian timur Wanasigra. Istrinya, Nina, sudah menunggu mereka di warung makan milik ibu Cecep, di tepi jalan raya utama.

Atun dan Mae, panggilan Maemunah, menyusuri jalan kembali, tiba di warung ibu Cecep, segera diajak makan. Mereka malu-malu. Beberapa orang di warung berkata, “Sabar ya, Nak.”

Setiba di rumah, mereka langsung tidur nyeyak. Atun mengatakan sejak mengungsi, selama tiga minggu, inilah pertama kali dirinya tidur di sebuah kamar.

Hari-hari Baru

PAGI PERTAMA di rumah baru, Atun disambut pemandangan indah: bukit hiijau, hamparan sawah, pohon-pohon, gunung Cikuray dan barisan bukit yang berkelok. Di sebelah barat terlihat jalan menuju kampung Wanasigra. Rumah-rumah berjejer di sepanjang jalan itu. Letaknya berjauhan satu sama lain, lalu memadat di pertigaan menuju masjid.

Atun berseru keras. Suaranya menggema. Di ujung lain dia melihat teman-temannya. Tangannya melambai.

Atun melihat Ema dan Ica, dua anak Awaluddin — yang rumah plus toko keluarga ini hancur di Selong (kejadian pertama yang dilihat Atun saat pengusiran). Mereka lantas menyusuri jalan tanah di perkebunan teh.

Anak-anak ini tak perlu lagi menyembunyikan diri sebagai Ahmadiyah. Masyarakat setempat menerima mereka dengan terbuka.

Atun melewati bulan ramadhan, Oktober 2002, dengan rutin sekolah. Setiap anak pengungsi bersekolah sesuai tingkat pendidikan mereka saat di Lombok Timur. Mereka juga bisa bebas berteman. Pak Ajun mengatakan “kebanyakan murid orang Ahmadiyah.” Ajun ayah Cecep. Dia mengajar di sekolah baru Atun.

Ini satu hal yang menguatkan psikologis anak-anak pengungsi. Atun, misalnya, saat di Lombok Timur, selalu menyembunyikan identitas keyakinanya, khawatir teman-teman sekolah sungkan menerimanya. Dia sering diejek dengan julukan “si ninja Sawing” dari kerudung yang dia pakai sehari-hari. Sawing merujuk nama kampungnya. Anak perempuan Ahmadiyah di Sawing selalu memakai kerudung di dalam maupun luar rumah. Atun juga pernah berbohong kepada petugas sekolah, bahwa dirinya bukan Ahmadiyah, dan merasa berdosa demi menutupi keyakinan ini.

Di sekolahnya yang baru, Atun memilih teman sebangku dengan Arif Rahman Hakim, adik Hultiya Fatimah, anak dari keluarga Musifudin —salah satu pengurus Ahmadiyah cabang Pancor. Alasannya, dia masih lebih kerasan dengan teman lama.

Namun kendala bahasa serta budaya Sunda butuh adaptasi lama. Atun menyebut orang-orang setempat ”suka bergunjing di belakang,” sesuatu yang tak dia temui di tempat asalnya. Rohidatulaini, seorang pengungsi, menggambarkan sikap orang Sunda, “Baik di depan tapi menusuk di belakang.”

Di rumah, Atun merasa kesepian. Cecep bekerja sebagai sopir angkutan umum dan istrinya, Nina berjualan warung makan pinggir jalan. Pasangan ini tiba di rumah malam hari. Keluarga ini jarang masak, makanan dikirim dari warung. Menunya memang lezat, bermacam ikan dan sayur.

Awalnya ikan-ikan yang dikirim terasa lezat, meski sedikit tawar. Tapi Atun terkejut setelah melihat bagaimana ikan-ikan ini didapat. Kolam-kolam ikan, atau orang Sunda menyebutnya “empang,” juga dijadikan tempat buang kotoran manusia, yang lantas jadi makanan ikan-ikan. Setiap rumah di perkampungan sekitar Wanasigra punya empang macam ini. Memikirkannya bikin Atun mual. Dia sampai berbohong tak suka makan ikan.

Anak-anak pengungsi ini awalnya mengira akan ditempatkan dalam satu asrama. Ini juga jadi kendala, bagaimana hidup bersama dengan orangtua asuh, lingkungan baru, dan harus membaur dengan anak-anak setempat?

Mubarak Hamdan Umar, anak pengungsi dari kampung Sawing bercerita, “Katanya mau ditaruh di satu asrama. Semuanya anak Lombok. Tapi nggak jadi. Saya dulu tinggal di Cikuray. Pas pertama di situ, saya nggak bisa tidur.” Cikuray merujuk perkampungan di tepi jalan raya Tasikmalaya-Garut, sebuah daerah yang dilintangi jembatan sungai Cikuray.

“Berapa malam itu nggak tidur. Nangis mulu,” katanya. Menjelang kelas enam SD, Mubarak akhirnya pilih pulang ke Lombok. Dia tak tahan dengan udara dingin pegunungan dan sering sakit-sakitan.

Pada Juni 2003, delapan bulan usai perpindahan, anak-anak sekolah menghadapi ujian naik kelas. Mereka juga bersiap pindah sekolah. Satu demi satu anak-anak pengungsi pulang, sulit beradaptasi dengan tempat baru. Umumnya anak-anak setingkat SD. Beberapa anak berganti orangtua asuh, bergabung dengan anak lain. Harapannya, dengan memilih sendiri dan bersama pengungsi lain yang disukai, mereka cepat beradaptasi. Tapi banyak dari mereka tetap tak bisa berpisah dengan orangtua sendiri.

Malik Saifur Rahman adalah anak pertama yang pulang. Kakak tertuanya, Khaerudin, datang menjemput. Kabar kepulangan kembali ini cepat menyebar. Ditambah kabar lain bahwa “akan lebih banyak anak menyusul pulang.”

Ruhiyatun Fajri gelisah. Dia bosan. Dia kesepian. Dia sering bertengkar dengan anak pasangan Cecep dan Nina. Dia berpikir, lebih nyaman tinggal dengan orangtua sendiri, meski hidup mereka mengungsi serta terusir dari kampung halaman, betapapun kondisinya jauh lebih buruk dari hidupnya sekarang dalam perantauan.

SEBAGIAN BESAR AHMADI memilih menikah dengan sesama Ahmadi. Ini semacam sesuatu yang alamiah, terpatri kuat dalam setiap keluarga Ahmadiyah. Populasi keyakinan yang minoritas di Indonesia menyebabkan terjadi pernikan dalam keluarga atau marga. Di komunitas-komunitas Ahmadi yang terkonsentrasi, seseorang dapat cepat disangkutkan melalui hubungan darah atau pernikahan dengan tetangganya.

Jalsah Salanah, pertemuan tahunan resmi Jemaat Ahmadiyah Indonesia, biasa mengambil waktu libur sekolah, antara Juni dan Juli. Acaranya selain ceramah agama, sebetulnya seperti reuni keluarga. Orang-orang Ahmadi yang migrasi, karena pernikahan atau alasan lain, bisa menemui keluarga mereka atau menitip sesuatu kepada rekan satu daerah.

Ruhiyatun Fajri mendengar teman-temannya akan dijemput dalam Jalsah Salanah 2003. Bahkan sudah beredar nama-nama anak yang dihubungi untuk pulang. Mendekati Jalsah, Atun tak mendengar dia termasuk salah satu dari mereka. Selama delapan bulan dalam pengungsian sejak di Transito, tak ada komunikasi sekalipun dengan orangtua dan keluarganya di Mataram.

Kesedihannya memuncak. Dia lebih sering bertengkar dengan Gina, anak satu-satunya pasangan Cecep dan Nina. Atun melihat Gina saling berbisik bersama teman-teman, dengan bahasa Sunda, sambil memandanginya. Atun merasa mereka membicarakan dirinya.

Puncaknya, Atun minta pindah rumah. Cecep dan Nina mencoba membujuknya. Gina lalu dipindahkan ke rumah neneknya selama dua hari. Saat kembali, Atun tak lagi melihat Gina mencibir. Namun kesepian Atun makin membesar.

Dia pernah berniat kabur. Garut kota terdekat, pikirnya. Jika bisa mencapai Garut, mungkin dia bisa naik bus kembali ke Mataram? Pikiran ini makin lama makin mengisi hari-harinya. Mungkin dia bisa memulai dengan menjual barang miliknya? Anak-anak Lombok sering menjual barang-barang mereka ketika membutuhkan uang. Pertama kali dia menjual sarung yang didapatnya saat di Mapolres seharga Rp 3,000. Sebetulnya pasangan Cecep dan Nina mau melakukan apapun demi Atun. Tapi Atun sendiri malu. Teman-temannya bahkan sering menjual barang-barang dari jatah bulanan atau pemberian lain.

Namun ongkos ke Mataram pasti mahal, batinnya. Dia menimbang, mungkin harus mengamen jika ingin kabur? Barang-barangnya hanya cukup untuk perjalanan hingga Garut.

Menjelang Jalsah Salanah, Solihin, ketua cabang Ahmadiyah Wanasigra, mengumumkan “anak-anak Lombok yang ingin pulang dapat ikut ke Jalsah di Bogor.” Atun segera mengambil kesempatan ini.

Keputusan Atun membuat Nina menangis. Nina menyiapkan bekal uang dan makanan.

“Kalau sudah sampai Lombok, jangan lupa ya sama kami…”

Namun, di Bogor, tak ada yang menjemputnya. Dia kembali ke Wanasigra.

Di rumah Solihin, bersama anak-anak senasib dirinya, mereka dikumpulkan. Solihin tanya, “Apakah mau kembali lagi pada orangtua asuh yang lama?” Atun menolak. Dia malu sudah berpamitan. Dia juga merasa kesepian.

Seseorang bernama Nos Barnas menjadi orangtua asuh Atun berikutnya.

RUMAH NOS BARNAS di kampung Citeguh. Ini pusat desa Tenjowaringin. Letaknya dua kilometer dari Wanasigra. Citeguh memiliki satu masjid besar. Dari tempat wudhu terhampar sungai Cikuray dengan batu-batu besar. Deretan pohon pinus menyejukkan udara perkampungan.

Nos Barnas tinggal bersama dua cucu laki-laki. Ini tempat tinggal sementara bagi Atun selama enam bulan. Tujuan sebetulnya adalah rumah Ibu Oom, anak dari Nos Barnas.

Atun senang dengan orangtua asuhnya yang baru. Bu Oom mengerti bagaimana memperlakukan anak barunya. Tahu Atun masih malu minta sesuatu, dia sering bertanya kepada Citra, anak asuh lain asal Lombok.

Sewaktu pembayaran iuran sekolah, dia bertanya kepada Atun apakah sudah membayar? Setiap bulan, Atun — seperti anak-anak pengungsi lain — mendapat jatah uang sekolah, uang saku, kadang juga beberapa barang. Anak-anak di Citeguh, karena tempatnya lebih jauh, sering menerima lebih lambat dari teman-teman mereka di Nagrak. Bu Oom biasanya membayar lebih dulu uang sekolah Atun.

Atun suka dengan bentuk perhatian Bu Oom, yang memberi nasihat langsung. Jika salah, dia langsung ditegur. Dia juga diberi tanggung jawab untuk mengawasi dan mendidik anak kandung Bu Oom. Atun merasa seperti anak kandung sendiri.

Hingga usianya setingkat SMA, tak sekalipun Atun ingin pindah ke tempat lain.

Di Wanasigra, ada sekolah menengah umum, berdiri pada 2000, melalui Yayasan Alwahid. Peresmiannya sendiri oleh Mirza Tahir Ahmad, pemimpin internasional Ahmadiyah, saat berkunjung ke Indonesia. SMA ini jadi tujuan utama anak-anak Ahmadi di Indonesia. Seluruh anak pengungsi dari Lombok di kawasan Tenjowaringin bersekolah di sini.

Letaknya di dekat persimpangan menuju masjid Wanasigra. Menjorok di tepi jurang, berbatas kebun sayur serta sungai Cikuray. Tiang-tiang tinggi menyangga bagian utara pondasi gedung sekolah. Jaraknya dari Citeguh sekitar dua kilometer melintasi jalur kabupaten serta jalan berbatu dan mendaki. Atun sekolah di SMU Alwahid ini.

Tiga tahun dia menyusuri jalan-jalan antara Citeguh dan Wanasigra. Alamnya yang indah, suasana belajar yang jauh dari kebisingan, pengabdian guru-guru yang dia kagumi, membuatnya nyaman. Hujan menjadi musuh utama. Bau pete dan jengkol dari rumah penduduk kadang-kadang menyambangi kelas belajar.

Dua tahun berikutnya Atun sempat merantu kerja sebagai buruh di Bogor dan Karawang. Pekerjaan tak berjalan mulus. Gaji kecil. Pekerjaan berat. Pada pertengahan 2009, dia memutuskan pulang ke Lombok.

Dia tinggal bersama orangtuanya di sebuah rumah milik Ahmadiyah di Kampung Ketapang, Desa Gegerung. Tiap malam Atun mengayuh sepeda ke kota. Dia bekerja di warung makan pinggir jalan di dekat pasar Cakra. Dia berjualan sup dan jus buah. Tiap malam dia mendapat Rp 20.000. Ini jumlah kecil tapi pekerjaan macam ini cukup memberinya kesibukan. Selepas bekerja dia mengayuh sepeda ke Transito, menginap hingga subuh. Terakhir saya medengar dia menikah dan diajak tinggal di Bogor.

Transito dihuni warga Ahmadiyah. Bukan dua minggu macam ultimatum pertama pada 2002 tapi kini tahunan. Pada Feburari 2006 perkampungan para pengungsi di Ketapang diserbu, untuk kedua kali. Para pengungsi memilih bertahan sampai pemerintah daerah Lombok memberi jaminan keamanan. Rata-rata pengungsi sudah pernah diusir lebih dari sekali dari rumah mereka. Bahkan ada yang diusir hingga lima kali kurang dari sepuluh tahun.

Irma Nurmayanti dan Hultiya Fatimah lebih beruntung. Sekolah mereka di kota Selong memberikan surat pindah lengkap. Setelah menyelesaikan sekolah menengah pertama di Ciomas, Bogor, Fatimah kembali tahun 2003 ke Mataram. Irma menyusul setahun kemudian. Fatimah tengah menanti kelulusan dari Universitas Mataram. Hanya mereka berdua dari seluruh anak pengungsi di Lombok yang dapat melanjutkan ke bangku kuliah.

Ema dan Ica, anak Awaluddin, pindah pada Juli 2003 ke Kampung Cisalada, Bogor. Orangtuanya menjual aset-aset mereka di Lombok dengan murah lalu mencoba peruntungan baru. Kini Awaludin punya kebun jambu biji di belakang rumah, di tengah sawah, sehari bisa menghasilkan 80-100 kilogram, memikul dan menjualnya sendiri. Awaludin masih ingin kembali ke Mataram, bergabung dengan rekan-rekan pengungsi.

Malik Saifur Rahman bersama dua rekan lain kembali ke Tenjowaringin pada 2007. Dia sekolah di SMU Alwahid. Kini mereka datang dengan kesadaran sendiri. Sekolah di Tasikmalaya lebih memberi jaminan ketenangan. Malik dan dua rekannya punya rencana mendaftar jadi mubaligh Ahmadiyah. Di Wanasigra, Malik kembali bertemu saudara dekatnya, Hamattul Hayyi.

Sejak akhir September 2002, Hayyi belum pernah menjalin kontak satu kalipun dengan orangtuanya.***

Foto-foto: Firdaus Mubarik

Pos terkait:

  1. Ahmadiyah, Rechtstaat dan Hak Asasi Manusia
  2. Hilmar Farid: Bangsa Ini Menjadi Tawanan Fantasi
  3. DR. Vedi R. Hadiz: Politik dan Demokrasi Tetap Menjadi Mainan Elite
  4. Sulitnya Memotret Anak Busung Lapar
  5. Anak Macan yang "Keblinger"

Tuesday, August 30, 2011

Ahmadiyah, Darah dan Ibadah




Ahmadiyah, Darah dan Ibadah
Hadi Suprapto, Dedy Priatmojo, Zaky Al-Yamani
Jum'at, 11 Februari 2011, 21:31 WIB

VIVAnews - Bunyi surat itu memelas. "Berilah kami tempat, Bapak Wali Kota, di mana saja di wilayah kota Mataram ini,” tulis seorang jemaah Ahmadiyah di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Kalimat selanjutnya, ditulis setengah putus asa. “Di pinggiran yang dianggap angker banyak setan sekali pun,” tulis si pengikut itu. Jeritan itu dikutip oleh Djohan Effendi, seorang pemikir Muslim yang prihatin akan nasib pengikut Ahmadiyah. "Menjadi pengungsi di negeri sendiri," tulis Djohan.

Mereka adalah kaum terusir. Di Lombok, pada 2004, misalnya, para pengikut ajaran Mirza Ghulam Ahmad itu membeli tanah di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Lingsar, Kabupaten Lombok Barat. Saat itu, ada 36 kepala keluarga, atau 138 jiwa sempat menetap di Lingsar.

Baru setahun menetap, kelompok ini diserang warga setempat pada Oktober 2005. Ahmadiyah, kata warga, membawa ajaran sesat. Mereka mencoba bertahan. Tapi lima bulan kemudian serangan kembali datang. Pada 4 Februari 2006, mereka tersingkir lagi.

Karena tak punya tempat, pemerintah NTB lalu mengungsikan mereka ke Asrama Transito, di Majeluk Kota Mataram. “Di sini kami memang lebih aman,” ujar Basirun Ajiz, penasehat Jemaah Ahmadiyah Lombok.

Hidup di penampungan juga sulit. Kebutuhan mereka sempat ditopang sembako bantuan Pemda sampai 2007. Setelah itu, agar tetap hidup, mereka kerja serabutan. Dari menjadi kuli kasar, mengasong, sampai tukang ojek.

Beberapa bulan silam, ujar Basirun, mereka kembali ke Lingsar. Tapi hanya sempat menginjakkan kaki sebentar. Pada 26 November 2010, warga datang dengan beringas. Sekitar 21 rumah pengikut Ahmadiyah dirusak massa. Akhirnya mereka kembali ke Asrama Transito Kota Mataram.

Itu sebabnya, surat terbuka seperti dikutip Djohan Effendi itu, terdengar lirih. “Berilah kami tempat, Bapak Wali Kota, di mana saja di wilayah kota Mataram ini, ... di pekuburan-pekuburan, yang penting kami dapat keluar dari penampungan. Hidup normal, menghirup udara kebebasan dan kemerdekaan”.

Berdarah

Tak hanya di Lombok, Jemaat Ahmadiyah juga ditolak di Sulawesi Selatan. Sekretariat mereka di Jalan Anuang, Kecamatan Mamajang, Makassar, didatangi seratusan anggota Front Pembela Islam (FPI) Sulawesi Selatan, pada 28 dan 29 Januari 2011.

Akibatnya, pada 29 Januari, puluhan anggota Jemaat Ahmadiyah terpaksa diungsikan ke kantor Polrestabes Makassar. Tapi, setelah evakuasi, sekretariat mereka dirusak dan diobrak-abrik. Pintunya dijebol, dan dokumen disita. Papan nama hijau di depan bangunan dirobohkan.

Atas nama Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, massa FPI dipimpin Habib Reza menuntut Ahmadiyah bubar. Ajaran itu, dianggap melenceng dari Islam. FPI juga menuding Ahmadiyah melanggar SKB itu.

Yang dimaksud FPI adalah surat keputusan Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung pada 9 Juni 2008. Intinya, memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah menghentikan kegiatan yang bertentangan dengan Islam. Tapi, keputusan itu memancing tafsir yang lentur.

FPI, misalnya, memandang semua kegiatan Ahmadiyah tergolong dakwah. “Harusnya mereka berhenti. Jika tidak, mereka telah menyebarkan ajaran kafir,” teriak Habib Reza, di tengah massa FPI Sulawesi Selatan yang beraksi hari itu.

Di barat Nusantara, nasib Ahmadiyah lebih buruk. Misalkan, ada masjid Ahmadiyah yang dibakar di Ciampea, Bogor. Lalu ada teror pembakaran panti asuhan di Tasikmalaya, bentrokan di Kuningan, hingga penyerbuan masjid di Jakarta.

Setara Institute mencatat, pada kurun 2008-2010, ada 276 kali aksi kekerasan atas Ahmadiyah. Terbanyak pada 2008, 193 kasus, atau 73 persen total kekerasan atas kaum minoritas di tahun itu. Pada 2009 dan 2010, Ahmadiyah diganyang sebanyak 33 dan 50 kali.

Puncak tragedi berdarah terjadi pada Ahad, 6 Februari 2011. Tiga orang tewas dalam penyerbuan rumah mubalig Ahmadiyah, Suparman, di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten.

Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar menuturkan kronologi penyerbuan brutal itu.

Pada Sabtu 5 Februari, pukul 09.00, Kepolisian Resor Pandeglang menangkap Suparman, istri Suparman, dan Tatep (ketua Pemuda Ahmadiyah). Polisi membawa mereka ke kantor Polres Padeglang. Alasannya, ingin memeriksa status imigrasi istri Suparman yang warga negara Filipina.

Mendengar informasi penahanan ini, pemuda Ahmadiyah dari Jakarta dan Serang datang ke Cikeusik mengamankan anggota Jemaah Ahmadiyah yang kebanyakan ibu-ibu dan anak-anak. Semua jemaah, sekitar 25 orang itu telah berkumpul di rumah Suparman.

Rombongan dari Jakarta dan Serang tiba pukul 08.00 WIB, Ahad 6 Februari. Jumlahnya 18 orang, ditambah tiga warga Cikeusik. Mereka lalu berjaga-jaga di rumah Suparman, takut ada serangan massa.

Mendengar akan ada serangan, satu regu polisi dari Reserse Kriminal datang ke lokasi. Mereka sarapan, dan berdialog bersama Jemaat. Polisi minta mereka segera meninggalkan lokasi.

Tapi, permintaan itu ditolak. Polisi lalu meninggalkan lokasi. Sejak saat itu tidak ada dialog lagi antara Jemaah Ahmadiyah dan kepolisian. Warga Ahmadiyah tetap berkumpul di rumah Suparman.

Pukul 10.00, ratusan orang menyerbu rumah Suparman. Mereka berteriak-teriak sambil mengacungkan golok. Terjadilah bentrokan itu. Total penyerang mencapai 1.500 orang. Akibat serbuan itu, tiga warga Ahmadiyah tewas mengenaskan. Mereka adalah Roni, 30, warga Jakarta Utara; Mulyadi, 30, warga Cikeusik; dan Tarno, 25, warga Cikeusik.

Ibadah

Peristiwa di Cikeusik berdampak ke seluruh Jemaat Ahmadiyah. Kata juru bicara Jemaat Ahmadiyah Sulsel, Mukhtiar, kecemasan menghantui pengikut mereka. Padahal, “Dalam Islam, perbedaan adalah rahmah, meski itu beda penafsiran,” ujarnya.

Di Yogyakarta, tak jauh beda. Sering kali, saat mereka beribadah diintai orang tak dikenal. "Mungkin intel atau siapa, kami tak tahu," kata juru bicara Jemaat Ahmadiyah Yogyakarta Munawar Ahmad.

Dia beserta puluhan anggota jemaah itu pernah tegang setelah sekompok massa mendatangi masjid mereka. Untungnya, tak sampai terjadi keributan. "Melihat atributnya, mereka FPI," katanya. "Mereka minta dialog, kami turuti, sehingga tak sampai timbul kekerasan."

Jemaah Ahmadiyah Yogyakarta cukup aktif. Mereka menggelar pengajian besar dua kali setiap bulan. Dakwah juga dilakukan melalui pendidikan nonformal. Tapi dakwah itu terbatas pada anggota mereka saja.

Bagi Jemaah Ahmadiyah Bogor, yang tempatnya di Desa Cisalada, Kecamatan Ciampea itu pernah diserbu massa, kecemasan terasa pekat. Tapi, karena soal keyakinan, mereka tetap beribadah. Kata Khairul Khalam, Jemaah Ahmadiyah Bogor, "Keyakinan kami terhadap Imam Mahdi tak akan pudar."

Tafsir

Penafsiran memicu perbedaan. Ahmadiyah menafsirkan setelah Nabi Muhammad wafat akan muncul pembaru, dialah Mirza Ghulam Ahmad, nabi yang tak membawa syariat baru.

Ketua Majelis Ulama Indonesia Bidang Kerukunan Antarumat Beragama Slamet Effendi Yusuf mengatakan penafsiran Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi tak bisa diterima sebagian besar umat Islam--mulai Islam radikal sampai moderat, kata Slamet, semua tak sependapat dengan akidah Ahmadiyah itu. "Hampir semua menganggap Ahmadiyah sesat," kata dia kepada VIVAnews.com.

Juru bicara Front Pembela Islam Munarman mengatakan keyakinan itu sama saja menodai Islam. Dia mengatakan, tak hanya kepercayaan atas nabi terakhir, beberapa keyakinan Ahmadiyah juga dinilai sesat. Misalnya, kata Muhammad di dalam Alquran tak ditafsirkan sebagai Muhammad, melainkan Mirza Ghulam Ahmad. "Dia juga memiliki kitab tambahan, Tazkirah," ujar Munarman.

Tapi, tudingan itu ditolak Ahmadiyah. Ketua Jemaat Ahmadiyah Indonesia Yogyakarta, Ahmad Saifudin Muttaqi, mengatakan mereka tak pernah menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. "Syahadat kami tetap,” ujarnya menirukan syahadat di rukun Islam.

Adapun soal kitab Tazkirah, kata Saifudin, bukanlah kitab suci. Kitab itu hanya semacam kumpulan pengalaman rohani Mirza Ghulam Ahmad. Pegangan dan pedoman hidup Ahmadiyah tetaplah Alquran.

Soal kontroversi Ahmadiyah ini, intelektual Muslim Azyumardi Azra, menekankan pentingnya ulama dan tokoh masyarakat mendidik masyarakat. Azyumardi meminta masyarakat tak alergi atas keberadaan warga Ahmadiyah. "Jangan cepat marah. Perkuat saja keimanan kita sendiri," ujar Azyumardi kepada VIVAnews. "Kementerian Agama perlu memberikan pendidikan yang lebih intensif kepada umat Islam supaya keimanannya tidak goyah."

Dia juga menyarankan pemerintah memperkuat toleransi kerukunan umat beragama.

Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah ini percaya, Ahmadiyah tak merusak agama Islam. Keberadaan Ahmadiyah tak bakal mengurangi keimanan seseorang. "Keimanan saya tetap saja meskipun ada orang-orang Ahmadiyah," katanya.

Sang Mahdi

Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada 1889 di satu desa kecil yang bernama Qadian, Punjab, India. Mirza Ghulam Ahmad bergelar sebagai Mujaddid, al-Masih, dan al-Mahdi.

Seperti dikutip dari laman Ahmadiyah.or.id, setelah Mirza Ghulam Ahmad meninggal, Ahmadiyah dipimpin Shadr Anjuman Ahmadiyah. Setelah Anjuman meninggal, Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad naik tahta. Bashiruddin tak lain adalah anak Mirza Ghulam Ahmad. Pada masa kepemimpinan inilah Ahmadiyah pecah.

Bashiruddin berpendapat bahwa al-Masih al-Mau’ud itu betul-betul nabi. Semua orang Islam yang tidak berbaiat kepadanya, hukumnya kafir, dan keluar dari Islam. Menurut Bashiruddin, Nabi Muhammad bukanlah nabi terakhir.

Jemaah yang menentang Bashiruddin, lalu keluar, dan membentuk Ahmadiyah Anjuman Isya’ati atau dikenal dengan Ahmadiyah Lahore, karena berpusat di Lahore, Pakistan. Ahmadiyah Lahore tetap bersikukuh Mirza hanyalah pembaru Islam di abad itu.

Para pengikut Bashiruddin, dikenal sebagai Jemaat Ahmadiyah atau Ahmadiyah Qadian. Di Indonesia, Ahmadiyah Qadian disebut juga Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Pusatnya di Parung, Bogor. (Baca juga Dari India Menyebar ke 190 Negara)

Sementara Ahmadiyah Lahore, bermarkas di Yogyakarta, dengan nama Gerakan Ahmadiyah Indonesia. Munarman, juru bicara FPI, target perlawanan organisasinya adalah Jemaat Ahmadiyah Indonesia. "Bukan Gerakan Ahmadiyah," ujarnya.

Dalam buku 75 Tahun Jamaat Ahmadiyah Indonesia, aliran ini masuk ke Indonesia dibawa tiga pemuda asal Sumatera Barat. Mereka adalah Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan Zaini Dahlan. (Lihat infografik Tragedi Ahmadiyah)

Awalnya mereka ingin belajar ke Mesir. Tapi guru mereka menyarankan ke India. Di India mereka bertemu komunitas Ahmadiyah Lahore. Lalu mereka juga melawat ke pusat Ahmadiyah di Qadian. Di Qadian lah mereka bertemu Bashiruddin, dan ketiganya pun dibaiat.

Pada Agustus 1925, para pelajar ini pulang, dan mendirikan Ahmadiyah di Sumatera Barat. Pada 1926, Jemaat Ahmadiyah resmi berdiri sebagai organisasi. Mereka diakui sebagai organisasi berbadan hukum oleh Menteri Kehakiman RI di tahun 1953. (Laporan: Rahmat Zeena, Makassar; Erick Tanjung, Yogyakarta; Ayatullah Humaeni, Bogor; dan Edy Gustan, Lombok | np.

Monday, August 29, 2011

Mirza Ghulam Ahmad's Obituary in The Times

17 June 1908 http://archive.timesonline.co.uk/tol/viewArticle.arc?articleId=ARCHIVE-The_Times-1908-06-17-11-014&pageId=ARCHIVE-The_Times-1908-06-17-11

Mirza Ghulam Ahmad Khan.

The death occurred at Lahore on May 26 of Mirza Ghulam Ahmad Khan, who was widely known throughout India as the founder of the Ahmadiyah schism in the Moslem world, by which he announced himself not only the Mahdi, but also the Messiah of his generation.

The Mirza, who had attained his 70th year, was the jagirdar, or owner, of the village of Quadian, in the Gurdaspur district, and was of Mogul descent, his family having migrated to the Punjab from Samarkand in the reign of Baber. He was formerly in the Government service, but resigned some years ago to devote himself to vigorous canvassing of his claims. The Rev. Dr. Griswold, of Lahore, carefully studied the Ahmadiyah movement, and embodied his researches in a book in which he spoke of the Mirza as "venerable in appearance, magnetic in personality, and active in intellect." Maintaining a printing press and a book depôt, this teacher of strange doctrines wrote many theological works, and conducted two newspapers, one in Urdu and the other in English, in advocacy of his creed. He asserted that Jesus, though crucified in Palestine, did not die there, but travelled East, and eventually died in the city of Srinagar, the capital of Kashmir. Adopting the doctrine of repeated manifestations of the Messiah, he taught that, while Jesus was the Messiah of Moses, he himself was the Messiah of Mahomed, and claimed to have been sent by God to bring back the true faith, corrupted alike by Jews, Christians, and Moslems. He professed to have foretold many events and to have wrought even more wonderful works than Jesus. This teaching was regarded as heretical and blasphemous by orthodox Mahomedans, but the followers of the Mirza included not only the unlettered, but also many men of high standing and good education.

The Mirza's claim to have some 70,000 or 80,000 disciples was undoubtedly much exaggerated, and though the last census returns as to the number of adult male adherents were probably below the actual figures, Dr. Griswold's estimate, made soon after the publication of official figures, of a total following of 10,000 cannot be regarded as illiberal. The Indian ferment of the last two or three years, however, has been religious and social as well as political, and under these favourable conditions the Quadian sect is likely to have made considerable advance. Should it decay and disappear now that its prophet has passed away, it will be mourned neither by the Moslem community as a whole nor by the Government. Though the Mirza was emphatic and sincere in his professions of the compatibility of his propaganda with complete loyalty to the British raj, such eccentric cults in India have in them possibilities both of sectarian strife and bloodshed and of political disaffection. That the movement has been entirely peaceful and law-abiding may be placed to the credit of its founder, who has been well described by Dr. Griswold as self-deceived rather than insincere. At the time of his death he was arranging for the establishment in Lahore of a society to promote harmony and good-will between Hindus and Mahomedans.

http://www.qern.org/wiki/display/qarchives/Mirza+Ghulam+Ahmad%27s+Obituary+in+The+Times

Sunday, August 28, 2011

Why Udin Sedunia is more Famous than Transito?

Ade Armando –one of the expert on media and diversity in Indonesia–– illustrated the power of media with this simple metaphor, “Why Udin Sedunia is more famous than Transito?”

The power of media could decide which one is “the truth” and media also has power to change the “right thing” to be the “wrong thing” and vice versa.

Indonesia now has a new television actor, he is Udin Sedunia. Udin is being famous when he released his own video song on youtube site, and this video watched by over 1 million people. Salaudin the singer of Udin Sedunia comes from Mataram, West Nusa Tenggara. There is nothing wrong with him.

However, do Indonesian people know Transito? Maybe they don’t. Udin Sedunia is more famous than Transito although Udin and Transito are from Mataram, West Nusa Tenggara. In Transito, there are 167 Ahamdiyah followers become refugees in their own country. Unluckily, media doesn't have any concerns on advocating this issue. Otherwise, media tends to be a funnel of conservatism in voicing that Ahmadiyah is heretic. In this case, media has judged Ahmadiyah followers.

The media, Ade suggested, should have a clear position on this situation. “Media has to advocate the victims. But in the reality, media only exploits these issues in terms of market purposes,” said Ade in the Public Discussion with theme “Conservatism in Media” held by SEJUK (Journalist Association for Diversity) in IAIN Mataram, Lombok, July 1, 2011.

Ade said that human rights problems are special cases because human rights have a close relationship through humanity. Human rights news is more important than any other issues. So, it needs affirmative action from the journalists to place it in the headline. As a journalist, Ade argued, "You have to realize that your position is quiet strategic, you could be a savior and peace maker. The main task of journalism is to voice the unvoiced."

Yongki the local human rights activist said that the press in Lombok is dominated by the local government. The government has around 30 percents share in some local media. As the result, the press has been lost their task to control the government. Otherwise, in the issue of Ahmadiyah, local media became the actor of violence while reporting Ahmadiyah is heretic. Media also did not criticize when the government neglected the Ahamdiyah followers became the target of violence. Government violated human rights because it didn't protect the basic rights of Ahamadiyah followers.

On facing this situation, Mohamad Natsir, lecturer from IAIN who was the other speaker, argued that as the journalist, he offered three ideas; (1) desecration, (2) contextualization, and (3) reinterpretation. Journalist has to criticize every single statement that comes from everyone, including from the religion leader.

Attended by more than 100 participants, this public discussion has proven that Mataram people are really concern on diversity issues, especially on Ahamdiyah case.

SEJUK continued the public discussion with a workshop to the press campus with a topic “A Guidance on Reporting Diversity Issues.” Attended by 25 participants (from 4 campuses in Mataram), this workshop has created all participants aware, and has changed their perspective, especially in seeing Ahmadiyah. Before they joined SEJUK, some of them saw Ahmadiyah was heretic.

As mentioned by Iko, one of the participants that he read a book about Ahmadiyah and he found by himself that the book was completely wrong after Iko directly met and interviewed the Ahmadiyah refugees in Transito. He said that he totally changed his point of view on Ahamdiyah now.

Neni felt this workshop could increase her sensitivity, especially on women and children as the most fragile victims in religious conflict. And she was really happy to join this workshop because now, she has a new perspective.

Irma, one of Ahamdiyah followers who joined this workshop, felt optimistic after having some friends in media who have committed to promote pluralism and have promised to give a special space (such as special reporting or special rubric) on their media. (awi)

Retrieved from: http://sejuk.org/kolom/hak-asasi-manusia/72-why-udin-sedunia-is-more-famous-than-transito.html

Saturday, August 27, 2011

Bung Hatta, Sayyid Shah Muhammad, dan Ahmadiyah

[] Sinar Islam bulan Ihsan 1359 HS/Juni tahun 1980) No.6 – Th XLVIII, hal. 40-46.

Mengenang Pribadi Besar, Sederhana, dan Jujur

BUNG HATTA Putra Utama Bangsa Indonesia

oleh : Sayyid Shah Muhammad al-Jaelani – Mubaligh Ahmadiyah

Di dalam Al-Qur’an Surah Ar-Rahman ayat 27 dan 28, Allah swt. berfirman: “Segala sesuatu di atas bumi akan binasa. Dan yang akan tetap tinggal untuk selama-lamanya hanya Wujud Tuhan engkau, Yang Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan”.

Sesuai dengan firman Allah di atas, seorang hamba Allah, Dr. Mohammad Hatta, telah berpulang ke Rahmatullah dengan tenang pada tanggal 14 Maret 1980. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Berita kemangkatannya bagaikan petir di siang hari bolong. Itulah suratan takdir, bahwa setiap orang yang dilahirkan pasti akan mengalami saat ketika ia harus minum piala maut. Dengan perasaan haru dan sedih, saya segera mengirimkan telegram menyatakan rasa dukacita dan belasungkawa kepada Ibu Rahmi Hatta atas musibah yang menimpa keluarganya.

Saya mengenal almarhum secara pribadi sejak permulaan tahun 1947, ketika untuk pertama kalinya saya menghadap beliau di kediaman beliau yang terletak di samping Gedung Kepresidenan di Jogjakarta. Waktu itu saya menghadiahkan sebuah kitab berjudul Ahmadiyyat or True Islam, karya Hadhrat Basyiruddin Mahmud Ahmad, Khalifatul Masih II.

Dalam perjumpaan untuk pertama kali itu saya mendapat kesan, bahwa kepribadian yang beliau miliki amat menarik: ramah, jujur dalam ucapan dan tindakan, dan sederhana.

Perkenalan dengan beliau lebih diakrabkan setelah saya pindah dari Kebumen ke Jogjakarta atas ajakan almarhum Bung Karno*, untuk turut aktif dalam perjoangan kemerdekaan tanah air Indonesia, selama masa perjoangan di Jogjakarta dengan restu Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. dengan karunia Allah. Selama kurang lebih tiga tahun saya mendapat kesempatan yang berbahagia berjumpa dan berkomunikasi lewat percakapan yang intim dengan beliau, kalau tidak ratusan mungkin puluhan kali. Saya sangat terkesan bukan saja oleh keterpelajarannya, tetapi juga disiplin pribadi beliau menjaga waktu, menepati janji, mentaati peraturan Allah, dan menjunjung tinggi etika pergaulan.

Saya dapat mengenangkan kembali peristiwa, tatkala pihak Belanda melancarkan agresinya yang ke-2 dan menduduki ibukota sementara RI, Jogjakarta, Dwi Tunggal – Bung Karno dan Bung Hatta – beserta beberapa pimpinan lainnya ditawan dan diasingkan ke pulau Bangka oleh pihak Belanda. Saat itu sungguh merupakan saat yang pahit bagi perjoangan bangsa Indonesia. Mengetahui bahwa Bung Hatta gemar membaca buku-buku agama, saya mengirimkan kepada beliau di tempat pengasingan itu beberapa buah kitab agama terbitan Jemaat Ahmadiyah melalui Palang Merah Internasional.

Pada tahun 1949 tiba saatnya Dwi Tunggal, Bung Karno dan Bung Hatta, beserta pemimpin-pemimpin lainnya — di antaranya, almarhum Haji Agus Salim, Mr. A.G.Pringgodigdo, Laksamana Udara Suryadarma, dan Mr. Ali Sastroamijoyo — kembali di tengah-tengah masyarakat Jogjakarta dengan mendapat sambutan yang menggelora. saya sendiri, sebagai anggauta Panitia Pemulihan Pemerintahan RI Pusat ( yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantoro) mendapat kehormatan menjemput pemimpin-pemimpin bangsa itu di lapangan terbang Maguwo. Saya tidak lupa akan saat ketika saya menjabat tangan Bung Hatta; beliau sempat mengucapkan terima kasih atas bingkisan buku-buku yang pernah saya kirimkan kepada beliau tempo hari itu.

Seorang Pencinta Al-Qur’an

Setelah penyerahan kedaulatan dari pihak Belanda ke tangan RI, pusat pemerintahan RI pindah dari Jogjakarta ke Jakarta.

Sekitar tahun 1950 saya berkesempatan menghadiahkan kepada almarhum kitab The Holy Quran with English Translation and Commentary, Jilid I. Saya persembahkan kitab itu atas nama Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Kitab itu merupakan kitab tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Inggris, terdiri dari 10 juz pertama, disusun oleh beberapa sarjana dan ulama Jemaat Ahmadiyah dibawah asuhan Hadhrat Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, Khalifatul Masih II r.a. Dua tahun kemudian, yakni tahun 1952, saya sempat menghadiahkan lagi jilid keduanya, yang terdiri dari 5 juz berikutnya.

Sekitar tahun 1959 beliau jatuh sakit dan terpaksa dirawat di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo, menempati bagian pavilium Cendrawasih. Sekali perisitwa saya bersama istri saya memerlukan melayat beliau. Ketika kami sampai di paviliun Cendrawasih, kami dapati seorang jururawat wanita duduk di depan kamar beliau. Ketika kami nyatakan maksud kami, ia menunjuk kepada sebuah tulisan pada sebuah papan yang tergantung di pintu kamar, berbunyi : Dr. Mohammad Hatta, tidak diperkenankan menerima tamu selain keluarganya. Prof. Dr. Aulia.

Dengan perasaan sedikit kecewa kami terpaksa harus kembali. Tetapi, sebelum meninggalkan tempat itu kami minta kepada perawat itu sehelai kertas dan saya menuliskan nama saya pada kertas itu dengan berpesan kepada perawat itu agar secarik kertas itu disampaikan kepada Bung Hatta dan menitipkan salam dari kami berdua. Kami melangkah ke luar dari pavilum itu. Baru saja kami melangkah sejauh 100 meter, terdengar langkah-langkah orang setengah berlari dari belakang dan memanggil-manggil nama saya, “Bapak Sayyid …. Bapak Sayyid!”

Ketika saya menoleh kebelakang, barulah saya mengetahui yang memanggil-manggil itu kiranya jururawat Bung Hatta. Ia menyilahkan kami kembali, karena Bung Hatta menghendaki sendiri berjumpa. Maka masuklah kami ke kamar tempat beliau berbaring. Kami diterima beliau dengan wajah berseri-seri dan keramahan yang khas beliau.

Di tengah percakapan beliau berucap, “Tafsir Al-Qur’an dua buah yang telah Pak Sayyid berikan kepada saya itu saya bawa di sini. Dan saya suka membacanya di sini,” seraya jari beliau menunjuk ke sebuah pojok kamar, tempat sebuah meja kecil terletak, yang di atasnya terdapat kedua kitab Tafsir yang beliau maksudkan. Hal itu cukup memberikan citra betapa beliau cinta kepada Kalam Allah. Tak ada hiburan yang beliau anggap lebih mengasyikkan dalam keadaan beliau sakit selain menelaah firman Allah. Yang beliau pilih justru tak lain ialah Kitab Tafsir dari Jemaat Ahmadiyah. Suatu peristiwa yang sungguh melegakan hati saya.

Ketika kami hendak minta diri akan pulang, beliau mengatakan supaya kami jangan pulang dahulu dan menunggu sampai tibanya istri beliau (Ibu rahmi Hatta) yang baru saja pulang ke rumahnya dan sebentar akan datang, dan beliau juga memang tidur di Cendrawasih. Karena sudah lebih setengah jam kami sudah berada di situ, maka kami mohon diri dan sebelum meninggalkan kamar beliau saya berjanji akan mengirimkan beberapa buah kitab karya Jemaat sebagai bahan bacaan bagi beliau.

Sesuai dengan janji itu, esok harinya saya kirim satu bingkisan berisi buku-buku karya Hadhrat Khalifatul Masih II dan para alim ulama Jemaat. Bingkisan tersebut diantarkan oleh Sdr. Hamid Ahmad Sukarjo. Ketika Sdr. Sukarjo sampai di paviliun Cendrawasih di rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, kebetulan Bapak I. Wangsa Widjaja, Sekretaris pribadi Bung Hatta, ada di sana. Beliau menanyakan kepada Sdr. Sukarjo mengenai isi bingkisan itu, dan beliau agak keberatan untuk menyampaikannya kepada Bung Hatta, khawatir bisa menganggu ketenangan beliau, sebab beliau, menurut dokternya, diharuskan beristirahat betul-betul. Tiba-tiba Prof. Dr. Aulia muncul dan langsung menanyakan kepada Pak Wangsa, “Ada apa itu?” Pak Wangsa menjawab bahwa ada yang mengirimkan setumpukan buku-buku. Prof. Aulia melihat sepintas lalu bingkisan tersebut dan mengatakan kepada pak Wangsa “Berikanlah saja ini kepada Bung Hatta, ini merupakan makanan baginya.”

Maka bingkisan tersebut akhirnya disampaikan kepada Bung Hatta. Esoknya Pak Wangsa Widjaja menyampaikan kepada saya salam dan rasa terima kasih dari Bung Hatta atas kiriman bingkisan “makanan” tersebut itu.

Bingkisan yang dikirimkan itu berisi lebih dari dua puluh kitab, di antaranya: Introduction to the Study of the Holy Quran, Life of the Holy Prophet Muhammad, The Economic Structure of Islamic Society, New World Order, Where Did Jesus Die?, Message of Ahmadiyah, Islam and Communism, Forty Gems, The Hadits, Meaning of Khataman Nabiyyin, Our Teaching, Tafsir Surah Al-Fatihah, Mi’raj dan Isra Nabi saw., Menyingkap keraguan dan Fatwa Allama Mahmud Syaltut, Apakah Ahmadiyah itu, dan lain-lain.

“Sudah saya baca”

Sekitar tahun 1962 saya mendapat karunia Tuhan untuk sekali lagi mempersembahkan Tafsir Al-Qur’an jilid ketiga, terdiri dari 10 juz lanjutan. Beliau pun menerimanya dengan suka cita dan tak lupa beliau emngucapkan terima kasih.

Sekitar tahun 1968 Bapak Sahibzada Mirza Mubarak Ahmad, kepala departemen dakwah Islam dari Jemaat Ahmadiyah Pusat, berkunjung ke Indonesia dari Rabwah, Pakistan. Dalam kunjungan itu beliau memerlukan berkunjung kepada almarhum Bapak Dr. Mohammad Hatta di kediaman beliau, Jl. Diponegoro 57, Jakarta. Delegasi terdiri dari Sahibzada Mirza Mubarak Ahmad, sekretaris pribadi beliau M. Basyarat Ahmad, Ketua PB Jemaat Ahmadiyah Moertolo SH, Sdr. H.S. Yahya Pontoh, Sdr. R. Haji Hadi Iman Sudita SH, dan saya sendiri. Delegasi diterima beliau dengan segala senang hati, meski pun beliau baru bangun dari sakit beberapa minggu sebelumnya.

Di tengah percakapan mengenai kegiatan dakwah Ahmadiyah di Eropa dan lain-lain negeri, almarhum langsung berkata kepada saya, “Pak Sayyid, Tafsir dua puluh lima juz dulu sudah saya baca. Saya menunggu-nunggu yang lima juz terakhir. Sampai kini belum saya terima.” Bapak Mirza Mubarak Ahmad Sahib, setelah saya berikan penjelasan apa yang diucapkan Bapak Hatta, berkata dalam bahasa Inggeris, “It is now waiting for you” (Kitab itu sekarang menantikan Anda). Karena itu saya mengeluarkan dari tas saya Kitab Tafsir yang beliau maksudkan, yaitu terdiri dari 5 juz terakhir, lalu saya menyerahkannya kepada Sahibzada Sahid untuk beliau serahkan kepada Bung Hatta. Bung Hatta bangkit dan berjalan menuju ruang tengah dan kembali membawa ketiga jilid Tafsir yang sudah lebih dahulu beliau terima. Beliau menerima jilid yang terakhir dengan senang hati dan langsung membuka dan melihat-lihatnya dengan penuh minat (seperti nampak pada foto). Nyata benar betapa jiwa beliau merindukan sekali bacaan yang berkenan dengan keagamaan dan betapa cinta beliau kepada Kitab Allah.

Orang Besar dengan Jiwa Besar

Saya mempunyai pengalaman pribadi yang mencerminkan watak beliau. Beliau dengan saya adalah seibarat gunung dengan sebuah batu kerikil. Namun, alangkah besar perhatian beliau terhadap seorang kenalan yang tidak berarti sebagaimana halnya saya.

Sekitar tahun 1976 saya jatuh sakit, kena serangan jantung. Oleh dokter yang biasa merawat saya, malam hari itu juga saya disuruh masuk ke ruang ICCU, tempat penderita penyakit jantung gawat, di RSUP Dr. Cipto Mangunkusuma. Secara kebetulan sekretaris pribadi Bapak Hatta, Bapak I. Wangsa WIjaya memergoki saya di eawat di sana. Rupa-rupanya beliau menceriterakan hal itu kepada Bung Hatta, ternyata dari kedatangan Bung Hatta secara tak terduga bersama Ibu melayat saya. Masih segar diingatan saya kata-kata beliau menghibur saya. Betapa besar saya merasa terharu mengingat beliau seorang besar, putra utama bangsa indonesia, ko-proklamator kemerdekaan di samping Bung Karno. Beliau siapa dan saya siapa! Tetapi budi luhur dan jiwa besar beliau menggugah hati beliau memerlukan menjenguk seorang kenalannya yang hina sedang menderita sakit. Hal itu cukup menunjukkan kerendahan hati beliau yang murni. Kemudian saya mendapat layatan lagi 2 kali dari beliau bersama-sama Pak Wangsa. Jadi selama 22 hari saya dirawat di ICCU saya mendapat kehormatan kunjungan beliau tiga kali.

Akhlak beliau serupa itu sesuai dengan ajaran Nabi Besar Muhammad saw., bahwa, “Jika di antaramu ada yang sakit tengoklah dia, dan jika ada yang wafat di antaramu antarkanlah dia ke kuburan.”

Bung Hatta adalah milik bangsa Indonesia. Nama yang diberikan oleh ayahnya adalah Athar, artinya wangi-wangian. Secara alamiah beliau benar-benar seorang Aththaar — pembuat, penjual, dan penyebar wangi-wangian. Beliau sudah tiada, namun beliau yang harum menyebarkan wangi semerbak ke mana-mana. Di samping beliau seorang pecinta Al-Qur’an dan agama Islam, beliau adalah penyebar dan pendekar patriotisme, penggembleng nasionalisme berdasarkan demokrasi kerakyatan. Beliau berhasil dalam cita-cita perjoangan bangsanya dan mendapat karunai dari Tuhan menjadi ko-proklamator kemerdekaan bersama rekan perjoangannya, Bung Karno.

Kita, 140 juta bangsa Indonesia, sungguh berhutang budi kepada kedua-dua putera utama bangsa Indonesia. Soekarno-Hatta. Semoga Tuhan memberi kesadaran dan taufik kepada bangsa Indonesia yang telah dinaikan derajatnya oleh kedua beliau ke puncak kemuliaan, supaya dapat meneruskan dan mensukseskan cita-cita perjoangan mereka. Semoga Tuhan memberi pahala yang sebesar-besarnya atas jasa-jasa mereka kepada bangsa dan tanah air Indonesia.

Satu hal yang patut kita catat ialah, pernah Rasulullah saw. bersabda, “Ceriterakanlah yang baik mengenai saudaramu yang meninggal dunia,” maka sesuai dengan ajaran itu setelah Bung Karno wafat, tidak pernah keluar dari mulut Bung Hatta sepatah kata pun yang mengecilkan nama baik dan kehormatan Bung Karno. Suatu sifat yang sungguh patut ditiru oleh setiap mukmin.

Pada saat-saat golongan tertentu dan orang-orang vested interest sibuk memalsukan serta menggelapkan sejarah mengenai filsafat negara RI “Panca Sila”, maka Bung Hatta dengan tegas dan secara jujur membongkar usaha pemalsuan tersebut dengan menyatakan dan disertai bukti-bukti bahwa Panca Sila itu adalah inspirasi pribadi Bung Karno yang dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 di muka sidang Badan “Dokuritzu Zyunbi Tyoo Sakai” (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) di bawah pimpinan Ketua Badan tersebut almarhum Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, dicetuskannya sebagai Filsafat Negara Indonesia Merdeka.

Almarhum Bung Hatta pada detik-detik akhir hayatnya pun tetap menunjukkan sikap juur serta korektif mengenai sejarah perjoangan Bangsa Indonesia secara murni. Beliau segera angat suara, untuk membantah hal-hal yang sekiranya sengaja atau tidak sengaja hendak memalsukkan sejarah perjoangan Bangsa Indonesia.

Bung Hatta tetap berada di tengah-tengah rakyat dengan wasiatnya yang terakhir minta agar beliau dimakamkan di tengah-tengah rakyat jelata. Jasadnya sudah tiada, namun namanya yang harum akan tetap hidup selama bangsa dan tanah air Indonesia ada.

Hidup Indonesia!

Hidup Soekarno-Hatta!

Retrieved from: http://sinarislam.wordpress.com/2009/03/14/bung-hatta-putra-utama-bangsa-indonesia/

Friday, August 26, 2011

Indonesia: pluralism vs vigilantism

Indonesia: pluralism vs vigilantism

A pattern of violence against the Ahmadiyah religious community, in which the perpetrators enjoy near-impunity and official indulgence, is disfiguring Indonesia. It also presents a wider challenge to the country’s vital search for a model of religious tolerance in public life, says Charles Reading.
About the author
Charles Reading is the pseudonym of a Jakarta-based security analyst

Indonesia’s political and social progress is shadowed by the indulgence of violence towards members of the country’s Ahmadiyah religious community. An example is the fallout of an attack in Cikesuik on 6 February 2011 that killed [9] three people, of which a disturbing and graphic recording was made [10] and used in evidence at the trial of led of twelve men accused of inciting hatred and mob violence. In the event the district-court verdict on 28 July found the men guilty only of a secondary charge of “participation in a violent attack that resulted in casualties”, and they were given lenient sentences of three and six months’ imprisonment.

A worrying aspect of the trial is that the judges held the Ahmadiyah community itself responsible for the assault on the grounds that it had not left the scene as the police had requested, but rather stood its ground in face of the mob. One of the Ahmadis, Deden Sujana, was even prosecuted (and convicted [11] on 15 August 2011) on charges of provoking the violence; he will serve six months in prison, more [12] than some of the assailants.

This clearly sends the dangerous message to vigilantes that violence can be perpetrated [13] with impunity or at best very mild punishment. These actions pose a very real threat to local communities, and contribute to the growing political influence of vigilantes despite their proportionally small numbers. More broadly, the confrontational approach of vigilantism sidelines other actors in the important and vibrant debate concerning religious identity in modern Indonesian society.

The assault on the Ahmadiyah

The attack against the Ahmadiyah in Cikeusik cannot be described as a one-off, as members of the group have faced repeated targeting, stigmatism and intimidation. The Ahmadiyah [14], who number around 200,000 in Indonesia, revere the founder of their sect, Mirzan Gulam Ahmad, as a messenger; because of this, some Muslims consider [15] them heretical. In 1980, the Majelis Ulama Indonesia [16] (Indonesian Council of Ulama / MUI) issued an edict declaring Ahmadiyah heretical, and reiterated this in 2005.

The situation was exacerbated in 2008 when a joint ministerial decree [17] (SKB No 3/2008) from the religious-affairs and interior ministries and the attorney-general’s office called, if not for the outright banning of the Ahmadiyah, then for severe restriction on their activities. Some of the decree’s supporters - such as Itoc Tochiya, the mayor of the city of Cimahi in West Java province - had claimed the ban would be in the interest of the Ahmadiyah’s own security; and in May 2008, independently of the national government’s restriction Itoc Tochiya officially outlawed [18] Ahmadiyah in Cimahi.

Violence has continued, as in the burning of an Ahmadiyah mosque in Cisalada, West Java, in October 2010 and the gruesome attack [19] of February 2011; so has persecution, as in the banning [20] of the group in West Java by the province’s governor, Ahmad Heryawan, in March 2011.

Several civil-society organisations - backed by Islamic organisations like the Muhammadiyah - have called for the protection of the Ahmadiyah community; they include the Bandung Legal Aid Institute (LBH-Bandung [21]), the inter-religious network Jakatarub [22], and the Institute for Culture and Religion Studies [23] (Incres). Indonesia’s government has paid little heed, and failed to counter regional prohibitions against the Ahmadiyah; rather, the minister for religious affairs, Suryadharma Alihas, regularly expresses [24] his determination to ban the sect.

The rise of vigilantism

This climate of stigmatism and violence is the context [25] for the attack against the Ahmadiyah community in Cikeusik and the tolerance shown by the courts towards the perpetrators. This paints a worrying picture of impunity [26] for those who commit violence “in the name of religion”.

Indeed only two days after the verdict, the vigilante group Front Pembela Islam [27] (FPI) marched on the presidential palace to call on the government to ban Ahmadiyah. The FPI regards itself as a defender of Islamic norms, and - through the militant Laskar Pembela Islam (LPI) command - is continuously involved [28] in attacks on bars, clubs or even (in March 2010) an international sexual-rights conference in Surabaya. Almost none of this aggression carries serious consequences for the agitators.

The numerous cases where the FPI has taken the law into its own hands show that the relationship between the group and the police is complex. In the past the police have done little to deter [29] FPI violence towards Ahmadi and minority groups, though in 2011 they stated their wish to ban FPI vigilante raids during Ramadan. Members of the government maintain relations with the group, as was evident in August 2010 when the FPI’s twelfth anniversary was attended [30] by the governor of Jakarta, Fauzi Bowo and Jakarta’s then police chief inspector, Timur Pradopo. Moreover, the group maintains friendly links with conservative elements [31] within the MUI, the department of religious affairs, and Bakor Pakem (the Coordinating Body for Monitoring People’s Mystical Beliefs in Society).

The FPI also involves itself in political issues with no obvious religious relevance - such as its demand that Greenpeace (which has waged a high-profile campaign against Indonesia’s palm-oil [32] industry) leave Indonesia. The group plays on the argument that juxtaposes the “Islamic world” against “the west”. Its use of such civilisational logic helps explain why the FPI quite easily can oppose anything it views as western but remains quiet when, for example, Saudi Arabia beheads [33] an Indonesian maid, an act that caused uproar in Indonesia. A dextrous stance of this kind allows the FPI to exploit an imaginary religious solidarity that overrides the rights of individuals and, conveniently, aligns with vested interests within business and governmental circles.

The worlds of faith

A less visible consequence of the growing impunity towards vigilante groups is the way such violence limits the debate concerning the role of religion within Indonesian society. In a time when violations of religious freedom are (according to the Setera institute [34]) on the rise, the inclusion of further voices becomes ever more necessary.

The Wahid Institute and UIN Syarif Hidayatullah’s Pusat Pengkajian Masyarakat dan Islam [35] (Centre for the Study of Islam and Society / PPMI) - although they lack the mobilisational ability of conservative groups like Hizb-ut Tahrir and the FPI - offer two examples of highly distinguished institutions that are analysing how Islam holds relevance in contemporary Indonesia. In this they represent an alternative standpoint from which to approach religion, based less on a dichotomy [36] of the Islamic vs non-Islamic world and more on modern transformations within society itself.

Indeed, the seeming resurgence of Islam (on all sides) should not be seen as a regression into an outdated religious authority but rather linked to economic and political developments in Indonesia since Suharto’s “new order”. Mass urbanisation and new access to education (for example) may have brought an influx of ideas associated with the Muslim Brotherhood and Hizb-ut Tahrir; but these processes also led to the growth of a new urban Muslim professional class that expressed their emerging identity through Islamic clothing and fashion, banking and business models as well as discussion groups, such as Paramadina [37], that undercut traditional lines of Islamic authority.

In this context, the relative ease with which vigilantes can act with impunity sets a dangerous precedent, and greatly detracts from the image Indonesia is striving to build of itself as a multi-ethnic, multi-faith country of tolerance. The thuggish behaviour of a small group of radicalised individuals and organisations deflects from the vibrant debates that take place more quietly under the rubric of a range of institutions and social organisations linked to Indonesian universities, think-tanks as well as Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama [38].

Amid these islands of progress, the government has failed to take leadership in building a more inclusive society and protecting its minorities. The result is to create a vacuum and set a disturbing example. If Indonesia is to build religious pluralism and tolerance between religions, it should start by recognising the plurality of different positions amongst Islamic groups themselves rather than allowing a coercive minority to paint a distorted picture of “Indonesian Islam”.

Sideboxes
'Read On' Sidebox:
Sidebox:

Charles Reading is the pseudonym of a Jakarta-based security analyst

Thursday, August 25, 2011

Jejak Tafsir Kaum Ahmadi

Karya terjemahan Muhammad Ali dicerca tapi juga dipakai sebagai rujukan.

RUMAH tinggal Mirza Wali Ahmad Baig, mubaliq Ahmadiyah Lahore, menjadi tempat bertemu orang-orang Muhammadiyah, khususnya anak-anak muda. Mereka terutama belajar bahasa Inggris. Haji Oemar Said Tjokroaminoto dan para anggota Sarekat Islam (SI) juga kerap datang. Hubungan SI dan Muhammadiyah masih akur.

Tjokro tak sekadar belajar bahasa Inggris. Diam-diam dia menterjemahkan karya Maulana Muhammad Ali, presiden Ahmadiyah Lahore, berjudul The Holy Qur’an, ke dalam bahasa Melayu. Dia mendapat dukungan dari Ahmad Baig. “Dia bahkan mengerjakannya di kapal ketika dia, sebagai wakil SI, bersama Haji Mas Mansur dari Muhammadiyah berangkat ke Mekah untuk Mu’tamar ‘Alam Islami,” tulis Tempo, 21 September 1974, merujuk Kongres Islam Internasional (biasa disebut Kongres Mekkah), upaya membangun institusi pan-Islami baru setelah Mustafa Kemal Pasha menghapus sistem khilafah dan mendirikan Republik Turki pada 1924.

Tjokro dan Mas Mansur terpilih sebagai utusan dalam Kongres Al-Islam kelima pada Februari 1926 di Bandung. Kongres Al-Islam sendiri merupakan badan yang didirikan di Garut pada Mei 1924, bertujuan memperluas pengajaran agama dan menganjurkan pendirian Majelis Ulama untuk memutuskan perselisihan-perselisihan antara kaum ulama.

Muhammadiyah punya hubungan dekat dengan Ahmadiyah, bahkan memberi bantuan ketika Ahmadiyah didirikan di Yogyakarta pada 1925. “Namun, setelah debat publik antara Ahmad Baig dan pemimpin reformis-radikal Sumatra –juga pemuja Rasyid Ridha– Haji Rasul (Abd Al-Karim Amr Allah), Muhammadiyah berbalik melawan Ahmadiyah. Dan, sebagai konsekuensinya, Muhammadiyah memveto proyek penerjemahan Tjokroaminoto, dan memprotes dalam kongres Sarekat Islam pada 1927,” tulis Moch Nur Ichwan dalam “Differing Responses to an Ahmadi Translation and Exegesis”, yang dimuat di jurnal Archipel, 2001.

Kongres SI di Pekalongan itu sendiri hanya membahas secara singkat proyek Tjokro dan tak ada keputusan dibuat. Satu keputusan penting justru mengenai pemecatan anggota Muhammadiyah yang juga menjadi anggota SI –sebaliknya dilakukan Muhammadiyah setahun kemudian.

Pada Kongres Al-Islam di Yogyakarta pada 26-29 Januari 1928, Tjokro memberikan alasan penterjemahan Alquran dan komentar karya Muhammad Ali. Menurutnya, dia tahu terjemahan Alquran beserta komentar karya Muhammad Ali, dari Ahmad Baig, yang juga memperkenalkannya kepada para pemimpin Muhammadiyah. Tjokro berargumen sudah mendapat persetujuan dari para pemimpin Muhammadiyah, Fachruddin dan Kiai Mas Mansur, pada 1925. Bahkan Fachruddin berkontribusi atas terjemahan komentar Muhammad Ali. Namun dia tetap diserang dengan sengit.

Menurut A.K. Pringgodigdo dalam Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Agus Salim tampil dan mengatakan dengan lantang bahwa dari segala tafsir, tafsir Ahmadiyah Lahore yang paling baik untuk memberi kepuasan kepada pemuda-pemuda Indonesia terpelajar.

Menurut Herman L. Beck dalam “The Rupture between the Muhammadiyah and the Ahmadiyah“, dimuat jurnal Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde, Muslim ortodoks maupun modernis menyalahkan Tjokro karena kurangnya pengetahuan tentang Islam dan dia, menurut opini mereka, sepenuhnya tergantung pada Ahmad Baig.

Baik Tjokro maupun Ahmad Baig mampu melawan kritik-kritik itu. Namun, beberapa hari setelah Kongres Al-Islam, Tjokro menyiarkan keluhannya di media Islam berkala Fadjar Asia –media ini juga menerbitkan sebagian terjemahan Tjokro. Antara lain dia menduga beberapa pengkritiknya khawatir tersaingi dengan terjemahannya, karena mereka juga sedang mengerjakan terjemahan Alquran mereka sendiri.

Dua minggu setelah Kongres Al-Islam, Muhammadiyah menggelar kongres ke-17 yang berlangsung 12-20 Februari 1928 di Yogyakarta. Pada kongres ini, Yunus Anis, sekretaris pertama Dewan Pusat yang baru, mengatakan bahwa Muhammadiyah menyesalkan keputusan SI mendisiplinkan anggota Muhammadiyah. Dia juga mengatakan, dengan menyesal Muhammadiyah tak bisa menyetujui proyek Tjokro. Alasannya: tak cocok dengan ajaran Islam yang sesungguhnya.

Tekanan lain datang dari Muhammad Rashid Ridha, salah seorang ulama dan ahli hukum paling pengaruh dari generasinya serta murid Muhammad Abduh paling menonjol. Melalui majalah Al-Manar, dia menyampaikan metode-metode pembaruan ke penjuru negara Muslim. Beberapa anggota Muhamadiyah punya hubungan dekat dengan Ridha dan Al-Manar. Rida juga punya pengaruh kuat di Indonesia.

Menurut Nur Ichwan, “Negara, Kitab Suci dan Politik”, termuat dalam Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia karya Henri Chambert-Loir, dalam fatwanya, menanggapi Syaikh Muhammad Basyuni Imran, Maharaja Imam dari Kesultanan Sambas di Borneo (Kalimantan), Ridha menolak proyek Tjokroaminoto karena menganggap terjemahan (dan tafsir) Alquran yang ditulis Muhammad Ali menyimpang dari ajaran Islam yang baku.

Karena perlawanan masih keras, penerbitan tafsir itu ditunda sampai Majelis Ulama mengambil ketentuan. Dalam kongres di Kediri pada 27-30 September 1928, SI membentuk Majelis Ulama sendiri –karena Muhammadiyah tak mau terlibat– yang bersidang saat itu juga. Majelis memutuskan bahwa terjemahan itu boleh diteruskan, asal dilakukan dengan pengawasan Majelis.

Pada tahun itu juga tiga bagian pertama terjemahan Tjokro terbit dengan judul Qoer’an Soetji, disertai Salinan dan Keterangan dalam Bahasa Melajoe.

“Fatwa Rashid Ridha mengenai karya eksegetik Muhammad Ali, The Holy Qur’an, tidak memperoleh tanggapan karena karya itu kemudian diterjemahkan, tidak saja ke dalam bahasa Melayu dan Indonesia, tetapi juga ke dalam bahasa Belanda dan Jawa,” tulis Nur Ichwan.
T
erjemahan bahasa Belanda dilakukan Sudewo Partokusumo Kertohadinegoro, guru HIS Muhammadiyah, dengan judul de Heilige Qoern. Karya ini terbit pada 1935 beriringan dengan pengantarnya “Inleiding tot de Studie van Den Heilige Qoer’an”. Sementara dalam bahasa Jawa, Qur’an Suci Jarwa Jawi, dikerjakan R. Ng. H. Minhadjurrahman Djajasugita dan M. Mufti Sharif, diterbitkan di Yogyakarta pada 1958. Djajasugita adalah ketua Muhammmadiyah cabang Purwokerto yang memilih mundur dari Muhammadiyah dan bersama Muh Husni (sekretaris jenderal PB Muhammadiyah) mendirikan Indonesische Ahmadiyah Beweging atau sekarang dikenal sebagai Gerakan Ahmadiyah-Lahore Indonesia (GAI).

Beberapa tahun kemudian, pada 1979, terbit pula terjemahan dalam bahasa Indonesia, Qur’an Suci: Teks Arab, Terjemah dan Tafsir Bahasa Indonesia, oleh H.M. Bachrun –setelah sebelumnya A. Aziz melakukannya tapi tak jadi terbit pada 1939.

“Terjemahan dalam bahasa Jawa dan Indonesia bahkan disetujui dan disahkan oleh Departemen Agama. Pada tingkat tertentu, ini merupakan indikasi dukungan berkelanjutan atas terjemahan karya Muhammad Ali di satu sisi, dan tak signifikannya pengaruh fatwa Rasyid Ridha di sisi lain,” tulis Nur Ichwan dalam jurnal Archipel.

Terjemahan Tjokro memang tak terkenal, selain juga tak selesai dan hanya merupakan dokumentasi di museum. Tapi terjemahan Sudewo –bersama pengantarnya– terdapat di hampir semua rumah tokoh-tokoh intelektual Islam angkatan sebelum perang. “Boleh dipastikan mereka menyimpan kitab itu,” tulis Tempo, 21 September 1974.

Menariknya, edisi pertama Al-Qur’an dan Terjemahannya yang diterbitkan Departemen Agama memakai rujukan The Holy Qur’an oleh Muhammad Ali dan terjemahannya dalam bahasa Belanda oleh Sudewo, serta tafsir Ahmadiyah Qadiyan The Holy Qur’an oleh Maulvi Sher Ali. Edisi pertama diterbitkan dalam tiga volume pada 1965, 1967, dan 1969. Edisi ini diterbitkan Yayasan Mu’awanah Nahdlatul Ulama (Yamunu), sehingga kerap disebut “Edisi Yamunu”.

Edisi kedua, yang merupakan revisi, menyisipkan tafsir Ahmadiyah Qadiyan lainnya, The Holy Quraan oleh Mirza Basiruddin Mahmud Ahmad. Edisi ini diterbitkan pada 1974, kerap disebut “Edisi Mukti Ali”, merujuk nama menteri agama kala itu yang juga menulis kata pengantar. Lembaga yang terlibat masih sama, tapi diubah menjadi Yayasan Penyelenggaraan Penterjemahan Al-Qur’an.

Tapi edisi ketiga, karya-karya tafsir Ahmadiyah Lahore dan Qadiyan hilang dan digantikan karya Mohammed Marmaduke Pickthall The Meaning of the Glorious Koran, yang tak disebutkan pada edisi-edisi sebelumnya.
“Penggantian ini mungkin dibuat atas anjuran pemerintah Saudi, karena mereka menganggap Ahmadiyah menyimpang dari ajaran-ajaran ortodoks,” tulis Nur Ichwan.

Edisi ketiga ini kerap disebut “Edisi Saudi” karena diterbitkan atas kerjasama Departemen Agama dan pemerintah Saudi. Ia diterbitkan di Madinah oleh percetakan resmi pemerintah Saudi (Mujamma’ Khadim al-Haramayn al-Sharifayn al-Malik Fahd li al-Taba’at al-Mushaf al-Sharif) pada 1990.

Karya tokoh-tokoh Ahmadiyah, yang mempengaruhi dan menjadi rujukan kaum intelektual Islam Indonesia dari Soekarno hingga AA Navis, meredup karena persoalan politik. [BUDI SETIYONO)

Retrieved from: http://denagis.wordpress.com/2011/08/27/jejak-tafsir-kaum-ahmadi/

Sumber: Majalah HISTORIA