Friday, August 19, 2011

Subyektivitas Tafsir Jemaah Ahmadiyah


Kompas, Senin, 18 Juli 2011 | 15:54 WIB

Judul: Menggugat Ahmadiyah, Mengungkap Ayat-ayat Kontroversial dalam Tafsir Ahmadiyah
Penulis: Dr Muchlis M Hanafi
Penerbit: Lentera Hati, Jakarta
Tahun: Maret 2011
Tebal: 116 + xxii hlm
Harga: Rp. 20.800
Peresensi: Rafi’uddin*

Keberadaan Ahmadiyah khususnya di negeri ini selalu menimbulkan kontroversi, bahkan menimbulkan konflik yang berimplikasi pada tindak kekerasan. Perusakan-perusakan bangunan rumah, masjid, dan mushala. Penolakan umat Islam terhadap Ahmadiyah bermula sejak tahun 1930-an di berbagai daerah, antara lain, di Sumatera Timur (1953), Medan (1964), dan Kuningan (1969). Pada dewasa ini, persoalan Amadiyah tetap berlangsung, misalnya baru saja terjadi di Cikeusik, Pandeglang (6 Februari 2011).

Persoalan Ahmadiyah di Indonesia sudah sangat mengakar yang segera diselesaikan. Mengingat dari periode ke periode menjadi benih konflik yang berimplikasi pada kekerasan. Pertama, Ahmadiyah sebagai kelompok yang menyebabkan lahirnya pertentangan. Kedua, warga Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) menjadi korban dari kekerasan masyarakat yang menolak keberadaannya.

Sejak tahun 1914 Ahmadiyah pecah menjadi dua golongan, yaitu satu yang berpusat di Qadian di bawah pimpinan Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, putra dari almarhum Hazrat Mirza Ghulam Ahmad yang sekarang berpusat di Rabawah Pakistan. Serta yang satunya berpusat di Lahore Pakistan di bawah pimpinan maulana Muhammad Ali M.A., LL. B., sekretaris pendiri Ahmadiyh. Perpecahan tersebut disebabkan dengan timbulnya perbedaan pendapat yang prinsipil. Misalnya golongan Ahmadiyah Qadian berpendapat bahwa Hadzrat Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang Nabi dan ia adalah Ahmad seperti yang terdapat dalam al-Qur'an. Juga mereka berpegangan pada Khalifah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Sementara golongan Lahore tidak mengakui atas kenabian Hadzrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi. Karena Muhammad sudah cukup sebagai nabi terakhir, dan sesudah beliau tidak ada nabi lagi. Ketika seseorang sudah mengucapkan syahadat, ia sudah dianggap muslim dan tidak kafir walaupun tidak berbaiat pada Mirza Ghulam Ahmad.

Namun dalam buku ini lebih khusus pada keberadaan Ahmadiyah Qadian yang ada di Indonesia, yang biasa disebut dengan Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) mengenai beberapa penafsirannya terhadap ayat-ayat Qur'an yang digunakan sebagai sebatas legitimasi terhadap produk penafsirannya.

Seperti yang diungkapkan dalam buku yang ditulis Dr. Muchlis M. Hanafi ini memberikan penegasan mengenai keberadaan JAI di Indonesia. JAI menganggap bahwa hasrat Mirza Ghulam Ahmad adalah sebagai nabi setelah nabi Mauhammad SAW. Kaum muslimin yang tidak berbaiat terhadap beliau dianggap kafir dan keluar dari Islam, walaupun belum pernah mendengar nama beliau. Misalnya dalam penafsiran kelompok Ahmadiyah terhadap al-Qur’an Surat al-Ahzab ayat 40 yang artinya “Muhammad bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah maha mengetahui segala sesuatu.”

Dalam penafsiran jemaah Ahmadiyah ditemukan kekeliruan yang akan berimplikasi pada kesesatan umat Islam. Kalimat khatama tidak menunjukkan bahwa Muhammad adalah nabi terakhir dan tidak ada nabi lagi, melainkan masih ada nabi-nabi lain yaitu seseorang yang dianggap masih mau’ud (akan turun di akhir zaman) yaitu pendiri Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad. Beliau diyakini oleh pengikutnya sebagai nabi yang akan tampil setelah kerasulan Muhammad.

Nubuwatan menjadi sempurna dalam wujud Hadlrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai masih mau'ud. Bahkan para penerus dari Mirza Ghulam Ahmad juga dianggap sebagai khalifah al-Masih dan berkeyakinan pemimpin mereka sebagai "rekan sejawat dan misal Nabi Isa," bukan Nabi Isa as. sendiri (halaman 49). Juga kebangkitan Nabi di akhir zaman nanti tidak diakui oleh kalangan jemaah Ahmadiyah, melainkan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad dan beserta para pengikutnya dianggap masih ada dan tampil di akhir zaman.

Buku ini sangat signifikan untuk memperdalam dan memahami teks agama agar keyakinan tambah semakin kuat. Karena mengenai Muhammad sebagai Nabi terakhir telah diakui kebenarannya oleh umat Islam pada umumnya yang disertai dengan mukjizat sebagai bukti kerasulannya. Maka dari itu, keberadaan Mirza Ghulam Ahmad yang diakui sebagai nabi dan membawa ajaran baru, merupakan pemahaman yang sangat keliru dan tidak sesuai dengan meaning full al-Qur’an dan Hadits-hadits shahih.

Peresensi, Alumni Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimi dan melanjutkan studi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jurusan Tafsir dan Hadits fakultas Ushuluddin. Di Yogyakarta selain kuliah, dia juga aktif di beberapa Komunitas. Antara lain Lembaga Kajian Sinergi Yogyakarta (LKSY), Komunitas Punulis UIN Jogja (PuJog) dan sekarang sebagai Peneliti di Lembaga Studi Qur’an dan Hadits (LSQH) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment