Monday, July 29, 2019

State Officials’ Entanglement with Vigilante Groups in Violence against Ahmadiyah and Shi’a Communities in Indonesia

A’an Suryana
School of Government and Public Policy (SGPP) Indonesia

ABSTRACT

Communal violence against the minority communities of Ahmadiyah and Shi’a was on the rise during the government of President Susilo Bambang Yudhoyono (2004–14). This article discusses state responses to this violence. Previous studies commonly attributed communal violence in post-New Order Indonesia to the failure of local officials to stop the violence due to the security officials’ kinship and local ties with the perpetrators. Some argue that the violence broke out due to, first, the role of local elites who provoked violence; and second, the role of local state officials who supported the mobilisation of the people by vigilante groups to stage the protests that led to violence. This article expands on these studies by arguing that the state complicity in violence stems from security officials’ entangled relations with vigilante groups. These entangled relationships hampered the officers’ ability to prevent incidents of religious violence before they occurred, and to bring charges against perpetrators afterward. The entanglement was the result of a blurred boundary where police officers and vigilante groups often ended up pursuing areas of mutual material and political interest. This study is based on seven months of PhD fieldwork in Ahmadiyah and Shi’a communities in West Java Province and East Java Province in 2013.

https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/10357823.2019.1633273?needAccess=true

Sunday, July 7, 2019

Pengantar Haji Agus Salim

H.O.S Tjokroaminoto – Pahlawan Nasional  (1882 – 1934)
biar berapapun “modern” nya keterangan-keterangan dalam karangan Maulwi Muhammad Ali itu, berapapun takluknya kepada ilmu pengetahuan (wetenschappelijk), akan tetapi sepanjang pendapatan penyelidikan saya, selamat ia daripada paham kebendaan (materialisme) dan daripada paham “ke-aqlian” (rationalisme), paham keghaiban (mistik), yang menyimpang daripada iman dan taukhid Islam yang benar. Tegasnya terpelihara ia daripada kesesatan Dahriyah, Mu’tazilah dan Batiniyah.
KUTIPAN PENGANTAR DARI HAJI AGUS SALIM*
“Tatkala pertama kali saya diajak bermusyawarah oleh saudara Haji ‘Oemar Sa’id Tjokro Aminoto tentang maksudnya dengan beberapa saudara bangsa kita daripada kaum Muslimin, akan mengusahakan salinan kepada bahasa Melayu daripada salinan dan tafsir Qur’an, karangan “Maulwi Muhammad ‘Ali”, seorang kaum terpelajar bangsa Hindi, yang telah beroleh gelaran M.A. dan L.L.B. daripada sekolah-sekolah tinggi Inggris, pada waktu itu tidak sedap hati saya.

220px-Cokroaminoto_1Tidak sedap! Tapi bukanlah karena isi salinan dan tafsir karangan pujangga Hindi itu. Pada waktu itu sudah lebih setahun saya kenal dan kerap-kerap mutala’ah (mempelajari) isi kitab itu, dan pada sebaik-baik pendapatan saya adalah karangan itu banyak keutamaannya, yang menjadi penerangan bagi pengertian Agama Islam, istimewa ajaran, pendidikan dan nasehat-­nasehat yang terkandung di dalam kitab Allah itu. Dan sekali-kali tidaklah saya mendapati barang sesuatu, yang akan menyesatkan paham dan Iman Keislaman kepada seseorang pembaca, yang membaca dengan memakai pikiran dan pengertian yang sederhana.
Itupun, seperti kata tadi, tak sedap hati saya pada mula-mula memusyawaratkan itu. Sebabnya ialah, karena saya mengetahui betul-betul, betapa sempitnya paham sebagian bangsa kita daripada kaum santri dan Kyai terhadap kepada cara-caranya orang mempelajari Agama Islam.
Dan saya pikirkan, betapa ramai, bahkan betapa riuhnya dan kacaunya perbincangan, perbantahan dan debat-debat dalam kalangan bangsa kita tentng Ijtihad dan Taqlid.Ijtihad yang dikatakan sudah “tertutup pintunya” semenjak tutupnya zaman kaum “Salaf”. Taqlid, yang dikatakan wajib, semenjak Ijma’ mengakui sahnya Madzhab yang Empat, dengan meluaskan segala haluan, yang tidak masuk kepada salah satu yang empat itu.
Saya pun mengakui pula, bahwa Ijtihad, yang sebenar-benarnya Ijtihad, yaitu penyelidikan ilmu daripada pangkalnya yang asli, pada “sumbernya” tiap-tiap kabar, pada “tempatnya” tiap-­tiap kejadian yang di dalam tarikh. Ijtihad semacam itu memang jauh daripada yang mungkin dalam masa ini.
Dan saya pun mengakui pula, bahwa memang “Taqlid”, yaitu menerima dan menurut keterangan-keterangan dan paham-paham daripada ahli-ahli ilmu, yang telah mendapat pengakuan amat luas di dalam kalangan ummat Islam itu, menjadi wajib atas tiap-tiap orang Islam. Bukan karena kehendak hati dan karena suka, melainkan karena sudah mestinya begitu, baik di jalan adat, maupun di jalan tabiat. Sudah memang mestinya orang yang terkemudian memakai pedoman orang-orang yang terdahulu.. Bukan saja dalam agama, melainkan dalam adat hidup dan ilmu pengetahuan begitu pula.
Akan tetapi, TIDAK TERTUTUP jalan pelajaran dan penyelidikan dengan seluas-luasnya yang berdasar dengan mempelajari kitab-kitab Ulama yang bermula-mula dalam agama dan dengan menyelidiki dan memperhatikan pengajaran-pengajaran yang terdapat di dalam perjalanan riwayat dan di dalam tabiat Alam, yang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kita diperintahkan dalam beberapa banyak ayat Qur’an yang Hakim, dan dalam beberapa banyak sabda Rasulnya yang Karim (clm), akan memperhatikan segala itu dan mengambil ibarat dan pengajaran daripadanya.
Artinya, TIDAK TERTUTUP jalan “ijtihad”, yang bermakna mempelajari sebanyak­-banyaknya kitab-kitab ulama yang besar-besar dalam agama dan TIDAK TERTUTUP pembacaan Qur’an dan Hadith untuk mencari pendidikan Iman dan Budi-pekerti, asal jangan hendak berpandai-pandai, sekehendak hati memakna-maknakan hukum-hukum, yang di dalam Qur’an dan Hadith itu dengan tidak memperhatikan keterangan-keterangan dan pemandangan-­pemandangan ulama-ulama yang menjadi ikutan selama masa yang telah lalu, yang memberi keterangan-keterangan dan pemandangan-pemandangan itu dengan alasan yang kuat-­kuat.
Dan TIDAK TERTUTUP, malah diperintahkan kita menempuh jalan mencari ilmu pengetahuan dengan mempelajari pengajaran-pengajaran pujangga yang besar-besar, yang membentangkan riwayat dunia di dalam tarikh (babad) dan riwayat alam, di dalam ilmu alam, ilmu tabiat, ilmu hewan dan tumbuhan, dll yang semakin bertambah-tambah banyak hasil penyelidikannya.
Dan hasil penyelidikan itu senantiasa menambah banyaknya jumlah pengetahuan yang dikumpulkan oleh manusia. Maka bertambah-tambah pula perkakas isi otak dan hati manusia itu; untuk akalnya bagi memaham-mahamkan pengajaran-pengajaran agama, yang mencerdaskan budi pikirannya; untuk perasaannya bagi menajam-najamkan timbangannya yang mencerdaskan budi-pekertinya.
Syahdan “ijtihad”, yang ini (yang kita tuliskan dengan huruf pangkal kecil, akan membedakan daripada “ijtihad” yang bermula tadi, yang kita tuliskan dengan huruf pangkal besar), “Ijtihad” ini, bukanlah tertutup pintunya, melainkan malah bertambah-tambah luas dan lebar jalannya.
Sebaliknya (akan tetapi berhubung juga dengan itu), tidaklah wajib, malah KELIRU “taqlid”, yang bersifat menurut dan meniru dengan membuta-tuli. Menurut dan meniru, yang sengaja mendiamkan macam-macam pertanyaan yang terbit di dalam hati. Kelakuan yang semacam ini membutakan budi pikiran, menumpulkan budi-pekerti, sehingga akhirnya memisahkan aturan hidup dengan aturan agama. Maka jadilah manusia itu mengaku beragama, tapi tidak mengerjakan, tidak melakukan agamanya dengan keyakinan dan bersungguh-­sungguh.
Adapun dengan salinan dan tafsir Maulwi Muhammad Ali itu tidaklah disajikan pembaruan Qur’an, dan tidak diadakan Madzhab baru, yang diwajibkan “Taqlidnya”; melainkan yang disajikan itu semata-mata hasil pekerjaan seorang manusia Muslim terpelajar, yang menguraikan beberapa pendapatan yang dikumpulkannya dalam mempelajari beberapa banyak kitab tafsir dll kitab daripada ulama-ulama Islam, dan salinan-salinan Qur’an dan pemandangan-pemandangan tentang Qur’an itu daripada pujangga-pujangga di dalam dan di luar Islam. Maka adalah yang sebagai itu satu alat pelajaran, untuk meluaskan pengetahuan agama belaka, yang sekali-kali tidak mengenal perkara “Ijtihad” atau “Taqlid”.
ADA LAGI SATU PANDANGAN
Di tanah air kita dan di tiap-tiap negeri Islam yang lainpun juga adalah tersiar salinan­-salinan Qur’an dengan bahasa asing: Belanda, Jerman, Inggris dll yang dapat diperbuat oleh pihak-pihak di luar Islam Dan tidak sedikit pula karangan tentang Agama Islam daripada pihak-pihak lain-lain itu, baik yang bangsa ahli ilmu pengetahuan, maupun bangsa penyebar lain-lain agama. istimewa Kristen dan Theosoof, yang karangan-karangan itu memakai salinan Qur’an.
Salinan-salinan Qur’an dan kitab-kitab yang sebagai itu biasanya tidak sampai ke tangan kaum santri (orang surau) umumnya, tapi untuk kaum terpelajar atau umumnya kaum sekolah, yang hendak mengetahui ajaran-ajaran Agama Islam, boleh kita katakan hanyalah kitab-kitab bangsa itu, yang menjadi penuntunnya. Dan terutama sekali Qur’an yang dipentingkannya; sebab agama Kristen, yaitu umumnya Eropa, yang di sini menjadi persaingan dan bandingan Agama Islam di mata orang, diajarkan dengan ‘kitab suci” agama itu yaitu Bebel, istimewa kitab Injil.
Padahal dalam kitab-kitab tadi itu banyak sekali terdapat pemalsuan ayat-ayat Qur’an, Yaitu yang berlainan daripada yang sebenarnya. Atau, sekalipun tidak boleh dikatakan menukar makna, akan tetapi seolah-olah dipilih perkataan-perkataan, yang dengan mudah menerbitkan pengertian yang keliru atau perasaan yang tak menyenangkan, oleh karena memang keliru pengertian atau tidak menyukai ajaran-ajaran yang disalinnya itu.
Sebaliknya, umumnya kitab-kitab tafsir Qur’an yang dari pihak Islam, tak dapat dibaca oleh kaum sekolah atau kaum terpelajar tadi. Kaum itu jarang yang mengerti bahasa Arab. Dan jikapun ada yang dapat bahasa Arab atau dapat tafsir yang dengan bahasa Melayu dsb., tidak juga boleh memuaskan kaum itu, sebab tafsir-tafsir itu tidak memakai ilmu pengetahuan zaman ini dan tidak memakai jalan pemberi keterangan yang bersetujuan dengan paham dan pengertian orang zaman kita ini.
Syahdan tafsir Maulwi Muhammad Ali itu adalah satu karangan, yang sepadan dengan pengetahuan dan pengertian kaum terpelajar zaman sekarang ini.
Macam-macam pemalsuan, macam-macam cacian, celaan dan gugatan daripada pihak luar Islam, istimewa Eropa, mendapat bantahan dan sangkalan dengan alasan-alasan dan bukti­-bukti, yang merubuhkan hujah-hujah dan membuktikan kekosongan falsafah pihak pencaci, pencela dan penggugat itu.
Sebaliknya tidak ada di dalam karangan itu sesuatu keterangan yang membatalkan tafsir-­tafsir lama yang mu’tabar di dalam kalangan umat Islam. Jika pun ada satu-satu perkara yang berbeda keterangan atau pemandangan dengan satu-satu tafsir dulu itu, tidaklah perbedaan itu baru semata-mata, melainkan sudah ada dari dulu di dalam kalangan ulama Islam.
Sebagai lagi, biar berapapun “modern” nya keterangan-keterangan dalam karangan Maulwi Muhammad Ali itu, berapapun takluknya kepada ilmu pengetahuan (wetenschappelijk), akan tetapi sepanjang pendapatan penyelidikan saya, selamat ia daripada paham kebendaan (materialisme) dan daripada paham “ke-aqlian” (rationalisme), paham keghaiban (mistik), yang menyimpang daripada iman dan taukhid Islam yang benar. Tegasnya terpelihara ia daripada kesesatan Dahriyah, Mu’tazilah dan Batiniyah.
Akhir-al-kalam penerbitan salinan Qur’an dan tafsir yang diusahakan itu tidak memakai asas kuno. Dari mula-mula terbit bagian pertama penyalin dan penerbit suka menerima “perbaikan” kalau ada salah satu pihak membuktikan salah atau keliru ataupun suatu yang amat berlainan di dalam salinan yang diterbitkan itu. Dan tiap-tiap “persalinan” yang kuat alasannya akan dicetak pula dan dilampirkan kepada bagian yang berikut.
Dengan jalan ini saya beroleh keyakinan, bahwa dengan usaha penerbitan salinan tafsir itu dapatlah segala faedah yang berguna dengan menyingkiri segala yang mudlarat dan keliru.
Maka oleh sebab itu  bukan saja hilang “tak sedap hati” saya yang pada permulaan itu, melainkan berganti suka dan setuju membantu dengan segala kesumngguhan hati akan menjadikan usaha itu.
Adapun akan taufiq, kepada Allah kita pohonkan”.
(*) Sumber : Qur’an Suci Terjemah dan Tafsir, Maulana Muhammad Ali, MA LLB.
Cetakan ke Delapan Th. 1999, Hal V-VII
Darul Kutubil Islamiyah,  Jakarta.
https://studiislam.wordpress.com/2011/02/11/pandangan-tokoh-nasional-terhadap-pemikiran-gerakan-ahmadiyah/#more-898 (accessed 7 Aug 2019)