Friday, July 28, 2017

Menjawab Tuduhan tentang Ibadah Haji Ahmadiyah

Ahmad Najib Burhani*

Jonathan Z. Smith dalam bukunya To Take Place: Toward Theory in Ritual (1987) menyebutkan bahwa sebuah tempat itu menjadi suci sebetulnya bukan karena tempat itu pada dasarnya suci. Ia berubah statusnya menjadi suci karena ada peristiwa sejarah tertentu atau fenomena tertentu yang membuatnya dianggap sebagai tempat suci. “There is nothing that is inherently sacred or profane. These are not substantive categories, but rather situational ones. Sacrality, is above all, a category of emplacement” (Smith 1987, 104). Singkatnya, tidak ada tempat di muka bumi ini yang secara inheren, intrinsik, dan substantif suci atau tidak suci. Manusialah yang membuatnya menjadi suci. Ia menjadi suci karena ada proses tertentu seperti dikunjungi atau menyimpan relik dari orang yang dipandang suci atau pernah terjadi peristiwa keagamaan yang bersejarah di tempat itu.

Pandangan Smith di atas berbeda dari beberapa penganut agama yang meyakini bahwa sebuah tempat itu disebut sebagai tempat suci karena esensinya memang suci. Sebelum ia ditemukan sebagai tempat suci dan dikunjungi banyak orang untuk beribadah, ia sudah menyimpan elemen-elemen kesucian. Seperti dijelaskan oleh Mircea Eliade dalam The sacred and the profane: The nature of religion (1987) dan Joel P. Brereton dalam tulisannya di The encyclopedia of religion yang berjudul “Sacred space” (1987), sebuah tempat itu tak bisa secara asal atau semaunya sendiri menjadi tempat suci. “Objectively, and not only subjectively, a sacred place is different from the surrounding area, for it is not a place of wholly human creation or choice. Rather, its significance is grounded in its unique character, a character that no purely human action can confer on it” (Brereton 1987, Vol. 12:526). Pendeknya, tempat suci itu biasanya berbeda dari tempat-tempat di sekitarnya. Ia memiliki karakter yang unik yang terjadi karena keterlibatan kekutan lain di luar manusia.

Pandangan Smith, Eliade, dan Brereton itu kiranya cukup untuk mewakili dua pandangan yang berseberangan tentang tempat suci dan bagaimana kesucian sebuah tempat itu terbentuk. Penulis cenderung pada pandangan Smith, bahwa tidak ada tempat yang pada asalnya telah suci. Beberapa tempat menjadi suci karena Tuhan telah memilihnya atau menjadikannya menjadi tempat suci serta menyebutkan kesucian tempat itu melalui wahyu yang diturunkan kepada para rasul-Nya. Pada kasus lain, sebuah tempat dianggap suci karena diyakini bahwa Tuhan bersemayam di tempat itu atau pernah dalam suatu waktu Tuhan menunjukkan dirinya kepada manusia di tempat itu. Atau, suatu tempat menjadi suci karena telah melalui prosesi penyucian melalui upacara keagamaan.

Sebelum masuk ke pembahasan tentang tempat suci Ahmadiyah, perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud dengan tempat suci di sini berbeda dari tempat ibadah biasa seperti masjid atau geraja. Diskusi kita mengacu kepada tempat suci yang memiliki makna khusus. Beberapa tempat suci Ahmadiyah yang akan dibahas diantaranya adalah Dar al-Masih (rumah tempat lahir dan tempat tinggal Mirza Ghulam Ahmad), Ludhiana (tempat bai’at Ahmadiyah yang pertama), Hoshiarpur (tempat berkhalwat Ghulam Ahmad dimana ia menerima wahyu tentang akan lahirnya Muslih Mau’ud Mahmud Ahmad), Bahishti Maqbarah (pekuburan Ghulam Ahmad dan para pengikut setia jemaah), Masjid Mubarak (masjid yang dibangun oleh Ghulam Ahmad), Masjid al-Aqsa (masjid yang dibangun ayah Ghulam Ahmad dan diyakini sebagai masjid al-Aqsa sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an), Minaratul Masih (menara yang menjadi simbol turunnya al-Masih), Baitut Du’a (tempat Ghulam Ahmad berdo’a), Baitul Fikr (tempat Ghulam Ahmad menulis buku-bukunya), dan sebagainya. 

Berdoa di makam Mirza Ghulam Ahmad di Qadian, India (doc. Najib Burhani)

Ketika membahas tentang tempat suci, orang sering menyalahartikan antara tempat suci dan tempat ibadah haji atau tempat melaksanakan rukun Islam. Atau lebih jelasnya, terdapat sikap yang mendua dari beberapa kalangan Islam berkaitan dengan ibadah haji orang Ahmadiyah. Pada satu sisi, mereka sering dituduh memiliki tempat ibadah haji sendiri yang berbeda dari umat Islam lain, yaitu di Qadian, India. Namun pada sisi lain, ketika orang Ahmadiyah hendak melaksanakan rukun Islam kelima, berhaji ke Baitullah di Makkah, beberapa orang menghambat pendaftaran mereka. Hambatan untuk mendaftar haji ini, misalnya, dialami oleh anggota Ahmadiyah di Manis Lor.

Karena itu, tulisan ini akan secara singkat membedakan beberapa kata kunci yang terkait tema ini, yaitu: haji, umrah, tempat suci, ziarah spiritual, dan pilgrimage. Haji itu memang satu bentuk dari pilgrimage karena istilah pilgrimage biasa dipakai untuk menyebut beragam ziarah spiritual. Namun dalam Islam, haji itu berbeda dari umrah dan berbeda pula dari kunjungan ke masjid al-Aqsa di Palestina serta ziarah walisongo. 

Pendeknya, pilgrimage dalam Islam itu bisa dibagi dalam beberapa kategori: Pertama, pilgrimage yang wajib dan menjadi salah satu dari rukun Islam. Inilah yang disebut dengan haji. Ia hanya dijalankan pada bulan tertentu yaitu Dzul Hijjah, dan memiliki prosesi ritual yang sudah baku. Ia memiliki syarat, wajib, dan rukun dalam menjalankannya. Di dalamnya ada wuquf di Arafah, thawaf, sa’i, melempar jumrah, dan sebagainya. Haji merupakan bagian dari rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap umat Islam yang memiliki kemampuan. Tidak sempurna keislaman seseorang sebelum ia melaksanakan ibadah haji. Kedua adalah umrah atau haji kecil. Ia bisa merupakan bagian dari haji dan bisa juga menjadi ibadah atau kegiatan yang terpisah. Pelaksanaannya tidak terikat pada bulan tertentu meskipun ia memiliki beberapa ritual yang sudah distandarisasikan. Ketiga adalah ziarah spiritual ke tempat-tempat suci. Masing-masing kelompok dalam Islam memiliki tempat suci yang berbeda berdasarkan pada sejarah gerakan itu. Bagi Syiah, Qum dan Karbala adalah bagian dari tempat suci mereka dan berkunjung ke tempat-tempat itu memiliki nilai spiritual yang tinggi. Bagi orang NU (Nahdlatul Ulama), ziarah ke makam walisongo adalah tradisi yang sangat dianjurkan dan memiliki makna ruhani tinggi juga. 

Qadian memang menjadi salah satu tempat suci atau tempat yang perlu dikunjungi oleh jemaat Ahmadiyah. Sama halnya dengan pengikut Syiah melihat Qum dan Karbala sebagai tempat untuk melakukan ziarah spiritual. Qadian adalah tempat kelahiran Ahmadiyah, tempat terjadinya berbagai peristiwa penting dalam komunitas ini. Bukan hanya berkaitan dengan sejarah, beberapa tempat di Qadian dan sekitarnya juga berkaitan dengan doktrin teologis dalam jemaat Ahmadiyah, seperti Ludhiana (tempat bai’at pertama), Hoshiarpur (tempat Ghulam Ahmad bermeditasi atau uzlah), Minaratul Masih sebagai simbol turunnya al-Masih untuk kedua kalinya dalam wujud Ghulam Ahmad, dan Kashmir (yang dalam keyakinan Ahmadiyah menjadi lokasi Nabi Isa dikuburkan dan menjadi bukti bahwa Isa as itu sudah meninggal dunia sebagaimana nabi-nabi yang lain. Ia tidak tinggal di Lauh al-Mahfudz, di sisi Allah, sebagaimana diyakini oleh umat Islam Sunni). Namun demikian, Qadian bukanlah tempat berhaji dan berkunjung ke tempat ini tidak dianggap sebagai ibadah pengganti haji.

Minaratul Masih. Terlatak di samping Masjid al-Aqsa, Qadian, India. (Doc: Najib Burhani)

 Berbagai hal di atas diantaranya yang membedakan antara haji dan kunjungan ke tempat suci lain. Tempat suci umat Islam yang lain tidak berkaitan dengan rukun Islam. Bahkan ibadah di Madinah dan mengunjungi makam Nabi Muhammad di sana pun tidak termasuk bagian dari haji. Masjid al-Aqsa di Palestina juga tidak termasuk tempat suci yang wajib dikunjungi. Dan kembali dalam konteks Ahmadiyah, kunjungan ke berbagai tempat di Qadian itu posisinya dibawah kunjungan ke Makkah dan Madinah.

Pertanyannya sekarang adalah mengapa Qadian menjadi tempat yang istimewa bagi Ahmadiyah?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu dilihat terlebih dahulu berbagai kegiatan yang dilakukan di berbagai tempat suci tersebut. Apa yang dilakukan oleh jemaat Ahmadiyah di berbagai tempat suci di Qadian pada intinya adalah shalat dan berdoa. Tidak ada ritual khusus yang diwajibkan. Ketika berkunjung ke Bahishti Maqbarah dan berdoa di dekat makam Ghulam Ahmad, misalnya, mereka dilarang mengambil tanah karena ditakutkan akan menyebabkan syirik dengan menyembah Ghulam Ahmad.

Inti dari semua kunjungan ke tempat-tempat suci itu adalah mempelajari dan memahami perjuangan Ghulam Ahmad dalam memajukan Islam, merasakan suasana dan lingkungan dimana Ghulam Ahmad menghadapi beragam hambatan, dan menyaksikan sendiri tempat bai’at pertama, tempat kelahiran Ghulam Ahmad, tempatnya menulis puluhan buku, tempatnya bermeditasi, dan tempatnya menerima wahyu. Bagi jemaat Ahmadiyah, ziarah ke Qadian berarti belajar sejarah tentang kelahiran, perjuangan, bai’at pertama, tempat menerima wahyu, dan juga dakwah Ghulam Ahmad. Mereka seperti hadir langsung dalam khutbah-khutbahnya. Mereka menjadi direct audience atau orang-orang yang secara langsung menjadi sasaran dari khutbah tersebut. Mereka menjadi saksi dalam proses sejarah dari jemaat Ahmadiyah. Hal serupa juga yang dilakukan orang ketika berkunjung ke tempat suci lain, seperti ziarah walisongo. Yaitu, berdoa dan mengingat kembali kisaran sejarah berjuangannya menyebarkan Islam, serta me-refresh tentang apa saja yang telah diajarkan para wali tersebut. 

Bersama Maulana Muhammad Inam Ghaori (Nazir A’la Muslim Ahmadiyah India) di depan rumah Mirza Ghulam Ahmad (Doc: Najib Burhani)

Banyak orang yang sudah pernah membaca tentang tempat-tempat suci itu atau bahkan sudah menonton video dokumenter tentang Qadian atau tempat-tempat suci lain, namun hadir dan merasakan sendiri akan berbeda. Ia akan membuat seseorang lebih paham, merasakan getaran spiritual dan kehadiran Ghulam Ahmad di sisinya. Makanya, identitas seorang Ahmadi itu tidak akan sempurna sebelum hadir di Qadian. Demikian juga bagi peneliti gerakan ini, belum lengkap penelitiannya tentang Ahmadiyah jika belum pernah hadir dan merasakan getar, gerak dan aktivitas Ahmadiyah di kota kecil Qadian ini.

Jika dilanjutkan dengan pertanyaan, apakah Qadian adalah tempat ibadah haji orang Ahmadiyah? Dalam definisi umat Islam tentang istilah haji, bukan makna harfiah haji sebagai pilgrimage, maka Qadian bukanlah tempat haji orang Ahmadiyah dan mereka tidak meyakini ini sebagai haji. Mereka percaya bahwa berkunjung ke Qadian bukanlah rukun Islam dan tidak menggugurkan kewajiban ibadah haji. Qadian adalah tempat bersejarah dan bernilai spiritual tinggi sebagaimana tempat-tempat suci lain. 

Melihat Masjid al-Aqsa & Minaratul Masih dari atap rumah Mirza Ghulam Ahmad di Qadian, India (Doc: Najib Burhani)

Namun demikian, ada dua proses yang bisa mengubah hal ini. Pertama, jika berbagai ibadah di Qadian itu diritualkan atau menjadi ritus dan tidak dikontrol, maka bisa saja orang menjadi meyakini bahwa ini adalah haji atau setara dengan haji atau menjadi pengganti haji. Jika seluruh proses ibadah di Qadian dipatenkan urutannya, waktunya, jumlah yang dikunjungi dan ibadah seseorang dianggap tidak sah jika tidak memenuhi seluruh prosesi atau mengunjungi destinasi yang telah ditentukan itu, maka ia akan menjadi haji. Jika, misalnya, ke Ludhiana dan Hoshiarpur menjadi wajib dan memiliki ibadah khusus di sana, maka ini akan mengarah pada pembentukan haji. Kedua, berkunjung ke Qadian bisa saja berubah menjadi pengganti ibadah haji atau setara dengan ibadah haji jika umat Islam terus-menerus menuduh seperti itu dan memaksa Ahmadi mengkuinya dan melarang atau menghalangi terus mereka berhaji ke Makkah.
-oo0oo-


*Peneliti Senior LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), pernah berkunjung dan mengikuti Jalsa Salana Ahmadiyah di Qadian, India pada Desember 2016.

https://geotimes.co.id/menjawab-tuduhan-tentang-ibadah-haji-ahmadiyah/

Friday, July 21, 2017

Between Muhammadiyah and Ahmadiyah: Tracing Erfan Dahlan’s Religious Identity

Prepared for the 2nd InternationalSymposium on Religious Literature & Heritage on “Cultivating Religious Culture for Nationalism”, Bogor, 18-21 July 2017

Between Muhammadiyah and Ahmadiyah: Tracing Erfan Dahlan’s Religious Identity

Ahmad Najib Burhani
Senior Researcher at the Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Jakarta and Visiting Fellow at ISEAS – Yusof Ishak Institute, Singapore


Abstract
The religious identity of Erfan Dahlan, a son of Ahmad Dahlan (the founder of Muhammadiyah), has been a subject of controversy in Indonesian Muslim communities. The fact that he did not return to Indonesia and preferred to live in Thailand after he completed his study at Ahmadiyya College in Lahore, British India, further raises curiosity over his religious affiliation, whether he was still a member of Muhammadiyah or had converted and became an Ahmadiyah missionary. By studying old Indonesian magazines and reports on Erfan Dahlan published by both Muhammadiyah and Ahmadiyah, this article, firstly, intends to reveal Erfan Dahlan’s religious-organizational status. Secondly, it aims to study the reasons of his decision of staying in Thailand and not returning to his family in Yogyakarta and even hiding his Indonesian family ties to his children. Thirdly, it will discuss the reunion of Ahmad Dahlan’s family in Thailand and Indonesia in 2013 after decades of separation.


Keywords: Erfan Dahlan, Muhammadiyah, Ahmadiyah, Thailand, Islamic revivalism, mission.

http://lektur.kemenag.go.id/islage-2/