Monday, April 30, 2012

Membaca Maryam; Melihat Ahmadiyah dari Dalam

Oleh: Rai Rahman Indra

Apa itu Ahmadiyah?

Sampai saat inipun, sepertinya orang-orang masih bertanya-tanya tentang mereka, yang kalau di berita-berita disebut aliran sesat. Mempercayai nabi selain Muhammad dan sembahyang di masjid dengan kaumnya sendiri. Berkesan ekslusif dan menyimpang dari Islam. Tapi apakah dengan begitu, mereka patut dibenci dan kemudian diserang?

Membaca kisah Maryam, lalu menggiring kita untuk melihat Ahmadiyah dari dalam. Tentang apa yang mereka rasa saat menjadi berbeda, dan kemudian terkucilkan karena dianggap minoritas dan menyimpang.

Cerita dibuka saat Maryam kembali ke kampung halamannya di Lombok, setelah hampir kira-kira sepuluh tahun di jakarta. Tertulis Januari 2005. Maryam merasa ragu dan gamang, karena pulang berarti ia dihadapkan pada semua kenangan pahit yang pernah ia tinggalkan, keluarga dan keyakinannya.

Gerupuk, hanyalah kampung kecil di sudut timur pesisir selatan Lombok. Nyaris tak dikenal. Peta-peta wisata menggambarkan hanya Kuta sebagai satu-satunya nama tempat di sepanjang garis pantai itu. Baru tahun-tahun belakangan, ketika orang-orang asing mulai mengetahui ada ombak tinggi di kampung ini Gerupuk mulai didatangi. (hal 41).

Di kampung itulah Maryam dan penganut Ahmadiyah tinggal. Tapi tahun 2005 situasi sudah berubah, Maryam tidak menemukan lagi keluarganya dan warga Ahmadi lainnya. Kemana mereka?

Kita diajak kembali ke tahun 2001 lewat tokoh Jamil, yang dulu bekerja pada Pak Khairuddin, orang tua Maryam. Katanya, tanpa ada yang bisa menjelaskan asal mulanya, tiba-tiba semua orang di desa itu menjadi beringas. Mengangkat cangkul dan parang, membawa batu-batu besar, menuju rumah orang-orang yang mereka anggap berbeda dari yang kebanyakan. Orang-orang yang mereka anggap telah menduakan nabi mereka dan telah memperlakukan agama sesuai keinginan mereka. Bukan lagi berdasar yang seharusnya. (hal 51).

Keluarga Maryam terusir. Padahal, keluarga Maryam tidak jadi Ahmadi tiba-tiba. Kakek dan nenek Maryam- lah yang jadi pemula, lebih dari 70 tahun yang lalu. Kakek Maryam bertemu dengan seorang dai saat pergi ke Praya, Lombok Tengah.  Pak Khairuddin Ahmadi sejak lahir.

Maryam kecil pernah menangis saat pelajaran agama. Karena ada buku pelajaran kelas lima yang menyebut Ahmadiyah sebagai ajaran sesat. Tentang penjelasan dari gurunya bahwa Ahmadiyah bukanlah Islam.

Berikutnya, ada sosok Zulkhair, Ketua organisasi Ahmadiyah. Pada Maryam, dan kita pembaca, dia menjelaskan bahwa penyerangan terhadap warga Ahmadiyah sudah kerap terjadi. Selain keluarga Maryam, ada sekitar 45 keluarga lain yang terusir dari rumahnya, sekitar 200 orang.Mereka orang-orang yang diusir dari berbagai desa di Lombok. Yang paling banyak dari daerah selatan, desa yang tak jauh dari Gerupuk.

“Seperti ada orang yang sengaja memengaruhi. Entah apa maunya, kita sama-sama tidak tahu,” Zulkhair (hal 69).
Tahun 1999, juga pernah terjadi keributan. Tak lama setelah televisi menayangkan peristiwa kerusuhan di Jakarta dan di banyak kota. Seorang Ahmadi dibunuh di daerah utara. Seorang lagi luka parah.

Sekitar tahun 2003, setelah hampir tiga tahun terlunta-lunta di pengungsian, warga Ahmadi kembali tinggal di
rumah, di sebuah perkampungan yang terpencil. Berbatas sawah, dan sungai, di samping kuburan. Di Gegerung, tak jauh dari Mataram.

Masalah selesai? Belum. Sekitar Juli 2005, ada kabar tersiar lewat televisi. Gerombolan orang sedang bertengkar,  adu fisik, lalu penggempuran bangunan. Orang-orang memecah jendela, menendang pintu, melempar batu. Kejadian berlangsung di Parung, Jawa Barat. Ada pertemuan tahunan warga jamaah Ahamadiyah di sana. ( hal 219)
Penyiar berita tersambung dengan seseorang lewat layar telepon. Foto seorang laki-laki di pojok layar, bersorban putih dan jenggot.

“Mereka sudah kami beri peringatan sejak seminggu lalu. Jangan buat acara pertemuan di Parung. Kenapa tetap dilaksanakan.”
“Apa dasarnya kelompok Anda meminta pertemuan dibubarkan?”
“Sudah jelas dasarnya. MUI baru saja mengeluarkan fatwa. Bilang itu sesat. Harus ada dasar apa lagi?”
“Tapi bukankah tetap tidak dibenarkan melakukan kekerasan seperti tadi?”
“Mbak, kami tidak berniat melakukan kekerasan. Mereka yang keras kepala dan sengaja memancing kerusuhan…”

Tak lama setelah itu, Oktober 2005, giliran Maryam dan keluarganya di Gegerung kembali terusir. Orang-orang beringas melempari rumah dengan batu. Rusuh. Sebelum pasukan polisi datang dan meminta rumah dikosongkan. Maryam dan keluarga awalnya bersikeras tidak mau. Namun pasrah dan kembali mengungsi di Gedung Transito.
Hingga 2011, sejumlah warga masih hidup di pengungsian. Ada yang lahir dan meninggal di sana. Hidup dan bertumbuh di antara sekat-sekat kain, berbagi kamar mandi dan menerima apa-adanya. 

Fakta dalam Fiksi
Novel Maryam seperti rekaman potongan kejadian tentang Ahmadiyah, lewat sosok Maryam. Dari akhir tahun 90-an sampai tahun 2011. Okky Madasari sebagai pengarang mengajak pembacanya melihat Ahmadiyah dari dalam. Mencoba memahami bahwa meski Ahmadiyah berbeda tapi tidak seharusnya mereka mendapat perlakuan tidak adil.
Jika melihat rangkaian yang diatas, tentunya runutan kejadian seperti laporan seorang jurnalis di koran-koran. Namun, Okky membalut kisah dengan apik, bagaimana karakter Maryam bertumbuh. Hubungannya dengan dirinya sendiri, keluarga dan kisah cintanya dengan Gamal, Alam, dan Umar.

Ada banyak fakta dalam novel ketiga Okky ini. Sama seperti Entrok ataupun 86, fakta-fakta itu dirangkai dalam penceritaan yang enak dibaca. Menggugah hati dan seperti yang disampaikan Okky sendiri, ‘memanusiakan manusia’.

Sekilas novel ini mengingatkan pada karya-karya sastra yang menerapkan konsep jurnalistik, seperti karya Seno Gumira Ajidarma lewat insiden Dili Timor Timur, atau Lynda Christanty lewat insiden di Aceh. Kisah-kisah yang tidak tersampaikan maksimal lewat laporan jurnalistik.

“Ketika Jurnalisme dibungkan, Sastra Harus Bicara,” demikian tulisan SGA. Yang memecutnya menulis banyak cerita pendek, ataupun novel yang diambil dari rangkaian kejadian nyata yang tidak mendapat perhatian dari pemangku jabatan ataupun menarik perhatian khalayak. Di koran, laporan-laporan tadi terkena sensor pemilik modal, atau dimuat tapi sudah diedit sedemikian rupa.

Kembali ke Maryam, novel ini kurang lebih sama. Okky mengajak pembacanya melihat masalah Ahmadiyah lebih dalam, tidak hanya di permukaan. Darimana keyakinan ini berasal, bagaimana mereka melihat perbedaan, ekslusivitas, dan bagaimana mereka pun ada yang meragu.

Seperti cara kerja jurnalis, pengarang dengan lengkap dan gamblang menuliskan unsur apa, dimana, kapan, siapa, bagaimana dan kenapa di sana. Bahkan set-nya sangat jelas tertulis, Lombok. Dan di akhir novel juga jelas surat yang berisikan suara dan tuntutan Maryam pada Gubernur yang abai.

Dari sini, kita melihat bahwa Okky ingin menyuarakan Maryam, yang kebetulan lahir dari keluarga Ahmadiyah yang kemudian terusir dari rumah yang sudah ia tinggal sejak lahir dan terusir, dan terusir lalu mengungsi.

Dari segi pembacaan, di awal kisah agak sedikit membingungkan karena ada alur bolak-balik dan tokoh-tokoh baru yang cukup banyak. Dari set tahun 2001, 1997, 2000, kembali lagi tahun 2001. Ada Maryam, keluarganya, kisah cinta segitiganya, dan kalau tidak hati-hati membacanya bisa terbolak-balik. Kisah ini mengalir dengan cepat dan gusar.

Sampai di bagian tengah novel, pembacaan mulai terasa asik dan menggugah. Penceritaan tampak diatur temponya saat naik dan turun. Dan ada banyak bagian yang menggugah dan menyentuh.

Maryam menjadi novel yang mengajak kita seperti menyaksikan sebuah film drama yang mengharu-biru tapi tidak melulu cengeng. Lewatnya, kita seperti ditampar, untuk menghargai perbedaan. Tidak menghakimi dan melakukan kekerasan terhadap orang lain. Terutama untuk para pengambil kebijakan, supaya mengambil tindakan yang bijak. Menguntungkan orang banyak tapi bukan berarti merugikan yang minoritas juga.

Setelah Maryam, kita yakin Okky Madasari masih akan terus menulis dan menyuarakan kisah humanis lewat rangkaian cerita fiksinya. Semoga saja suara Maryam didengar dan tersampaikan.

Retrieved from: http://okkymadasari.net/news-review/membaca-maryam-melihat-ahmadiyah-dari-dalam/

Friday, April 27, 2012

Dua Karib dari Muara Baru

Indoprogress, 17 Maret 2011

Mereka mengenang dua Ahmadi yang tewas dibunuh
Fahri Salam

PADA pukul 7 malam Minggu, 5 Februari 2011, Roni Pasaroni bilang “mau ngojek” kepada Rahmawati. Anak mereka, Tati Apriani, gadis lincah usia 5 tahun, melihat Papa dia pergi dari ruang tengah, sebuah petak beralas semen sekaligus ruang tidur bagi empat anggota keluarga ini. Wati, yang menjaga warung kecil di depan rumah, menyaksikan rutinitas itu selama dua tahun belakangan sejak suaminya menanggalkan identitas preman. Roni biasa berangkat pukul 8 pagi, pulang saat zuhur dan rehat siang hingga pukul 14:00, kembali ke rumah jam 4 sore. Jam 7 malam dia melanjutkan ngojek sampai pukul 01:00 dini hari. Roni mengendarai sepedamotor Yamaha MX warna merah, dibeli dengan kredit, tempat mangkalnya di ujung jalan. Itulah keseharian tetap dari suaminya, melalui sudutmata Rahmawati dari dalam rumah, hingga dia tak kembali dinihari itu.
Roni Pasaroni & Warsono
Roni Pasaroni & Warsono

Perilaku Roni berubah sejak Mahdarisa lahir, anak pertama mereka, sembilan tahun lalu. Dia kemudian mendalami agama jauh lebih intens, dengan rajin beribadah, sampai-sampai Wati kaget melihat perubahan Roni yang shalat tahajud dari seseorang yang sama yang sebelumnya bahkan tak pernah shalat lima waktu. Jumiyati, kakak perempuan Roni, pengganti peran ibu setelah orangtua cerai, terkenang masa-masa rutin saat Roni selalu mengingatkan ibadah shalat tepat waktu. Jumiyati mengalami kekagetan yang senyap sesudah Roni tiada hanya dari mendengar suara motor melintasi tempatnya. Roni rutin pergi ke tempat Jumiyati disela-sela mengojek. Tempat tinggal Jumiyati dan Mansyur, suaminya, dan enam anak mereka di kolong jembatan di Penjaringan, Jakarta Utara. Saat ada bunyi sepedamotor mendekat, Jumiyati merasa adiknya kembali—sesuatu yang takkan mungkin; dan dia mendadak menangis saat ingatan itu mengalir.
Sebulan kemudian Rahmawati mengetahui Roni pergi bersama Warsono dan Imron—cerita dari Erni Jaeroni, istri Warsono, saat mereka berkumpul di ruang tengah, tempat di mana Tati Apriani melihat Papa dia pamit pada malam Minggu. Ini rumah petak 3×5 meterpersegi, berdempetan rumah-rumah ukuran serupa, di mana sepanjang hari tercium bau menyengat dari gelombang udara yang mengirimkan campuran air mampat di selokan, tumpukan sampah, serta ikan-ikan yang dijemur di suatu tempat di dekat muara. Kini Rahmawati duduk menggelosor di dekat lemari es, membelakangi dinding plastik yang memisahkan kamar mandi. Rak televisi, lemari pakaian dan barang-barang lain, termasuk perkakas makan, ditempatkan di tepian tembok yang menghubungkan pintu rumah. Keluarga Roni dan Warsono tinggal di Muara Baru—sebuah permukiman padat perkotaan Jakarta Utara; sebagian besar warga di sini bekerja nelayan dan buruh pabrik perikanan.

Ketidaktahuan Rahmawati akan kepergian Roni pada malam itu, bukan lantaran dia tak acuh mengikuti keseharian suaminya, tapi justru cenderung menguatkan kesan “bidadari”—sebutan yang disematkan Jumiyati, kakak Roni, atas peran Wati menetralisir sifat-sifat buruk Roni. Itu juga kurang-lebih menyiratkan masa silam pasangan ini. Wati dan Roni menikah sebelas tahun lalu dan keluarga Wati dari Jeneponto, Makassar, menolak anaknya menikah dengan preman. Roni jatuh cinta seperti remaja berhati buta kepada perempuan buruh pabrik dan dia mengancam, “Kalau Lu kagak mau, gua culik, gua bunuh!” Pada suatu malam Minggu saat pacar Wati berkunjung, Roni muncul tanpa diduga lalu amarahnya meledak, mengajak pacar Wati berkelahi—oleh Wati diminta kabur. Gelas yang dihidangkan untuk pacarnya dipecahkan Roni. Roni menyayat pergelangan tangan sendiri dan luka itu mendapat sepuluh jahitan.

Saat hamil muda, keluarga Wati mengirim abang dia dan polisi ke Muara Baru, minta kandungan digugurkan. Tetapi Roni menolak, “Jangan, Ma! Nanti kita berdosa kalau gugurin.”
“Ya, saya juga tahu,” kata Wati, “Tapi kamu bajingan. Kita mau makan apa?”
“Ya, udah, ayo kita ke Surabaya!”

Roni mengajak Wati ke rumah ayahnya, yang menikah lagi dengan perempuan dari Malang sesudah bercerai. Mereka kembali ke Muara Baru saat usia kandungan sudah tua. Orangtua Wati mulai menerima pernikahan mereka setelah Mahdarisa lahir. Empat tahun kemudian, Tati Apriani mengeluarkan tangisan pertamanya di dunia.

Roni belum memutuskan kehidupan jalanan. Namun Jumiyati, diasuh nenek dari pihak ibu bersama Roni, mengatakan adiknya “nggak pernah” memberikan “uang haram kepada keluarga” dari jatah dia sebagai preman. Abdul Atto, pensiunan guru berusia 67 tahun dan guru pembimbing Roni, menyebut Roni dulu adalah “bajingan.” Rahman, teman mengobrol Roni nyaris sepanjang malam, bercerita Roni pegang keamanaan dua pabrik di Muara Baru serta satu pangkalan bus, jurusan Jakarta-Pekalongan, di mana dia “tinggal duduk” sudah dapat duit “minimal Rp 50ribu.”

Sewaktu kecil di Tanjung Priok, Roni lari saat hendak disunat, naik mobil kontainer. Satu gigi-seri dia tanggal separuh kala terjatuh dari atap sewaktu mengambil bulu kok badminton. Bertahun-tahun setelah dia bisa menyetir sepedamotor, dia pun terjatuh lagi dan gigi-seri itu tanggal utuh. Orang-orang di Muara Baru menjulukinya “Roni Ompong.”

Dia memiliki tato naga di punggung yang melilit sekujur badan. Mansyur, suami Jumiyati, bercanda tentang tato itu: “Udah makan belum tuh naganya, nih makan, laper kali tuh naga, Ron?!”—sambil menyodorkan piring nasi ke mulut naga. Pada akhirnya, tato itu adalah pengenal yang jelas dari tubuh Roni, plus satu giginya yang ompong, saat tubuhnya tak bernyawa, berada sekira tujuh jam perjalanan dari Muara Baru.
Nama dia yang pertama muncul, secara definitif, sebagai korban tewas di Cikeusik pada 6 Februari 2011. Seseorang dari kolega Roni mendatangi rumah Rahmawati pada pukul 10 malam Senin, mengabarkan Roni telah meninggal. Wati jatuh pingsan. Saat terbangun, para tetangga sudah berkerumun. Ada kegaduhan. Ada banyak dari mereka menangis. Mahdarisa dan Tati Apriani meraung histeris.
Wati
Wati dan foto mendiang suaminya, Roni.

Rahmawati segera menelepon keluarga di Jeneponto. Oom dan Mama dia langsung pesan tiket pesawat pada hari Senin, 7 Februari. Mereka dapat jadwal penerbangan pukul 5 sore dan tiba di Muara Baru pukul 8 malam. Mayat Roni diotopsi di rumahsakit daerah Serang, dijemput oleh Jumiyati dan keluarganya. Jenazah datang pukul 01:30 dinihari, di tengah ruangan sempit yang mendaraskan surat Yasin. Pada pukul 7 pagi, 8 Februari, penanda waktu yang menunjukkan Roni siap beraktivitas untuk ngojek tapi saat itu terbaring dalam kain kafan, jenazahnya dibawa ke Gondrong, Tangerang, untuk dimakamkan. Penguburan berlangsung sekira pukul 10 pagi bersama jenazah Tubagus Chandra, warga Parung, Bogor.

Sebulan kemudian saat Rahmawati dan kedua anaknya berkumpul bersama istri dan empat anak Warsono, almarhum Roni hadir dari bibir Wati dalam ingatan subuh hari selagi membangunkan Wati untuk segera wudhu. Itu kebiasaan rutin Roni yang paling diingat istrinya. Ingatan itulah yang seketika membuat airmuka Wati sembab.

Di sela cerita tentang Roni, Tati Apriani menimpali ibunya dengan berteriak, “Mama bohong! Mama bohong!”

Jumiyati, duduk di belakang pintu, meladeni: “Eh, nanti nggak diajak ke kolong loh!”
Tati paling suka mengisi waktu senggang bersama “Tante Ati” di tempatnya, di kolong jembatan Berok, Penjaringan. Tati menimpali, “Nggak mau… Nggak mau!”—seraya melonjak-lonjak hingga ibunya mendongakkan kepala, sementara jemarinya meraih mulut si mama. Ucapan Tati bukan berasal dari nada sedih, tapi ada sesuatu yang lugu dan ceria dari spontanitasnya. Tante Ati mengatakan polah Tati seperti adiknya sewaktu kecil.

Ada seorang tamu di tengah keluarga ini yang mengajak Tati mengobrol. Dia bertanya, “Papa Tati mana?”
“Lagi kerja!”
“Kemana?”
“Ke Bandung.”
Jumiyati menimpalinya, “Kemarin bilang ke Bogor, sekarang ke Bandung. Mana yang bener?”
“Nggak mau… Nggak mau…” Bocah itu melonjak-lonjak lagi.
“Dia sering bilang, ‘orang-orang bohong!’” kata Rahmawati.
“Siapa yang bohong, Dek?” tanya bibinya.
“Tante Ati bohong!”
“Oom bohong!”
“Semua BOHONG.”

Tati sering merengek pada ibunya, “Minta Pak Atto balikin Papa lagi! Suruh pulangin, Ma!”
Sehari sebelumnya, Abdul Atto mendatangi keluarga Roni dan Tati bilang lagi kepada “Pak Atto”: “Balikin, Papa. Bawa pulang!”
Tati melihat Roni Pasaroni dikuburkan. Tapi dia mengiba kepada ibunya, “Kasihan Papa di sana sendirian kerja…”
Mahdarisa, kini kelas 3 sekolah dasar, sering berkata kepada adiknya, “Bapak bukannya kerja. Dia di sana meninggal.”
“Nggak! Papa lagi kerja. Dia kerja di Bandung!”
“Tati nggak ngerti ayahnya meninggal. Dia tahu dan melihat Papa-nya dikubur. Dia minta sama Pak Atto, minta digali lagi dan dibawa pulang,” Rahmawati berkata.

WARSONO, dari foto di internet, memiliki mata sendu, kumis tipis, jejak cambang di dagu dan rambut hitam belah tengah, dengan arah mata menengok kamera ke sudut kanan. Dia yang tertua, berusia 35 tahun, dari tiga korban tewas di Cikeusik.

Dia menikah dengan Erni Jaeroni. Mereka memiliki lima anak, satu telah meninggal. Anak pertamanya, Merliana, usia 17 tahun, sempat sekolah kejuruan selama tiga bulan lantas memilih bekerja sebagai buruh pabrik udang di Muara Baru. Anak kedua hingga keempat, berturut-turut Dwiyati, usia 14 tahun, Tri Ayu Lestari, 9 tahun, dan Selvi Juliyanti, 1,5 tahun. Ketika Warsono pamit “mau rapat” ke Balikpapan, pada malam Minggu, 5 Februari 2011, si bungsu sedang sakit demam. Balikpapan adalah nama jalan di wilayah Cideng, lokasi kegiatan Ahmadiyah Jakarta Pusat. Warsono berangkat naik bajaj bersama Imron dan Roni Pasaroni. Dia janji kepada Erni Jaeroni: “Entar jam 10 pagi pulang.” Senin sore, Erni mendengar suaminya meninggal.

Senin pagi, 7 Februari, Erni sempat melayat ke rumah Rahmawati. Dua korban lain sebelumnya masih sumir. Nama yang beredar hingga sehari setelah penyerangan, plus pembunuhan itu, adalah Adi Mulyadi dan Tarno; keduanya jemaat Ahmadiyah dari Cikeusik. Kabar pasti datang sesudah otopsi di rumahsakit daerah Serang. Jenazah Warsono diberangkatkan menuju desa Dukuh, Kapetakan, Cirebon, kampung halamannya.
Rahman, jemaat Ahmadiyah yang tinggal sekampung dengan Warsono, kaget mendengar sahabatnya meninggal. Rahman supir bajaj, dia tinggal di Jembatan Dua. Sejak Januari dia pulang ke Kapetakan untuk urusan keluarga. Dia segera mendatangi kepala desa, “Pak, Warsono meninggal di peristiwa Cikeusik. Bapak sebagai kepala desa, tolong amankan pemakamannya.” Kepala desa mengamini. Setelah Rahman pulang, ada sekitar sepuluh orang mengklaim dari kelompok As-sunnah yang beraliran Wahabi, datang ke kepala desa, menolak pemakaman Warsono dan mengancam mayatnya akan “dibakar.” Namun kepala desa tak menggubris. Sempat terjadi lempar kursi. Rahmans sendiri diminta tetap di rumahnya. “Kamu diam saja di rumah. Ini urusan kami. Yang penting, besok terjadi pemakaman di sini!” ujar petugas polisi. Esok hari, 8 Februari sekitar pukul 10 siang, Warsono dikuburkan tanpa gangguan.

Sekitar duapuluh tahun lalu Warsono ke Jakarta ikut orangtuanya. Kustolib, ayahnya, bekerja supir taksi. Kustolib berasal dari Brebes, pulang ke Kapetakan, kampung istrinya, setelah sepuh dan sakit-sakitan; dia juga mengidap stroke. Warsono tetap merantau di Jakarta. Profesi terakhir tukang service elektronik.
Dia kenal Roni Pasaroni sejak muda. Mereka teman “nongkrong bareng dan mabuk bareng”—demikian kesaksian satu kolega mereka. Menurut Rahman, keduanya pernah belajar beladiri di satu guru silat yang sama di Muara Baru. Roni, yang seorang preman, memiliki banyak musuh dan pesaing. Warsono menjadi pendamping plus pelindung Roni berkat kepercayaan dia akan kejawen; suatu keyakinan sinkretis yang masih mengakar kuat dalam kultur masyarakat Jawa, termasuk di Cirebon pedalaman. Baik keduanya sama-sama menjalani kehidupan keras pinggiran ibukota Jakarta.

Pada 2002 Warsono mengenal Ahmadiyah dari seorang sahabatnya. Dia penasaran tentang Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Jemaat Ahmadiyah. “Apa benar Mirza Ghulam seorang nabi?” pikirnya sampai sulit tidur. Rasa penasarannya kian bertambah. Dia putuskan untuk datangi mubaligh Ahmadiyah di Jelambar, Jakarta Barat. Menurut kesaksian koleganya, Warsono bergabung menjadi jemaat Ahmadiyah setelah berdiskusi untuk kali kedua. Namun dia “vakum” selama dua tahun. Dia pernah sakit selama tigabelas hari, tak bisa makan dan minum. Perasaannya tersentuh saat mendapat besuk dari kolega Ahmadiyah. Dia kembali aktif dan kemudian berperan selaku ketua kelompok jemaat Ahmadiyah di Muara Baru serta pengurus jemaat Jakarta Utara. “Militansinya sangat luar biasa dalam jemaat,” demikian kesaksian itu.

Mirza Ghulam Ahmad—yang menarik keingintahuan Warsono—lahir dari keluarga elit di Qadian, Punjab, British India pada 1835, mendirikan satu komunitas Muslim pada 1889, yang sepuluh tahun kemudian bernama Jemaat Ahmadiyah. Ia mengedepankan dialog antar-iman dan pendekatan non-kekerasan. Jemaat Ahmadiyah Indonesia resmi berdiri sebagai organisasi berbadan hukum pada 1953.

Dalam khasanah Ahmadiyah, ada dua macam kategori nabi: kategori tasyri di mana Nabi Muhammad adalah nabi tasyri terakhir; serta ghairi tasyri, golongan nabi yang tak membawa syariah. Ia terbagi dua: mustaqil, nabi yang berdiri sendiri, serta ghairi mustaqil, menjadi nabi karena mengikut nabi lain. Kategori ghairi mustaqil, dalam istilah Nahdlatul Ulama, ialah nabi yang melaksanakan syariah Nabi Muhammad. Ia hanya pelayan Islam dan Nabi Muhammad. Dalam khasanah Ahmadiyah, kategori ini termasuk Nabi Zilli, Nabi Buruzi, Nabi Mazazi, Nabi Ummati maupun Mirza Ghulam Ahmad.

Namun perkara “nabi” untuk merujuk Mirza Ghulam Ahmad belakangan dijadikan isu sensitif di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, dan kian menonjol sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa pada 2004. Isu lain yang “didramatisir” ialah buku berjudul Tadzkirah, disari dari kutipan-kutipan buku atau naskah dan ceramah-ceramah Ghulam Ahmad, 27 tahun setelah dia wafat, yang dijadikan kampanye hitam sebagai “kitab suci” jemaat Ahmadiyah. Berkat siar kebencian, serta mobilisasi warga umum oleh ulama dan kyai-kyai setempat, intensitas kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah kian menjalar sekaligus membesar. Nama komunitas ini makin terdengar setelah ada penyerangan di Parung, Bogor, pusat kegiatan JAI, pada 19 Juli 2005.

Pada 29 Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa yang menyatakan Ahmadiyah “…berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan…” serta pengikutnya dianggap “murtad.” Fatwa ini perpanjangan fatwa MUI 1980 serta keputusan muktamar Organisasi Konferensi Islam di Jeddah, Arab Saudi, Desember 1985. Tiga tahun kemudian, Menteri Agama Maftuh Basyuni, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, dan Jaksa Agung Hendarman Supanji meneken Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, pada 9 Juni 2008, melarang penyebaran ajaran Ahmadiyah yang dinilai “menyimpang.”

Tahun-tahun kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah itu membawa pengaruh keimanan seorang Ahmadi bernama Warsono, yang baru giat lagi setahun sebelum penyerangan Parung. Dia bukannya takut; sesuatu yang diinginkan oleh para penyerang, justru keimanannya kian solid. Ini juga Secara tak langsung melibatkan Roni Pasaroni, karib dekat Warsono, yang bukan jemaat Ahmadiyah. Ketika insiden Parung tahun 2005, Roni geram mendengar kolega-kolega Warsono diserang. Roni “sangat marah”—demikian kesaksian satu koleganya—terhadap kelompok organisasi bernama Front Pembela Islam, yang terlibat dalam penyerangan tersebut, di mana banyak pengikut FPI berasal dari Muara Baru. Namun Warsono menenangkan Roni untuk tetap sabar.

Pada 2008, enam tahun setelah Warsono menjadi jemaat Ahmadiyah, Roni Pasaroni mengikuti langkah sahabatnya. Dua tahun kemudian mereka menjadi syuhada; korban tewas pertama dari mobilisasi kebencian sejak prakarsa fatwa MUI tahun 2005 dan SKB Tiga Menteri. Di ujung perjalanan keimanan Warsono, sejak dia pamit “ke Balikpapan” pada malam Minggu, 5 Februari, istrinya Erni Jaeroni mengenang:
“Anaknya yang paling kecil sedang sakit demam. Saya bangun, dia nangis. Pagi saya tungggu, eh tahu-tahu dia nggak ada…”
MASJID “Baiturrahim” di Jelambar, Jakarta Barat, berdiri di atas tanah wakaf Nasyir Mahmud Neway. Ia terletak di tengah permukiman, bangunan dua lantai, bercat putih, lantai pertama dipakai sebagai masjid. Pada 4 Maret 2011, usai shalat Jumat, lima jemaat Ahmadiyah duduk melingkar di atas karpet masjid. Ada Abdul Atto, Mansyur, Rahman serta mubaligh dan satu jemaat—menerima kedatangan saya untuk cerita almarhum Roni Pasaroni dan Warsono. Ruangan bersih dan teduh.

Abdul Atto datang ke Jelambar sejak 1970-an, guru sekolah dasar di komplek Bank Dagang Negara di Pesing, lalu menjadi kepala sekolah dan pensiun tahun 2000. Atto mengisi waktu dengan buka tambal ban dan warung kelontong bersama Mardiyah. Atto lahir di Cisalada, perkampungan di Bogor, yang pernah diserang pada 1 Oktober 2010. Dia punya rumah di Cisalada, letaknya di belakang rumah Basyirudin Karim, front terdepan dari gang perkampungan yang berbatasan desa Kebun Kopi dan Pasar Salasa—tetangga mereka yang menyerang Cisalada. Rumah Atto selamat tapi rumah Karim beserta isinya hancur berantakan. Saya pernah bertemu Karim di Cisalada, pria sepuh 60 tahun dengan mata lelah, yang membangun rumah tersebut setahap demi setahap dari usaha menjahit sejak dari Jelambar. Properti milik Karim yang selamat hanyalah mesin jahit dan mesin obras.

Menurut Atto, almarhum Warsono adalah “orang yang rajin.” “Dia mau usaha apapun,” kata Atto. Almarhum Roni Pasaroni dikenalkan Ato lewat Warsono, “Pak, ada preman, bapak ke rumah saya dah!”
Atto biasa pergi dengan sepedamotor dan kali pertama bertemu Roni, dia mencium bau alkohol dari mulutnya. Roni bertanya bagaimana cara sembahyang, bagaimana cara bermasyarakat yang benar. “Saya terangin, ‘kita jangan merendahkan orang lain, nggak boleh sombong. Kalau ada orang yang nggak suka sama kita, yang jahat, kita tidak boleh melawan.’ Seperti itu. Yang biasa saja,” kata Atto. Kali kedua bau alkohol masih menguar. Ketiga kali, Roni menceritakan suatu mimpi: dia pergi haji ke Mekkah, bertemu seseorang dari 7 orang dalam rombongan haji, mengenakan kemeja rapi dan peci hitam—mirip Abdul Atto. Dia juga bermimpi minum air putih dari semacam teko dan kemudian llihat gambar muka Mirza Ghulam Ahmad. Atto menimpali, “Wah itu, Ron, air itu air rohani, berarti kamu harus belajar banyak rohani.”

Sesudahnya, Roni sering diskusi dengan Abdul Atto. Dia datang ke Jelambar dan banyak membaca literatur Ahmadiyah. Satu kali Atto menanggapi Roni, “Sudah bener bergabung? Yakin? Kalau nggak, saya nggak mau.” Atto tanya lagi, “Kamu mau bergabung, saya nggak ngajak kan, atas kemauan kamu sendiri kan?”
“Nggak,” jawab Roni, pendek. “Awas jangan salah,” kata Atto, “sedikit pun saya nggak ngajak kamu. Kamu datang atas keyakinan kamu sendiri.” Pada 2008, Roni memutuskan menjadi jemaat Ahmadiyah.
Perilaku Roni berubah tapi juga bingung bagaimana mencari nafkah halal. Atto mengusulkan, “Kamu mau bawa motor?” Roni mengangguk. Dia kredit motor Yamaha MX. Dia datang ke Atto, “Pak, ini motornya nih!”
“Wah, alhamdulillah,” jawab Atto. “Mubarak!”

Mansyur, kakak ipar Roni, menyaksikan perubahan Roni yang dulunya pemadat dan langganan dikejar-kejar polisi. Kontrakan Mansyur dan Jumiyati mulanya satu rumah dengan Roni dan Rahmawati—mereka tinggal di lantai atas sebelum menghuni petak seadanya di kolong jembatan Berok, Penjaringan. Melihat Jumiyati penasaran dengan keimanan Roni, Mansyur berkata, “Ngapain Lu ikutan-ikutan adik Lu? Adik Lu aja nggak bener, Lu ikutan-ikutan dia?!” Tapi kemudian keluarga Mansyur menjadi jemaat Ahmadiyah. Atto bilang kepada saya, pertama kali Mansyur ibadah shalat “ya di sini, di masjid sini,”—merujuk “Baiturrahim.” Mansyur menganggukan kepala.

Saat peristiwa berdarah di Monumen Nasional, 1 Juni 2008, ketika puluhan milisi Islam garis keras menyerang apel damai Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Warsono dan Roni Pasaroni justru mendatangi massa penyerang. Mereka mengajak mengobrol, “Kenapa ikut demo kamu? Ada duit nggak buat beli kopi. Ini duit.” Terutama Roni, yang mantan preman, disegani dan punya banyak kenalan. Roni dikenal humoris. Dia suka menghibur tetangga yang sedang kesusahan di Muara Baru. Rahman cerita, jika ada apa-apa, Warsono dan Roni “yang maju terdepan, saya di belakang mereka.”
Semua dekat dengan Warsono dan Roni. Rahman cerita, ada seorang teman sekolah dasar di Kapetakan, lulusan sarjana, bercerita tentang almarhum Warsono, “Kalau masalah pelajaran mah Warsono cerdas. Tapi kalau soal agama, dia mah nol!” Saat ramai pemberitaan insiden Parung 2005, Rahman menimpali obrolan satu temannya, “Wajar diserang, orang nabinya ada 26!” Si teman membalas, “Eh, ingat ya, Lu, ada satu kampung dengan Lu yang ikut Ahmadiyah.” Rahman kaget, “Masak ya?” Si teman menjawab, “Ada. Di Muara Baru!” Kapetakan daerah kecil. Rahman tahu semua teman dia dari Kapetakan yang tinggal di Muara Baru. Dia mendengar nama Warsono.

Dia datangi Warsono. Rahman tipe orang penuh minat besar; dia ingin mendengar langsung dari Warsono, “Bener apa nggak?” Warsono membenarkan. Mereka bahkan mengobrol banyak tentang agama. Rahman berpikir, Warsono yang dia kenal “orang yang kurang dalam soal agama. Kok saya di bawah dia.” Kesan Rahman, “Hebat amat ya!” Rahman justru tertarik. Dia minta bacaan terbitan Ahmadiyah. “Coba kayak apa?” katanya.

Singkatnya, Rahman makin tertarik sesudah membaca khasanah Ahmadiyah. Dia diskusi panjang dengan Warsono. Dia tanya, “Kalau saya ketemu mubaligh Jakarta Barat, bisa nggak?” Warsono jawab, “Bisa!” Rahman berdebat dengan mubaligh Yaqub Suriadi di masjid “Baiturrahim”.

Diskusi-diskusi dengan Warsono, sering berjalan hingga larut pagi, malahan bikin repot istri Warsono. Abdul Atto menjadi penengah; dia bilang menemani seseorang yang gelisah merupakan “ibadah.” Warsono juga kerap kerepotan dengan pertanyaan-pertanyaan Rahman. Atto sering diminta memberi saran.

Penasaran, Rahman pindah ke Muara Baru dari Jembatan Dua, untuk lebih dekat dengan Warsono. Istri Rahman bilang, “Mas, apa-apaan?! Kerjanya di Jembatan Dua kok tinggalnya di Muara Baru?!” Rahman rela pulang malam. Pangkalan ojek dia di Muara baru dan sering naik dua angkutan umum jika pulang kemalaman. Rahman menangkap kesan, Ahmadiyah mengajarkan kedamaian, salah satu yang dia cari, bahkan saat dia marah sewaktu berdebat justru jemaat Ahmadiyah malah “nggak balik marah.”

“Saya tertarik karena yang dia pahami itu yang saya cari, ajaran agama Islam seperti ini!” kata Rahman.
Menurut Atto, Rahman “nggak main-main” belajar tentang Ahmadiyah, “Ngobrol dengan Rahman memang lama! Bukan hanya sebulan-dua bulan.” Pada akhir 2007, Rahman pun bergabung sebagai jemaat Ahmadiyah.

Istrinya mula-mula menentang, “Kenapa kamu ikut?” Rahman menjawab, “Kalau kamu nggak suka dengan aqidah saya, nggak toleran dengan aqidah saya, silakan kamu pulang ke Pemalang.” Itu kampung halaman istrinya; ada paman Rahman, seorang penghulu, akan mengurus istri Rahman. “Jangan takut nggak diurusin,” kata Rahman. “Saya percaya dengan keyakinan saya, yang sudah saya selidiki dari awal.” Istri Rahman akhirnya ikut Ahmadiyah.

Orangtua Rahman tahu anaknya Ahmadi. Ayah Rahman pengikut aliran As-syahadatain, satu agama lokal—sesuatu yang menjelaskan proses osmosis, atau penyerapan, akan persilangan agama dan budaya. Ibunya seorang Nahdlatul Ulama. Ibunya kasih pendapat, “Kalau menurut kamu itu benar, maju terus! Yang penting kamu jangan mencari keributan. Soal aqidah, itu urusan pribadi kamu, jika menurut kamu benar, lanjut!”
Pada akhirnya, semua orang ini saling menguatkan. Rahman kembali mengontrak di Jembatan Dua; istrinya kini tinggal di Kapetakan. Roni Pasaroni, sepulang mengojek, biasa menjemput Rahman yang juga baru kelar menyupir bajaj. Mereka kumpul di rumah Warsono. Mereka menyewa sebuah rumah petak, di samping rumah kontrakan Warsono, dijadikan mushalla untuk shalat berjemaah. Tempat ibadah itu dibikin bersih. Ia juga menjadi lokasi obrolan larut malam antara mereka: Warsono dengan Rahman, Warsono dengan Roni, Warsono dan semuanya; lebih sering bertiga.

Dua minggu sebelum penyerangan di Cikeusik, Roni dan Warsono sesekali menyinggung tentang syuhada. Dalam satu obrolan, Roni tanya kepada Rahman, “Kalau syahid tuh bagaimana?”

“Wah, orang kayak kamu mah nggak mungkin, Ron,” Rahman menjawab tanpa beban. Dia merujuk satu contoh khilafah Sayyidina Umar bin Khattabb, yang tewas dibunuh. “Kamu…” kata Rahman, bercanda, “Gimana bisa syahid?!”

Tahu kemudian Roni tewas di Cikeusik, 6 Februari 2011, Rahman mengingat perkataan itu. Dia bilang kepada saya, “Syahid dan nggak syahid itu hak Allah. Itu kan karunia. Saya tidak merasa bersalah akhirnya.”

Jenazah Roni, dari hasil visum, mengalami patah berkeping—tulang-tulang dia hancur. Ada luka di rahang. Ada lecet geser di bagian tulang iga. Rahang atas kepala patah. Ada resapan darah di kepala. Punggung bawah dia menunjukkan luka sayat; tanda dia disabet dengan benda tajam selagi dikeroyok.
Sementara pada jenazah Warsono, kepalanya sobek. Ada lecet geser di bagian dada, yang menunjukkan dia diseret sewaktu ajal mendekat. Ada pendarahan di kepalanya. Saat tubuhnya tak bernyawa, para penyerang masih melukai bagian zakar dengan benda tumpul.

Abdul Atto cerita, empat hari sebelum meninggal, Roni datang ke rumahnya, masih bertanya tentang menjadi syuhada. Esoknya, Roni pinjam motor. Pada Sabtu, 5 Februari, pukul 10 pagi, Roni mengembalika motor tersebut. Mardiyah, istri Atto, sedang pulang ke Cisalada, aktivitas rutin saban bulan yang dilakukan bergantian keluarga ini. “Ron, nggak ada ibu nih, nggak ada yang masak. Kamu belikan makan ya?” Atto memberikan lembaran Rp 50ribu, “Nasi padang dong, enak nih!” Mereka makan bersama. Mendekati zuhur, Roni pamit, hendak pergi ke masjid “Baiturrahim” .

“Udah kamu saja,” kata Atto, “Saya kan jaga warung.” Atto melihat Roni hingga kelokan jalan. Atto sempat menyahut, “Ron, tadi ada kembaliannya?”
“Ada nih, Pak, 28 ribu.”

“Begini, saja, uang itu kamu simpan. Kalau kamu nemenin bapak, ke sini saja. Kalau kamu mau pulang langsung dari masjid, ya silakan.” Roni tak kembali ke rumah Atto. Esok siang, pukul 14:00, Atto kaget mendengar Roni meninggal diibunuh. Senin sore, Atto mengetahui korban tewas yang lain adalah Warsono. Istrinya, Mardiyah, menangis sepanjang hari selama sebulan.
Istri dan anak yang ditinggalkan.
Istri dan anak yang ditinggalkan.

KAMI mendatangi keluarga Roni Pasaroni dan Warsono di Muara Baru. Jumiyati, saat itu sedang main ke rumah Abdul Atto, menjadi pengarah jalan. Kami naik bajaj dengan supir Rahman. Rahman mengenakan kemeja hitam bersih sesudah shalat Jumaat; rambutnya pirang, lelaki ini merantau ke Jakarta dari tahun 1995. Kami menuju Tanah Pasir ke rumah kontrakan Erni Jaeroni, istri almarhum Warsono. Namun Erni tak ada di rumah, menjemput anaknya yang masih sekolah di Muara Baru. Kami lanjutkan ke rumah Rahmawati, istri almarhum Roni. Selagi Wati menceritakan suaminya, Erni datang sesudah ditelepon oleh Jumiyati. Dia membawa ketiga anaknya. Merliana, putri sulung Erni, masih bekerja di pabrik udang.
Almarhum Roni lahir dari keluarga perantauan Makassar; lahir di Jakarta, 33 tahun lalu. Pada Lebaran tahun 2010, dia diajak mudik ke rumah orangtua Rahmawati di Jeneponto. Ini kunjungan pertama Roni setelah mereka menikah. Itu juga kunjungan terakhir baginya.

Jumiyati dan Rahmawati bilang “ikhlas” adik dan suaminya meninggal. “Yah… mau gimana?” ujar Jumiyati. Roni pernah berpesan kepada Rahmawati, “Anak-anak jangan dimarahin…”—“mungkin dia ingat masa kecil dia yang nakal,” ujar Jumiyati. Mereka heran kenapa Ahmadiyah diserang, “Shalatnya sama, Al Quran yang dibaca sama.”

Erni Jaeroni kerap menangis saat anak-anaknya sudah tidur. Warsono sempat berkata kepada Erni, “Kalau saya meninggal nanti, makam saya jangan diapa-apakan, pakailah cara Ahmadiyah, dikubur sederhana saja.”

Pada 22 Februari, dia pindah diam-diam ke Tanah Pasir, tak tahan lagi dengan gunjingan tetangga dan orang-orang sekitar. Di Muara Baru, ada anggota-anggota Forum Betawi Rembug maupun Front Pembela Islam. Mereka sesekali mengancam sambil lalu saat lewat di depan rumah kontrakan dia, dengan kata-kata kasar seperti “bakar” maupun “hancurin.” Anak ketiganya, Tri Ayu Lestari, sering memanggil “Bapak… Bapak..” saat lihat seseorang adzan maghrib di televisi.

Lima hari setelah Warsono meninggal, rumah petak yang dijadikan mushalla kembali berfungsi rumah kontrakan. Tak ada lagi tempat ibadah bersama bagi jemaat Ahmadiyah di Muara Baru. Sesuatu telah berubah.

Erni dan Rahmawati menghindari nonton berita dari televisi setelah kejadian Cikeusik. Mereka juga belum pernah melihat video kekerasan itu. Rahman, yang duduk bersandar di dekat pintu, menyergah, “Jangan… Jangan nonton!” Rahman langsung mengunduh dari internet saat video penyerangan serta pembunuhan itu tersebar via YouTube. Dia “sangat terpukul” melihat dua sahabatnya dibunuh secara brutal.

Rahman kembali ke Jakarta pada 1 Maret 2011. Dia masih berkabung, “sudah tidak ada teman mengobrol lagi,” katanya. Dia sering datang ke Muara Baru untuk diskusi agama dengan Roni dan Warsono. Bahkan dia baru narik bajaj lagi sewaktu mengantar kami bertemu keluarga almarhum.

Mardiyah, istri Abdul Atto, yang telah menganggap Roni dan Warsono sebagai keluarga sendiri, baru bisa berhenti menangis setelah bertemu Imron sehari sebelum kami tiba.

Saya datang saat ada rencana dari keluarga ini berziarah ke makam Warsono dan Roni di Gondrong. Tati Apriani, anak bungsu Roni, bertanya, “Ma, katanya mau ke Papa? Kapan?”
Rahmawati bertanya balik ke Jumiyati, “Eh jadi besok ke Gondrong?”
“Jadi!” kata Jumiyati, dengan suara yang mekar. Tati ikut menimbrung, “Kemana, Ma?”
“Jenguk Papa!” kata Tante Ati.
“Asyiik!”
Tati melonjak-lonjak di pangkuan Mama dia, berteriak girang.*

Retrieved from: http://indoprogress.com/2011/03/17/dua-karib-dari-muara-baru/

Friday, April 20, 2012

Saya Ingin Pulang

indoprogress.com, 25 Oktober 2011

Kisah Pengungsi Ahmadiyah Yang Merindu Keluarga
Liza Desylanhi, penulis lepas, mantan jurnalis radio ABC, Australia

‘SAYA INGIN PULANG. Bagaimana caranya?’ Itu kalimat pertama yang menyambut saya ketika bertemu Sutarno bin Mattori, akrab dipangil Tarno, muslim Ahmadiyah di Cikeusik, yang menjadi korban serangan 6 Februari 2011.

Hampir delapan bulan Tarno mengungsi di sebuah rumah milik jemaat Ahmadiyah di pinggiran Jakarta, terpisah dari istri dan kedua anaknya, Hendra dan Asrip. Kerinduannya tak tertahankan, terutama pada bungsu yang dilihat terakhir kali ketika baru berusia 40 hari.

Nggak tahu saya sekarang sudah bisa apa dia. Pasti lagi lucu-lucunya,’ ujar Tarno. Matanya menerawang, memandang ke suatu titik di mana ingatannya membayang. Mungkin, dengan begitu, pandangannya makin lekat dengan Asrip.


Tarno mendapati dirinya tak bisa pulang dengan bebas setelah sekitar 1,500 orang menyerang, menghancurkan rumah, dan membunuh tiga Ahmadi: Roni Pasaroni, Warsono dan Tubagus Chandra. Pagi, Minggu, awal Februari itu, rumah Ismail Suparman, mubaligh Ahmadiyah Cikeusik, pusat kegiatan 25 Ahmadi di desa Umbulan, jadi sasaran kemarahan dan kebencian. Para penyerang menyasar 20 Ahmadi, termasuk Tarno, yang berusaha mempertahankan rumah tersebut.

Dia diminta Suparman, kakaknya sendiri, untuk jaga rumah dua hari sebelum serangan. Polisi membawa Suparman ke Polres Pandeglang pada 5 Februari dengan alasan ‘keamanan.’

Tarno tinggal selama lima tahun terakhir di desa Pasir Gebang, kecamatan Wanasalam, berjarak 3 kilometer dari Umbulan. Anak sulungnya, Rosanti, tinggal di rumah Suparman. Belakangan, setelah penyerangan, Rosanti ikut mengungsi bersama dia, lantas dipindahkan ke tempat lain agar bisa meneruskan sekolah. Pada saat kejadian, Tarno tengah sarapan nasi kuning ketika para penyerang mendatangi pekarangan depan rumah Suparman. Bingung dan panik, dia keluar rumah yang justru disambut lemparan batu diselingi hujatan dan, dalam menit-menit penyerangan, sebagian dari para penyerang mengambil golok dari balik jaket, mengejar-ngejar para Ahmadi.

‘Saya berusaha melawan, tapi mana bisa?! Kita cuma segitu,’ ucapnya.

Kalah jauh dalam jumlah, Tarno memilih menyelamatkan diri.  Semua terpencar. ‘Saya nggak tahu kondisi saudara yang lain.’

Dia sempat bersembunyi dua hari di hutan, sebelum akhirnya ditemukan Nayati, adik iparnya, dan akhirnya ikut bersama korban Cikeusik yang lain.

Demi alasan keamanan, Tarno terpaksa menitipkan istri dan kedua anak ke rumah mertua di desa Sumur Batu, sekitar 2,5 kilometer dari Umbulan. Kata Tarno, kelompok penyerang masih mencari-cari dia dan keluarga.

‘Istri sebetulnya pingin nyusul saya ke sini. Biar kita bisa kumpul lagi. Tapi nggak bisa. Istri dan keluarga istri saya ditekan sama warga dan kyai di sana. Katanya, ‘Kalau nyusul saya, berarti ikut jadi jemaat Ahmadiyah, kalau gitu jangan berharap bisa pulang lagi.’ Istri Tarno bukan anggota jemaat Ahmadiyah. Istrinya bersikap wajar atas pilihan keyakinan Tarno.

Pengikut Ahmadiyah menyebut dirinya ‘Muslim’ dan percaya Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahamdiyah dari Qadian, sebagai Imam Mahdi, yang melaksanakan ajaran atau syariat Nabi Muhammad—nabi terakhir umat Muslim. Sebagian besar mazhab Islam, terutama kalangan Wahabi,  menganggap Ahmadiyah ‘kafir.’ Organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia diakui pemerintahan Sukarno pada 1953. Pada 2005, Majelis Ulama Indonesia, sebuah badan semi-pemerintah yang dibentuk rezim Soeharto, mengeluarkan fatwa anti-Ahmadiyah pada 2005, meneruskan fatwa serupa pada 1980. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan surat keputusan bersama tiga menteri pada 2008, yang melarang kegiatan Ahmadiyah di depan publik, dengan ancaman lima tahun penjara. Banyak peristiwa kekerasan anti-Ahmadiyah di daerah-daerah, termasuk pembunuhan di Cikeusik, didorong oleh keputusan bersama tiga menteri tersebut.

Muslim Ahmadiyah merasa tak ada yang salah dan keliru dengan keyakinannya—jika pun alasan itu yang dipakai untuk penyerangan, pengusiran, dan pembunuhan.

‘Mereka sebetulnya nggak punya alasan nyerang keluarga saya. Apa dasarnya? Keluarga saya selalu baik pergaulannya dengan tetangga,’ kata Tarno dengan raut muka muram.

Delapan bulan di pengungsian, tanpa anak-istri, tanpa pekerjaan tetap, ‘cukup sudah,’ kata Tarno. Dia ingin pulang. Kerinduannya mengalir deras. Dinding itu runtuh.

‘Sebagai suami tugas saya melindungi istri saya. Sebagai bapak, saya harus ada buat melindungi anak-anak saya. Gimana nasib mereka kalau bapaknya di sini terus?!’

‘Saya juga mesti menyelamatkan aset keluarga saya. Rumah, sawah, dan kebun.’

Kekhawatiran Tarno memuncak saat saudaranya, Maryani dan Miun, menelpon. Mereka bilang rumah keluarga di desa Umbulan dijarah, perabot rumah tangga hilang, kusen-kusen dipreteli.

Kisah warga Ahmadiyah di Lombok jadi cermin Tarno. Hingga enam tahun berlalu, muslim Ahmadiyah di Lombok terasingkan di tempat penampungan Transito, sebuah bangunan pemerintah di Mataram. Hidup mereka terberai dari sanak keluarga. Mereka sudah tak bisa pulang. Setiap upaya pulang selalu diganjar penyerangan oleh kelompok anti-Ahmadiyah. Pemerintah abai.


Keinginan melindungi anak-istri dan menjaga aset keluarga jadi pendorong kuat bagi Tarno untuk segera pulang. Apalagi Hendra, anak keduanya, sering bertanya ’Kapan bapak pulang?’ tutur Tarno setiap anaknya itu menelpon dirinya. Saya cuma bisa bilang, ’Sabar ya. Nanti bapak pulang.’

Hendra sempat bertanya kepada ibunya, kenapa bapak tak kunjung pulang? ‘Istri saya nggak cerita kejadian sebenarnya. Dia cuma bilang, ’Bapak takut’. Anak saya tanya, ‘Takut kenapa?’ Ibunya bilang, ’Bapak takut pulang soalnya dikejar-kejar orang’,’ cerita Tarno. Senyum tipis tersungging di bibirnya.
‘Terus anak saya nelpon. Dia bilang, ’Kalau pulang lewat hutan aja, Pak, kalau takut ketemu orang mah. Kan di hutan nggak ada orang,’ ujar Tarno, kali ini sambil tertawa lebar, teringat celoteh polos Hendra.
Telpon ditutup dengan janji yang tak kunjung dipenuhi Tarno, ‘Nanti bapak pulang lebaran.’

Nyatanya lebaran dilewati Tarno di sebuah rumah milik jemaat Ahmadiyah di pinggiran Jakarta. Ini lebaran pertamanya tanpa keutuhan keluarga.

‘Saya pingin pulang. Saya minta perlindungan biar aman, minta jaminan kalau saya pulang ke Umbulan, nggak akan ada lagi demo-demo, nggak ada serangan. Saya mau minta ke Mabes Polri. Kalau perlu saya dianter, supaya yakin aman.’

Meski hanya sekitar 6 jam dengan mobil menuju kampungnya dari Jakarta, tetapi, bagi Tarno, kata pulang seolah membentang jarak dan waktu tanpa perhentian; terlipat dalam ingatannya.
Dia mengenang ucapan Hendra, ‘Bapak, kapan pulang?  Kalau pulang beli kurma, sepeda, beli jeruk ya, Pak…”***

Retrieved from: http://indoprogress.com/2011/10/25/saya-ingin-pulang/


Thursday, April 12, 2012

Sesat dan Menyesatkan

Kompas, Jum'at, 13 April 2012
Oleh Said Aqil Siroj
Ada celotehan yang muncul: mengapa perbedaan—khususnya di ranah internal agama—saat ini terlihat semakin ganas. Mudah bersitegang, tidak pernah tuntas, ujungnya saling menyalahkan. Jangan murka dulu. Keluh kesah itu layak ditanggapi secara bijak. Seeing is believing, fakta yang bicara.
Apanya yang fakta? Kepenasaran kembali meluncur. Bukankah beda pendapat dalam segala hal sah-sah saja?
Dunia ini diciptakan sudah bermacam rupa. Mustahil untuk bisa dipersatukan. Tuhan menciptakan manusia dan seisi alam ini beragam supaya manusia saling memahami dan mengenali satu sama lain (lita’arafu). Penyeragaman terjadi karena ulah manusia yang didasari unsur luaran, semisal kepentingan politik.
Menyejarah
Sulit dielak, fakta keragaman dalam pemahaman internal keagamaan sering kali mencuat. Sungguh, fakta tersebut sudah terjadi jauh-jauh silam.
Dalam sejarah Islam, perbedaan pemikiran bukan sesuatu yang ”najis”. Vonis penajisan hanya ”dibakukan” dalam kelompok yang meyakini kebenaran pendapatnya, lalu menvonis pihak lain sebagai sesat. Baku hantam pun kerap mewarnai perjalanan dalam pencarian kebenaran.
Sejarah juga mencatat, hiruk-pikuk polemik dan kontroversi telah mewarnai pemikiran umat Islam sedari dulu. Sengitnya perdebatan antara Muktazilah, Murjiah, Rafidhah, dan Ahlussunnah, misalnya, telah direkam rinci oleh Abdul Qohir ibn Thahir ibn Muhammad al-Baghdadi dalam kitab al-Farqu bain al-Firaq. Dalam kitab tersebut terpapar dengan jelas kemajemukan pemahaman keagamaan.
Masyhur diketahui, dulu ada sekte khawarij yang mengaku pembela Islam yang paling orisinal. Mereka ini berslogan ’la hukma illa Allah’, tidak ada hukum kecuali yang datang dari Allah. Mereka hendak memancangkan kedaulatan hukum Allah.
Saking militannya untuk membela Islam, mereka jadi kalap dan tega-teganya mengafirkan kubu Ali bin Abu Thalib dan kubu Muawiyah bin Abu Sufyan yang terlibat dalam Perang Shiffin. Dalihnya, kedua kubu tersebut telah keluar dari Islam karena menempuh ”tahkim” (arbitrase) demi mengakhiri perang saudara di antara mereka.
Bagi khawarij, model arbitrase dianggap identik dengan berhukum berdasar aturan manusia, bukan aturan Allah. Karena itu, hukum yang pantas adalah vonis kekufuran dan hukum mati. Tak ayal, pada Ahad pagi, 17 Ramadhan 40 H, Ali bin Abi Thalib dibunuh di Kuffah. Pembunuhnya adalah Abdurrahman Ibnu Muljam. Sebenarnya yang akan dibunuh ada dua orang lagi, yakni Gubernur Syam (Suriah) Muawiyah bin Abu Sofyan dan Gubernur Mesir Amr bin Ash. Kedua pemimpin Islam ini akan dibunuh masing-masing oleh Abdul Mubarok dan Bakr Attamimi.
Saat ini pun muncul jemaah-jemaah Islam yang dengan ”pede”-nya tidak henti memojokkan Muslim lain sebagai ahli bidah, bahkan musyrik. Presiden SBY dan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini pun sudah sering ditunjuk-tunjuk sebagai penguasa dan negeri thoghut karena tidak mau menerapkan hukum syariah. Tuduhan-tuduhan terhadap ulama di luar kelompoknya juga kerap meluncur seperti tuduhan ulama sesat (su’) hanya karena berbeda cara pengambilan dasar pemikiran (istinbath al-hukm). Ada pula doktrin dari suatu jemaah tertentu yang melarang menikahi seseorang yang jarang atau tidak pernah menjalankan shalat berjemaah. Kumpul-kumpul dengan kelompok yang dicap ahli bidah juga dilarang. Ukuran ’jidat hitam” atau beda cara berbusana pun bisa menjadi arena pertikaian.
Sebenarnya, jauh sebelumnya, di negeri kita muncul beberapa kelompok Islam yang kehadirannya menghebohkan sehingga dilarang. Contoh yang terkenal adalah Islam Jamaah, DI/TII, Baha’i, Inkarus Sunnah, Darul Arqam, gerakan Usroh, aliran-aliran tasawuf berpaham wahdatul wujud, tarekat Mufarridiyah, juga gerakan Bantaqiyah (Aceh). Termasuk di dalamnya Ahmadiyah dan Syiah.
Sederet fakta di atas kiranya bisa jadi gambaran betapa sikap saling sesat-menyesatkan terus bergulir selaju derap perkembangan zaman. Porosnya adalah sikap yang mengklaim terhadap kebenaran pendapatnya serta merasa diri sebagai yang paling benar dan selamat (firqah al-najy).
Di balik penyesatan
Kelompok yang divonis sesat atau sempalan selalu dipandang sebagai kelompok yang memisahkan diri dari ortodoksi yang berlaku. Di sini menebal keyakinan bahwa yang sesat adalah sesat; ada fatwanya atau tidak. Dulu, kita ingat saat panas-panasnya ribut antara kalangan Islam modernis dan kalangan tradisionalis, selalu muncul sikap saling tuding sesat-menyesatkan. Dari sudut pandangan ulama tradisional, kaum modernis adalah sesat, sedangkan kaum modernis justru menuduh lawannya menyimpang dari jalan yang lurus.
Kelompok yang dituduh sesat tentu saja juga menganggap dirinya lebih benar daripada lawannya. Biasanya mereka justru merasa lebih yakin akan kebenaran paham atau pendirian mereka. Bahkan, sering kali mereka cenderung eksklusif dan kritis terhadap para ulama yang mapan.
Sepanjang sejarah Islam telah terjadi berbagai pergeseran dalam paham dominan, yang tidak lepas dari situasi politik. Dalam banyak hal, ortodoksi didukung oleh penguasa, sedangkan paham yang tak disetujui dicap sesat. Persoalan ortodoksi atau otoritas keagamaan terlihat sebagai sesuatu yang bisa berubah menurut zaman dan tempat. Ada kadar kontekstual.
Paham Asy’ariyah pada masa Abbasiyah pernah dianggap sesat saat ulama Mu’tazililah yang waktu itu didukung penguasa merupakan golongan yang dominan. Bahwa akhirnya paham Asy’ari-lah yang menang juga tidak lepas dari faktor politik.
Contoh lain di Iran. Syiah berhasil menggantikan Ahlussunnah sebagai paham dominan baru lima abad belakangan. Seperti diketahui, Syiah Itsna ’asyara kini merupakan ortodoksi di Iran. Sampai abad ke-10 H (abad ke-16 M), mayoritas penduduk Iran masih menganut mazhab Syafi’i. Paham ini baru dominan setelah dinasti Safawiyah memproklamasikan Syiah sebagai mazhab resmi negara dan mendatangkan ulama Syi’ah dari Irak Selatan.
Komunikasi
Dalam agama selalu ada yang sifatnya dogma (ma’lumun min al-diny bi al-dharurah). Ini jangan diulik-ulik, sebaliknya harus dihampiri dengan iman. Makanya, ketika muncul aliran-aliran ”aneh” seperti Lia Eden atau Al-Qiyadah yang mengaku-aku ”nabi” dengan menafikan ajaran yang sifatnya ritual, seperti tak wajib shalat lima waktu, sontak disikapi secara tandas. Aliran-aliran tersebut dihukum melenceng dari ajaran Islam yang baku.
Kata ”sesat” sendiri di dalam Al Quran berasal dari akar kata dhalalah, yang dengan segala bentuk derivasinya disebutkan 193 kali. Bermacam-macam sifat dan perilaku manusia oleh Al Quran dinyatakan sebagai orang-orang yang sesat. Jangan lupa, ”penyesatan” juga dibidikkan kepada orang-orang zalim serta orang yang suka hidup mewah, berlebihan, dan korupsi.
Secara teoretis kita bisa meramalkan, semakin dekat ortodoksi kepada kemapanan politik dan ekonomi, semakin kuat kecenderungan radikalisme gerakan kelompok yang diinisiasi sesat. Nah, disinilah perlunya dialog dan komunikasi secara terus-menerus, tidak hanya bereaksi dengan melarang-larang. Terputusnya komunikasi akan mengandung bahaya. Para tokoh agama perlu kembali memberikan perhatian lebih kepada umat dengan memberikan pemahaman keagamaan yang lebih mendalam agar masyarakat merasakan keteduhan dalam beragama serta meminimalkan ketegangan yang merusak harmoni keindonesiaan.
Said Aqil Siroj Ketua Umum PBNU

Thursday, April 5, 2012

Indonesia’s Religious Violence: The Reluctance of Reporters to Tell the Story

Nieman Reports; Fall2011, Vol. 65 Issue 3, p58-61, 4p

‘In an average Indonesian newsroom, most media workers identify closely with an Islamic and nationalist identity.’

By Andreas Harsono
On Sunday morning, February 6, 2011, about 1,500 men approached a house in Cikeusik village in West Java, about a seven-hour drive from Jakarta, the capital of Indonesia. The villagers were led by Idris bin Mahdani of the Islamist militant Cikeusik Muslim Movement. Twenty members of the Ahmadiyah religious community were inside the house and guarded by police.

"Infidels! Infidels! Police go away!" bin Mahdani shouted at the 30 or so police officers who surrounded the house.

The Cikeusik police chief, Muh Syukur, tried to persuade bin Mahdani not to attack. Bin Mahdani waved him away. As soon as the chief left, bin Mahdani led the mob inside the compound, shouting, "Banish the Ahmadiyah! Banish the Ahmadiyah!"

About 1,500 Islamist villagers attacked the Ahmadiyahs’ house in Cikeusik, West Java, on February 6, 2011.

The Ahmadiyah are a minority sect who identify themselves as Muslims but differ with other Muslims as to whether Muhammad was the "final" monotheist prophet. Many mainstream Muslims perceive the Ahmadiyah as heretics, and their faith is banned in several countries, including Bangladesh, Malaysia, Pakistan and Saudi Arabia.

An amateur video shows what happened when the mob entered the Ahmadiyah compound. Deden Sujana, the Ahmadiyah's security adviser, confronted bin Mahdani and hit him in the face. This prompted the villagers to start throwing stones. Stepping back, bin Mahdani took out his machete. The Ahmadiyah men used bamboo sticks and stones, but were in no position to stop the large mob. In less than five minutes, the villagers overpowered the sect's men; they caught several of them, ordered them to strip naked, and several villagers beat them brutally with sticks. These beatings can be seen on the video. A teenager took a large stone and smashed the head of an Ahmadiyah man lying on the ground. They also burned the house, two cars, and a motorcycle. Three Ahmadiyah men—Tubagus Chandra, Roni Pasaroni and Warsono—died and five others were seriously injured. 

Wielding a machete, Idris bin Mahdani, in dark pants, led the attack against 20 Ahmadiyah in Cikeusik, West Java. Three Ahmadiyah men were killed and five seriously wounded. 


Reporting the Attack

By Monday morning word of the attack had reached Java's main cities, and news media published and broadcast stories about it. Jawa Pos, Kompas, Pikiran Rakyat, Republika, and Suara Merdeka, five of the largest newspapers in Java, as well as TV One and MetroTV, Indonesia's most important news channels, used the word bentrokan or "clashing" in describing what happened, leaving the impression that it was a fair fight. The channels broadcast the first part of the amateur video—showing villagers throwing stones—but they did not show the killing. 

Meanwhile, Al Jazeera, ABC Australia, Associated Press Television Network, BBC and CNN used the verb "attack" in their reporting, and this word helped them place the news story in the context of the rise of Islamist violence in Indonesia. They blurred the brutal video scenes, but they broadcast them. Al Jazeera even broadcast a report on Islamist attacks against Christian churches and Ahmadiyah properties in Indonesia. 

RELATED ARTICLE
Journalists Confront New Pressures in Indonesia
- Andreas Harsono
From Summer 2002
Welcome to post-Suharto Indonesia where impunity for violence against religious minorities has fostered larger and more brutal attacks by Islamist militants. According to the Communion of Churches in Indonesia, there have been attacks on more than 430 churches since President Susilo Bambang Yudhoyono took office in 2004. According to Jemaah Ahmadiyah Indonesia, the national Ahmadiyah association, mobs have attacked Ahmadiyah properties more than 180 times since President Yudhoyono issued a decree in June 2008 restricting the Ahmadiyah's religious activities. More than 80 percent of these attacks took place on Java, the main island of Indonesia. Human Rights Watch has repeatedly urged Yudhoyono to act against these militants, to rein in religious violence, and revoke the 2008 decree. 

On the day the reports about the Cikeusik attack were first broadcast, an Ahmadiyah activist who was meeting with me complained about Metro TV. He had given the Cikeusik footage to Metro TV earlier that day. In their broadcast, this Jakarta channel toned down the atrocities. This activist let me know that his friend, the Ahmadiyah cameraman who had shot the video, had risked his life to record the violence. He felt that the Indonesian public should bear witness to such atrocities, especially since hundreds of Ahmadiyah properties had been damaged. 

This video—and the news coverage that resulted—reminded me of another amateur video that showed Indonesian soldiers torturing two West Papuan farmers. It was released in October 2010 and broadcast on international media, but no Indonesian station showed it. The incident had taken place on May 30 when Battalion 753 soldiers arrested Tunaliwor Kiwo and Telangga Gire in West Papua's Puncak Jaya regency. In the 10-minute video, the soldiers are seen kicking Kiwo's face and chest, burning his face with a cigarette, applying burning wood to his penis, and holding a knife to Gire's neck. In testimony videotaped later, Kiwo describes the torture he suffered for two more days before he escaped from the soldiers on June 2. Soldiers also tortured Gire, who was released after his wife and mother intervened. 

If Jakarta's mainstream news media think they still play the role of gatekeeper in this Internet age, they should realize how rapidly that role is diminishing. Raw video files of the Cikeusik violence were uploaded quickly onto YouTube. One video went viral; 40,000 viewers watched it in just 24 hours. Some users copied the video from YouTube and uploaded it on their accounts. This digital dimension broadened the reach of news about the Cikeusik attack and prompted the Indonesian police to remove some high-ranking police officers in charge of Pandeglang regency and Banten province, where the violence occurred.

That same week Islamist militants attacked three churches in Temanggung, central Java, injuring nine people, including a Catholic priest. In Bangil, a small town in eastern Java, Sunni militants attacked a Shia school, the largest Shia facility on Java. 

Given the frequency of such attacks, the international news media took up the story of Muslim violence in Indonesia. Their coverage shook the image of Indonesia as a "moderate Muslim" country. Scot Marciel, the United States ambassador to Indonesia, issued a statement deploring religious violence and encouraging President Yudhoyono to uphold the rule of law in Indonesia. The message he delivered was in stark contrast to the one that President Barack Obama had given in his Jakarta speech three months earlier when he highly praised Indonesia's "religious tolerance." 

Probing Self-Censorship

The question confronting journalists in Indonesia is how to explain what can only be seen as their selective self-censorship on stories involving religious freedom. Recently, Lawrence Pintak, a professor at Washington State University, and Budi Setiyono, with the Pantau Foundation in Indonesia, wrote about the findings from a nationwide survey in which 600 Indonesian journalists were asked about their perceptions of Islam in the context of their work and personal lives. (The paper, "The Mission of Indonesian Journalism: Balancing Democracy, Development, and Islamic Values" appeared in the April 2011 issue of the International Journal of Press/Politics.) No survey of this scale on the topic had been done before.

What this survey revealed offers insights that help get at the question of self-censorship, including these findings:

  • In an average Indonesian newsroom, most media workers identify closely with an Islamic and nationalist identity. Asked to complete the sentence, "Above all, I am a(n) …" the primary identity cited by about 40 percent of respondents was "Indonesian" (40.3 percent) and "Muslim" (39.7 percent). Only 12 percent said they were a "journalist" first.
  • When asked if they supported banning the Ahmadiyah sect, 64 percent of the surveyed journalists said yes.
When I saw that figure of 64 percent, it reminded me of a conversation I'd had with a newspaper editor in Jakarta who was a Christian. She told me that she was shocked when her chief editor, a Muslim, told an editorial meeting, "Our policy is to eliminate the Ahmadiyah. We have to get rid of the Ahmadiyah."

Learning this explained why the West Papua and Cikeusik videos were not shown on Indonesian channels. Some of the broadcasters have explained that they didn't want to broadcast the West Papua torture video since it might create a negative impression of Indonesian rule over West Papua. Some contended that they didn't show the Cikeusik video because doing so might have incited violence. 

Media Freedom


The Sukarno (1949-1965) and Suharto (1965-1998) dictatorships controlled Indonesia's media through publishing licenses. A newspaper that violated the restrictions would lose its license. According to Pintak and Setiyono, in 1997, near the end of the Suharto rule, about 7,000 journalists worked for fewer than 300 print outlets, the state radio broadcaster, and 11 TV networks owned by Suharto's children or cronies. After Suharto stepped down from power in May 1998, his successor as president, B.J. Habibie, opened up the news media as he lifted restrictions. Today, there are some 30,000 journalists, more than 1,000 print publications, 150 TV stations, and 2,000 radio stations. The report's authors portray it as "a media free-for-all."

Islamist organizations, which were repressed since the early 1960's, also used this media freedom—expanding their own media—to spread their Salafian messages. Their propaganda quickly gained influence in spreading intolerance in Indonesia. The Islamists are also aided by some in the mainstream media. Militant groups such as Laskar Jihad, Front Pembela Islam, Hizbut Tahrir, and Jemaah Islamiyah were established, frequently attacking Christian churches, Ahmadiyah mosques, Buddhist temples, and other minorities. 

Local news media near the Cikeusik attack played a role in determining how other reporters would tell this story. They circulated news reports that the Cikeusik violence was fabricated to discredit Indonesian Muslims. At the trial of 12 defendants accused of participating in the Cikeusik attack, Ade Armando, a communication lecturer at the University of Indonesia, testified that journalists from Republika, Voice of Islam, and Anteve twisted a statement by Deden Sujana to make him sound like the provocateur of the attack. He described how news coverage of the event had cast the Ahmadiyah men as aggressors, not victims. 

On July 28, the Serang district court found the 12 village men guilty on various charges, including public incitement, illegal possession of sharp weapons, destruction of property, maltreatment of others, individual assault, participating in an assault, and involvement in an attack. None of the defendants were charged with murder or manslaughter. The court sentenced those who were found guilty to between three and six months. Two of the 12, including the teenager who smashed the large stone against a man's head, walked free that day. The reason: time they had already served. The court also found Sujana guilty of inciting the attack and sentenced him to six months in jail.

Bad habits die hard. Lifting controls doesn't always change the way journalists handle themselves. In Java, their bosses encourage self-censorship in an attempt to stay in the good graces of those in power, including the Muslim clerics. Why should they change the way their newsrooms work when they have produced so much money during the Suharto era? Even though it is a free-for-all with government restrictions lifted, journalists continue to use their religious and nationalist reflexes in their newsrooms.

Andreas Harsono, a 2000 Nieman Fellow, is a consultant in Jakarta for the New York-based Human Rights Watch and chairs the board of the Pantau Foundation, which conducted the nationwide survey of Indonesian journalists for Pintak and Setiyono. He was managing editor of the Jakarta-based Pantau magazine, a monthly newspaper about media and journalism.
 Retrieved from: http://www.nieman.harvard.edu/reportsitem.aspx?id=102685