PADA pukul 7 malam Minggu, 5 Februari 2011, Roni Pasaroni bilang “mau
ngojek” kepada Rahmawati. Anak mereka, Tati Apriani, gadis lincah usia 5
tahun, melihat Papa dia pergi dari ruang tengah, sebuah petak beralas
semen sekaligus ruang tidur bagi empat anggota keluarga ini. Wati, yang
menjaga warung kecil di depan rumah, menyaksikan rutinitas itu selama
dua tahun belakangan sejak suaminya menanggalkan identitas preman. Roni
biasa berangkat pukul 8 pagi, pulang saat zuhur dan rehat siang hingga
pukul 14:00, kembali ke rumah jam 4 sore. Jam 7 malam dia melanjutkan
ngojek sampai pukul 01:00 dini hari. Roni mengendarai sepedamotor Yamaha
MX warna merah, dibeli dengan kredit, tempat mangkalnya di ujung jalan.
Itulah keseharian tetap dari suaminya, melalui sudutmata Rahmawati dari
dalam rumah, hingga dia tak kembali dinihari itu. Roni Pasaroni & Warsono
Perilaku Roni berubah sejak Mahdarisa lahir, anak pertama mereka,
sembilan tahun lalu. Dia kemudian mendalami agama jauh lebih intens,
dengan rajin beribadah, sampai-sampai Wati kaget melihat perubahan Roni
yang shalat tahajud dari seseorang yang sama yang sebelumnya bahkan tak
pernah shalat lima waktu. Jumiyati, kakak perempuan Roni, pengganti
peran ibu setelah orangtua cerai, terkenang masa-masa rutin saat Roni
selalu mengingatkan ibadah shalat tepat waktu. Jumiyati mengalami
kekagetan yang senyap sesudah Roni tiada hanya dari mendengar suara
motor melintasi tempatnya. Roni rutin pergi ke tempat Jumiyati
disela-sela mengojek. Tempat tinggal Jumiyati dan Mansyur, suaminya, dan
enam anak mereka di kolong jembatan di Penjaringan, Jakarta Utara. Saat
ada bunyi sepedamotor mendekat, Jumiyati merasa adiknya kembali—sesuatu
yang takkan mungkin; dan dia mendadak menangis saat ingatan itu
mengalir.
Sebulan kemudian Rahmawati mengetahui Roni pergi bersama Warsono dan
Imron—cerita dari Erni Jaeroni, istri Warsono, saat mereka berkumpul di
ruang tengah, tempat di mana Tati Apriani melihat Papa dia pamit pada
malam Minggu. Ini rumah petak 3×5 meterpersegi, berdempetan rumah-rumah
ukuran serupa, di mana sepanjang hari tercium bau menyengat dari
gelombang udara yang mengirimkan campuran air mampat di selokan,
tumpukan sampah, serta ikan-ikan yang dijemur di suatu tempat di dekat
muara. Kini Rahmawati duduk menggelosor di dekat lemari es, membelakangi
dinding plastik yang memisahkan kamar mandi. Rak televisi, lemari
pakaian dan barang-barang lain, termasuk perkakas makan, ditempatkan di
tepian tembok yang menghubungkan pintu rumah. Keluarga Roni dan Warsono
tinggal di Muara Baru—sebuah permukiman padat perkotaan Jakarta Utara;
sebagian besar warga di sini bekerja nelayan dan buruh pabrik perikanan.
Ketidaktahuan Rahmawati akan kepergian Roni pada malam itu, bukan
lantaran dia tak acuh mengikuti keseharian suaminya, tapi justru
cenderung menguatkan kesan “bidadari”—sebutan yang disematkan Jumiyati,
kakak Roni, atas peran Wati menetralisir sifat-sifat buruk Roni. Itu
juga kurang-lebih menyiratkan masa silam pasangan ini. Wati dan Roni
menikah sebelas tahun lalu dan keluarga Wati dari Jeneponto, Makassar,
menolak anaknya menikah dengan preman. Roni jatuh cinta seperti remaja
berhati buta kepada perempuan buruh pabrik dan dia mengancam, “Kalau Lu
kagak mau, gua culik, gua bunuh!” Pada suatu malam Minggu saat pacar
Wati berkunjung, Roni muncul tanpa diduga lalu amarahnya meledak,
mengajak pacar Wati berkelahi—oleh Wati diminta kabur. Gelas yang
dihidangkan untuk pacarnya dipecahkan Roni. Roni menyayat pergelangan
tangan sendiri dan luka itu mendapat sepuluh jahitan.
Saat hamil muda, keluarga Wati mengirim abang dia dan polisi ke Muara
Baru, minta kandungan digugurkan. Tetapi Roni menolak, “Jangan, Ma!
Nanti kita berdosa kalau gugurin.”
“Ya, saya juga tahu,” kata Wati, “Tapi kamu bajingan. Kita mau makan apa?”
“Ya, udah, ayo kita ke Surabaya!”
Roni mengajak Wati ke rumah ayahnya, yang menikah lagi dengan
perempuan dari Malang sesudah bercerai. Mereka kembali ke Muara Baru
saat usia kandungan sudah tua. Orangtua Wati mulai menerima pernikahan
mereka setelah Mahdarisa lahir. Empat tahun kemudian, Tati Apriani
mengeluarkan tangisan pertamanya di dunia.
Roni belum memutuskan kehidupan jalanan. Namun Jumiyati, diasuh nenek
dari pihak ibu bersama Roni, mengatakan adiknya “nggak pernah”
memberikan “uang haram kepada keluarga” dari jatah dia sebagai preman.
Abdul Atto, pensiunan guru berusia 67 tahun dan guru pembimbing Roni,
menyebut Roni dulu adalah “bajingan.” Rahman, teman mengobrol Roni
nyaris sepanjang malam, bercerita Roni pegang keamanaan dua pabrik di
Muara Baru serta satu pangkalan bus, jurusan Jakarta-Pekalongan, di mana
dia “tinggal duduk” sudah dapat duit “minimal Rp 50ribu.”
Sewaktu kecil di Tanjung Priok, Roni lari saat hendak disunat, naik
mobil kontainer. Satu gigi-seri dia tanggal separuh kala terjatuh dari
atap sewaktu mengambil bulu kok badminton. Bertahun-tahun setelah dia
bisa menyetir sepedamotor, dia pun terjatuh lagi dan gigi-seri itu
tanggal utuh. Orang-orang di Muara Baru menjulukinya “Roni Ompong.”
Dia memiliki tato naga di punggung yang melilit sekujur badan.
Mansyur, suami Jumiyati, bercanda tentang tato itu: “Udah makan belum
tuh naganya, nih makan, laper kali tuh naga, Ron?!”—sambil menyodorkan
piring nasi ke mulut naga. Pada akhirnya, tato itu adalah pengenal yang
jelas dari tubuh Roni, plus satu giginya yang ompong, saat tubuhnya tak
bernyawa, berada sekira tujuh jam perjalanan dari Muara Baru.
Nama dia yang pertama muncul, secara definitif, sebagai korban tewas
di Cikeusik pada 6 Februari 2011. Seseorang dari kolega Roni mendatangi
rumah Rahmawati pada pukul 10 malam Senin, mengabarkan Roni telah
meninggal. Wati jatuh pingsan. Saat terbangun, para tetangga sudah
berkerumun. Ada kegaduhan. Ada banyak dari mereka menangis. Mahdarisa
dan Tati Apriani meraung histeris. Wati dan foto mendiang suaminya, Roni.
Rahmawati segera menelepon keluarga di Jeneponto. Oom dan Mama dia
langsung pesan tiket pesawat pada hari Senin, 7 Februari. Mereka dapat
jadwal penerbangan pukul 5 sore dan tiba di Muara Baru pukul 8 malam.
Mayat Roni diotopsi di rumahsakit daerah Serang, dijemput oleh Jumiyati
dan keluarganya. Jenazah datang pukul 01:30 dinihari, di tengah ruangan
sempit yang mendaraskan surat Yasin. Pada pukul 7 pagi, 8 Februari,
penanda waktu yang menunjukkan Roni siap beraktivitas untuk ngojek tapi
saat itu terbaring dalam kain kafan, jenazahnya dibawa ke Gondrong,
Tangerang, untuk dimakamkan. Penguburan berlangsung sekira pukul 10 pagi
bersama jenazah Tubagus Chandra, warga Parung, Bogor.
Sebulan kemudian saat Rahmawati dan kedua anaknya berkumpul bersama
istri dan empat anak Warsono, almarhum Roni hadir dari bibir Wati dalam
ingatan subuh hari selagi membangunkan Wati untuk segera wudhu. Itu
kebiasaan rutin Roni yang paling diingat istrinya. Ingatan itulah yang
seketika membuat airmuka Wati sembab.
Di sela cerita tentang Roni, Tati Apriani menimpali ibunya dengan berteriak, “Mama bohong! Mama bohong!”
Jumiyati, duduk di belakang pintu, meladeni: “Eh, nanti nggak diajak ke kolong loh!”
Tati paling suka mengisi waktu senggang bersama “Tante Ati” di
tempatnya, di kolong jembatan Berok, Penjaringan. Tati menimpali, “Nggak
mau… Nggak mau!”—seraya melonjak-lonjak hingga ibunya mendongakkan
kepala, sementara jemarinya meraih mulut si mama. Ucapan Tati bukan
berasal dari nada sedih, tapi ada sesuatu yang lugu dan ceria dari
spontanitasnya. Tante Ati mengatakan polah Tati seperti adiknya sewaktu
kecil.
Ada seorang tamu di tengah keluarga ini yang mengajak Tati mengobrol. Dia bertanya, “Papa Tati mana?”
“Lagi kerja!”
“Kemana?”
“Ke Bandung.”
Jumiyati menimpalinya, “Kemarin bilang ke Bogor, sekarang ke Bandung. Mana yang bener?”
“Nggak mau… Nggak mau…” Bocah itu melonjak-lonjak lagi.
“Dia sering bilang, ‘orang-orang bohong!’” kata Rahmawati.
“Siapa yang bohong, Dek?” tanya bibinya.
“Tante Ati bohong!”
“Oom bohong!”
“Semua BOHONG.”
Tati sering merengek pada ibunya, “Minta Pak Atto balikin Papa lagi! Suruh pulangin, Ma!”
Sehari sebelumnya, Abdul Atto mendatangi keluarga Roni dan Tati bilang lagi kepada “Pak Atto”: “Balikin, Papa. Bawa pulang!”
Tati melihat Roni Pasaroni dikuburkan. Tapi dia mengiba kepada ibunya, “Kasihan Papa di sana sendirian kerja…”
Mahdarisa, kini kelas 3 sekolah dasar, sering berkata kepada adiknya, “Bapak bukannya kerja. Dia di sana meninggal.”
“Nggak! Papa lagi kerja. Dia kerja di Bandung!”
“Tati nggak ngerti ayahnya meninggal. Dia tahu dan melihat Papa-nya
dikubur. Dia minta sama Pak Atto, minta digali lagi dan dibawa pulang,”
Rahmawati berkata.
WARSONO, dari foto di internet, memiliki mata sendu, kumis tipis,
jejak cambang di dagu dan rambut hitam belah tengah, dengan arah mata
menengok kamera ke sudut kanan. Dia yang tertua, berusia 35 tahun, dari
tiga korban tewas di Cikeusik.
Dia menikah dengan Erni Jaeroni. Mereka memiliki lima anak, satu
telah meninggal. Anak pertamanya, Merliana, usia 17 tahun, sempat
sekolah kejuruan selama tiga bulan lantas memilih bekerja sebagai buruh
pabrik udang di Muara Baru. Anak kedua hingga keempat, berturut-turut
Dwiyati, usia 14 tahun, Tri Ayu Lestari, 9 tahun, dan Selvi Juliyanti,
1,5 tahun. Ketika Warsono pamit “mau rapat” ke Balikpapan, pada malam
Minggu, 5 Februari 2011, si bungsu sedang sakit demam. Balikpapan adalah
nama jalan di wilayah Cideng, lokasi kegiatan Ahmadiyah Jakarta Pusat.
Warsono berangkat naik bajaj bersama Imron dan Roni Pasaroni. Dia janji
kepada Erni Jaeroni: “Entar jam 10 pagi pulang.” Senin sore, Erni
mendengar suaminya meninggal.
Senin pagi, 7 Februari, Erni sempat melayat ke rumah Rahmawati. Dua
korban lain sebelumnya masih sumir. Nama yang beredar hingga sehari
setelah penyerangan, plus pembunuhan itu, adalah Adi Mulyadi dan Tarno;
keduanya jemaat Ahmadiyah dari Cikeusik. Kabar pasti datang sesudah
otopsi di rumahsakit daerah Serang. Jenazah Warsono diberangkatkan
menuju desa Dukuh, Kapetakan, Cirebon, kampung halamannya.
Rahman, jemaat Ahmadiyah yang tinggal sekampung dengan Warsono, kaget
mendengar sahabatnya meninggal. Rahman supir bajaj, dia tinggal di
Jembatan Dua. Sejak Januari dia pulang ke Kapetakan untuk urusan
keluarga. Dia segera mendatangi kepala desa, “Pak, Warsono meninggal di
peristiwa Cikeusik. Bapak sebagai kepala desa, tolong amankan
pemakamannya.” Kepala desa mengamini. Setelah Rahman pulang, ada sekitar
sepuluh orang mengklaim dari kelompok As-sunnah yang beraliran Wahabi,
datang ke kepala desa, menolak pemakaman Warsono dan mengancam mayatnya
akan “dibakar.” Namun kepala desa tak menggubris. Sempat terjadi lempar
kursi. Rahmans sendiri diminta tetap di rumahnya. “Kamu diam saja di
rumah. Ini urusan kami. Yang penting, besok terjadi pemakaman di sini!”
ujar petugas polisi. Esok hari, 8 Februari sekitar pukul 10 siang,
Warsono dikuburkan tanpa gangguan.
Sekitar duapuluh tahun lalu Warsono ke Jakarta ikut orangtuanya.
Kustolib, ayahnya, bekerja supir taksi. Kustolib berasal dari Brebes,
pulang ke Kapetakan, kampung istrinya, setelah sepuh dan sakit-sakitan;
dia juga mengidap stroke. Warsono tetap merantau di Jakarta. Profesi
terakhir tukang service elektronik.
Dia kenal Roni Pasaroni sejak muda. Mereka teman “nongkrong bareng
dan mabuk bareng”—demikian kesaksian satu kolega mereka. Menurut Rahman,
keduanya pernah belajar beladiri di satu guru silat yang sama di Muara
Baru. Roni, yang seorang preman, memiliki banyak musuh dan pesaing.
Warsono menjadi pendamping plus pelindung Roni berkat kepercayaan dia
akan kejawen; suatu keyakinan sinkretis yang masih mengakar kuat dalam
kultur masyarakat Jawa, termasuk di Cirebon pedalaman. Baik keduanya
sama-sama menjalani kehidupan keras pinggiran ibukota Jakarta.
Pada 2002 Warsono mengenal Ahmadiyah dari seorang sahabatnya. Dia
penasaran tentang Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Jemaat Ahmadiyah. “Apa
benar Mirza Ghulam seorang nabi?” pikirnya sampai sulit tidur. Rasa
penasarannya kian bertambah. Dia putuskan untuk datangi mubaligh
Ahmadiyah di Jelambar, Jakarta Barat. Menurut kesaksian koleganya,
Warsono bergabung menjadi jemaat Ahmadiyah setelah berdiskusi untuk kali
kedua. Namun dia “vakum” selama dua tahun. Dia pernah sakit selama
tigabelas hari, tak bisa makan dan minum. Perasaannya tersentuh saat
mendapat besuk dari kolega Ahmadiyah. Dia kembali aktif dan kemudian
berperan selaku ketua kelompok jemaat Ahmadiyah di Muara Baru serta
pengurus jemaat Jakarta Utara. “Militansinya sangat luar biasa dalam
jemaat,” demikian kesaksian itu.
Mirza Ghulam Ahmad—yang menarik keingintahuan Warsono—lahir dari
keluarga elit di Qadian, Punjab, British India pada 1835, mendirikan
satu komunitas Muslim pada 1889, yang sepuluh tahun kemudian bernama
Jemaat Ahmadiyah. Ia mengedepankan dialog antar-iman dan pendekatan
non-kekerasan. Jemaat Ahmadiyah Indonesia resmi berdiri sebagai
organisasi berbadan hukum pada 1953.
Dalam khasanah Ahmadiyah, ada dua macam kategori nabi: kategori
tasyri di mana Nabi Muhammad adalah nabi tasyri terakhir; serta ghairi
tasyri, golongan nabi yang tak membawa syariah. Ia terbagi dua:
mustaqil, nabi yang berdiri sendiri, serta ghairi mustaqil, menjadi nabi
karena mengikut nabi lain. Kategori ghairi mustaqil, dalam istilah
Nahdlatul Ulama, ialah nabi yang melaksanakan syariah Nabi Muhammad. Ia
hanya pelayan Islam dan Nabi Muhammad. Dalam khasanah Ahmadiyah,
kategori ini termasuk Nabi Zilli, Nabi Buruzi, Nabi Mazazi, Nabi Ummati
maupun Mirza Ghulam Ahmad.
Namun perkara “nabi” untuk merujuk Mirza Ghulam Ahmad belakangan
dijadikan isu sensitif di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, dan kian
menonjol sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa pada 2004. Isu
lain yang “didramatisir” ialah buku berjudul Tadzkirah, disari
dari kutipan-kutipan buku atau naskah dan ceramah-ceramah Ghulam Ahmad,
27 tahun setelah dia wafat, yang dijadikan kampanye hitam sebagai
“kitab suci” jemaat Ahmadiyah. Berkat siar kebencian, serta mobilisasi
warga umum oleh ulama dan kyai-kyai setempat, intensitas kekerasan
terhadap jemaat Ahmadiyah kian menjalar sekaligus membesar. Nama
komunitas ini makin terdengar setelah ada penyerangan di Parung, Bogor,
pusat kegiatan JAI, pada 19 Juli 2005.
Pada 29 Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa yang
menyatakan Ahmadiyah “…berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan…”
serta pengikutnya dianggap “murtad.” Fatwa ini perpanjangan fatwa MUI
1980 serta keputusan muktamar Organisasi Konferensi Islam di Jeddah,
Arab Saudi, Desember 1985. Tiga tahun kemudian, Menteri Agama Maftuh
Basyuni, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, dan Jaksa Agung Hendarman
Supanji meneken Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, pada 9 Juni 2008,
melarang penyebaran ajaran Ahmadiyah yang dinilai “menyimpang.”
Tahun-tahun kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah itu membawa pengaruh
keimanan seorang Ahmadi bernama Warsono, yang baru giat lagi setahun
sebelum penyerangan Parung. Dia bukannya takut; sesuatu yang diinginkan
oleh para penyerang, justru keimanannya kian solid. Ini juga Secara tak
langsung melibatkan Roni Pasaroni, karib dekat Warsono, yang bukan
jemaat Ahmadiyah. Ketika insiden Parung tahun 2005, Roni geram mendengar
kolega-kolega Warsono diserang. Roni “sangat marah”—demikian kesaksian
satu koleganya—terhadap kelompok organisasi bernama Front Pembela Islam,
yang terlibat dalam penyerangan tersebut, di mana banyak pengikut FPI
berasal dari Muara Baru. Namun Warsono menenangkan Roni untuk tetap
sabar.
Pada 2008, enam tahun setelah Warsono menjadi jemaat Ahmadiyah, Roni
Pasaroni mengikuti langkah sahabatnya. Dua tahun kemudian mereka menjadi
syuhada; korban tewas pertama dari mobilisasi kebencian sejak prakarsa
fatwa MUI tahun 2005 dan SKB Tiga Menteri. Di ujung perjalanan keimanan
Warsono, sejak dia pamit “ke Balikpapan” pada malam Minggu, 5 Februari,
istrinya Erni Jaeroni mengenang:
“Anaknya yang paling kecil sedang sakit demam. Saya bangun, dia nangis. Pagi saya tungggu, eh tahu-tahu dia nggak ada…”
MASJID “Baiturrahim” di Jelambar, Jakarta Barat, berdiri di atas
tanah wakaf Nasyir Mahmud Neway. Ia terletak di tengah permukiman,
bangunan dua lantai, bercat putih, lantai pertama dipakai sebagai
masjid. Pada 4 Maret 2011, usai shalat Jumat, lima jemaat Ahmadiyah
duduk melingkar di atas karpet masjid. Ada Abdul Atto, Mansyur, Rahman
serta mubaligh dan satu jemaat—menerima kedatangan saya untuk cerita
almarhum Roni Pasaroni dan Warsono. Ruangan bersih dan teduh.
Abdul Atto datang ke Jelambar sejak 1970-an, guru sekolah dasar di
komplek Bank Dagang Negara di Pesing, lalu menjadi kepala sekolah dan
pensiun tahun 2000. Atto mengisi waktu dengan buka tambal ban dan warung
kelontong bersama Mardiyah. Atto lahir di Cisalada, perkampungan di
Bogor, yang pernah diserang pada 1 Oktober 2010. Dia punya rumah di
Cisalada, letaknya di belakang rumah Basyirudin Karim, front terdepan
dari gang perkampungan yang berbatasan desa Kebun Kopi dan Pasar
Salasa—tetangga mereka yang menyerang Cisalada. Rumah Atto selamat tapi
rumah Karim beserta isinya hancur berantakan. Saya pernah bertemu Karim
di Cisalada, pria sepuh 60 tahun dengan mata lelah, yang membangun rumah
tersebut setahap demi setahap dari usaha menjahit sejak dari Jelambar.
Properti milik Karim yang selamat hanyalah mesin jahit dan mesin obras.
Menurut Atto, almarhum Warsono adalah “orang yang rajin.” “Dia mau
usaha apapun,” kata Atto. Almarhum Roni Pasaroni dikenalkan Ato lewat
Warsono, “Pak, ada preman, bapak ke rumah saya dah!”
Atto biasa pergi dengan sepedamotor dan kali pertama bertemu Roni,
dia mencium bau alkohol dari mulutnya. Roni bertanya bagaimana cara
sembahyang, bagaimana cara bermasyarakat yang benar. “Saya terangin,
‘kita jangan merendahkan orang lain, nggak boleh sombong. Kalau ada
orang yang nggak suka sama kita, yang jahat, kita tidak boleh melawan.’
Seperti itu. Yang biasa saja,” kata Atto. Kali kedua bau alkohol masih
menguar. Ketiga kali, Roni menceritakan suatu mimpi: dia pergi haji ke
Mekkah, bertemu seseorang dari 7 orang dalam rombongan haji, mengenakan
kemeja rapi dan peci hitam—mirip Abdul Atto. Dia juga bermimpi minum air
putih dari semacam teko dan kemudian llihat gambar muka Mirza Ghulam
Ahmad. Atto menimpali, “Wah itu, Ron, air itu air rohani, berarti kamu
harus belajar banyak rohani.”
Sesudahnya, Roni sering diskusi dengan Abdul Atto. Dia datang ke
Jelambar dan banyak membaca literatur Ahmadiyah. Satu kali Atto
menanggapi Roni, “Sudah bener bergabung? Yakin? Kalau nggak, saya nggak
mau.” Atto tanya lagi, “Kamu mau bergabung, saya nggak ngajak kan, atas
kemauan kamu sendiri kan?”
“Nggak,” jawab Roni, pendek. “Awas jangan salah,” kata Atto, “sedikit
pun saya nggak ngajak kamu. Kamu datang atas keyakinan kamu sendiri.”
Pada 2008, Roni memutuskan menjadi jemaat Ahmadiyah.
Perilaku Roni berubah tapi juga bingung bagaimana
mencari nafkah halal. Atto mengusulkan, “Kamu mau bawa motor?” Roni
mengangguk. Dia kredit motor Yamaha MX. Dia datang ke Atto, “Pak, ini
motornya nih!”
“Wah, alhamdulillah,” jawab Atto. “Mubarak!”
Mansyur, kakak ipar Roni, menyaksikan perubahan Roni yang dulunya
pemadat dan langganan dikejar-kejar polisi. Kontrakan Mansyur dan
Jumiyati mulanya satu rumah dengan Roni dan Rahmawati—mereka tinggal di
lantai atas sebelum menghuni petak seadanya di kolong jembatan Berok,
Penjaringan. Melihat Jumiyati penasaran dengan keimanan Roni, Mansyur
berkata, “Ngapain Lu ikutan-ikutan adik Lu? Adik Lu aja nggak bener, Lu
ikutan-ikutan dia?!” Tapi kemudian keluarga Mansyur menjadi jemaat
Ahmadiyah. Atto bilang kepada saya, pertama kali Mansyur ibadah shalat
“ya di sini, di masjid sini,”—merujuk “Baiturrahim.” Mansyur
menganggukan kepala.
Saat peristiwa berdarah di Monumen Nasional, 1 Juni 2008, ketika
puluhan milisi Islam garis keras menyerang apel damai Aliansi Kebangsaan
untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Warsono dan Roni Pasaroni
justru mendatangi massa penyerang. Mereka mengajak mengobrol, “Kenapa
ikut demo kamu? Ada duit nggak buat beli kopi. Ini duit.” Terutama Roni,
yang mantan preman, disegani dan punya banyak kenalan. Roni dikenal
humoris. Dia suka menghibur tetangga yang sedang kesusahan di Muara
Baru. Rahman cerita, jika ada apa-apa, Warsono dan Roni “yang maju
terdepan, saya di belakang mereka.”
Semua dekat dengan Warsono dan Roni. Rahman cerita, ada seorang teman
sekolah dasar di Kapetakan, lulusan sarjana, bercerita tentang almarhum
Warsono, “Kalau masalah pelajaran mah Warsono cerdas. Tapi kalau soal
agama, dia mah nol!” Saat ramai pemberitaan insiden Parung 2005, Rahman
menimpali obrolan satu temannya, “Wajar diserang, orang nabinya ada 26!”
Si teman membalas, “Eh, ingat ya, Lu, ada satu kampung dengan Lu yang
ikut Ahmadiyah.” Rahman kaget, “Masak ya?” Si teman menjawab, “Ada. Di
Muara Baru!” Kapetakan daerah kecil. Rahman tahu semua teman dia dari
Kapetakan yang tinggal di Muara Baru. Dia mendengar nama Warsono.
Dia datangi Warsono. Rahman tipe orang penuh minat besar; dia ingin
mendengar langsung dari Warsono, “Bener apa nggak?” Warsono membenarkan.
Mereka bahkan mengobrol banyak tentang agama. Rahman berpikir, Warsono
yang dia kenal “orang yang kurang dalam soal agama. Kok saya di bawah
dia.” Kesan Rahman, “Hebat amat ya!” Rahman justru tertarik. Dia minta
bacaan terbitan Ahmadiyah. “Coba kayak apa?” katanya.
Singkatnya, Rahman makin tertarik sesudah membaca khasanah Ahmadiyah.
Dia diskusi panjang dengan Warsono. Dia tanya, “Kalau saya ketemu
mubaligh Jakarta Barat, bisa nggak?” Warsono jawab, “Bisa!” Rahman
berdebat dengan mubaligh Yaqub Suriadi di masjid “Baiturrahim”.
Diskusi-diskusi dengan Warsono, sering berjalan hingga larut pagi,
malahan bikin repot istri Warsono. Abdul Atto menjadi penengah; dia
bilang menemani seseorang yang gelisah merupakan “ibadah.” Warsono juga
kerap kerepotan dengan pertanyaan-pertanyaan Rahman. Atto sering diminta
memberi saran.
Penasaran, Rahman pindah ke Muara Baru dari Jembatan Dua, untuk lebih
dekat dengan Warsono. Istri Rahman bilang, “Mas, apa-apaan?! Kerjanya
di Jembatan Dua kok tinggalnya di Muara Baru?!” Rahman rela pulang
malam. Pangkalan ojek dia di Muara baru dan sering naik dua angkutan
umum jika pulang kemalaman. Rahman menangkap kesan, Ahmadiyah
mengajarkan kedamaian, salah satu yang dia cari, bahkan saat dia marah
sewaktu berdebat justru jemaat Ahmadiyah malah “nggak balik marah.”
“Saya tertarik karena yang dia pahami itu yang saya cari, ajaran agama Islam seperti ini!” kata Rahman.
Menurut Atto, Rahman “nggak main-main” belajar tentang Ahmadiyah,
“Ngobrol dengan Rahman memang lama! Bukan hanya sebulan-dua bulan.”
Pada akhir 2007, Rahman pun bergabung sebagai jemaat Ahmadiyah.
Istrinya mula-mula menentang, “Kenapa kamu ikut?” Rahman menjawab,
“Kalau kamu nggak suka dengan aqidah saya, nggak toleran dengan aqidah
saya, silakan kamu pulang ke Pemalang.” Itu kampung halaman istrinya;
ada paman Rahman, seorang penghulu, akan mengurus istri Rahman. “Jangan
takut nggak diurusin,” kata Rahman. “Saya percaya dengan keyakinan saya,
yang sudah saya selidiki dari awal.” Istri Rahman akhirnya ikut
Ahmadiyah.
Orangtua Rahman tahu anaknya Ahmadi. Ayah Rahman pengikut aliran
As-syahadatain, satu agama lokal—sesuatu yang menjelaskan proses
osmosis, atau penyerapan, akan persilangan agama dan budaya. Ibunya
seorang Nahdlatul Ulama. Ibunya kasih pendapat, “Kalau menurut kamu itu
benar, maju terus! Yang penting kamu jangan mencari keributan. Soal
aqidah, itu urusan pribadi kamu, jika menurut kamu benar, lanjut!”
Pada akhirnya, semua orang ini saling menguatkan. Rahman kembali
mengontrak di Jembatan Dua; istrinya kini tinggal di Kapetakan. Roni
Pasaroni, sepulang mengojek, biasa menjemput Rahman yang juga baru kelar
menyupir bajaj. Mereka kumpul di rumah Warsono. Mereka menyewa sebuah
rumah petak, di samping rumah kontrakan Warsono, dijadikan mushalla
untuk shalat berjemaah. Tempat ibadah itu dibikin bersih. Ia juga
menjadi lokasi obrolan larut malam antara mereka: Warsono dengan Rahman,
Warsono dengan Roni, Warsono dan semuanya; lebih sering bertiga.
Dua minggu sebelum penyerangan di Cikeusik, Roni dan Warsono sesekali
menyinggung tentang syuhada. Dalam satu obrolan, Roni tanya kepada
Rahman, “Kalau syahid tuh bagaimana?”
“Wah, orang kayak kamu mah nggak mungkin, Ron,” Rahman menjawab tanpa
beban. Dia merujuk satu contoh khilafah Sayyidina Umar bin Khattabb,
yang tewas dibunuh. “Kamu…” kata Rahman, bercanda, “Gimana bisa
syahid?!”
Tahu kemudian Roni tewas di Cikeusik, 6 Februari 2011, Rahman
mengingat perkataan itu. Dia bilang kepada saya, “Syahid dan nggak
syahid itu hak Allah. Itu kan karunia. Saya tidak merasa bersalah
akhirnya.”
Jenazah Roni, dari hasil visum, mengalami patah
berkeping—tulang-tulang dia hancur. Ada luka di rahang. Ada lecet geser
di bagian tulang iga. Rahang atas kepala patah. Ada resapan darah di
kepala. Punggung bawah dia menunjukkan luka sayat; tanda dia disabet
dengan benda tajam selagi dikeroyok.
Sementara pada jenazah Warsono, kepalanya sobek. Ada lecet geser di
bagian dada, yang menunjukkan dia diseret sewaktu ajal mendekat. Ada
pendarahan di kepalanya. Saat tubuhnya tak bernyawa, para penyerang
masih melukai bagian zakar dengan benda tumpul.
Abdul Atto cerita, empat hari sebelum meninggal, Roni datang ke
rumahnya, masih bertanya tentang menjadi syuhada. Esoknya, Roni pinjam
motor. Pada Sabtu, 5 Februari, pukul 10 pagi, Roni mengembalika motor
tersebut. Mardiyah, istri Atto, sedang pulang ke Cisalada, aktivitas
rutin saban bulan yang dilakukan bergantian keluarga ini. “Ron, nggak
ada ibu nih, nggak ada yang masak. Kamu belikan makan ya?” Atto
memberikan lembaran Rp 50ribu, “Nasi padang dong, enak nih!” Mereka
makan bersama. Mendekati zuhur, Roni pamit, hendak pergi ke masjid
“Baiturrahim” .
“Udah kamu saja,” kata Atto, “Saya kan jaga warung.” Atto melihat
Roni hingga kelokan jalan. Atto sempat menyahut, “Ron, tadi ada
kembaliannya?”
“Ada nih, Pak, 28 ribu.”
“Begini, saja, uang itu kamu simpan. Kalau kamu nemenin bapak, ke
sini saja. Kalau kamu mau pulang langsung dari masjid, ya silakan.” Roni
tak kembali ke rumah Atto. Esok siang, pukul 14:00, Atto kaget
mendengar Roni meninggal diibunuh. Senin sore, Atto mengetahui korban
tewas yang lain adalah Warsono. Istrinya, Mardiyah, menangis sepanjang
hari selama sebulan. Istri dan anak yang ditinggalkan.
KAMI mendatangi keluarga Roni Pasaroni dan Warsono di Muara Baru.
Jumiyati, saat itu sedang main ke rumah Abdul Atto, menjadi pengarah
jalan. Kami naik bajaj dengan supir Rahman. Rahman mengenakan kemeja
hitam bersih sesudah shalat Jumaat; rambutnya pirang, lelaki ini
merantau ke Jakarta dari tahun 1995. Kami menuju Tanah Pasir ke rumah
kontrakan Erni Jaeroni, istri almarhum Warsono. Namun Erni tak ada di
rumah, menjemput anaknya yang masih sekolah di Muara Baru. Kami
lanjutkan ke rumah Rahmawati, istri almarhum Roni. Selagi Wati
menceritakan suaminya, Erni datang sesudah ditelepon oleh Jumiyati. Dia
membawa ketiga anaknya. Merliana, putri sulung Erni, masih bekerja di
pabrik udang.
Almarhum Roni lahir dari keluarga perantauan Makassar; lahir di
Jakarta, 33 tahun lalu. Pada Lebaran tahun 2010, dia diajak mudik ke
rumah orangtua Rahmawati di Jeneponto. Ini kunjungan pertama Roni
setelah mereka menikah. Itu juga kunjungan terakhir baginya.
Jumiyati dan Rahmawati bilang “ikhlas” adik dan suaminya meninggal.
“Yah… mau gimana?” ujar Jumiyati. Roni pernah berpesan kepada Rahmawati,
“Anak-anak jangan dimarahin…”—“mungkin dia ingat masa kecil dia yang
nakal,” ujar Jumiyati. Mereka heran kenapa Ahmadiyah diserang,
“Shalatnya sama, Al Quran yang dibaca sama.”
Erni Jaeroni kerap menangis saat anak-anaknya sudah tidur. Warsono
sempat berkata kepada Erni, “Kalau saya meninggal nanti, makam saya
jangan diapa-apakan, pakailah cara Ahmadiyah, dikubur sederhana saja.”
Pada 22 Februari, dia pindah diam-diam ke Tanah Pasir, tak tahan lagi
dengan gunjingan tetangga dan orang-orang sekitar. Di Muara Baru, ada
anggota-anggota Forum Betawi Rembug maupun Front Pembela Islam. Mereka
sesekali mengancam sambil lalu saat lewat di depan rumah kontrakan dia,
dengan kata-kata kasar seperti “bakar” maupun “hancurin.” Anak
ketiganya, Tri Ayu Lestari, sering memanggil “Bapak… Bapak..” saat lihat
seseorang adzan maghrib di televisi.
Lima hari setelah Warsono meninggal, rumah petak yang dijadikan
mushalla kembali berfungsi rumah kontrakan. Tak ada lagi tempat ibadah
bersama bagi jemaat Ahmadiyah di Muara Baru. Sesuatu telah berubah.
Erni dan Rahmawati menghindari nonton berita dari televisi setelah
kejadian Cikeusik. Mereka juga belum pernah melihat video kekerasan itu.
Rahman, yang duduk bersandar di dekat pintu, menyergah, “Jangan…
Jangan nonton!” Rahman langsung mengunduh dari internet saat video
penyerangan serta pembunuhan itu tersebar via YouTube. Dia “sangat
terpukul” melihat dua sahabatnya dibunuh secara brutal.
Rahman kembali ke Jakarta pada 1 Maret 2011. Dia masih berkabung,
“sudah tidak ada teman mengobrol lagi,” katanya. Dia sering datang ke
Muara Baru untuk diskusi agama dengan Roni dan Warsono. Bahkan dia baru
narik bajaj lagi sewaktu mengantar kami bertemu keluarga almarhum.
Mardiyah, istri Abdul Atto, yang telah menganggap Roni dan Warsono
sebagai keluarga sendiri, baru bisa berhenti menangis setelah bertemu
Imron sehari sebelum kami tiba.
Saya datang saat ada rencana dari keluarga ini berziarah ke makam
Warsono dan Roni di Gondrong. Tati Apriani, anak bungsu Roni, bertanya,
“Ma, katanya mau ke Papa? Kapan?”
Rahmawati bertanya balik ke Jumiyati, “Eh jadi besok ke Gondrong?”
“Jadi!” kata Jumiyati, dengan suara yang mekar. Tati ikut menimbrung, “Kemana, Ma?”
“Jenguk Papa!” kata Tante Ati.
“Asyiik!”
Tati melonjak-lonjak di pangkuan Mama dia, berteriak girang.*
No comments:
Post a Comment