Thursday, December 26, 2013

Jalsah Salanah GAI, Perguruan PIRI, Yogyakarta

Jalsah Salanah/ Silaturahmi Keluarga Besar Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI), Perguruan PIRI, Yogyakarta, 24 Desember 2013.



Wednesday, October 2, 2013

Radikalisasi Pancasila di Bidang Agama

Koran Sindo, 3 Oktober 2013
Peneliti LIPI & Doktor Bidang Agama dari Universitas California, Santa Barbara
Istilah “radikalisasi” di tulisan ini mengacu pada pemikiran almarhum Kuntowijoyo (Kompas, 20 Februari 2001) yang menawarkan untuk: mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara; mengganti persepsi dari Pancasila sebagai ideologi menjadi Pancasila sebagai ilmu; mengusahakan Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial; serta Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal.

Penjelasan Kuntowijoyo mengindikasikan bahwa sebetulnya apa yang ia maksudkan dengan istilah radikalisasi itu bisa juga diganti dengan istilah revitalisasi, restorasi, re-naisans, dan objektivikasi. Kendati demikian, semua istilah pengganti itu memang tidak bisa mencakup seluruh elemen yang dikandung dalam kata radikalisasi sebagaimana dikemukakan Kunto. Meski istilah ini membingungkan, kriteria-kriteria di atas cukup bisa menjelaskan apa yang dimaksud dengan radikalisasi.

 *** Dengan mengacu pada beberapa fenomena yang terjadi belakangan ini, penulis sepakat dengan upaya radikalisasi Pancasila sebagaimana dipaparkan Kuntowijoyo itu. Pertama, pada tahun-tahun terakhir ini, terutama sejak Era Reformasi 1998, terdapat kecenderungan dari beberapa orang untuk kembali mempertentangkan antara Islam dan Pancasila atau loyalitas kepada agama dan loyalitaskepada negara. Ketaatan pada ideologi lain selain Islam, beberapa kelompok meyakini, bisa disebut sebagai pelanggaran terhadap Islam.

Kedua, beberapa peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang diciptakan belakangan ini terlihat tidak konsisten dengan nilainilai Pancasila. Yang paling mencolok terutama peraturan yang berkaitan dengan kelompok minoritas seperti Ahmadiyah. Ketiga, nilai utama yang dikandung Pancasila, menurut Soekarno, adalah gotong-royong. Sayangnya, nilai ini sepertinya sudah luntur di masyarakat. Misalnya, budaya antre di jalan raya sepertinya sudah tidak berlaku. Keamanan di Jakarta sangat bergantung pada satpam, sementara masyarakat tak mau saling membahu mengamankan daerahnya. Orang hanya mau membantu pada mereka yang seagama, sementara kelompok yang dituduh sesat, meski hidup miskin, tak diberi zakat pada Ramadan.

*** Tiga hal di atas di antaranya yang membuat radikalisasi Pancasila perlu segera direalisasikan. Persoalannya kemudian adalah ke arah mana kita mesti mengacu dalam kaitannya dengan pemahaman Pancasila yang benar? Pemahaman Pancasila seperti apa yang perlu diamalkan? Seringkali orang memandang bahwa pemahaman para pendiri negeri ini, terutama para perumus Pancasila seperti Soekarno dan Mohammad Hatta, adalah yang paling sah dan sempurna dalam menjelaskan nilai-nilai yang dikandung Pancasila.

Penafsiran yang dilakukan para perumus Pancasila memang harus tetap dijadikan acuan. Kendati demikian, perlu dicatat bahwa setiap orang itu hidup pada zamannya dan problemnya masing-masing. Secara prinsip, penjelasan Soekarno-Hatta ketika mengelaborasi Pancasila perlu dirujuk karena nilai historis di situ. Hanya, perlu digarisbawahi bahwa pemahaman mereka tak perlu dianggap yang paling sempurna dan otentitas itu tak mesti berada di titik awal sejarah Indonesia.

Sikap kritis ini perlu dilakukan untuk menghindari apa yang dikonsepsikan Mircea Eliade sebagai the myth of eternal return, sebuah keyakinan bahwa kita lemah dan buruk sementara orang-orang dahulu itu manusia terbaik. Contoh terbaik dalam bahasan ini adalah Ahmadiyah.

Meski dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi, Soekarno menulis satu bab yang berjudul “Tidak Pertjaja Bahwa Mirza Ghulam Ahmad Adalah Nabi”, di era Soekarno-lah pemerintah mengakui secara resmi (Keputusan Menteri Kehakiman RI No JA 5/23/13 13 Maret 1953) keberadaan organisasi Ahmadiyah di Indonesia. Hanya, era Soekarno pulalah yang melahirkan UU No 1/PNPS/1965. Meski memiliki konteks yang berbeda pada saat pengeluarannya, UU itu kini dipakai sebagai dasar hukum untuk membubarkan Ahmadiyah. Pada akhir kekuasaannya, ideologi Pancasila ini diubah sedemikian rupa untuk mendukung kekuasaan Soekarno.

 *** Selain perlunya radikalisasi penerapan Pancasila dan pencarian yang radikal terhadap interpretasi Pancasila yang sesuai dengan zaman sekarang, dalam kaitannya dengan radikalisasi ada satu hal lagi yang perlu dipikirkan yaitu pada substansi Pancasila itu sendiri. Meski Pancasila itu harus dianggap sakti, sila-sila Pancasila bukanlah tak memiliki ma-salah. Dalam kaitannya dengan agama, tentu sila pertama yang perlu dilihat.

Dalam banyak diskusi, sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” jarang atau tidak pernah dipersoalkan. Banyak aktivis dan sarjana yang menganggap sila ini berkah bagi umat beragama. Ini menunjukkan bahwa Indonesia bukan murni negara sekuler murni karena agama ditempatkan di sila pertama dari dasar negara. Kendati demikian, sila ini mengandung banyak persoalan sejak dilahirkan.

Di antaranya persoalan di urutan ke berapa dia harus ditempatkan dan bagaimana susunan kalimat yang tepat untuk sila ini. Dalam usulannya, Soekarno hanya menyebut “Ketuhanan”. Kubu Islam meminta tambahan tujuh kata “Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Kepada Pemeluknya”. Hasil akhir dari kompromi adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kata “Yang Maha Esa” dalam sila ini menunjukkan betapa kuat pengaruh Islam dan Kristen dalam penyusunan Pancasila.

Konsekuensi dari kata-kata tersebut, kelompok agama yang tuhannya tidak esa dikeluarkan dari agama yang diakui pada masa awal kemerdekaan. Karena memiliki konsep ketuhanan yang berbeda dari Islam dan Kristen, Hindu dan Buddha misalnya baru diakui sebagai agama di Departemen Agama pada 1950-an. Itu pun terjadi setelah umat Hindu menetapkan “Sang Hyang Widi” yang sebelumnya tak terlalu sentral dalam agama ini sebagai perwujudan Tuhan Yang Maha Esa.

Sementara agama Buddha harus menyepakati untuk menganggap tokoh Adi Buddha, nama yang diambil dari teks Jawa Kuno, sebagai Tuhan Yang Esa (Howell 2005, 478). Ini belum lagi kalau dilihat kondisi para penganut agama lokal. Keyakinan mereka tak dianggap sebagai agama karena konsepsi keagamaan mereka berbeda dari agama Semit yang memiliki nabi dan kitab suci.

Kesimpulannya, dalam kaitannya dengan peringatan Hari Kesaktian Pancasila dan dalam upaya radikalisasi Pancasila, t iga hal yang perlu mendapat perhatian oleh bangsa Indonesia saat ini yaitu penerapan Pancasila, penafsiran Pancasila, dan pembacaan secara kritis terhadap Pancasila. Dengan melihat Pancasila dengan tiga perspektif itu, kesaktian Pancasila tidak hanya muncul sebagai simbol, tapi juga menjadi lebih nyata dan kritis. 

AHMAD NAJIB BURHANI 
http://www.koran-sindo.com/node/334493

Kesan dan pesan untuk “Peace Symposium” di Singapura dan Mulaqat dengan Khalifah Ahmadiyah



Oleh Ahmad Najib Burhani, Ph.D.
(Maarif Institute dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)

Sejak saya mulai menulis disertasi di University of California, Santa Barbara (UCSB) tentang Ahmadiyah pada awal tahun 2011 yang lalu, saya selalu berharap untuk bisa bertemu dengan dengan Khalifah Ahmadiyah, Mirza Masroor Ahmad. Harapan itu baru terwujud beberapa minggu setelah saya menyelesaikan disertasi dan secara resmi menjadi doktor dalam kajian agama. Saya sangat bersyukur diundang hadir ke Peace Symposium, shalat jum’at bersama Huzur, dan berbialog langsung dengan Huzur di Singapura.

Ada tiga kegiatan utama yang saya ikut dengan penuh perhatian selama berada di Singapura, yaitu: 1) Peace Symposium pada hari Kamis (26/9), 2) Mendengarkan secara langsung khutbah Jum’ah yang disampaikan Huzur dan Sholat Jum’ah yang diimami Huzur pada hari Jum’at (27/9), dan 3) Mulaqat atau bertemu langsung dan berdialog dengan Huzur pada hari Sabtu (28/9).

Meski saya bukan seorang Ahmadi, namun saya bisa merasakan kharisma dari Hadrat Mirza Masroor Ahmad. Kharisma itulah yang saya lihat mampu menyatukan pengikut Ahmadiyah di seluruh dunia, memperkokoh keberadaan Ahmadiyah sebagai organisasi keagamaan di dalam Islam, dan membangun ketaatan beragama yang luar biasa bagi pengikut gerakan ini. Jika dibandingkan antara kharisma Huzur dengan kharisma ulama NU (Nahdlatul Ulama) yang paling khos sekalipun, maka kharisma Huzur akan terlihat jauh lebih tinggi.

Hal lain yang cukup mengesankan saya adalah upaya Ahmadiyah untuk menunjukkan keindahan Islam, keberagamaan yang penuh disiplin, dan pengorbanan materi demi agama. Tentang keindahan dan kedamaian Islam ini, misalnya, ditekankan berkali-kali oleh khalifah dalam khutbah Jum’at dan Mulaqat. Meski Ahmadiyah mendapat tekanan dan serangan dimana-mana, mereka diminta tetap menunjukkan semangat “love for all and hatred for none”. Slogan ini pun bisa ditemukan hampir di seluruh tempat pada acara symposium ini. Kecintaan orang-orang Ahmadiyah kepada khalifah dan semangat mereka berkorban demi agama ditunjukkan dengan berbondong-bondongnya mereka ke Singapura untuk menghadiri acara ini. Sementara kedisiplinan ditunjukkan dalam acara-acara dan dalam mengatur seluruh peserta yang hadir di symposium ini.

Terakhir, kesediaan khalifah untuk berdialog dengan kami adalah cukup memuaskan dan membahagiakan. Meski tak semua pertanyaan saya menemukan jawaban seperti yang saya harapkan, seperti mengenai
family life dari Huzur, namun secara umum apa yang ditanyakan oleh peserta yang hadir mendapat jawaban yang jelas. Meski beberapa pertanyaan cukup sensitif, Huzur bersedia memberikan jawaban dengan dingin. Pertanyaan yang cukup sensitif itu diantaranya adalah tentang sistem khilafah di Ahmadiyah, reformasi keagamaan di gerakan ini, dan kema’shuman (infallible) khalifah. Secara singkat, Huzur menegaskan bahwa sistem khilafah itu berbeda dari demokrasi karena khilafah hanya untuk urusan agama. Tentang reformasi keagamaan di Ahmadiyah, Huzur mengatakan bahwa apa yang diajarkan oleh Ahmadiyah adalah ajaran dari Allah dan Rasulullah dan kerena itu visi ini tak perlu di reformasi. Huzur menegaskan bahwa jika Ahmadiyah itu harus berubah, maka itu menunjukkan bahwa “we fear more to people than to Allah”. Tentang kema’shuman khalifah, Huzur menggarisbawahi bahwa ma’shum itu hanya berlaku untuk Nabi, bukan orang lain.

Sunday, September 15, 2013

Diaspora: Pulang Kampung Membela Kelompok Minoritas

Penulis: Melki Pangaribuan
07:46 WIB | Selasa, 20 Agustus 2013
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kementerian Luar Negeri Indonesia kembali menyelenggarakan Congress of Indonesia Diaspora (CID) atau Kongres Diaspora Indonesia dengan tema Pulang Kampung, yang berlangsung pada tanggal 18 hingga 20 Agustus 2013, bertempat di Jakarta Convention Center.
Salah satu peserta CID, Ahmad Najib Burhani, ketika dihubungi satuharapan.com melalui e-mail mengatakan bahwa alasan terpenting yang mendorong dirinya pulang ke Indonesia adalah ingin berkontribusi membangun dan memperbaiki keadaan di Indonesia yang lebih baik. Ia ingin membela hak-hak kelompok minoritas. 
"Saya akan terlibat dalam perjuangan membela hak-hak kelompok minoritas, memperjuangkan nasib mereka, dan berusaha menunjukkan bahwa salah satu bukti demokrasi adalah perlindungan terhadap minoritas dan pencegahan terhadap tirani mayoritas," kata Ahmad Najib Burhani, anggota IDN (Indonesian Diaspora Network). Ia memutuskan pulang kampung ke Indonesia setelah tujuh tahun menimba ilmu di Inggris dan Amerika Serikat.
Menurut Ahmad Najib Burhani, membela kelompok minoritas perlu difokuskan karena kelompok minoritas di Indonesia itu sangat beragam. "Ada kelompok minoritas agama, suku, ras, bahasa, dan seterusnya. Banyak dari mereka yang saat ini perlu diperhatikan dan dibela. Namun secara akademik, saya tak bisa mempelajari semuanya secara mendalam," kata peneliti yang menulis disertasi berjudul, When Muslims are not Muslims: The Ahmadiyya Community and the Discourse on Heresy in Indonesia.
Selanjutnya ia menambahkan bahwa dirinya lebih fokus kepada kelompok minoritas agama dalam Islam atau pecahan dari Islam yang saat ini sering menjadi korban standarisasi tafsir Islam. "Selain Ahmadiyah dan Syiah, kelompok lain dalam kategori ini adalah Wetu Telu, Samin, dan sebagainya," kata suami Tuti Alawiyah Burhani. Belum lama ini ia memperoleh penghargaan The Professor Charles Wendell Memorial Award dari UCSB atas prestasinya dalam Studi Islam dan Kajian Timur Tengah.
Konteks Indonesia
Selain itu, Ahmad Najib Burhani menilai bahwa dengan naik dan berkembangnya gerakan Islam konservatif yang menekankan pada upaya menyeragamkan Islam di seluruh dunia, maka kelompok Islam yang memiliki pemahaman atau praktik yang berbeda justru sering menjadi korban atau dikucilkan. Ini juga terjadi di Indonesia.
"Tak jarang mereka dituduh sesat. Dan, jika negara tak mampu melindungi, mereka sering menjadi sasaran penyerangan. Tuduhan ini sering memiliki dampak tragis, seperti yang terjadi pada kasus Ahmadiyah dan Syiah," kata peneliti yang bekerja di Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) ini. 
Menurut dia, yang terjadi di Indonesia saat ini adalah pengkhianatan terhadap demokrasi atau bisa disebut demokrasi superficial. "Mengapa? Karena, negara tidak berperan sebagai pelindung warga minoritas. Kelompok Syiah dan Ahmadiyah sering disesatkan dan diserang dan negara seakan mendiamkannya," kata Ahmad Najib Burhani. 
"Negara sekuler mestinya berada dalam posisi melihat seluruh pemahaman agama sebagai setara. Negara tidak dalam posisi menjadi hakim untuk urusan teologi. Yang terjadi di Indonesia saat ini adalah pemihakan negara kepada tafsir tertentu dan serta ikut menyesatkan paham lain." kata ayah dua anak ini menerangkan. Ia melanjutkan, "Kasus SKB tentang Ahmadiyah tahun 2008 adalah contohnya."
Menurut dia, pembelaan terhadap kelompok agama minoritas bukan karena benar atau salahnya pemahaman itu, tetapi lebih kepada perlindungan hak mereka beribadah dan berkeyakinan dan pencegahan terhadap penyerangan kepada mereka yang berbeda. "Kalau yang mayoritas menyerang minoritas, ketika yang minoritas berubah jadi mayoritas, hal yang sama akan terjadi. Ini akan menghancurkan kemanusiaan. Pendeknya, pembelaan terhadap minoritas ini lebih karena prinsip kemanusiaan," kata pakar kajian Islam Timur Tengah ini.
"Dalam kaitannya dengan politik, sebetulnya membela minoritas itu terlihat tak menguntungkan karena suara mereka kecil dalam pemilu. Maka, tak heran jika banyak para politisi enggan membela nasib minoritas," katanya. "Tetapi, sesungguhnya esensi demokrasi terletak, diantaranya, pada cara negara melindungi kelompok minoritas. Demokrasi diciptakan antara lain agar tak terjadi tirani mayoritas. Karena itu, tes apakah demokrasi di suatu negara telah berjalan baik adalah tingkat perlindungan terhadap minoritas di negara itu," kata dia menambahkan.
Selanjutnya, Ahmad Najib Burhani memandang minoritas dalam konteks Islam melalui Sabda Nabi Muhammad. Ini sangat relevan dengan prinsip demokrasi yang menghindari tirani mayoritas. "Tes terhadap pemahaman keislaman yang benar adalah juga terlihat dari cara seorang Muslim memperlakukan minoritas. Dalam sabdanya, Nabi Muhammad berkata, 'Bukanlah bagian dari umatku jika ada kelompok mayoritas atau kuat tapi tak menyayangi minoritas atau lemah. Dan, juga bukan bagian dari umatku jika ada kelompok minoritas, tetapi tak hormat kepada mayoritas," kata aktivis Muhammadiyah ini.

Tuesday, August 20, 2013

Silang Paham tentang Minoritas

12:21 WIB | Rabu, 12 Juni 2013
SATUHARAPAN.COM - Pasca pemberian World Statesman Award oleh Appeal of Conscience Foundation (ACF) di New York kepada presiden SBY 30 Mei yang lalu masih menyisakan silang paham tentang arti minoritas, antara SBY dan mereka yang mendukung pemberian award tersebut dengan mereka yang mengeritiknya. Franz Margnis-Suseno, SJ adalah salah satu yang mengeritik keras dengan mengirim surat protes langsung kepada ACF.

Sementara presiden SBY dan para pendukungnya menunjukkan keberhasilan pemerintah dalam menjaga harmoni dan perlindungan terhadap minoritas, meskipun mengakui masih banyak pekerjaan rumah, para pengeritiknya menganggap preisden SBY sangat sedikit, untuk tidak dikatakan abai, terhadap nasib minoritas. Tulisan ini akan mencoba mencari titik di mana akar silang paham tersebut.

Definisi minoritas
Akar silang paham itu tampaknya bermula dari definisi tentang minoritas. Dalam perspektif SBY, minoritas hanya dilihat dari sisi jumlah dan formal negara. Maka wajar jika dalam pidato saat menerima award tersebut SBY menyebut agama-agama formal di Indonesia dan kepercayaan lainnya. SBY juga menghitung jumlah rumah ibadah agama-agama formal, sembari tidak lupa menyebut secara eksplisit bahwa jumlah gereja di Indonesia “lebih banyak dari Inggris Raya maupun Jerman.”

Dengan penyebutan tersebut SBY hendak mengatakan bahwa minoritas di Indonesia terlayani dengan baik. Sementara itu, Sekretaris Kabinet Dipo Alam sebagai pendukung, melalui akun twitternya, menjawab kritik Magnis dengan menulis:  "Masalah khilafiyah antar umat Islam di Indonesia begitu banyak, jangan dibesarkan oleh yang non-Muslim, seolah simpati minoritas diabaikan." (Tempo.co 22/5/13).

Dalam perspektif SBY tersebut, Syiah di Sampang, Ahmadiyah di berbagai daerah yang terdiskriminasi serta Parmalim di Sumatera Utara, misalnya, tidak dimasukkan ke dalam kategori minoritas. Karena Syiah dan Ahmadiyah menjadi bagian dari Islam yang mayoritas, dan jika Islam sudah dilayani, lalu mengapa harus memperhatikan mereka yang justru menyimpang dari mayoritasnya sendiri. Demikian juga Parmalim yang terpinggirkan oleh sikap gereja tertentu di Sumatera Utara. Jika Kristen sebagai minoritas sudah terlayani, mengapa harus memperhatikan Parmalim yang menyimpang dari Kristen itu sendiri.

Minoritas terlayani dan terdiskriminasi
Hans van Amersfoort dalam bukunya “’Minority’ as a Sociological Concept” (2010), misalnya, memberikan beberapa ciri minoritas yang tidak hanya dari segi jumlah. Di antaranya adalah anggotanya tidak diuntungkan dalam suatu sistem masyarakat dan negara sebagai akibat dari tindakan diskriminasi terhadap mereka; mereka merasa memiliki kekhasan daripada mayoritas dan rasa kepemilikan bersama suatu tradisi dan bersifat turun temurun; memandang dirinya sebagai “yang lain” dari kelompok mayoritas.

SBY maupun pendukungnya, dengan demikian, sedang menyebut minoritas yang merasa nyaman dan terlayani dan mengabaikan minoritas yang tertindas dan terdiskriminasi. Sedangkan para pengeritiknya, termasuk Romo Magnis, sedang menyebut minoritas yang tidak terlayani dan bahkan terdiskriminasi. Karena itu, Romo Magnis justru menyebut Syiah dan Ahmadiyah, dan tidak menyebut Katolik, agama yang dia peluk, karena dalam konteks ini tidak sedang tertindas dan terdiskriminasi.

Sudah waktunya pemerintah dan presiden SBY menempatkan minoritas dalam perspektif kewarganegaraan dan hak asasi manusia jika ingin merealisasikan janji dalam pidatonya: “Kami  tidak akan mentolerir setiap bentuk kekerasan yang dilakukan oleh kelompok manapun dengan mengatasnamakan agama.“ Mari kita tunggu!

Penulis adalah Koordinator Abdurrahman Wahid Centre for Inter-Faith Dialogue and Peace-Universitas Indonesia (AW Centre-UI)

From: http://satuharapan.com/content/read/silang-paham-tentang-minoritas/

Wednesday, August 7, 2013

Nabi Muhammad SAW Ajarkan Prinsip Demokrasi yang Menghindari Tirani Mayoritas

Penulis: Melki Pangaribuan
Satu Harapan, 12:21 WIB | Selasa, 06 Agustus 2013

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pakar comparative religions within a single religious tradition (Islam) dan kajian tentang “konsep, teori, dan praktek heresy”, Ahmad Najib Burhani, mengatakan bahwa negara telah mengambil posisi tertentu dalam keyakinan keagamaan, bukan lagi pada posisi netral. Hal ini bertolak belakang dengan kehidupan berdemokrasi, yang saat ini tengah dibangun di Indonesia.
“Demokrasi diciptakan antara lain agar tak terjadi apa yang disebut dengan tirani mayoritas,” kata Najib kepada Satuharapan.com melalui surat elektronik yang dikirimnya pada hari Minggu (4/8), langsung dari Amerika Serikat.
Ada sejumlah pertanyaan yang diajukan kepadanya terkait dengan studi tentang kelompok minoritas keagamaan dalam Islam atau pecahan dari Islam. Berikut ini petikan wawancara dengan salah satu peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia  (LIPI) ini.
Siapakah yang dimaksud kelompok minoritas dalam penelitian Anda?
Mengenai definisi minoritas ini, umumnya para sarjana sepakat dengan definisi yang diberikan oleh Francesco Capotorti, mantan pakar di the UN Sub Commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities (Memisoglu 2007, 4; Ghanea 2012, 4). Menurut Capotorti, yang disebut minoritas adalah, “a group, numerically inferior to the rest of the population of a State, in a non-dominant position, whose members – being nationals of the State – possess ethnic, religious or linguistic characteristics differing from those of the rest of the population and show, if only implicitly, a sense of solidarity, directed towards preserving their culture, traditions, religion or language” (Ghanea 2012, 4-5).
Mengikuti definisi dari Capotorti tersebut, maka dalam konteks Indonesia, yang disebut dengan agama minoritas tidak hanya merujuk kepada institusi yang menyatakan dirinya sebagai agama dengan jumlah pemeluk yang kecil seperti Madraisme, Permalim, Tolotang, Petuntung, Perbegu, Aluk To Dolo, dan Kaharingan, namun juga merujuk kepada komunitas-komunitas keagamaan kecil dalam agama besar seperti Shi‘ah dan Ahmadiyah di tengah komunitas Sunni Islam. Tentu saja untuk konteks Indonesia, agama selain Islam juga masuk dalam kategori minoritas.
Nasib kelompok minoritas keagamaan ini belakangan ini cukup menyedihkan. Karena itu butuh perhatian dan kepedulian khusus. Dalam konteks politik, kelompok minoritas tak terlalu berpengaruh dalam pemenangan calon gubernur atau presiden. Tapi esensi dari demokrasi sesungguhnya terletak, di antaranya, pada bagaimana seorang pemimpin yang terpilih dengan suara terbanyak itu melindungi kelompok minoritas. Demokrasi diciptakan antara lain agar tak terjadi apa yang disebut dengan tirani mayoritas. Karena itu, tes apakah demokrasi di suatu negara telah berjalan baik adalah bagaimana perlindungan terhadap minoritas di negara itu. Dalam konteks Islam, tes keislaman yang benar juga bagaimana seorang Muslim itu memperlakukan minoritas. Dalam sebuah sabdanya, Nabi Muhammad berkata, “Bukanlah bagian dari umatku jika ada kelompok mayoritas atau kuat tapi tak menyayangi minoritas atau lemah. Dan juga bukan bagian dari umatku jika ada kelompok minoritas tapi tak hormat kepada mayoritas.”  Sabda ini sangat relevan dengan prinsip demokrasi yang menghindari tirani mayoritas.
Bagaimana nasib kelompok minoritas itu?
Dalam kasus Ahmadiyah, misalnya, keyakinan Ahmadiyah bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi dianggap menodai Islam yang meyakini tiadanya nabi setelah Nabi Muhammad. Untuk melindungi ‘kesucian’ agama Islam, Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri lantas mengeluarkan lantas mengeluarkan Keputusan Bersama (SKB) tahun 2008 tentang Peringantan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. Intinya, SKB ini melarang warga Ahmadiyah menjalankan dan menyebarkan ajaran agama yang mereka anut.
SKB di atas justru menyulut munculnya beragama tindak intoleransi terhadap pengikut Ahmadiyah. Berdasarkan catatan Setara Institute, Ahmadiyah menjadi korban tindakan intoleransi lebih besar dari kelompok minoritas lain pada tahun 2008 dan tahun-tahun setelah itu. Dari 265 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia pada 2008, 193 peristiwa menimpa Ahmadiyah (Hasani dan Naipospos 2011, 1). Beberapa tokoh Islam meminta kepada pengikut Ahmadiyah untuk memilih antara kembali ke Islam versi mereka atau mendirikan agama baru. Dua pilihan yang mustahil dilakukan oleh pengikut Ahmadiyah yang taat. Ini adalah perpindahan agama secara paksa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam. Perpindahannya bukan dari luar Islam ke Islam, tapi dari Islam ke luar Islam oleh tokoh-tokoh Islam sendiri.
Nasib yang plaing menyedihkan tentu saja terjadi di Asrama Transito, Mataram dan Cikeusik, Banten. Di Asrama Transito, sekitar 140 warga Ahmadiyah harus hidup seperti stateless people sejak tahun 2006 ketika mereka diserang, rumahnya dihancurkan, harta-bendanya dijarah, dan kemudian mereka diusir dari desanya. Mereka telah mengalami pengusiran berkali-kali dan setiap kali ingin kembali ke desa asalnya, mereka selalu diusir kembali. Di desa Umbulan, Cikeusik tiga warga Ahmadiyah dibunuh secara sadis ketika terjadi penyerangan terhadap rumah misi di sana pada awal 2011. Pembunuhan ini sangat sadis karena korban ditelanjangi, dipukuli dengan benda tumpul hingga meninggal. Dan bahkan, ketika korban sudah terlihat tak bernyawa pun, para penyerang masih mengekspresikan kebenciannya dengan terus melempari dengan batu dan menginjak-injak tubuh korban.
Mengapa kelompok seperti Ahmadiyah, Ismai’ili, Baha’i, Druze sering mengalami perlakukan lebih buruk dari non-Muslim di negara seperti Indonesia, Pakistan, Iran, dan Mesir?
Karena mereka dianggap tidak memiliki posisi keagamaan yang jelas. Mereka tidak bisa dikategorikan sebagai ahlul kitab yang memiliki tempat tertentu dalam teologi Islam dan harus dilindungi dalam pemahaman Islam lama. Mereka juga tidak bisa dikategorikan sama dengan mainstream umat Islam. Posisi mereka sering dianggap berada diantara Muslim dan non-Muslim. Konsekuensinya, hak-hak mereka sebagai orang Islam tidak diberikan dan hak-hak mereka sebagai non-Muslim masih ditahan hingga mereka mengakui sebagai non-Muslim. Kondisi ini menyebabkan tidak adanya perlindungan hukum dalam pemahaman kelompok Islam garis keras. Sosiologi tentang heresi dengan jelas menjelaskan tentang posisi kelompok yang sering dituduh sebagai heretik. Contoh yang sering saya pakai adalah tentang perceraian suami istri. Ketika terjadi perceraian yang tidak baik, maka suami atau istri itu sering melampiaskan kebeciannnya kepada bekas suami atau istrinya secara berlebihan. Kebenciannya kepada bekas suami atau istrinya itu jauh melebihi orang asing.
Apa yang saya tulis dalam disertasi saya yang berjudul When Muslims are not Muslims: The Ahmadiyya Community and the Discourse on Heresy in Indonesia adalah berusaha menganalisa tentang mereka yang identitas keagamaanya sering dianggap berada dalam posisi antara (liminal status) dengan menjadikan Ahmadiyah sebagai contoh utama. Ada tiga pendekatan utama yang saya pakai dalam disertasi ini. Pertama, saya melihat Ahmadiyah secara teologis: Bagaimana atau dimana posisi Ahmadiyah dalam pemahaman fiqh Islam klasik dan juga fatwa-fatwa kontemporer. Kedua, saya melihat secara sosiologis tentang posisi kelompok yang disebut heretik pada masyarakat beragama di Indonesia. Terakhir, saya melihat Ahmadiyah dengan pendekatan political-theology dengan terutama memakai perspektif dari Giorgio Agamben tentang homo sacer. Yang dimaksud dengan homo sacer disini bukanlah orang suci yang seperti umumnya dipahami. Konsep ini mengacu kepada mereka yang berada dalam posisi antara bisa dibunuh oleh siapapun dan pelakukan tak akan dihukum. Dalam konteks Ahmadiyah, posisi mereka itu sering dianggap antara orang suci dan orang yang ditabukan; mereka dianggap sebagai kelompok yang dekat dengan Tuhan dalam kelompoknya sendiri, tapi dianggap menjijikan oleh kelompok Muslim di luar mereka.
Sejauh mana Anda melihat fenomena keagamana bagi umat Islam (secara khusus) dan relasinya dalam umat beragama lain (Kristiani, misalnya), atau bagaimana relasi kelompok keagamaan-keagamaan di Amerika pasca 12 tahun tragedi WTC? Dan juga pasca wafatnya Osama bin Laden?
Bisa dikatakan bahwa meningkatnya kebencian kepada mereka yang berbeda, meningkatnya konservatisme keagamaan adalah fenomena global. Ini tidak hanya terjadi di negara Muslim, tapi juga di negara Kristen, Hindu, Buddha, dan negara sekuler. Peristiwa 11 September 2001 hanya satu simbol semakin meningkatnya konservatisme dan radikalisme ini. Banyak orang mengatakan bahwa apa yang terjadi sekarang ini adalah “the last breath of religion before its permanent death” atau nafas terakhir dari agama sebelum ia mengalami kematian total. Namun banyak juga yang menyebut ini sebagai perlawanan terhadap sekularsime yang ternyata tak bisa memenuhi janji-janjinya untuk menenteramkan dan mensejahterakan umat manusia. Namun saya melihat fenomena ini sebagai kebingunan dan kebimbangan umat manusia menghadapi perubahan yang cepat, dunia yang semakin plural, dan kaburnya hampir seluruh batas-batas norma tradisional yang sering dipegangi orang. Meningkatnya imigrasi, pernikahan sejenis, perubahan iklim, dan sejenisnya membuat manusia bingung mencari pegangan yang pasti.
Editor : Windrarto

Sunday, August 4, 2013

Mempertegas Hak Zakat untuk Muallaf

Koran Sindo, 30 Agustus 2013
Oleh Ahmad Najib Burhani*

Dari delapan asnaf (kelompok yang berhak menerima zakat), satu kelompok yang sering dipermasalahkan haknya untuk menjadi penerima zakat adalah muallaf atau lengkapnya muallafati qulubuhum. Secara harfiah muallaf berarti orang yang dilunakkan (hatinya). Namun secara istilah, kata ini sering dimaknai sebagai mereka yang baru masuk Islam. Tulisan ini, pertama, ingin mempersoalan definisi umum dari muallaf dan, kedua, ingin mempertegas hak penerimaan zakat bagi kelompok yang disebut sebagai muallaf.

Pada zaman khalifah Umar bin Khattab, khalifah kedua pengganti Nabi Muhammad, zakat untuk muallaf ini ditiadakan. Alasan dari kebijakan ini adakah karena Umar berkeyakinan bahwa Islam sudah kuat dan tidak perlu lagi merayu orang lain untuk masuk Islam atau menjinakkan hati orang yang baru masuk Islam. Dalam konteks sekarang, golongan muallaf ini juga sering tak diberi zakat jika mereka berasal dari kelompok yang hidupnya sudah berada.

Jika kita mengikuti kategori asnaf yang dibuat oleh Amin Suma (Kamil 2003, 66), hak muallaf untuk menerima zakat itu sebetulnya setara dengan fakir, miskin, dan amil atau lembaga yang mendistribusikan zakat semisal LAZ (Lembaga Amil Zakat) dan BAZ (Badan Amil Zakat). Dalam kategori yang dibuat oleh Amin Suma itu, delapan asnaf yang disebut dalam Al-Qur’an itu bisa diklasifikasikan menjadi dua kelompok berdasarkan awalan penyebutannya dalam Al-Qur’an (Q. 9:60; 60:8). Kelompok pertama adalah mereka yang berawalan “li” (untuk) dan kelompok kedua adalah mereka yang berawalan “fi” (dalam). Kelompok “li” terdiri dari fakir, miskin, amil, dan muallaf, sementara kelompok “fi” terdiri dari riqab (budak), gharim (orang yang terlilit hutang), musafir, dan sabilillah (untuk berjuang di jalan Allah). Pemberian harta zakat untuk kelompok kedua ini, menurut Suma, adalah tak sepenting kelompok pertama. Pemberian untuk mereka hanyalah untuk kemasalahatan saja, bukan sesuatu yang primer.

Jika kita setuju dengan pengkategorian menjadi dua kelompok itu, pertanyaannya adalah mengapa pemberian zakat untuk muallaf justru sering dipermasalahkah, bahkah oleh Umar bin Khattab sekalipun?

Untuk menjawab pertanyaan ini, sangat penting untuk melihat kembali definisi tentang muallaf. Apakah muallaf berarti orang yang baru masuk Islam sebagaimana yang sering dipahami saat ini? Ataukah ia bisa berarti non-Muslim yang berpotensi masuk Islam? Ataukah ia juga bisa berarti orang Muslim yang berpotensi keluar dari Islam karena persoalan ekonomi, politik, dan seterusnya? Ini sebetulnya isu sensitif dalam hubungan antar agama yang ketika dibuka di ruang publik seperti tulisan ini bisa menyinggung perasaan orang yang berbeda agama. Namun tulisan ini bertujuan positif untuk membuka aspek humanisme dari Islam dan karena itu dengan sengaja mendiskusikan isu sensitif ini di ruang publik.

Seperti disebut di atas, meski secara terminologi yang biasa dipahami muallaf berarti orang yang baru masuk Islam, tapi secara bahasa makna muallaf adalah orang yang dilunakkan atau dirayu atau dijinakkan (hatinya). Dalam konteks harfiah ini maka non-Muslim yang berpotensi masuk Islam dan orang Islam yang berpotensi keluar dari Islam adalah masuk dalam kategori muallaf. Bahkan dalam definisi yang dibuat oleh Yusuf al-Qaradhawi, yang dimaksud muallaf adalah “kaum Muslim yang digoda oleh kaum kafir agar masuk dalam kekuasaannya atau masuk agamanya dan pemerintahan non-Muslim yang kemungkinan dapat berafiliasi dengan barisan kaum Muslim” (Kamil 2003, 61).

Apa yang dipaparkan oleh al-Qaradhawi itu menunjukkan bahwa makna muallaf lebih luas dari sekadar mereka yang baru masuk Islam. Dalam konteks yang lebih kongkrit di masyarakat Indonesia sekarang, pertanyaannya adalah, jika kita berpikir sektarian, apakah orang-orang Syi’ah yang terusir dari rumah dan kampung halamannya di Sampang, Madura, dan orang-orang Ahmadiyah yang lebih dari tujuh tahun tinggal di Asrama Transito, Mataram, bisa dikategorikan sebagai muallaf (orang yang perlu dirayu hatinya) dan berhak menerima zakat? Mereka jelas masuk kategori fakir dan miskin, tapi lembaga-lembaga zakat di Indonesia, baik LAZ maupun BAZ, enggan memberikan harta zakat ke mereka karena dianggap orang sesat. Bagaimana kalau cara berpikirnya dibalik; mereka bukan orang sesat, tapi orang yang perlu dirayu hatinya atau dianggap sebagai muallaf?

Menurut penuturan orang-orang Ahmadiyah di Transito setahun yang lalu, ketika penulis berkunjung ke sana, semua fakir miskin di Mataram mendapatkan pembagian zakat, kecuali para penghuni Asrama Transito ini. Jika menengok ayat tentang zakat, definisi tentang fakir-miskin di ayat itu bersifat umum, tidak dipersempit berdasarkan agamanya. Siapapun dan dari agama apapun yang masuk kategori fakir miskin maka mereka berhak menerima zakat. Pemahaman seperti ini juga yang dipahami oleh Yusuf al-Qaradhawi dengan mengacu kepada beberapa pendapat ulama seperti Ibn Sirin, Ikrimah, Jabir Ibn Zaid, dan sebagainya (Kamil 2003, 60). Jika toh masyarakat di sekitar Sampang dan Transito menganggap zakat hanya untuk orang Islam, mengapa tidak dicoba berpikir bahwa orang Syiah dan Ahmadiyah bisa masuk dalam kategori orang yang perlu dilunakkan hatinya tentang Islam dan karena itu perlu dibantu dengan harta zakat?

Jawaban yang berkembang di masyarakat dan disampaikan oleh beberapa ulama dalam menanggapi persoalan ini ternyata berbeda dari asumsi-asumsi di atas. Rumor yang berkembang, orang Ahmadiyah di Transito itu meskipun terlihat miskin namun sebetulnya mereka itu kaya. Mereka memiliki kekayaan dalam lembaga Ahmadiyah yang berpusat di London dan mereka sudah mendapat bantuan material dari lembaganya. Jadi mereka tak perlu menerima zakat lagi. Logika ini tentu sulit diterima mengingat fakir miskin itu lebih dilihat sebagai individu, bukan pada organisasi. Apakah jika ada warga Muhammadiyah yang miskin lantas dia tak berhak menerima zakat hanya karena ada anggapan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang kaya? Tentu saja tidak. Fakir-miskin itu tetap harus menerima zakat apapun afiliasi organisasinya.

Argumen lain yang dipakai untuk menolak pemberian zakat kepada orang Ahmadiyah dan Syiah adalah karena masih banyak orang Islam (Sunni) yang fakir-miskin. Jadi, mereka harus didahulukan sebelum berpikir tentang orang lain. Cara berpikir seperti ini adalah rasial dan diskriminatif, hanya mau menolong orang lain jika mereka seagama. Ini sama dengan cerita umum tentang orang yang mengalami kecelakaan di jalan raya. Ketika melihat orang mengalami kecelakaan, orang yang diskriminatif akan bertanya dulu tentang agama orang yang mengalami kecelakaan. “Apakah anda Muslim? Jika anda Muslim, maka akan saya tolong. Tapi jika anda non-Muslim, maka akan saya biarkan.” Tentu ini adalah cara berpikir yang tidak bijaksana dan jauh dari semangat Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Namun sebetulnya cara berpikir bahwa orang Ahmadiyah dan Syiah sebagai muallaf juga problematik. Cara berpikir seperti ini mengindikasikan bahwa bantuan yang diberikan tidaklah tulus. Ia hanya bertujuan agar penerimanya pindah agama. Dan umat Islam Indonesia perlu belajar dari kemarahannya sendiri ketika melihat orang-orang Islam berpindah agama hanya karena diberikan indomie oleh misionaris agama lain. Jadi, sebetulnya bantuan, zakat, dan kegiatan humanitarianisme itu harus ikhlas dan universal, tanpa pandang agama. Namun daripada tidak memberikan sama sekali kepada orang Ahmadiyah dan Syiah yang menjadi fakir-miskin, maka memasukkan mereka sebagai kategori muallaf adalah langkah yang perlu dipertimbangkan.
-oo0oo-

*Aktivis Muhammadiyah & Doktor dari Univ. Califonia, Santa Barbara.

http://www.koran-sindo.com/node/319664

Friday, July 12, 2013

SESAT ITU TIDAK GAMPANG*

Akhmad Sahal
Wakil Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika

Ada satu hadits bernada murung yang cukup populer di kalangan kaum muslim: “umatku kelak akan terpecah-pecah ke dalam 73 golongan yang berbeda-beda, dan hanya satu dari mereka yang selamat.”

Ramalan Nabi dalam hadits tersebut terasa murung bukan hanya karena perpecahan umat ke dalam beragam aliran digambarkan sebagai sesuatu yang tak terelakkan, melainkan juga karena sebagian besar dari mereka oleh hadits tersebut divonis sesat dan bakal masuk neraka. Hanya satu kelompok saja yang Islamnya benar dan layak masuk surga.

Dalam hadits di atas, Nabi tidak menegaskan secara eksplisit siapa satu kelompok yang selamat (firqah najiyah) itu. Ini pada gilirannya membuka peluang bagi golongan Islam tertentu untuk mengklaim sebagai satu-satunya kelompok yang selamat.

Kosekuensi logisnya, mereka menganggap sesat semua kelompok Islam lain. Ini terutama terjadi dalam ranah teologi Islam, di mana aliran-aliran yang saling bertikai kerap melempar tuduhan kafir satu sama lain.

Yang paling terkenal adalah sekte khawarij yang mengaku sebagai para pembela Islam yang hendak menegakkan kedaulatan hukum Allah (dengan slogannya la hukma illa lillah-tidak ada hukum kecuali hukum Allah), tapi ujung-ujungnya mengkafirkan kubu Ali bin Abu Thalib maupun kubu Mu'awiyah bin Abu Sufyan yang terlibat dalam Perang Shiffin, yang berarti mengkafirkan mayoritas sahabat Nabi.

Di mata kaum khawarij, kedua kubu tesrebut telah keluar dari Islam karena menempuh arbitrase demi mengakhiri perang saudara di antara mereka. Dan arbitrase (tahkim) semacam ini dianggap identik dengan berhukum berdasar aturan manusia, bukan aturan Allah, suatu bentuk kekufuran di mata kaum khawarij.

Di masa sekarang, kaum Wahhabi tak segan-segan menuduh muslim lain yang tidak mengikuti ajaran tauhid mereka sebagai telah jatuh dalam kemusyrikan.

Singkat kata, ramalan Nabi dalam hadits di atas secara selintas justru terkesan menjadi dalil pembenar bagi intoleransi antar sesama muslim dan eksklusivisme di kalangan umat. Tapi apa betul kesan selintas ini?

Kalau yang kita tanya Imam al-Ghazali, barangkali ia akan dengan tegas menjawab tidak betul. Dalam traktat tipisnya, Faysal al Tafriqah baina al-Muslim wa al-Zandaqoh, Al-Ghazali membantah kesimpulan bahwa hadits ramalan di atas menyuburkan intoleransi dan eksklusivisme dalam berislam dengan sejumlah alasan:

Pertama, hadits tersebut memang menyebutkan hanya satu kelompok Islam yang selamat, tapi yang dimaksud di sini adalah satu golongan yang langsung masuk surga secara ekspres, tanpa hambatan. Sedangkan kelompok-kelompok muslim lain mungkin perlu melewati fase “pencucian” dulu di neraka, tapi setelah itu bakal masuk surga juga.

Dengan kata lain, mayoritas golongan dan sekte dalam Islam pada akhirnya akan terselamatkan semua di akhirat. Alasan kedua, hadits di atas bukanlah satu-satunya versi yang ada. Al-Ghazali mengutip versi lain yang justru bertolak belakang dengan hadits yang pertama. Bunyinya begini: “umatku akan terpecah-pecah ke dalam 73 golongan, semuanya selamat kecuali satu kelompok.”

Al-Ghazali selanjutnya berargumen bahwa pilar fundamental dalam keimanan sesungguhnya hanya tiga: iman kepada keesaan Allah, kepada Muhammad sebagai Rasulullah, dan kepada datangnya hari kiamat. Baginya, seseorang baru bisa disebut kafir kalau tidak percaya kepada ketiga hal pokok tersebut. Sedangkan di luar wilayah fundamental tersebut adalah soal-soal sekunder, sekadar cabang-cabang agama (furu’), yang apabila seorang muslim menyangkalnya sekalipun tidak menjadikannya kafir.

Al-Ghazali di sini sebenarnya hendak mengatakan bahwa hampir semua pertikaian pendapat dalam soal-soal teologi antara kaum mu’tazilah yang rasionalis versus ahlul hadits yang tesktualis, atau antara kaum Sunni dan Syi’ah, adalah pertikaian soal-soal sekunder yang masih dalam koridor keIslaman.

Dengan kata lain, pertikaian pendapat tersebut tidak menjadikan mereka sesat. Kalau dalam soal teologi saja begitu jembar ranah toleransinya, apalagi dalam soal syari’ah dan fiqh.

Pandangan Al-Ghazali ini menarik karena ia membalikkan nada murung ramalan Nabi dalam hadits di atas menjadi lebih rileks dan cerah. Keragaman aliran Islam diterima sebagai rahmat, bukan kutukan. Selama mereka masih percaya pada tiga pilar iman di atas, maka silang pendapat di antara mereka tidak akan menjerumuskannya ke dalam kekafiran.

Spirit toleransi yang disuarakan Al-Ghazali ini tampaknya diamini dan bahkan diperluas oleh Muhammad Abduh. Abduh menulis dalam kitabnya Al-Islam wa al-Nashraniyyah: “apabila seorang muslim menyatakan satu pendapat yang kalau dilihat dari seratus sisi tampak kufur, tapi ada satu sisi saja yang terlihat masih dalam iman, maka orang tersebut tidak bisa dicap sebagai kafir.”

Jadi ternyata, dalam soal-soal keislaman, menjadi sesat itu tidak gampang.

Dimuat di KORAN TEMPO, 3/8/2011

Sunday, July 7, 2013

When Muslims are not Muslims: The Ahmadiyya Community and the Discourse on Heresy in Indonesia

ABSTRACT

When Muslims are not Muslims:
The Ahmadiyya Community and the Discourse on Heresy in Indonesia

by
Ahmad Najib Burhani

The concepts of orthodoxy and heresy mostly refer to the politics of domination between competing groups to determine which one shall be considered the bearer of the ‘correct’ beliefs. The winning party would claim its teachings orthodox, while the losing party would be condemned as heretics. The concept of orthodoxy-heresy, therefore, does not imply whether a certain belief system is true or false. The orthodoxy-heresy nexus is a common phenomenon in any society and embedded in the history of all religions. The problem is whether or not a certain society allows a place for ‘heretical’ belief system. If they do not accept it, this raises significant questions: What is the limit of orthodoxy where dissent can still be tolerated? How are those who have dissenting belief systems treated? What is the stance of state power in this theological issue, staying neutral or taking sides with a certain belief system?

To answer these questions, this thesis studies the Ahmadiyya community, often considered the most influential heretical group in Islam, and employs an in-depth qualitative case study. To give various perspectives on their plight, this thesis has focused on three locations: Cikeusik, Manis Lor, and Asrama Transito. Data for this study were collected through multiple sources. They include personal observations; archival records; interviews; audiovisual material; literature written by prominent figures of the Ahmadiyya; documents from both the Ahmadiyya and its opponents; fatwās from certain Muslim organizations; government decrees; and reports from human rights organizations. Together, the data allow for a detailed description of the distinctive beliefs of the Ahmadiyya, the development of this community, the various types of opposition to this community, the matrix of the persecution, and the response of the Ahmadiyya to persecution.

The results of this research show that the alliance between religious authority and certain state power has often become an underlying factor behind the persecution of ‘heretical’ groups. The religious authority, for instance, issues a fatwā that gives an ideological justification for opposing –or further, persecuting-- allegedly heretical groups. The state bans religious groups deemed heretical or prohibits the public airing of certain teachings deemed heterodox and allows for the persecution of those groups, for instance, when the state indirectly shares its sovereignty with vigilante groups that appoint themselves as religious police and enforcers of the fatwā.


Table of Contents
Acknowledgements - iv
Vita of Ahmad Najib Burhani - x
Abstract - xiv
Abbreviations - xvi
Glossary - xix
Transliteration - xxii
Table of Contents - xxiii

Chapter 1- Introduction - 1

Chapter 2 - The Ahmadiyya: Birth, Organization, and Distinctive Beliefs - 30
A. Establishment and Organization - 31
B. Distinctive and Controversial Beliefs - 34
B.1. Ghulam Ahmad’s Claim of Prophethood - 35
B.2. Ghulam Ahmad as the Messiah - 40
B.3. Opposition to Jihad - 47
B.4. The System of Chanda - 51
B.5. The Doctrine of Caliphate - 56
B.6. The Doctrine of Intra-Religious Marriage - 60
B.7. Prohibition of Praying behind non-Ahmadi Imāms - 63
C. Conclusion - 65

Chapter 3 - The Ahmadiyya in Indonesia: Early History, Development, and Contributions - 67
A. Introduction - 67
B. The Lahore Ahmadiyya and Islamic Reform in Early 20th Century Indonesia - 70
C. The Qadiani Ahmadiyya: Invitation, Propagation, and Conversion - 79
D. The Development of the Ahmadiyya in Indonesia - 92
E. The Contributions of the Ahmadiyya to Indonesian Islam - 99
E.1. The Islamic Revivalism in Indonesia: Dutch-educated vs. Arab-educated Scholars - 100
E.2. Missionary Activities and the Study of Comparative Religion - 112
E.3. The Translation of the Qur’an into Indonesian Languages - 126
F. The Appeals of the Qadiani Ahmadiyya in Indonesia - 140
F.1. A Close-Knit Organization - 143
F.2. An Ethic and Moral Movement - 147
F.3. A Spiritual and Mystical Movement - 151
G. Conclusion - 155

Chapter 4 - Sustaining Orthodoxy: Fatwās and Government Decrees on the Ahmadiyya in Indonesia - 162
A. Introduction - 162
B. The Limits of Orthodoxy in Islam - 163
C. Classical Discourse on the Boundaries of Islam - 172
D. The Place of the Ahmadiyya in Islamic Orthodoxy - 179
D.1. Fatwās as a Source to Sustain Orthodoxy - 180
D.2. Declaring Heretics Apostates or Non-Believers - 191
E. Sustaining Orthodoxy through Government Decrees and Regulations - 199
F. Conclusion - 202

Chapter 5 - The Opposition and Persecution of the Ahmadiyya in Indonesia - 204
A. Introduction - 204
B. Historical Opposition to the Ahmadiyya - 205
C. Religious Radicalization and the Persecution of the Ahmadiyya after 1998  - 20
C.1. Discursive Opposition - 222
C.2. Violent Opposition - 238
C.3. Mass Opposition - 251
D. The Ideological Justification and Religious Symbolism in the Attacks - 253
D.1. Jihad Discourse and Justifying Attacks - 254
D.2. Militia and Vigilante Groups as ‘Sovereign Bodies’ - 258
D.3. Tensions between Divine Law and State Law - 261
E. The Forms of Oppositions and Foreign Influence - 265
E.1. Arab Inspiration in the MUI Fatwās - 266
E.2. Pakistan as a Model for Legal Treatment - 269
E.3. Fierce and Violent Opposition - 274
F. Conclusion - 277

Chapter 6 - Living as Persecuted People: The Ahmadiyya Community as Homo Sacer - 280
A. Introduction - 280
B. Two Main Cases of Persecution - 282
B.1. Asrama Transito as a Refugee Camp-like for the Ahmadis - 283
B.2. Lynching the Ahmadis in Umbulan Village, Cikeusik - 293
C. The Position of the Ahmadiyya in Muslim Society - 298
D. The Ahmadiyya Community as Homo Sacer - 311
E. Conclusion - 330

Chapter 7 - Bearing the Unbearable: Persecution in the Framework of Ahmadiyya Theology and Experiences - 332
A. Introduction - 332
B. Persecution and Suffering in the Ahmadiyya Theology - 334
B.1. Proof that Ghulam Ahmad is the Promised Messiah - 335
B.2. Proof of the Nubuwwa - 341
B.3. Test of Faith and Medium of Education - 345
C. Politics of Non-Retaliation - 350
D. Abdul Latif as Martyrdom Paradigm - 355
E. Theology of Hope: Waiting vs. Coming - 360
F. Conclusion - 363

Chapter 8 - Conclusion - 367

References - 377
Appendices - 413

Available at this link (http://alexandria.ucsb.edu/catalog/adrl:f3707zhx)

Thursday, June 20, 2013

SESAT YANG MENYESATKAN

Oleh: Masdar Farid Mas’udi,
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Kompas, 3 Maret 2012

Semua orang tahu, sesat artinya salah jalan. Mestinya belok kanan, malah belok kiri sehingga bukannya sampai ke tujuan, justru semakin menjauh.

Sesat atau ”tersesat” adalah kecelakaan yang tak dikehendaki siapa pun. Jika Anda orang budiman, melihat orang tersesat, tentu Anda akan menolongnya, dengan memberi tahu yang bersangkutan mana jalan yang benar, dengan kasih dan kepedulian. Namun, sungguh terjadi, bahkan semakin banyak terjadi, melihat orang lain tersesat malah memakinya, bahkan menyerangnya. Nalarnya: sudah diberi tahu jalan yang benar, kok, ngotot memilih jalan yang salah. Terhadap orang seperti ini, Anda memang layak kesal dan geleng-geleng kepala. Namun, kalau sampai memukul, apalagi membunuhnya, yang lebih bermasalah adalah Anda, bukan dia yang tersesat.

Main Hakim Sendiri

Dalam kamus umat beragama, sesat artinya salah jalan terkait tujuan akhir kehidupan, untuk kembali pada Tuhan. Pertaruhannya tuntas dan telak. Maunya ke surga, hidup abadi dalam kebahagiaan dan kemuliaan, tahunya malah ke neraka, alam gelap penuh hina dan nestapa.

Masalahnya, semua agama dengan klaim kebenaran absolut masing-masing menawarkan gambar dan peta jalan berbeda-beda perihal surga. Mana yang benar? Wallahu a’lam! Sebab, belum ada seorang pun di dunia ini, baik yang mengaku beriman maupun yang kafir, pernah membuktikan sendiri langsung, live, apa yang diklaimnya sebagai surga ataupun neraka. Bahkan, dari kalangan para pemuka agama yang mengaku paling tahu pun, belum ada yang pernah menyaksikan surga ataupun neraka itu.

Meski demikian, semua agama sepakat pada dua hal: pertama bahwa surga itu ada; apa pun konsep kebahagiaan yang ada di dalamnya. Bukan agama kalau tak menawarkan surga dan mengancam pembangkangnya dengan neraka. Kedua, semua agama sepakat, di balik konsep surga dan neraka, ada yang disebut Tuhan, Zat Yang Maha Kuasa, Maha Pencipta alam semesta. Yang menjadi masalah dan sekaligus titik konflik di antara agama-agama bahwa setiap mereka menawarkan jalan surga yang berbeda-beda, sekaligus mengklaim hanya jalan mereka yang bisa menjamin orang sampai ke sana; sementara jalan yang ditawarkan agama atau keyakinan lain dituding sebagai kebohongan belaka.

Tidak berhenti di situ; di kalangan penganut agama dan kitab suci yang sama, dengan mazhab atau aliran berbeda, pun bisa terjadi aksi saling tuding dan menistakan satu sama lain sebagai pembawa ajaran sesat dan menyesatkan (dlallun mudlillun).

Arkian, dilihat dari perspektif internal masing-masing, semua agama/keyakinan adalah benar dengan klaim kesanggupan mutlak mengantarkan penganutnya ke surga. Namun, pada saat yang sama, dilihat dari sudut pandang agama/keyakinan pihak lain, semuanya hanya dusta yang sesat dan menyesatkan pengikutnya ke dalam neraka. Dengan logika ini, harus dikatakan bahwa pada dasarnya tak ada penganut agama/keyakinan berhak menghakimi agama atau keyakinan lain.

Sebab, semua agama dan penganutnya, di mata pihak lain, sama posisinya sebagai tertuduh. Saling menghakimi di antara tertuduh itulah dan aksi ”main hakim sendiri” yang tidak bisa diterima oleh logika apa pun.

Allah Yang Menghakimi

Agama sebagai ”keyakinan” adalah sesuatu yang tersembunyi di relung hati; tidak seorang pun bisa mengetahui secara persis sosok dan anatomi keyakinan orang lain. Menghakimi keyakinan orang lain adalah absurd dan tak bisa diterima akal sehat. Khalifah Umar ra berkata, ”Nahnu nahkum bidzzhawahir, wallahu yatawallas saraair (Kita manusia hanya bisa menghakimi yang tampak, sementara perihal yang tersembunyi [keimanan] dalam hati Allah saja yang mengetahui).”

Demikian pula jalan keselamatan (syariat/mansak) antara satu umat dan umat lain bisa berbeda-beda dan demikian faktanya. Maka, nasihat Al Quran, ”Janganlah kalian saling bertengkar dan saling menghakimi perihal ini, berdoalah saja kepada Allah” (QS al-Hajj [22]: 67). Jika harus ada penghakiman, biarlah Allah yang jadi hakimnya. Itu pun bukan di dunia ini, melainkan di akhirat nanti, ”Allah yang akan menghakimi perselisihan di antara kalian, di hari kiamat nanti (QS al-Hajj [22]: 69).

Kebinekaan agama dan keimanan adalah kehendak Allah yang tak bisa kita tolak atau hindari. Setiap orang berhak dan sepantasnya berbangga dengan agama dan keyakinannya tanpa harus menuding keyakinan orang lain sebagai kepalsuan dan kesesatan. Tak pantas akhlak agamawan kalah dengan kaum kapitalis; mereka sanggup mempromosikan produknya setinggi langit tanpa melecehkan produk pihak lain. Cukup katakan: Keyakinan saya atau kami memang berbeda dengan keyakinan Anda. ”Kami tidak menyembah yang kalian sembah; sebagaimana Anda juga tidak perlu menyembah apa yang kami sembah. Bagiku agamaku dan bagimu agamamu” (QS al-Kafirun [109]: 6).

Beda agama atau keyakinan bukan suatu kejahatan, melainkan realitas kehidupan yang sepenuhnya terjadi atas kehendak-Nya. ”Sekiranya Allah menghendaki, niscaya semua manusia akan dihimpun dalam satu agama atau keyakinan yang sama. Akan tetapi, Allah ingin membuktikan mana di antara kalian yang lebih baik amalnya daripada yang lain. Maka, berlombalah dalam berbuat kebaikan untuk sesama (bukannya saling mencela, menistakan, dan memaksakan keyakinan atas sesama)” (QS al-Maidah [5]: 45)

Friday, May 24, 2013

Religious minorities unite for freedom

Prodita Sabarini, The Jakarta Post, Bekasi | Feature | Fri, May 24 2013, 2:48 PM

Iron: Pondok Gede sub-precinct head Comr. Dedy Tabrani speaks to an Ahmadi behind the locked gate of the Al Misbah Mosque in Bekasi on April 5. (Antara/Widodo S. Jusuf)
 Next to a sealed Ahmadi mosque in Bekasi is a plot of land with leafy trees and damp earth. To get in one has to squeeze through a gap between a tall iron gate and the wall of a residence on the other side.

From this bit of land, Ahmadiyah members send food over the gate to the 19 Ahmadis staying inside the mosque, which was sealed in early April by Bekasi public order officers.

When the officers put up the corrugated iron fence to seal the Al Misbah Mosque, about 40 people were inside, including women and children. The women and children have since been taken out.

The remaining 19 stayed behind, giving away their freedom for an indefinite time as a symbol, an
act of protest, toward the Bekasi municipality and the central government for meddling with their freedom to worship.

The lot became a gathering place on Saturday night for Sobat KBB, a solidarity group of victims of religious intolerance and violence, a collective of minority groups — Christians, Shia Muslims, Ahmadis and those of other beliefs — that have experienced discrimination and persecution. Sobat translates as friend in English.

The national coordinator of Sobat KBB is Palti Panjaitan, the Filadelfia Batak Christian Protestant Church pastor whose church in Bekasi was also sealed by the Bekasi city administration.

Palti said about 10 people came to the gathering. Liberal Islam activist Mohammad Guntur Romli, who in a pluralism rally that turned violent in 2008 had his nose and cheekbone fractured by blows from members of the Islam Defenders Front (FPI), and Nong Darol Mahmada were among the attendees.

Over grilled fish, the group shared their thoughts about the state of religious minorities in Indonesia.

Rahmat Rahmadijaya, an Ahmadiyah cleric who remains inside the shuttered mosque, joined the discussion through a small opening in the mosque’s black iron door.

Ahmadiyah spokesperson Firdaus Mubarik said they wanted to bring Palti into their campaign because they saw the creative ways the Filadelfia church had promoted their cause, such as holding mass in front of the presidential palace.

Firdaus said the Ahmadis collaborated with Filadelfia for the Saturday night gathering — aimed at becoming a regular meeting — to continue to voice their cause.

“We don’t want the people remaining in the mosque to be forgotten,” he said.

Palti, meanwhile, said they might make the gathering more regular, not only in the lot next to Al Misbah but in other places where religious minorities are persecuted.

The group was established in February after a workshop by the Setara Institute, a human rights organization that monitors religious freedom across the country, and is also open to agnostics and atheists, the priest said.

“Sobat KBB is open to any victims [of persecution] including atheists. We fight for all victims who have been victimized or discriminated against in the name of religion, either those who adhere to religion or those who do not. We will fight hand in hand, to support each other,” Palti said.

Local and international organizations have criticized Susilo Bambang Yudhoyono’s administration for the increasing religious intolerance and violence in the country, even as he recently received the World Statesman Award from the US-based Appeal of Conscience Foundation. The award has been deemed a publicity stunt by rights groups who say the president does not deserve the award because of his track record in dealing with religious minorities.

Setara has documented 264 cases of violent attacks against religious minorities, up from 244 cases in 211 and 216 cases in 2010. Meanwhile, non-believers are criminalized, as in the case of atheist Alexander Aa, who broadcast his thoughts about the non-existence of God and was put behind bars in 2012.

“We want to enlighten people that religion should not be used to judge other religions or beliefs,” Palti said of Sobat KBB.
 
Struggling: Nineteen Ahmadis are staying inside the Al Misbah Mosque in Bekasi, which was sealed by Bekasi public order officers in April. (JP/Prodita Sabarini)

In the case of Ahmadiyah, a 2008 joint ministerial decree banned the sect from proselytizing and the decree became the base for the regional government to ban Ahmadiyah outright. The West Java administration banned Ahmadiyah activities in 2011, the same year the Bekasi mayoralty announced its ban.

From across the corrugated iron fence, Rahmat, 33, who has been living on the grounds of the mosque for a decade, said Islamic hardliners from the FPI started to intimidate and harass Ahmadis at Friday prayers after Bekasi mayor Rahmat Effendi announced the ban.

“They threatened us, roaring their motorcycle engines, disturbing our prayers,” he said.

Except for Rahmat and a resident living next to the mosque, the neighbors of the mosque are not Ahmadis.

Ahmadis from other parts of Bekasi come and pray there on Fridays. But a resident living nearby said people were nonplussed with them. “For us here, to each their own”.

Rahmat said the Bekasi administration’s sealing of the mosque was the latter’s idea to protect the Ahmadis from religious hardliners. “But they did it without consulting us first, there was no dialogue,” he said.

The mosque is now guarded by three police officers, who take shelter from boredom in the house in front of the mosque where they can watch television when nothing is happening. The police presence ensures no-one enters the mosque, either Ahmadis or hardliners. A number of times after the mosque was sealed hardliners have arrived, but were cordoned off by the police.

“We feel shackled, it’s tough being here,” Rahmat said. The young cleric is living separately from his wife and two children. The youngest was born in February.

His days are used to pray, he said. They also entertain themselves with badminton and ping pong.

Rahmat said they have sent letters of protest to the president and the mayor. The Ahmadis are also taking their case against the Bekasi administration to the administrative court.

Even though the government is not keeping the Ahmadis inside the mosque, Rahmat said he would stay locked inside until the government reopened it.

“Forever, we will stay here forever,” he said.

But, he doesn’t wish for that. Rahmat is instead hoping for divine intervention to help the embattled Ahmadis win their case.

http://www.thejakartapost.com/news/2013/05/24/religious-minorities-unite-freedom.html

Friday, May 17, 2013

Erfan Dahlan (Putra KH Ahmad Dahlan) dan Ahmadiyah

Irfan Dahlan (1905 – 1967)


Irfan Dahlan adalah anak keempat dari K.H. Ahmad Dahlan (w. 1923), Pendiri Muhammadiyah, dengan Siti Walidah. Lahir tahun 1905 dengan nama asli Jumhan. Berganti nama menjadi Irfan Dahlan atas keinginannya sendiri saat bertinggal di Lahore, India.

Tahun 1924, bersama beberapa kawannya, Jumhan muda dikirim untuk belajar Islam di Ishaat Islam College yang didirkan oleh Ahmadiyya Anjuman Ishaati Islam Lahore (AAIIL) di Lahore, India. Hal ini terjadi sesudah kedatangan misionaris Ahmadiyah di Yogyakarta, yakni Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad, yang memberikan Pidato Keagamaan pada Kongres Muhammadiyah ke-13 di Yogyakarta.

Setelah cukup lama belajar di Lahore, Irfan Dahlan kemudian dikirim sebagai mubaligh untuk berdakwah di Pattani, Thailand. Di sanalah ia bertinggal dan berumah tangga hingga wafatnya. (Lihat tulisan mengenai Keluarga Irfan Dahlan di Bangkok, Thailand).

Dalam booklet World-Wide Religious Revolution yang diterbitkan oleh AAIIL pada Desember 1932, dikisahkan bahwa Dr. A.W. Khan, pendiri gerakan dakwah Islam di Pattani, memberikan kabar kepada AAIIL di India sebagai berikut:
“…obtained from our Society the services of Mr. Erfan Dahlan, a young Javanese and a student of our Ishaat Islam College. Mr. Erfan Dahlan joined the Pattani Mission in October 1930. A little later he was sent to Bangkok, the capital of Siam, to learn the Siamese language where he was cordially received by Maulana A. Karim Masoodee, Imam of the Royal Mosque, who is helping him in every way.” (p. 18)


Gambar di atas adalah foto bersama antara Staf Pengajar dan Siswa Isha‘at Islam College, Lahore, pada tahun 1927. Perguruan ini didirikan oleh Ahmadiyya Anjuman Isha‘at Islam Lahore dan berlangsung hingga tahun 1928. Para guru yang duduk di kursi dari kiri ke kanan adalah Maulana Abdul Haq Vidyarthi, Maulana Sadr-ud-Din, and Maulana Abdus Sattar. Siswa berjas putih yang bersimpuh di tanah adalah Irfan Dahlan. (lihat juga di sini).

Pada tanggal 23 Juni 1958, Irfan Dahlan bertemu kembali dengan guru kesayangannya, Maulana Abdul Haq Vidyarthi, yang bersinggah  di Bangkok, saat melakukan perjalanan dari Lahore menuju Kepulauan Fiji. Hal ini tertulis dalam surat Abdul Haq Vidyarthi yang dimuat dalam Majalah Ruh-i Islam, Oktober-November 1958).

Tahun 1961, Irfan Dahlan melukis wajah sang guru, Maulana Abdul Haq Vidyarthi, dalam bayang-bayang Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Di bawah lukisan itu, beliau mencantumkan sebaris puisi karya Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Lihat Lukisan Sang Guru Karya Irfan Dahlan.

Tahun 1967, Irfan Dahlan wafat. Ia meninggalkan sepuluh orang anak dari hasil perkawinannya dengan Zahara. (lihat artikel terkait di sini) []

http://ahmadiyah.org/irfan-dahlan/