Sunday, August 4, 2013

Mempertegas Hak Zakat untuk Muallaf

Koran Sindo, 30 Agustus 2013
Oleh Ahmad Najib Burhani*

Dari delapan asnaf (kelompok yang berhak menerima zakat), satu kelompok yang sering dipermasalahkan haknya untuk menjadi penerima zakat adalah muallaf atau lengkapnya muallafati qulubuhum. Secara harfiah muallaf berarti orang yang dilunakkan (hatinya). Namun secara istilah, kata ini sering dimaknai sebagai mereka yang baru masuk Islam. Tulisan ini, pertama, ingin mempersoalan definisi umum dari muallaf dan, kedua, ingin mempertegas hak penerimaan zakat bagi kelompok yang disebut sebagai muallaf.

Pada zaman khalifah Umar bin Khattab, khalifah kedua pengganti Nabi Muhammad, zakat untuk muallaf ini ditiadakan. Alasan dari kebijakan ini adakah karena Umar berkeyakinan bahwa Islam sudah kuat dan tidak perlu lagi merayu orang lain untuk masuk Islam atau menjinakkan hati orang yang baru masuk Islam. Dalam konteks sekarang, golongan muallaf ini juga sering tak diberi zakat jika mereka berasal dari kelompok yang hidupnya sudah berada.

Jika kita mengikuti kategori asnaf yang dibuat oleh Amin Suma (Kamil 2003, 66), hak muallaf untuk menerima zakat itu sebetulnya setara dengan fakir, miskin, dan amil atau lembaga yang mendistribusikan zakat semisal LAZ (Lembaga Amil Zakat) dan BAZ (Badan Amil Zakat). Dalam kategori yang dibuat oleh Amin Suma itu, delapan asnaf yang disebut dalam Al-Qur’an itu bisa diklasifikasikan menjadi dua kelompok berdasarkan awalan penyebutannya dalam Al-Qur’an (Q. 9:60; 60:8). Kelompok pertama adalah mereka yang berawalan “li” (untuk) dan kelompok kedua adalah mereka yang berawalan “fi” (dalam). Kelompok “li” terdiri dari fakir, miskin, amil, dan muallaf, sementara kelompok “fi” terdiri dari riqab (budak), gharim (orang yang terlilit hutang), musafir, dan sabilillah (untuk berjuang di jalan Allah). Pemberian harta zakat untuk kelompok kedua ini, menurut Suma, adalah tak sepenting kelompok pertama. Pemberian untuk mereka hanyalah untuk kemasalahatan saja, bukan sesuatu yang primer.

Jika kita setuju dengan pengkategorian menjadi dua kelompok itu, pertanyaannya adalah mengapa pemberian zakat untuk muallaf justru sering dipermasalahkah, bahkah oleh Umar bin Khattab sekalipun?

Untuk menjawab pertanyaan ini, sangat penting untuk melihat kembali definisi tentang muallaf. Apakah muallaf berarti orang yang baru masuk Islam sebagaimana yang sering dipahami saat ini? Ataukah ia bisa berarti non-Muslim yang berpotensi masuk Islam? Ataukah ia juga bisa berarti orang Muslim yang berpotensi keluar dari Islam karena persoalan ekonomi, politik, dan seterusnya? Ini sebetulnya isu sensitif dalam hubungan antar agama yang ketika dibuka di ruang publik seperti tulisan ini bisa menyinggung perasaan orang yang berbeda agama. Namun tulisan ini bertujuan positif untuk membuka aspek humanisme dari Islam dan karena itu dengan sengaja mendiskusikan isu sensitif ini di ruang publik.

Seperti disebut di atas, meski secara terminologi yang biasa dipahami muallaf berarti orang yang baru masuk Islam, tapi secara bahasa makna muallaf adalah orang yang dilunakkan atau dirayu atau dijinakkan (hatinya). Dalam konteks harfiah ini maka non-Muslim yang berpotensi masuk Islam dan orang Islam yang berpotensi keluar dari Islam adalah masuk dalam kategori muallaf. Bahkan dalam definisi yang dibuat oleh Yusuf al-Qaradhawi, yang dimaksud muallaf adalah “kaum Muslim yang digoda oleh kaum kafir agar masuk dalam kekuasaannya atau masuk agamanya dan pemerintahan non-Muslim yang kemungkinan dapat berafiliasi dengan barisan kaum Muslim” (Kamil 2003, 61).

Apa yang dipaparkan oleh al-Qaradhawi itu menunjukkan bahwa makna muallaf lebih luas dari sekadar mereka yang baru masuk Islam. Dalam konteks yang lebih kongkrit di masyarakat Indonesia sekarang, pertanyaannya adalah, jika kita berpikir sektarian, apakah orang-orang Syi’ah yang terusir dari rumah dan kampung halamannya di Sampang, Madura, dan orang-orang Ahmadiyah yang lebih dari tujuh tahun tinggal di Asrama Transito, Mataram, bisa dikategorikan sebagai muallaf (orang yang perlu dirayu hatinya) dan berhak menerima zakat? Mereka jelas masuk kategori fakir dan miskin, tapi lembaga-lembaga zakat di Indonesia, baik LAZ maupun BAZ, enggan memberikan harta zakat ke mereka karena dianggap orang sesat. Bagaimana kalau cara berpikirnya dibalik; mereka bukan orang sesat, tapi orang yang perlu dirayu hatinya atau dianggap sebagai muallaf?

Menurut penuturan orang-orang Ahmadiyah di Transito setahun yang lalu, ketika penulis berkunjung ke sana, semua fakir miskin di Mataram mendapatkan pembagian zakat, kecuali para penghuni Asrama Transito ini. Jika menengok ayat tentang zakat, definisi tentang fakir-miskin di ayat itu bersifat umum, tidak dipersempit berdasarkan agamanya. Siapapun dan dari agama apapun yang masuk kategori fakir miskin maka mereka berhak menerima zakat. Pemahaman seperti ini juga yang dipahami oleh Yusuf al-Qaradhawi dengan mengacu kepada beberapa pendapat ulama seperti Ibn Sirin, Ikrimah, Jabir Ibn Zaid, dan sebagainya (Kamil 2003, 60). Jika toh masyarakat di sekitar Sampang dan Transito menganggap zakat hanya untuk orang Islam, mengapa tidak dicoba berpikir bahwa orang Syiah dan Ahmadiyah bisa masuk dalam kategori orang yang perlu dilunakkan hatinya tentang Islam dan karena itu perlu dibantu dengan harta zakat?

Jawaban yang berkembang di masyarakat dan disampaikan oleh beberapa ulama dalam menanggapi persoalan ini ternyata berbeda dari asumsi-asumsi di atas. Rumor yang berkembang, orang Ahmadiyah di Transito itu meskipun terlihat miskin namun sebetulnya mereka itu kaya. Mereka memiliki kekayaan dalam lembaga Ahmadiyah yang berpusat di London dan mereka sudah mendapat bantuan material dari lembaganya. Jadi mereka tak perlu menerima zakat lagi. Logika ini tentu sulit diterima mengingat fakir miskin itu lebih dilihat sebagai individu, bukan pada organisasi. Apakah jika ada warga Muhammadiyah yang miskin lantas dia tak berhak menerima zakat hanya karena ada anggapan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang kaya? Tentu saja tidak. Fakir-miskin itu tetap harus menerima zakat apapun afiliasi organisasinya.

Argumen lain yang dipakai untuk menolak pemberian zakat kepada orang Ahmadiyah dan Syiah adalah karena masih banyak orang Islam (Sunni) yang fakir-miskin. Jadi, mereka harus didahulukan sebelum berpikir tentang orang lain. Cara berpikir seperti ini adalah rasial dan diskriminatif, hanya mau menolong orang lain jika mereka seagama. Ini sama dengan cerita umum tentang orang yang mengalami kecelakaan di jalan raya. Ketika melihat orang mengalami kecelakaan, orang yang diskriminatif akan bertanya dulu tentang agama orang yang mengalami kecelakaan. “Apakah anda Muslim? Jika anda Muslim, maka akan saya tolong. Tapi jika anda non-Muslim, maka akan saya biarkan.” Tentu ini adalah cara berpikir yang tidak bijaksana dan jauh dari semangat Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Namun sebetulnya cara berpikir bahwa orang Ahmadiyah dan Syiah sebagai muallaf juga problematik. Cara berpikir seperti ini mengindikasikan bahwa bantuan yang diberikan tidaklah tulus. Ia hanya bertujuan agar penerimanya pindah agama. Dan umat Islam Indonesia perlu belajar dari kemarahannya sendiri ketika melihat orang-orang Islam berpindah agama hanya karena diberikan indomie oleh misionaris agama lain. Jadi, sebetulnya bantuan, zakat, dan kegiatan humanitarianisme itu harus ikhlas dan universal, tanpa pandang agama. Namun daripada tidak memberikan sama sekali kepada orang Ahmadiyah dan Syiah yang menjadi fakir-miskin, maka memasukkan mereka sebagai kategori muallaf adalah langkah yang perlu dipertimbangkan.
-oo0oo-

*Aktivis Muhammadiyah & Doktor dari Univ. Califonia, Santa Barbara.

http://www.koran-sindo.com/node/319664

No comments:

Post a Comment