Friday, January 15, 2016

Membela Ahmadiyah yang Dizalimi


Imam Ghazali Said *

Satu jam setelah Forum Lintas Agama (FLA) memilih saya menjadi jubir dalam konferensi pers 24 April 2008, telepon dan ponsel saya terus berdering; mempertanyakan mengapa saya membela aliran sesat? Karena itu, perkenankan saya memberikan penjelasan berikut.

Pertama, Ahmadiyah, baik aliran Lahore, di Indonesia populer dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) maupun aliran Qodiyan, yang populer dengan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), telah berkiprah dan berinteraksi dengan tokoh nasionalis Indonesia, baik yang muslim maupun yang sekuler sejak 1920-an sampai 1980-an.

Dalam rentang waktu itu GAI dan JAI telah berkiprah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan ikut serta dalam mencerdaskan bangsa. Sayid Syah M. Muballig (ketua panitia pemulihan Pemerintahan RI dan penyusun program bahasa Urdu RRI Jakarta, 1950), Erfan Dahlan (putra pendiri Muhammadiyah, KH A. Dahlan), Abu Bakar Ayub, Abd. Wahid, dan masih banyak lagi, adalah tokoh-tokoh GAI dan JAI yang punya jasa besar dalam perjuangan dan mengisi kemerdekaan RI dengan cara bergabung dalam BKR, TKR, Kowani, dan KNI.

Dalam rentang waktu tersebut, mereka intens berinteraksi, baik sosial, politik, ekonomi, dan teologis dengan tokoh-tokoh dan organisasi Islam terpopuler di Indonesia, Muhammadiyah dan NU. Bahkan, dialog teologis pernah terjadi antara wakil GAI-JAI dengan A. Hassan (Persis) dan KH A. Wahid Hasyim (NU). Hasilnya? GAI dan JAI adalah saudara kita sesama muslim yang tinggal di negara tercinta Indonesia.

Lebih dari itu, tokoh GAI R. Sudewo Parto Kusumo (1905-1970) sangat berjasa secara intelektual dan spritual dalam mengader kaum muda muslim terpelajar yang tergabung dalam Jong Islamitenbond (JIB). Juga masih banyak tokoh GAI dan JAI yang kemudian berjuang dalam organisasi Syarikat Islam (SI) dan Masyumi. Beranikah kita menilai mereka itu "aliran sesat" dan "bukan muslim" hanya karena mereka punya teologi yang sedikit berbeda dengan mayoritas muslim Indonesia?

Kedua, setelah melakukan kajian mendalam, membaca dan memahami kitab-kitab tentang aliran-aliran dalam Islam, di antaranya al-Farq Baina al-Firaq (al-Baghdadi), al-Milal wa al-Nihal (Syahrastani), al- Fishal Baina al-Milal wa al-Nihal (Ibn Hazm), al-Iqtishad fi al-I’tiqad (al-Ghazali), Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin (al-Asy’ari), dan lain-lain, bersama kiai pesantren yang mewakili seluruh provinsi di Indonesia yang difasilitasi Komunitas Mata Air pimpinan Gus Mus dan Wahid Institute pimpinan Gus Dur, pada 22-25 Maret 2008 di Jakarta menyimpulkan, "bahwa manusia yang berucap dua kalimah syahadat, melaksanakan rukun Islam dan rukun iman, sekaligus tidak menentang satu pun dari dua rukun iman dan Islam itu, wajib dianggap dan dinilai sebagai saudara kita sesama muslim, yang hak-hak sipilnya harus kita lindungi".

GAI dan JAI, setelah saya melakukan studi terhadap kitab Tadzkirah, testimoni, interogasi, dan dialog dengan para tokoh dan kaum awam pengikut JAI, ternyata mereka tidak keluar dari kriteria muslim dan mukmin di atas. Karena itu, saya konsisten mengikuti nurani dan kajian ilmiah untuk "Membela JAI" tanpa mempertimbangkan akan dibenci kelompok muslim yang menyesatkan Ahmadiyah atau tidak.

Ketiga, fatwa penyesatan dan penilaian di luar Islam oleh MUI terhadap Ahmadiyah Qodiyan, 1 Juni 1980, dan diperkuat fatwa MUI 15 Juli 2005, itu muncul setelah aliran tertentu yang mengaku paling Islam, menyerang kantor pusat JAI di Parung, Bogor.

Selanjutnya, tindak kekerasan menyebar ke berbagai daerah, kantor-kantor JAI diserang, sehingga menimbulkan korban. Saya menilai fatwa MUI tersebut telah memberi legitimasi diperkenankannya tindak kekerasan terhadap JAI yang tak pernah mengganggu secara fisik -apalagi menyerang- kelompok Islam lain yang berbeda.

Realita ini menggugah nurani saya untuk menyatakan bahwa JAI telah dizalimi dan hak-hak sipilnya digangu. Ini jelas bertentangan dengan konstitusi kita UUD ’45 pasal 29, ayat 1 dan 2, di samping mengabaikan bahkan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Keempat, status ormas JAI yang sudah berbadan hukum dengan SK Menkeh RI No JA 5/23, tanggal 13-3-1953 tidak dengan mudah akan dibatalkan melalui SKB Menag, Mendagri, dan Jaksa Agung, hanya berdasarkan tekanan kelompok yang merasa "paling Islam" dan rekomendasi fatwa MUI dan Bakorpakem. Sebab, eksistensi MUI dan JAI itu sejajar dan keberadaan Bakorpakem tidak punya landasan hukum dan konstitusi yang kuat.

Kelima, MUI mestinya mengeluarkan fatwa bagi penyerang (pelaku pidana), bukan menyesatkan pihak yang diserang (korban pidana). Hemat penulis, MUI tidak adil dalam klarifikasi data. Yang menjadi pedoman MUI banyak berdasarkan yang dikemukakan Amin Jamaluddin (LPII) dalam bukunya: Ahmadiyah Membajak Alquran, dan buku Hartono Ahmad Jaiz berjudul Ahmadiyah Punya Nabi dan Kitab Suci Baru.

Mengapa MUI -sebelum mengeluarkan fatwa- tidak mengklarifikasi tentang isi dan substansi dua judul buku tersebut pada PB JAI?

Keenam, MUI dan organisasi-organisasi Islam yang lain mestinya menyadari bahwa vonis "luar Islam" akan berakibat tindak kekerasan dan mengurangi secara drastis persentase umat Islam Indonesia.

Menurut data JAI, jumlah pengikutnya secara nasional antara 2-3 juta jamaah, yang di sensus KTP tertulis Islam. Itu selain umat Konghucu yang dalam KTP-nya juga mencantumkan Islam. MUI-lah yang paling bertanggung jawab atas penurunan persentase umat Islam Indonesia.

Ketujuh, pembatalan badan hukum JAI hanya bisa diterima lewat keputusan pengadilan. Karena itu, jika SKB pembubaran JAI terbit, saya menganjurkan agar JAI menempuh jalur hukum. Menggugat SKB tersebut ke pengadilan. Dengan demikian, SKB itu belum punya kekuatan hukum tetap.

Kasus JAI ini akan menjadi tolok ukur tahannya konstitusi kita menghadapi gelombang makin menguatnya kelompok muslim "Kanan" yang menginginkan formalisme syariah dalam kehidupan negara. Menurut saya hal itu menjadi ancaman serius bagi eksistensi NKRI dengan semua perangkat konstitusinya.

*. Imam Ghazali Said, pengasuh Pesantren Mahasiswa (Pesma) "An-Nur" dan ketua FKUB Surabaya.


Catatan:
Tulisan ini semula dimuat di Jawa Pos, 28 April 2008. Sedikit suntingan dilakukan atas ejaan judul sejumlah buku yang dikutip di sana. (Ruzbihan Hamazani)

Sunday, January 10, 2016

Discursive Construction of Religious Minority: Minoritization of Ahmadiyya in Indonesia


Aulia Nastiti


German Asia Research Center

July 5, 2014

Deutsches Asienforschungszentrum Asian Series Commentaries, Vol. 19, 2014

Abstract:     
For many years, Indonesia has been widely regarded as a model wellspring of moderate and peaceful Islam. However, these democratic pluralism images appear inconsistent with the many religious-inspired violent conflicts that have taken place continuously in Indonesia up until the present day (2014). Taking the perspective of historicity, the minoritization of certain religious communities in Indonesia is not a historical condition, but is rather constructed through specific historical processes, involving several actors that have an interest in power and representation. The Ahmadiyya case has remained a polemic until now and is an example to illustrate how the majority discourses are produced to create the identity of a minority group as “the other.”

This paper will address the question within the historical perspective of why and how Ahmadiyya became an antagonized minority. To answer this question, the discourses from several parties that address the Ahmadiyya issue will be identified, as well as how these discourses identify Ahmadis as the “antagonist minority.” Furthermore, discursive construction will be linked with the shifting landscape of the Indonesian political and cultural context to explain why there has been growing agitation against the Ahmadiyya, particularly since the reformation era, while previously the Ahmadiyya coexisted peacefully with other Islamic organizations in Indonesia.

Number of Pages in PDF File: 16
Keywords: Minorities, Discursive Construction, Ahmadiyya, Indonesia, Religious Conflict

http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2472294