Wednesday, August 7, 2019

Mirza Wali Ahmad Baig

Mirza Wali Ahmad Baig adalah seorang mubaligh dari Pakistan yang datang di Indonesia dengan tujuan syiar Islam. Islam yang dikenalkan adalah Islam yang bersikap menjunjung tinggi agama melebihi dunia, Islam yang menegakkan Kedaulatan Allah di atas segala-galanya. Islam yang dikenalkan adalah mengenai kedatangan seorang mujaddid abad XIV, yang bergelar Masih dan mengaku dirinya adalah Mahdi.
Sesungguhnya, rencana tujuan perjalanan dakwah Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad adalah ke China, namun oleh karena kapal yang ditumpangi untuk pergi ke China rusak, dan kapal terpaksa di perbaiki di Singapore dalam waktu yang lama, serta kemudian mendengar bahwa kegiatan missionaris Kristen di Jawa sangat gencar, mereka berdua berubah tujuan. Setelah melaporkan situasi dan kondisinya ke Lahore, atas izin dari Ahmadiyah Anjuman Ishaati Islam, Lahore, atau Ahmadiyah Gerakan Penyiaran Islam, Lahore, mereka berdua kemudian menuju Jakarta. Di Jakarta mereka mendapat penjelasan mengenai organisasi Islam yang ada dan alhamdulillah bertemu dengan organisasi Muhammadiyah. Akhirnya seperti dimaklumi bahwa Moehammadiyah Batavia mengirimkan kawat / telegram ke Pengurus Besar Muhammadiyah di Jogyakarta. Akhirnya mereka berdua dijemput oleh Pengurus Besar Moehammadiyah di Jogyakarta.
Berikut ini adalah riwayat dari kegiatan syiar Islam yang telah dilaksanakan oleh Mirza Wali Ahmad Baig, yang tidak terlepas dari berdirinya Gerakan Ahmadiyah Indonesia pada tanggal 10 Desember 1928 di Jogyakarta
Kedatangan Wali Ahmad Baig di Indonesia
Pada tanggal 18 Maret 1924, jam 09.00., datanglah telegram dari Moehammadiyah Batavia kepada Pengurus Besar Muhammadiyah di Jogyakarta, yang maksudnya memberitahu bahwa dua orang utusan Ahmadiyah sudah berangkat dari Weltvreden (sekarang ini namanya adalah Gambir ) naik spoor express menuju ke Jogyakarta, hendaknya dua orang itu dipapak ke Stasiun Tugu pada jam 5 sore. ( 17.00. ). Kedatangan kedua utusan Ahmadiyah dijemput oleh H. Fachrodin, Dr. Sumowidigdo ( Dokter Muhammadiyah ) dan H Abdul Aziz, seorang Hindustan yang beragama Islam sebagai juru bahasa. Kedua utusan tersebut, yang pertama adalah Mirza Wali Ahmad Baig, seorang Persia yang memahami bahasa Inggris, Urdu, Sanskrit dan sedikit bahasa Arab, sedang yang kedua adalah Maulana Ahmad. Beliau mengerti bahasa Arab, Urdu dan Persia. Mereka berdua segera minta dicarikan penginapan oleh karena mereka datang ke Jogya tidak bermaksud apa-apa, hanya untuk menjalankan kewajiban yakni menjadi utusan Islam ( syiar ). Kedatangannya hanya untuk dakwah. Namun H. Fachrodin menjawab bahwa oleh karena kedatangan mereka sebagai tamu, menurut peraturan Islam tuan rumah harus menjaga dan menghormati tamu 3 hari dan 3 malam, sesudah itu dipersilahkan untuk memilih sendiri kehendaknya. Kedatangan kedua mubaligh disambut dengan sangat antusias oleh warga Islam setempat yang umumnya adalah para sesepuh dan anggota Muhammadiyah di Jogyakarta
Beberapa hari kemudian H. Fachrodin mengadakan pembicaraan sendiri dengan Maulana Ahmad mubaligh Islam utusan Ahmadiyah dan berikut ini adalah sebagian dari wawancara antara H. Fachrodin dan Maulana Ahmad.
HF: Benarkah Mirza Ghulam Ahmad mengarang suatu kitab yang namanya Nurul Haq ? Di dalam kitab karangannya itu ia mengaku bahwa ia menjadi Mahdi dan mengaku menjadi Al Masih?
MA: Betul ia mengarang kitab tersebut dan ia mengaku menjadi Al Masih dan Mahdi. Tetapi kalau tuan mengetahui keterangannya, tentu tuan tidak ingkar lagi akan pengakuannya itu, tetapi bagi orang yang tidak mengetahui keterangannya tentu kaget dan menyangka ia seorang yang Ahmaq ( Kumprung/tidak waras )
HF : Bagaimanakah keterangannya?, hendaklah tuan terangkan yang jelas kepada kita
MA : Baik kita terangkan dengan pendek saja, agar tuan mengerti.
Mahdi , ialah bahasa Arab, yang artinya penunjuk jalan benar. Jadi barang siapa menunjukkan kebenaran dengan alasan Al Quran ia disebut Mahdi. Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang ulama yang besar sekali. Ia seorang yang sangat memperhatikan kemajuan agama Islam, ialah agama yang benar. Ia menyiarkan agama Islam dengan beralasan Al Quran dan hadis Nabi Muhammad saw. Sedang Al Quran itu disebut petunjuk jalan yang benar. Orang yang menunjukkan agama dengan beralasan Al Quran disebut Mahdi. Sudah beberapa tahun agama kita Islam sudah dibilang apes. Ulama Islam jarang sekali menunjukkan agama Islam yang beralasan Quran dan hadis sahih. Maka oleh karena itu, banyaklah umat Muhammad yang mengharap datangnya Mahdi yang benar. Dari itu oleh karena Mirza Ghulam Ahmad sangat percaya kepada kebenaran Al Quran dan bahwa Al Quran itu menjadi petunjuk bagi orang yang taqwa, tuntunannya Mirza Ghulam Ahmad dengan Al Quran adalah benar, atau dianggap benar, dan dapat menjadi petunjuk yang benar. Oleh karena ia yang menuntun itu, maka ia berani mengaku Mahdi. Bukan Imam Mahdi sebagaimana yang dicita-citakan oleh keterangan hadis, tetapi Mahdi karena tuntunannya itu berdasarkan dengan Al Quran dan hadis sahih. Dalam kitabnya Nurul Haq, tulis keterangan tersebut adalah yang demikian ini.
Adapun tentang keterangannya ia mengaku Al Masih, demikian.
Nabi Isa telah wafat dan telah diangkat oleh Allah. Sebagaimana yang tersebut dalam Al Quran artinya: Bahwa sesungguhnya kami membunuh kamu dan mengangkat kamu, Jadi terang, nabi Isa telah benar-benar wafat. Kangjeng Nabi Muhammad ialah yang menjadi penghabisannya Nabi dan Rasul. Jadi sesudah nabi Muhammad saw tidak ada nabi lagi dan tidak ada rasul lagi yang datang ke dunia ini. Jadi mokal sekali kalau nabi Isa turun kembali ke dunia. Kalau nabi Isa kembali ke dunia dan menjalankan syariat kenabian dan kerasulan, apakah artinya firman Tuhan dalam Quran bahwa Nabi Muhammad penghabisan Nabi dan Rasul ?
Kehendak Al Masih, terus menerus hingga hari qiyamat, menghendaki agar umatnya beragama yang benar, janganlah umatnya itu beragama yang menyasar. Maka kehendak Al Masih itu cocok dengan keadaan Mirza Ghulam Ahmad, yaitu berbuat dan berusaha supaya umat Isa itu beragama yang benar. Agama yang benar, tiada lain melainkan agama Islam yang menurut Al Quran. Jadi kehendak Al Masih itu jatuh kepada diri Mirza Ghulam Ahmad. Maka oleh karena itu Mirza berani mengaku Al Masih, karena kehendak Mirza dengan kehendak Al Masih sama, yaitu supaya manusia di dunia ini semuanya beragama yang benar. Agama yang benar hanya Islam. Maka oleh karena itu, Mirza Ghulam Ahmad menuntun kepada segala manusia kepada agama yang benar, ialah sebagaimana yang tersebut dalam Al Quran. Tuntunan Mirza Ghulam Ahmad tidak keluar dari pada Al Quran. Demikianlah pengakuan Mirza Ghulam Ahmad. Tetapi Mirza Ghulam Ahmad tidak sekali-kali mengaku bahwa dirinya itu Nabi Isa atau Imam Mahdi sebagaimana dakwaan atau tuduhan-tuduhan orang yang tidak mengerti akan membacanya kitab yang dikarang oleh Mirza Ghulam Ahmad. Tetapi betul bahwa Mirza Ghulam Ahmad mengaku Mahdi dan Al Masih, sebagaimana keterangan itu semuanya. Dan apa salahnya kalau ada seorang yang mempunyai sifat seperti Mirza Ghulam Ahmad lalu mengaku Mahdi dan Al Masih seperti pengakuannya Mirza Ghulam Ahmad?
Wawancara lengkap antara Maulana Ahmad dan H. Fachrodin dari Pengurus Besar Muhammadiyah secara lengkap terdapat dalam majalah Bintang Islam No. 9 dan No. 10. Tahun ke II, yang terdapat di Perpustakaan Nasional, Jakarta. Pada waktu itu sebagai Managing Director majalah adalah M. Ng. Parikrangkungan, Solo. Editor adalah M.A. Hamid, H. Fachrodin, HOS Tjokroaminoto, Moehtar Boechari, H. Soedjak dan M. Soemodirdjo. Pembantu Oetama adalah Muhamad Hatta, Rotterdam dan M. Ng. Djoyosugito, Jogya. ( Wawancara tersebut ditulis oleh Hatief )
Kembalinya Maulana Ahmad
Maulana Ahmad adalah seorang mubaligh yang mampu memberikan penjelasan dengan bahasa Arab yang fasih, dan telah memberikan kepuasan dalam penjelasan-penjelasannya mengenai Islam kepada tokoh-tokoh Islam yang mapan di Indonesia. Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baig telah diundang sebagai pembicara pada Kongres Muhammadiyah ke 13 di Jogyakarta pada tanggal 28 Maret hingga 1 April 1924 di Jogyakarta. Mereka berdua sangat sukses dan mendapat sambutan luarbiasa dari kalangan intelektual waktu itu. Sayang, oleh karena kesehatan Maulana Ahmad terganggu, beliau kemudian pamit dan pulang ke Hindustan. Beliau meninggalkan Jogyakarta pada tanggal 5 Juni 1924.
Dengan demikian hanya Mirza Wali Ahmad Baig yang sendirian untuk menyampaikan penjelasan mengenai pemahaman Islam yang diberikan oleh Mujaddid Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Beliau tinggal di Kauman, dirumah H. Hilal, menantu dari KH Ahmad Dahlan. Penjelasan beliau banyak memuaskan kaum intelektual muslim yang berpendidikan barat. Meskipun dia mampu berbahasa Arab, tetapi kemampuannya tidak sebaik Maulana Ahmad
Riwayat Perjuangan Syiar Islam di Indonesia
Masa 1900 – 1924
Awal lahirnya Gerakan Ahmadiyah tidak terlepas dari kondisi dan situasi dalam perkembangan Islam di Indonesia sejak awal abad 20. Pada tanggal 16 Oktober tahun 1905 berdirilah Serikat Dagang Islam. Pada tahun 1911 di Majalengka dibentuk Persyarikatan Ulama oleh Haji Abdul Halim yang diilhami oleh pemikiran-pemikiran Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh sewaktu beliau tinggal di Mekah. Kemudian pada tanggal 10 September tahun 1912, Sarekat Dagang Islam mengubah dirinya sehingga bernama Syarikat Islam. Kemudian, sejak dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto, Syarikat Islam mempunyai pengaruh yang dahsyat, hingga menggetarkan Belanda. Pada tanggal 18 November tahun 1912, berdirilah Muhammadiyah, yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan bersama dengan Djoyosugito dan tokoh Islam yang lain. Arus kebangkitan Islampun berlanjut dan pada tahun 1913, berdirilah organisasi Islam Al Irsyad yang dasar-dasar pemikirannya juga dari Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Kebanyakan anggotanya adalah dari keturunan Arab. Lalu pada tahun 1920 lahirlah PERSIS, atau Persatuan Islam di Bandung, dibawah pimpinan A. Hasan. Pada tahun 1922, atas inisiatif dari Syarikat Islam, Muhammadiyah dan Al Irsyad telah berhasil menyelenggarakan Kongres Al Islam di Cirebon.
Masa 1924- 1926
Pada tahun 1923, pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan wafat. Dengan wafatnya KH. Ahmad Dahlan, masyarakat pada waktu itu sangat merasakan kehilangan figure pemimpin yang dekat dengan kaum intelektual. Setahun kemudian, pada tahun 1924, datanglah mubaligh Ahmadiyah, yakni Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baig. Sesuai dengan keinginan masyarakat pada waktu itu, kemudian banyak sekali tokoh-tokoh intelektual muda yang mengerumuni mubaligh Ahmadiyah, yang telah mengenalkan Islam dengan pengertian-pengertian yang baru, yang belum pernah didengar sebelumnya. Pada Kongres Muhammadiyah yang ke 13, di Jogyakarta tgl 28 Maret–1 April 1924, kedua mubaligh diberi kesempatan bicara. Maulana Ahmad berpidato dalam bahasa Arab yang fasih, dan Mirza Wali Ahmad Baig berpidato dalam bahasa Inggris dan tidak terduga, ternyata kedua penceramah mendapat sambutan yang hangat dan luar biasa dari hadirin. Majalah Bintang Islam dan Harian Cahaya Timur beberapa kali telah memberikan ulasannya. Oleh karena ketertarikan beberapa pengertian Islam yang baru, beberapa pemuda Muhammadiyah dikirim ke Lahore untuk memperdalam agama Islam. Yang berangkat ke Lahore diantaranya adalah Chaffie, Machdoem, Jundab, putera dari H. Mukhtar, Jogyakarta. Kemudian Muhammad Sabitun, 25 tahun, putera H. Abdul Wahab, Wonosobo. Bahkan juga putera dari alm. KH Ahmad Dahlan, yang bernama Jumhan dalam usia 17 tahun dikirim ke Lahore. Selain itu juga adalah Maksum, dalam usia 17 tahun, putera H. Hamid
Masa 1926 – 1928
Sebagai tindak lanjut keputusan Muktamar Islam di Arab pada tahun 1925, pada Kongres Al Islam di Bogor tahun 1926, nama Kongres Islam berubah menjadi Muktamar Islam Al Hindi Syarkiyah, ( MIAS ). Pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya, lahirlah organisasi Nahdlatul Ulama yang didirikan oleh H. Hasyim Asy’ari. Dan kemudian untuk memperluas Kongres Al Islam ( MIAS ), atas inisiatif dari Muhammadiyah, NU dan PSII, pada tanggal 21 September 1937 di Surabaya dibentuk badan baru federasi Islam, MIAS berubah menjadi Majelis Islam A’la Indonesia. Dan kemudian dengan perjalanan sejarah, pada tanggal 17 Rajab 1395 H/ 26 Juli 1975, berdirilah Majelis Ulama Indonesia, yang semula berkantor di Masjid Al Azhar, kemudian pindah di Masjid Istiqlal, Jakarta. Dan alhamdulillah sejak awal Agustus 2008, telah menempati kantor tetap dan sekarang beralamat di Jln Proklamasi 51 Jakarta
Seperti dimaklumi bahwa pada Januari 1925 berdirilah Jong Islamieten Bond, yang didirikan oleh para tokoh intelektual muda Islam. Para anggotanya adalah para pemuda Islam yang berpendidikan barat. Kebanyakan mereka adalah warga Muhammadiyah, seperti diantaranya adalah Soedewo, Muhammad Kusban, Muhammad Sapari dan lain sebagainya. Pada tahun 1926, berdirilah di Jogyakarta organisasi Moeslim Broederschap ( organisasi persaudaraan muslim ). Para anggotanya adalah kaum intelektual muda muslim, yang telah menerima pemahaman Islam dari Mirza Wali Ahmad Baig. Mereka diantaranya adalah Moestopo, Soepratolo, Kayat, Soedewo, Muhammad Koesban dan lain sebagainya. Latar belakang berdirinya Moeslim Broederschaap adalah karena masih banyak kalangan intelektual muda yang masih meremehkan ajaran Islam, sehingga menimbulkan keinginan mereka untuk memberikan bekal keindahan Islam kepada kaum intelektual muda. Faktor-faktor yang mendasari berdirinya Muslim Broederschaap adalah:
  1. Banyak umat Islam yang meninggalkan Quran Suci
  2. Quran hanya dibaca tulisannya dan dilagukan, namun ajaran-ajarannya banyak yang ditinggalkan
  3. Quran Suci tidak boleh diterjemahkan
  4. Islam tinggal namanya. Yang muncul di permukaan hanya fanatisme dan Arabisme. Mereka terkungkung oleh ruang dan waktu Timur Tengah abad pertengahan, mundur seribu tahun
  5. Mereka memakmurkan masjid namun yang dilaksanakan adalah pengkajian kitab-kitab fikih, kitab kuning, bukan pengkajian Quran Suci yang penuh dengan petunjuk
  6. Banyak ulama yang sunyi dari petunjuk karena tidak sadar mereka telah mempersubur bid’ah dan khurafat, warisan Hindu, Budha dan pengaruh-pengaruh penjajajah, khususnya Belanda
Demikianlah kiprah Moeslim Broederschaap yang demikian tajam pada waktu itu. Para tokoh sepuh Muhammadiyah, yang pada waktu itu lebih menghargai hal-hal yang bersifat Arabisme, maupun juga bagi tokoh organisasi Islam lain yang telah mapan agak sedikit tergoncang. Bahkan Pemerintah Belanda, atau tokoh yang mapan pada waktu itu, dengan sikap yang tajam dari Moeslim Broederschaap, telah menimbulkan sikap yang pro dan kontra antara tokoh lama atau tokoh sepuh dengan kaum intelektual muda. Iklim organisasi yang semula baik di lingkungan Muhammadiyah kemudian menyebabkan timbulnya iklim yang makin menghangat di kalangan Muhammadiyah. Hubungan yang baik antara Muhammadiyah dengan Mubaligh Ahmadiyah, yakni dengan Mirza Wali Ahmad Baig agak menjadi renggang, oleh karena dengan pulangnya Maulana Ahmad yang memahami dengan baik bahasa Arab ke Hindustan, banyak tokoh-tokoh Muhammadiyah yang kurang puas dengan penjelasan Mirza Wali Ahmad Baig. Hal ini dapat dimaklumi oleh karena Mirza Wali Ahmad Baig kurang memahami bahasa Arab dengan baik.
Pada Kongres Muhammadiyah yang ke 14 tahun 1925 yang baru saja selesai, datanglah Haji Rasul ( ayah dari Hamka ) yang berkenalan dengan Fakhruddin dan juga dengan Mirza Wali Ahmad Baig. Pertemuan kemudian dilanjutkan dengan perdebatan. Hamka menyatakan bahwa adalah ayahnya yang membuka mata Muhammadiyah mengenai kesalahan Ahmadiyah. Haji Rasul memang menentang keyakinan Ahmadiyah Qadiyani yang meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi hakiki. Dengan kemampuan bahasa Arab yang terbatas, mungkin Mirza Wali Ahmad Baig tidak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan kepada Haji Rasul dan tokoh-tokoh sepuh Muhammadiyah; bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang mujaddid, bukan nabi. Inilah yang mungkin dapat dianggap merupakan awal kerenggangan antara Muhammadiyah dan Ahmadiyah. Namun demikian, hingga tahun 1926, hubungan Muhammadiyah dan Ahmadiyah masih baik. Pada tahun ini bp. Djoyosugito berkonsultasi kepada Mirza Wali Ahmad Baig untuk mendirikan cabang Ahmadiyah namun jawabannya, beliau tidak ingin dan tidak bermaksud untuk membuka cabang di Indonesia. Dia hanya ingin memberikan bimbingan pada muslim di Indonesia agar waspada terhadap bahaya yang mengancam bagi muslim, yakni faham materialisme dan faham Kristen
Di bulan Oktober-November tahun 1927 datanglah seorang tokoh Islam yang bernama Abdul Alim as Siddieqy yang berceramah dan berpidato dengan sangat berapi-api mengobarkan semangat anti Ahmadiyah. Pada waktu ceramah sedang berlangsung, sewaktu ada kesempatan untuk bertanya, tidak diduga ada seorang pemuda bernama Muhammad Irshad yang dengan tenang kemudian mengajukan sebuah pertanyaan yang amat bijaksana.
Pertanyaannya sebagai berikut: Apakah tuan tidak malu kepada Allah, memburuk-burukkan orang yang sekarang telah berhasil menyiarkan Islam di Eropa, membersihkan serangan-serangan lawan dan menerbitkan beratus-ratus buku, yang meniupkan ruh baru dalam ajaran Islam, sehingga Islam tampak indah dan cemerlang? Sekarang buku apakah yang telah tuan terbitkan, yang membela perkara Islam?
Oleh karena Abdul Alim as Sieddiqy memang belum pernah menulis buku, maka dia hanya menjawab, bahwa tidak lama lagi dia akan menulis sebuah buku, dan berjanji setelah jadi, akan dikirimkan satu copy ke pemuda Muhammad Irshad. Akan tetapi hingga wafatnya Muhammad Irshad pada tahun 1979, atau telah menunggu lebih dari 50 tahun, hingga sampai sekarang buku yang dijanjikan itu tidak pernah kunjung tiba.
Pidato dari Abdul Alim as Siddieqy yang dengan gencar, tajam dan dengan bahasa Arab yang berapi-api menjelekkan dan mempropagandakan anti Ahmadiyah akhirnya kemudian ada pengaruhnya juga, dan kemudian mendapat sokongan dari tokoh-tokoh sepuh yang telah mapan dari Muhammadiyah. Dan sebagai puncaknya adalah keluarnya Maklumat No. 294 tanggal 5 Juli 1928 dari Pengurus Besar Muhammadiyah. Isi maklumat antara lain adalah ‘ melarang dan mengajarkan ilmu dan faham di lingkungan Muhammadiyah’. Maklumat ini dikirimkan ke seluruh cabang Muhammadiyah. Sebagai akibatnya, dalam pertemuan yang sangat mengharukan Pimpinan Muhammadiyah mempersilahkan agar siapapun yang berfaham Ahmadiyah untuk menentukan sikap, keluar dari organisasi Muhammadiyah atau bertahan di Muhammadiyah. Bp. Moehammad Hoesni, Sekjen Muhammadiyah pada waktu itu segera didatangi oleh beberapa anggota Muhammadiyah untuk mengambil barang inventaris dan semua arsip yang berada dirumahnya. Bp. R. Ngb. Djoyosugito yang pada waktu itu adalah Ketua Cabang Muhammadiyah di Purwokerto kemudian berpisah dengan Muhammadiyah. Dan akhirnya kemudian dimaklumi bahwa bp. R Ngb. Djoyosugito, mantan Sekjen Muhammadiyah periode 1918-1921 pendiri dan mantan Ketua Majelis Pendidikan Muhammadiyah yang pertama, dan juga bp. Moeh. Hoesni Sekjen Muhammadiyah pada waktu itu, telah mengambil sikap dan kemudian berhasil mendirikan sebuah organisasi syiar Islam, De Ahmadiyah Beweging, atau disebut juga Gerakan Ahmadiyah Indonesia, centrum Lahore
Meskipun pidato Abdul Alim as Siddieqy sempat membuahkan kebencian seseorang terhadap Ahmadiyah, namun demikian banyak tokoh-tokoh muda yang justru dekat dengan Mirza Wali Ahmad Baig. Selain bp. Djoyosugito, Moehammad Hoesni, Soedewo, Muhammad Kusban, yang hampir semuanya tokoh Pengurus Besar Muhammadiyah, ada juga yang dari Kweekschool Muhammadiyah diantaranya adalah bp. Muhammad Irshad dan bp. Mufti Sharif. Dari pimpinan masyarakat yang disegani diantaranya adalah bp H. Agus Salim dan bp HOS Tjokroaminoto. Kedekatan hubungan HOS Tjokroaminoto dengan Mirza Wali Ahmad Baig bahkan makin dekat dan akhirnya HOS Tjokroaminoto telah berhasil menterjemahkan Quran Suci tafsir Muhammad Ali dalam bahasa Melayu
Demikianlah secara ringkas bahwa pada tahun 1924 telah datang mubaligh dari Ahmadiyah, kemudian membina hubungan baik dengan Muhammadiyah, yang berlangsung hingga tahun 1926. Setelah kedatangan Abdul Alim as Siddieqy pada tahun 1927, hubungan baik yang terbina antara Ahmadiyah dan Muhammadiyah agak merenggang. Dan peristiwa-peristiwa yang menyusul kemudian pada tahun 1928, diantaranya adalah sebagai berikut.
  1. Pada tgl 26-29 Januari 1928 HOS Tjokroaminoto memperkenalkan terjemahan Quran pada Kongres Islam di Jogyakarta. Dan dua minggu kemudian,
  2. pada Kongres Muhammadiyah yang ke 17, tgl 12-20 Februari 1928, Joenoes Anies Sekertaris pertama PB Muhammadiyah menyatakan bahwa, Muhammadiyah menolak Quran terjemahan HOS Tjokroaminoto.
  3. Kemudian terbitlah Maklumat No. 294 tanggal 5 Juli 1928 dari PB Muhammadiyah, dan sebagai tindak lanjutnya adalah upaya oleh R. Ngb. Djoyosugito bersama dengan Moech Hoesni dan kawan-kawan untuk mendirikan organisasi Gerakan Ahmadiyah Indonesia centrum Lahore
  4. Meskipun Muhammadiyah menolak terjemahan Quran tafsir Muhammad Ali, namun pada pertemuan antara Majelis Ulama dan Sarekat Islam pada tgl 27-30 September 1928, Majelis Ulama tidak menolak terjemahan HOS Tjokroaminoto, hanya dengan catatan bahwa terjemahan HOS Tjokroaminoto harus diawasi.
  5. Kemudian pada tanggal 10 Desember 1928 di Jogyakarta berlangsung rapat awal yang dihadiri oleh bp. R. Ngb. Djoyosugito dan kawan-kawan, dan menetapkan berdirinya Gerakan Ahmadiyah Indonesia ( centrum Lahore )
Masa 1928 – 1936
Sebelum mendirikan Gerakan Ahmadiyah, seperti dimaklumi bahwa sesungguhnya bp. Djoyosugito telah menanyakan kepada Hazrat Mirza Wali Ahmad Baig; apakah beliau akan mendirikan Ahmadiyah di Indonesia ? Jawaban Wali Ahmad Baig adalah bahwa beliau tidak akan mendirikan organisasi Ahmadiyah di Indonesia. Beliau sesungguhnya hanya ingin memberikan pemahaman Islam yang sejati, yakni Islam yang cocog dengan fitrah manusia. Demikianlah dan sebagai tindak lanjut adanya Maklumat No. 294, tanggal 5 Juli 1928, bp. Djoyosugito dan Muh Hoesni serta beberapa kawan dari Muhammadiyah kemudian mendirikan De Ahmadiyah Beweging. Perkumpulan ini didirikan pada tanggal 10 Desember 1928. Anggota pada waktu itu adalah Muh. Irshad, Muh. Sabit, R. Ngb. Djoyosugito, Muh. Kafi Idris L, Lacuba, Hardjosubroto, KH Abdur Rahman, R. Supratolo dan Soedewo.
Susunan Pengurus pertama kali adalah
  • Ketua : R. Ngb. Djoyosugito
  • Wakil : KHA Sya’roni
  • Sek I/Bendahara : Muh. Hoesni
  • Sek II/ Bendahara : Soedewo
Dan kemudian menyebar, di kota-kota antara lain adalah
  • Purwokerto : Ketua K. Ma’ruf
  • Purbolinggo : Ketua KHA Sya’roni
  • Pliken : Ketua KHA Abdul Rahman
  • Surakarta : Ketua Muh. Kusban
  • Jogyakarta : Ketua R. Supratolo
  • Bandung : Moech Moesni
Pengurus yang telah tersusun, kemudian mengajukan surat permohonan untuk dapat diakui sebagai Badan Hukum pada tanggal 28 September 1929, dan akhirnya diakui sebagai Badan Hukum dengan surat tertanggal 4 April 1930 No. I x, dan berita ini dimuat dalam extra Bijvoegsel Jav. Courant 22 April 1930 No. 32. Nama organisasi adalah De Ahmadiyah Beweging, Gerakan Ahmadiyah Indonesia ( centrum Lahore ), yakni Gerakan Ahmadiyah yang berpendapat atau yang mempunyai faham bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah Mujaddid, Masih Yang Dijanjikan dan bergelar Mahdi. Beliau bukan nabi. Organisasi ini sama dengan pendapat organisasi Ahmadiyah yang berpusat di Lahore, yang juga berpendapat bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi. Organisasinya bernama Ahmadiyya Anjumann Ishaati Islam, Lahore. Berdirinya organisasi ini betul-betul mandiri, tidak ada hubungan administrasi antara De Ahmadiyah Beweging dengan Ahmadiyyah Anjumann Ishaati Islam, Lahore.
Situasi dan kondisi pada masa ini, semangat atau spirit untuk memperjuangkan Islam dikalangan kaum terpelajar sangat tinggi. Belanda yang selalu mengikuti gerak gerik pergerakan Islam dimanapun di Indonesia juga selalu memperhatikan pergerakan Islam Ahmadiyah. Pada waktu itu kegiatan Muktamar belum diadakan setiap lima tahun sekali seperti pada waktu sekarang. Pada tahun 1932 berdirilah kepengurusan Gerakan Ahmadiyah di Surakarta, dan sebagai Ketua yang terpilih adalah Bp. Muh. Kusban. Kemudian pada waktu Muktamar ke III di Purwokerto, telah dapat diputuskan mengenai Khittah Ahmadiyah yang hingga kini masih cukup relevan. Setelah Muktamar ke III, para intelektual muda dengan semangat tinggi ingin menerbitkan Quran Suci dengan tafsirnya dalam bahasa Belanda. Tak lama kemudian didirikanlah Quran Fonds Comitee. Ketua GAI ikut aktif dan juga diantaranya adalah bp. Moeh. Hoesni, sedang yang lainnya adalah tokoh-tokoh intelektual Islam yang merindukan keindahan Islam. Beberapa diantaranya adalah bukan anggota Ahmadiyah. Bahkan karyawan Quran Fonds Comitee ada yang tidak beragama Islam. Beberapa anggota Ahmadiyah dan banyak simpatisan Ahmadiyah kerja keras dengan tujuan agar Quran Suci dalam bahasa Belanda dapat segera diterbitkan. Pekerjaan lembar demi lembar dikerjakan dengan tekun oleh Bp. Soedewo, dan kemudian diolah oleh Quran Fonds Comitee, dan segera diproses diteruskan ke penerbit untuk dicetak.
Seperti dimaklumi bahwa bp. Soedewo sebelum menterjemahkan Quran Suci, beliau juga telah menterjemahkan buku-buku Islam yang bernafaskan mujaddid, atau kemajuan Islam, diantaranya adalah De Leerstelingen Van den Islam, Islam de Religie van het Menschdom, Het Nut van God, De Geboorte Van Jesus. Beliau juga aktif dalam JIB ( Jong Islamieten Bond ), dan selain itu juga turut aktif mengisi majalah Het Licht
Alhamdulillah sambutan terbitnya Quran Suci edisi bahasa Belanda mendapat sambutan yang sangat luar biasa. Dengan kerja sungguh-sungguh, tekun dan disiplin, yang hampir tiap hari menangis karena suka dan duka dalam mengerjakan terjemahan Quran Suci. Dengan suka, karena mendapatkan kesempatan untuk mengerjakan tugas suci, sekalipun harus mengorbankan waktu, harta dan tenaga dan juga segala kesenangan duniawi. Namun juga dengan duka, karena ternyata banyak orang yang belum memahami, dan bahkan justru tidak menghargai adanya seorang putera Indonesia, yakni Bp. Soedewo, yang dengan tekun telah berhasil menterjemahkan Quran Suci kedalam bahasa Belanda. Bahkan diantaranya ada juga yang malah ikut barisan yang melawan terbitnya Quran Suci, dan juga menyerang habis-habisan terhadap penyusun tafsir, dan juga terhadap Ahmadiyah. Serangan itu tidak saja dilancarkan dengan lisan, melainkan pula dengan tulisan. Surat kabar ADIL No. 15 tanggal 8 Februari 1934 memuat serangannya antara lain dengan tulisan sebagai berikut. ”Quran bahasa Belanda itu semata-mata menjerumuskan kepada kesesatan anak cucu yang dijerumuskan ke jahanam; tafsir beracun bagi umat Islam…………”, Namun, seperti dimaklumi Quran Fonds Comitee dan Gerakan Ahmadiyah tidak melayani kritik tersebut, dan menyerahkan semuanya kehadapan Allah Yang Maha Bijaksana. Sebaliknya Quran Fonds Comitee terus bekerja tanpa mengenal lelah, sambil terus berdoa, memohon kepada Allah, semoga penerbitan Quran Suci dalam bahasa Belanda diberkahi dan diridhoi oleh-Nya. Pada bulan Oktober 1934 kerja keras Quran Fonds Comitee telah selesai, tinggal menyelesaikan di percetakan. Setelah cetakan selesai, dilaporkan bahwa pada tanggal 17 Januari 1935 telah terkirim lebih dari 1000 Quran Suci ketempat tujuan diantaranya ke Belanda. Quran Suci diutamakan ditujukan kepada para tokoh terpelajar dan pejabat-pejabat. Wilhemina, Ratu Belanda juga telah dikirimi Quran Suci. Dan Alhamdulillahi rabbil al amin, kerja keras penerbitan Quran Suci telah selesai dikerjakan dengan baik. Quran Suci tafsir Maulana Muhammad Ali yang diterjemahkan dalam bahasa Belanda dan disusun oleh bp. Soedewo telah berhasil diterbitkan dan dinilai sangat berhasil dengan baik.
Dengan sendirinya Quran Suci tersebut juga dikirimkan ke Maulana Muhammad Ali di Pakistan. Kesuksesan penerbitan tersebut kemudian dirayakan pada tanggal 27 April 1935 ditempat kediaman bp. KRAA Wiranata Kusuma. Semua bersyukur, sambutan juga diberikan oleh Mirza Wali Ahmad Baig. Dan pada bulan Juni 1935 Maulana Muhammad Ali mengirimkan surat terima kasih yang ditujukan kepada Mirza Wali Ahmad Baig. Beliaulah sesungguhnya yang dengan kerja kerasnya telah berhasil mengenalkan dan menanamkan keindahan Islam kepada para intelektual yang berpendidikan barat di Indonesia. Oleh karena keberhasilan penerbitan Quran Suci tersebut, pada Muktamar ke IV tahun 1934 yang diselenggarakan di Surakarta, telah diputuskan akan diusahakan terbit Quran Suci dengan tafsirnya dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda.
Setelah sukses dalam penerbitan Quran Suci bahasa Belanda, pada Muktamar GAI di Sala pada tanggal 25 Juni 1935, secara tidak terduga, dalam suasana hening dan haru, Mirza Wali Ahmad Baig mengucapkan pidato, yang isi pidatonya berniat untuk mohon diri. Beliau merencanakan akan kembali ke tanah airnya, India
Seperti telah dimaklumi bahwa setelah penerbitan Quran Suci dalam bahasa Belanda berhasil dengan baik, Soedewo kemudian juga mulai berupaya menterjemahkan buku Islamologi dalam bahasa Belanda dengan judul De Religie van den Islam, yang juga adalah karya Maulana Muhammad Ali. Dan alhamdulillah kerja keras bp. Soedewo dalam menterjemahkan Islamologi selesai pada bulan Desember 1938. Hampir semua pejabat Belanda yang telah membaca Quran dari Soedewo, dan juga para kaum terpelajar sangat tertarik dan banyak yang mempunyainya. Para tokoh kemerdekaan, yang umumnya para aktivis dari partai atau organisasi, buku Religi van den Islam adalah sumber utama mengenai Islam, selain buku-buku Islam yang lainnya.
Mendengar Mirza Wali Ahmad Baig akan ke Jakarta segera kemudian diadakan persiapan rumah untuk Wali Ahmad Baig dan diusahakan oleh kawan-kawan dari Quran Fonds Comitee. Dalam mengupayakan rumah untuk Mirza Wali Ahmad Baig banyak pertimbangannya. Pada akhirnya kemudian ada peninggalan sebuah rumah yang sekarang beralamat di Jln. Kesehatan IX/12, Jakarta.
Tanggal 14 Mei 1936 jam 5 sore Mirza Wali Ahmad Baig tiba di Betawi/Jakarta dari Purwokerto. Keesokan harinya tanggal 15 Mei 1936, ditempat kediaman sdr. Wirasapoetra, diadakan pertemuan antara Mirza Wali Ahmad Baig dengan para aktivis Gerakan Ahmadiyah Jakarta yang dihadiri oleh sdr Moehammad Hoesni, Wirasapoetra, Soebandi, Bintoro, Abd. Radjab, Soeroto, Sastra, Moehammad, Soewardi, Soehardi dan Ahmad Wongsosewojo. Pertemuan baru dimulai jam 22.00. oleh karena menunggu kedatangan beberapa anggota sampai lengkap. Ada yang baru pulang kerja jam 21.00. Pada pertemuan tersebut Mirza Wali Ahmad Baig memberikan segala pengalamannya dari sewaktu datang awal di Indonesia, juga termasuk kesulitan dan upayanya yang nyaris mengancam jiwanya, hingga rencananya akan membantu persiapan mubaligh yang akan diberangkatkan ke Belanda. Dalam rapat, yang diusulkan untuk dakwah ke Belanda adalah bp. Moehammad Hoesni karena beliau dianggap yang paling memenuhi syarat. Selain itu Wali Ahmad Baig juga berpesan Gerakan Ahmadiyah harus kuat untuk dapat membiayai kepergiannya ke Belanda. Pertemuan yang tulus, mengharukan dan sangat bercita-cita tinggi untuk menyiarkan Islam tersebut berakhir hingga kira-kira jam 1 malam. Notulen rapat ini ditulis oleh bp. Ahmad Wongsosewoyo
Kegiatan mubaligh Mirza Wali Ahmad Baig secara ringkas adalah; bahwa setelah 5 tahun berada di Jogyakarta, kemudian melanjutkan dakwahnya ke Purwokerto, Banjarnegara, Wonosobo dan daerah sekitarnya. Didaerah tersebut kegiatan dakwah berlangsung dari tahun 1928 hingga tahun 1936. Dan sejak tahun 1936 beliau pindah ke Jakarta. Pada awalnya, bp Moeh. Hoesni, Sekjen Gerakan Ahmadiyah sangat bersyukur Wali Ahmad Baig pindah ke Betawi, khususnya untuk memperkuat syiar Islam di Jakarta. Namun apa boleh buat, ternyata beliau telah berniyat untuk memutuskan kembali pulang kenegaranya. Mungkin juga beliau juga telah rindu sekali kepada keluarga dan tanah airnya. Pada waktu itu negara Pakistan belum lahir dan seperti dimaklumi bahwa negara Pakistan baru merdeka pada tahun 1947.
Mirza Wali Ahmad Baig yang telah berpidato pada tahun 1935, untuk pamit kembali ke Pakistan, berhubung dengan banyak persoalan yang perlu diselesaikan, kepulangan beliau baru dapat dilaksanakan pada bulan November 1937. Beliau telah meninggalkan surat pamit yang isinya sebagai berikut.
Batavia C ( Jakarta ), 25 Oktober 1937
Bismi-llahi-r rokhmaanir-rakhim,
Nakhmaduhu wa nusholli alla rosulihil karim
Assalammu alaikum warokhmatullohi wa barakatuh,
Dengan ini saya kabarkan kepada tuan-tuan Pedoman Besar Gerakan Ahmadiyah Indonesia ( centrum Lahore ), bahwa saya telah ambil keputusan akan pulang ke India dengan segera. Adapun berangkat saya insya Allah di akhir bulan November.
Saya ingin berjumpa dengan tuan-tuan seorang-seorang untuk mengucapkan selamat berpisah, akan tetapi sayang waktu sudah amat sempitnya. Mudah-mudahan surat ini tuan-tuan anggap seperti pengganti saya. Empatbelas tahun kita bekerja bersama-sama melayani Islam, agama Allah dan Rasul-nya. Empatbelas tahun kita sudah sama susah, berbahagia sama berbahagia. Dalam waktu selama itu tidaklah terhitung banyaknya pertolongan dan bantuan tuan-tuan kepada diri saya, demikian juga dari cabang-cabang dan saudara-saudara lid ( anggota ) lain. Untuk itu dengan ini saya ucapkan terimakasih diperbanyak. Disisi itu. Dalam waktu empat belas tahun itu, tidak sedikit pula kesalahan dan kekeliruan saya. Saya seorang manusia belaka. Untuk itu besar harapan saya sudi kiranya sekalian saudara-saudara memaafkan dengan tulus ikhlas.
Akhirnya saya berdoa hubaya-hubaya kita sekalian dianugerahi Allah. Subkhaanahuu wa ta ala dengan lahir dan batin tetap bekerja dan berusaha di jalan Allah, karena Allah. Amin,
Adapun tentang perpisahan tuan-tuan sekalian dengan saya, mudah-mudahan jauh dimata dekat di hati.
Wassalam
Mirza Wali Ahmad Baig
Meskipun Mirza Wali Ahmad Baig telah pulang ke Pakistan, Gerakan Ahmadiyah terus melebarkan sayapnya dengan pemikiran-pemikiran pembaharuan Islam yang selalu disebarkan dalam setiap pertemuan-pertemuan silaturahmi. Bahkan kemudian telah dibentuk Comite Holland Missi, yakni bercita-cita mengirimkan seorang muballigh dari Indonesia ke Belanda. Telah ditetapkan bp. Moech Moesni untuk dikirim ke Belanda. Dalam usaha untuk mempersiapkan keberangkatan muballigh ke Belanda ternyata menghadapi berbagai kesulitan dan terutama adalah dalam masalah keuangan. Meskipun biaya-biaya telah dipersiapkan dari Quran Fonds bersama dengan upaya-upaya bersama dengan para pencinta Islam yang lain, namun belum mencukupi. Selain itu juga suasana intern organisasi yang belum sempat mantap untuk memberangkatkan muballigh. Namun yang lebih dirasakan adalah timbulnya kondisi perjuangan bangsa Indonesia yang mulai lebih berani dalam upaya-upaya perjuangan menuju kemerdekaan sehingga para aktivis intelektual Islam yang aktif dalam Quran Fonds lebih berkonsentrasi dalam upaya perjuangan kemerdekaan Indonesia. Apalagi kemudian timbul Pecah Perang Dunia ke II yang dimulai pada bulan Desember tahun 1939. Pecahnya Perang Dunia ke II, kondisi organisasi yang belum mantap dan masalah keuangan serta suasana persiapan kemerdekaan adalah yang menyebabkan rencana untuk mengutus Bp. Moeh. Hoesni sebagai muballigh ke Belanda terpaksa ditunda, bahkan akhirnya dibatalkan. Niyat baik untuk dakwah ke negeri Belanda terpaksa tidak jadi untuk dilaksanakan
Peninggalan Wali Ahmad Baig
Peninggalan Mirza Wali Ahmad Baig yang utama adalah pemahaman iman yang hidup, yang telah berhasil menggugah pemuda-pemuda Islam bergerak dan berjuang untuk menunjukkan nilai-nilai Islam yang luhur. Banyak umat Islam yang berpendidikan barat yang kemudian tertarik pada Islam, khususnya para kaum cendekiawan dan pejabat-pejabat pada waktu itu. Bahkan buku dalam bahasa Belanda mengenai Islam banyak yang berhasil diterbitkan. Bung Karno dan Ruslan Abdul Gani serta banyak kaum cerdik cendekiawan muslim di Indonesia banyak mempergunakan buku-buku yang telah diperkenalkan oleh Mirza Wali Ahmad Baig. Buku yang utama adalah Holy Quran dalam bahasa Inggris dan juga yang dalam bahasa Belanda, dan juga banyak buku-buku lainnya yang diterbitkan di dalam bahasa Belanda
Di Purwokerto, di desa Karangrau, ada tanah milik dari bapak carik, yakni bapak Rana Wikarta Carik diwakafkan dan kemudian oleh anggota Ahmadiyah dan muslim sekitarnya dibangun Mesjid di Pejagalan. Nama Masjid tersebut adalah Masjid Assalam. Di Wonosobo juga ada mesjid yang dibangun diatas tanah wakaf dari warga setempat dan yang kemudian diresmikan oleh Mirza Wali Ahmad Baig.
Pertemuan dengan Presiden Sukarno
Pada tanggal 14 Mei 1989, Gerakan Ahmadiyah menerima kunjungan tamu dari AAII USA, Dr. Noman Malik dan Presiden AAII Canada, Mrs. Samina Sahu Khan. Kunjungan tamu dari Amerika dan Canada ini adalah yang pertama kali di Indonesia. Pada waktu ramah tamah bersama dengan Dr. Noman Malik, beliau bercerita bahwa pada suatu waktu, pemerintah Pakistan agak terkejut, heran dan kaget. Dikisahkan oleh Dr. Noman Malik bahwa sebelum kunjungan Presiden Sukarno ke Pakistan, beliau menanyakan, dan ingin bertemu dengan gurunya yakni Mirza Wali Ahmad Baig. Kemudian pemerintah Pakistan dengan kerja keras mencari, siapakah sesungguhnya Mirza Wali Ahmad Baig. Setelah dicari-cari dengan bantuan aparat pemerintah Pakistan, akhirnya Mirza Wali Ahmad Baig ditemukan oleh Badan Intelijen Pakistan. Beliau sedang duduk-duduk di beranda masjid. Mirza Wali Ahmad Baig kemudian dibawa oleh militer Pakistan, dan dia ternyata kemudian termasuk dalam barisan kehormatan penjemput Presiden Sukarno. Pada waktu bertemu dengan Mirza Wali Ahmad Baig, Presiden Sukarno nampak akrab sekali, kemudian sungkem dan sangat hormat serta mengucapkan terima kasih kepada Mirza Wali Ahmad Baig yang telah berkunjung dan pernah beberapa tahun tinggal di Indonesia. Dan kemudian menurut penuturan Mirza Wali Ahmad Baig sendiri, Bung Karno pernah menolong Mirza Wali Ahmad Baig sewaktu dia mendapatkan kesulitan di India.
Peristiwanya adalah sebagai berikut. Dalam kunjungan Presiden Sukarno di India mungkin sekitar tahun enampuluhan, diketahui bahwa Presiden Sukarno akan sembahyang di Masjid Jami di New Delhi. Pada waktu itu Mirza Wali Ahmad Baig sedang mengalami kesulitan untuk mendapatkan visa. Hubungan antara India dan Pakistan sedang sangat tegang, situasinya sangat buruk. Visa untuk kembali ke Pakistan berkali-kali ditolak oleh pemerintah Pakistan, hingga dia sangat frustasi. Begitu Mirza Wali Ahmad Baig mengetahui Bung Karno akan sholat Jumat di Masjid Jami di New Delhi, dia langsung juga melakukan sholat Jumat di Masjid Jami. Setelah sholat Jumat berakhir, segera berusaha mendekat ke Presiden Sukarno bersama dengan kerumunan orang yang ingin menghampiri Presiden Sukarno. Mirza Wali Ahmad Baig berusaha agar mendapatkan perhatian dari Presiden Sukarno dan alhamdulillah Presiden Sukarno kemudian mengenal dan mengingat Mirza Wali Ahmad Baig dan segera beliau menghampirinya. Mirza Wali Ahmad Baig langsung minta bantuan agar dapat diberikan visa untuk kembali ke Pakistan. Segera setelah itu Presiden Sukarno memerintahkan kepada staf Departemen Luar Negeri di India agar menghubungi pejabat Pakistan ( Pakistan High Commision ) bahwa gurunya, yakni Mirza Wali Ahmad Baig agar segera dibantu untuk mendapatkan visa ke Pakistan. Visa berhasil diperoleh, dan akhirnya Mirza Wali Ahmad Baig dapat pulang kembali ke Pakistan
Penutup
Demikianlah bahwa Mirza Wali Ahmad Baig bersama Maulana Ahmad, mubaligh dari Pakistan datang di Jogyakarta pada tanggal 18 Maret 1924. Maulana Ahmad meninggalkan Jogya pada tanggal 5 Juni 1924, sedangkan Mirza Wali Ahmad Baig pamit secara lesan dalam rapat pada tahun 1935, tahun 1936 pindah ke Jakarta dan baru pada tanggal 25 Oktober 1937 menulis surat pamit secara resmi.[]
http://ahmadiyah.org/mirza-wali-ahmad-baig/ (accessed 7 Aug 2019)