Wednesday, March 27, 2013

Southeast Asia Symposium at Oxford

By kevinwfogg, Mar 11 2013 9:12AM

This weekend Oxford hosted its second Southeast Asia Symposium, with a broad range of panels on the region. One of the very impressive things about this conference was that it included both the humanities end of the spectrum (where I spent most of my time listening to papers on religion and history) to current events and activism (including a great roundtable on the future of Burma) and the hard sciences (not just forestry but also infectious diseases and other medical topics).

Further information about the conference is here.

I also thought it might be interesting for me to post the summary I just submitted of the panel that I chaired on Saturday morning:
Panel 20, ‘Islam and Identity in Maritime Southeast Asia’, gave a variety of time periods, methodologies, and geographic foci as it addressed its subject. First, Dr. Hee Sook Lee-Niinioja used her expertise in architecture to look at the longue durée of Islamic influence on Java. With examples of specific architectural motifs such as the tumpal (a decorated triangle), kala-makara (demon head over an archway), and lotus buds, Dr. Lee suggested that the openness and accommodative nature of Javanese society allowed local Muslims to integrate pre-Islamic Hindu-Buddhist influences of centuries past with the more scriptural Islamic influences that have been prominent since the nineteenth century. During the question-and-answer period, these ideas were pushed into other geographic zones and other cases on Java to demonstrate the particulars of the cultural fusion process. In the second paper, Dr. Nurfadzilah Yahaya, a post-doctoral fellow at Washington University in Saint Louis, USA, presented a micro-historical study of a trial over animal slaughter in Malaya. In the 1929 case, a Muslim butcher was accused of animal cruelty for his method of slaughter, causing much concern between the colonial British and local Muslim communities about the position of Islamic slaughter, the limits of colonial policies, and the position of Malaya in a broader commercial network. Dr. Yahaya’s paper elicited discussion of the nature of public and private in legal practice, colonial policy towards Islam, and the on-going issues of trade in cattle and meat in the region. Finally, Najib Burhani, a doctoral candidate in religious studies at the University of California – Santa Barbara, USA, sent a paper entitled ‘Hating the Ahmadiyya: The Place of Heretics in Contemporary Indonesian Muslim Society.’ Because he was unable to attend the conference in person, this paper was read by Kristyna Andrlova of the School of Oriental and African Studies, London. The paper deploys Giorgio Agamben’s concept of homo sacer to detail the liminal position of Ahmadis in Indonesian society—simultaneously inside and outside the Islamic community—and then presented an analysis of the timing for attacks on the Ahmadiyya, coming, as it did, after the break-down of the Suharto regime. The panel was chaired by Dr. Kevin W. Fogg of the Oxford Centre for Islamic Studies and Faculty of History at the University of Oxford, and attended by a cross-section of students, scholars, diplomatic personnel, and practitioners.

http://kevinwfogg.net/#/blog/4570569437

Monday, March 25, 2013

Teror Sipil Sebagai Proxy

Catatan Atas Kekerasan Terhadap Beberapa Golongan Minoritas di Indonesia
Antonius Made Tony Supriatma, bekerja pada sebuah lembaga media nirlaba, tinggal di New Jersey, Amerika Serikat
MEMPERHATIKAN aksi-aksi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok vigilante  seperti FPI, FBR, FUI, MMI dan sejenisnya itu, saya menyimpulkan: ‘Negara sesungguhnya membutuhkan keberadaan mereka.’ Negara membutuhkannya untuk melakukan teror terhadap rakyatnya sendiri. Sebabnya, karena aparatus negara yang berfungsi melakukan teror pada masa otoriterisme Orde Baru, tidak bisa berfungsi pada jaman demokrasi prosedural ini. Kelompok-kelompok vigilante dibutuhkan untuk menyingkirkan ideologi perjuangan kelas, membungkam kelompok intelektual liberal, menghukum bida’ah, dan menegakkan ortodoksi. Hasil akhirnya adalak kelompok rakyat yang jinak (docile) dan konservatif.
***
Saat ini, hampir setiap minggu, selalu ada berita tentang kekerasan atas nama agama di media-media Indonesia. Juga menjadi rutin, para aktivis demokrasi dan HAM rajin mengecamnya. Sementara, para pendukung kekerasan itu juga masih tetap rajin berpropaganda lewat media mereka sendiri. Di sisi yang lain, mayoritas massa-rakyat memilih berdiam diri. Menonton. Dan dari lautan massa ini, menurut survey-survey, banyak juga yang setuju dengan kekerasan itu. Sekali pun mayoritas tidak setuju namun mereka memilih untuk tidak bersuara.
Pelaku kekerasan bisa dipetakan dengan jelas. Beberapa dari mereka adalah kelompok vigilante radikal yang mengaku berskala nasional. Artinya mereka memiliki jenjang organisasi dari pusat Jakarta hingga ke daerah-daerah. Namun pada umumnya, sekalipun tampak sebagai sebuah organisasi berskala nasional, mereka yang dianggap sebagai pemimpin seringkali tidak bisa mengontrol apa yang diperbuat oleh orang-orang yang mengatasnamakan organisasi tersebut di tingkat lokal. Rizieq Shihab boleh dianggap sebagai pemimpin Front Pembela Islam (FPI), namun dalam banyak kesempatan dia mengelak bertanggungjawab atas tindakan FPI di daerah-daerah atau bahkan di Jakarta sendiri.
Organisasi seperti FPI, Forum Umat Islam (FUI) atau Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dikelola lebih sebagai organisasi persamaan kepentingan ketimbang oleh struktur organisasional yang ketat. Di setiap daerah mereka memiliki orang-orang ‘kuat’ yang disegani, yang dianggap sebagai pemimpin – baik karena wibawa maupun karena sikap keagamaannya yang kuat (bukan berarti pintar secara teologis). Orang-orang ini memiliki keleluasaan untuk bernegosiasi dengan para penguasa di daerah-daerah. Mereka juga memiliki fleksibilitas untuk bertindak sesuai dengan situasi setempat.
Yang lebih menakjubkan dari organisasi-organisasi radikal ini adalah betapa besarnya kekuasaan yang mereka miliki. Bahkan ketika mereka melakukan tindakan-tindakan yang sangat brutal sekali pun, mereka tidak terkena tindakan hukum yang serius. Dalam kasus kekerasan yang menimpa Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, beberapa pelaku penyerangan yang brutal itu – secara jelas tertangkap dalam gambar video – dikenai hukuman yang sangat ringan. Sementara itu, warga Ahmadiyah sendiri malah dihukum juga karena dituduh sebagai pemicu kekerasan.
Elit politik Indonesia – baik yang berada di dalam maupun diluar administrasi pemerintahan SBY –  bersikap sangat toleran terhadap kelompok-kelompok ini. Demikian pula aparat keamanan yang seringkali justru berpihak kepada mereka. Dalam banyak kejadian, aparat keamanan biasanya datang setelah kelompok-kelompok ini melakukan aksinya. Alih-alih mencegah terjadinya kekerasan, aparat biasanya justru menyalahkan pihak yang diserbu, meminta mereka untuk menghentikan kegiatan, atau bahkan membiarkan pihak penyerbu melanjutkan tindak kekerasannya.
Tidak berdayanya para elit politik dan aparat keamanan yang mewakili negara dalam berhadapan dengan kelompok-kelompok vigilante ini tentu menimbulkan pertanyaan: Mengapa? Apa keistimewaan kelompok-kelompok Islamis militan ini? Adakah mereka demikian kuat sehingga semua aparatus negara menjadi lumpuh ketika berhadapan dengan mereka?
Minoritas Militan
Sekarang ini, Indonesia menganut sistem demokrasi elektoral. Ini adalah sebuah sistem yang mensyaratkan agar mereka yang menduduki jabatan-jabatan publik yang penting dipilih langsung oleh rakyat. Keberadaan kelompok-kelompok vigilante ini jelas bertolak belakang dengan politik demokrasi elektoral. Kelompok ini tidak besar. Mereka tidak memiliki ‘popular mandate’ seperti yang dimiliki oleh para elit politik, baik di tingkat nasional maupun lokal.  Namun mereka mampu melancarkan tekanan supaya kepentingan mereka bisa dijalankan.
Kelompok-kelompok ini tidak perlu bertarung dalam medan pemilihan umum. Mereka tahu bahwa mereka tidak mungkin mengambil jalan elektoral. Jalan menuju kotak suara (ballot box) mengandaikan mereka harus bersentuhan dengan masalah-masalah yang sangat riil. Mereka juga harus mencari pemilih yang signifikan dan membuat kompromi-kompromi ideologis. Kelompok-kelompok ini tahu bahwa mereka tidak memiliki semua itu. Dengan kata lain, jika pun mereka masuk ke dalam politik elektoral mereka jelas akan kalah.
Jika dilihat dalam kacamata ini, sungguh aneh bila aparatus negara tunduk pada segelintir orang yang bahkan tidak memiliki signifikansi sebagai kelompok pemilih. Apakah yang ditakutkan adalah keganasan dan kebrutalan kelompok-kelompok ini? Saya kira tidak juga. Polisi dan militer Indonesia seringkali jauh lebih brutal dibandingkan dengan kelompok-kelompok ini. Faktanya adalah bahwa polisi dan tentara seringkali ‘mengalah’ pada tuntutan kelompok-kelompok ini.
Apakah ketakutan terhadap umat Islam yang membuat para elit Indonesia sangat toleran terhadap kelompok-kelompok minoritas militan ini? Apakah para pengelola negara yakin bahwa kelompok-kelompok ini merupakan representasi simbolik dari umat Islam?
Di sini jawabannya agak rumit. Ketakutan itu jelas ada. Namun kita juga disodorkan dua kenyataan bahwa Islam politik  (paling tidak secara nasional) tidak memegang posisi yang kuat secara elektoral. Pertama, suara partai-partai Islam tidak mampu meraih mayoritas; kedua, kelompok-kelompok ini menolak untuk diidentifikasikan dengan salah satu partai Islam. Ini dilakukan demi menjaga image sebagai penegak ajaran Islam yang paling murni dan benar.
Pertanyaan ini lebih sulit untuk dijawab karena memaksa kita untuk menyelidiki sendi-sendi sosiologis masyarakat kita. Banyak hal yang telah berubah di dalam masyarakat Indonesia dari masa ke masa. Salah satunya adalah bahwa masyarakat Indonesia semakin bergerak ke kanan, ke arah konservatisme religius. Ini terjadi akibat proses politik eksploitasi agama di masa Orde Baru. Agamaisasi tidak hanya menimpa Islam, tetapi juga Kristen dan agama-agama lain. Pada awalnya, agamaisasi dipakai sebagai bagian dari kampanye untuk menumpas Komunisme, namun kemudian dipakai sebagai alat untuk menjaga perimbangan kekuasaan, dimana militer menjadi pusatnya.
Rejim Suharto secara sadar memainkan agama sebagai alat untuk memajukan kepentingan politiknya. Rejim ini memakai metode perangkulan (inclusionary) dan penyingkiran (exclusionary), yang dilakukan secara berbeda-beda dari masa ke masa – pertama dengan merangkul Kristen/Katolik kemudian menyingkirkannya; kemudian merangkul Islam terutama pada dekade terakhir kekuasaannya.
Akibat terpenting dari pemakaian agama sebagai alat politik adalah masyarakat menjadi tersekat-sekat (compertamentalized) atas dasar agama. Ini terjadi terutama di kalangan kelas menengah perkotaan, sekalipun daerah pedesaan pun tidak terbebas dari proses ini. Masyarakat menjadi lebih taat untuk mengikuti ajaran-ajaran agamanya secara literal. Konservatisme agama semakin mendapat tempat dalam masyarakat, yang bahkan menggeser konservatisme adat dalam kebudayaan lokal.
Konservatisme ini pulalah yang mungkin menyumbangkan pada sikap diam dan ‘toleran’ dari masyarakat Indonesia terhadap kelompok-kelompok minoritas militan ini. Jika sikap diam juga diartikan sebagai dukungan maka bisa kita duga bahwa dukungan terhadap kelompok seperti FPI, sebenarnya luas juga. Saya menangkap adanya gejala psikologis ‘good Muslim, bad Muslim‘ disini (Saya meminjam istilah ini dari Mahmood Mamdani. Sekalipun saya memakainya tidak sama persis dengan Mamdani).
Saya pernah bertanya pada seorang teman tentang apakah dia setuju dengan gerakan memberantas kemaksiatan yang dilakukan kelompok-kelompok Islamis radikal ini. Jawabannya sangat jelas: Ya. Alasannya? ‘Mereka (FPI, maksudnya) berusaha menegakkan syariat. Itu artinya mereka berada dalam jalan yang benar. Sebagai Muslim, mengapa saya harus mengutuk Muslim yang berani menegakkan jalan Allah? Saya sendiri bukan Muslim yang baik. Oleh karenanya saya harus mendukung mereka karena mereka ingin menegakkan Islam.’
Kita tidak tahu seberapa besar skema psikologis ini hidup dalam masyarakat Indonesia. Namun, kalau kita lihat beberapa jajak pendapat, seperti Survey Lembaga Survey Indonesia (LSI) tentang dukungan terhadap keagamaan yang radikal (2006), kita mungkin bisa menangkap kecenderungan konservatisme yang semakin menguat dalam masyarakat Indonesia. Lebih dari sepertiga responden LSI setuju dengan segala macam bentuk radikalisasi agama.
Namun demikian, sangat sulit untuk mendapat kepastian sikap massa-rakyat terhadap kelompok-kelompok Islamis radikal ini. Survey-survey dengan metode polling yang banyak dilakukan hanya bisa menangkap gejala-gejala sesaat. Saya kira, kita membutuhkan sebuah penjelasan dengan basis sosial yang lebih kokoh, lebih durable, dan dengan demikian lebih struktural untuk menjelaskannya.
Saya menawarkan perspektif lain untuk memahami mengapa negara serta pengurus-pengurus politiknya berdiam diri atau menyokong kelompok-kelompok Islamis radikal ini. Argumen saya, negara justru membutuhkan kelompok-kelompok seperti ini. Saya melihat kuatnya kaitan antara kebutuhan negara untuk menegakkan kedaulatannya atas wilayah dan massa-rakyatnya dan kapasitas yang dimilikinya untuk menegakkan kedaulatan itu. Untuk kasus Indonesia – yang sebenarnya juga belajar dari cara-cara pemerintahan Kolonial untuk menegakkan kedaulatannya di tanah Nusantara — minimnya kapasitas negara untuk menegakkan kedaulatannya memaksanya untuk memakai cara-cara yang lebih murah (dan dianggap lebih efisien), yakni dengan menggunakan teror terhadap rakyatnya sendiri. Teror itu diperlukan untuk mendisiplinkan, menciptakan kepatuhan dan ketaatan dari massa-rakyat terhadap negaranya.
Absennya Negara Weberian
Indonesia tidak pernah mengenal konsep negara pengertian Weberian. Dalam konsep Max Weber, negara adalah institusi yang memegang monopoli atas penggunaan kekerasan fisik untuk menciptakan ketertiban.
Banyak ahli telah menunjukkan bagaimana konsep negara Weberian ini tidak bekerja di dalam masyarakat Indonesia. Ahli sejarah politik menunjukkan (antara lain Soemarsaid Moertono yang menulis tentang statecraft di Jawa) bahwa negara di bumi Nusantara ini tidak dikenal sebagai negara territorial. Para raja pertama-tama menguasai penduduk. Makin banyak penduduk yang dikuasainya, makin besar kekuasaannya. Kekuasaan ini tercermin dalam konsep Mandala, dimana kekuasaan ada di pusat, berpendar, dan makin melemah ketika jauh dari pusat.
Konsep negara dan kekuasaan yang non-territorial ini tentu tidak bisa dipertahankan terutama ketika konsep negara modern – yang ditulangpunggungi oleh birokrasi dan militer – diperkenalkan di wilayah Nusantara oleh penguasa Kolonial Belanda. Para pengelola negara kolonial tahu persis bahwa mereka tidak bisa menguasai wilayah Indonesia secara langsung.
Negara kolonial memiliki keterbatasan yang amat serius dalam hal personil untuk mengawasi rakyat dan wilayahnya. Untuk itulah, negara kolonial meneruskan kebijakan-kebijakan sebelumnya yang dijalankan oleh VOC, yakni berkuasa lewat perantaraan penguasa-penguasa lokal yang diikat dengan perjanjian-perjanjian jangka pendek.
Keterbatasan sumber daya memaksa negara kolonial untuk menggunakan agen-agen kekerasan yang berada di luar negara. Agen-agen kekerasan itu biasanya berupa orang kuat, jago, preman, hingga ke organisasi-organisasi paramiliter yang berlabel etnik atau agama. Studi Ann Stoler tentang perkebunan di Sumatera Utara, misalnya, menunjukkan preman dipakai secara intensif untuk menghalau penyerobot tanah (squatters), mengintimidasi buruh, dan menghalang-halanginya untuk berserikat.
Hubungan antara negara dengan agen-agen kekerasan non-negara ini saling menguntungkan. Agen-agen kekerasan ini diberikan keleluasaan untuk beraksi. Mereka tidak dikenakan sangsi atau hukuman. Sebaliknya, mereka melakukan apa yang tidak sepenuhnya mampu dilakukan oleh negara, yakni menciptakan ketaatan lewat rasa takut di kalangan massa-rakyat.
Yang lebih unik adalah hubungan antara aparatus keamanan negara dengan agen-agen kekerasan non-negara ini. Aparat-aparat intelijen dan kepolisian pada jaman kolonial banyak memakai preman, jago, atau orang kuat untuk menjalankan operasi-operasi intel. Praktek seperti ini berlanjut setelah negara kolonial berubah menjadi negara Indonesia.
Pada jaman Orde Baru, hubungan antara aparatus keamanan dengan agen-agen kekerasan non-negara ini semakin intensif, sekalipun negara pada jaman Orde Baru dikuasai oleh militer. Aparat intelijen dan militer melakukan apa yang disebut sebagai ‘penggalangan’ di kalangan preman dan organisasi-organisasi kekerasan untuk memuluskan kerja dan agenda politik mereka.
Pada tahun 1982-83, pemerintah Orde Baru melakukan kampanye anti-preman yang terkenal dengan sebutan ‘Petrus’ (Penembakan Misterius). Aparat-aparat militer di banyak daerah di Indonesia, bergerak menahan orang-orang yang mereka anggap sebagai preman (atau orang yang bertatto), menembak mati, dan meletakkannya di jalanan. Metode ini dikenal sebagai ‘shock therapy’ yang sesungguhnya metode teror psikologis dengan mengirimkan pesan brutal kepada seluruh massa-rakyat untuk menunjukkan siapa yang sesungguhnya berkuasa.
Sekalipun diklaim sebagai kampanye untuk mengenyahkan preman, ‘Petrus’ sesungguhnya dipakai sebagai sarana untuk menundukkan preman agar sepenuhnya berada dalam kontrol militer. Studi Loren Ryter (2002) tentang preman menunjukkan bahwa ‘Petrus’ kemudian dipakai sebagai awal kelahiran organisasi-organisasi kepemudaan. Salah satu yang peling terkenal adalah Pemuda Pancasila.
Agen-agen kekerasan non-negara ini dalam periode-periode selanjutnya dipakai sebagai agen untuk mematikan gerakan-gerakan massa-rakyat dari bawah. Gerakan buruh di Indonesia, misalnya, yang bangkit kembali pada pertengahan tahun 1980an seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi substitusi impor pada waktu itu juga harus berhadapan dengan agen-agen kekerasan non-negara ini. Intimidasi, terror, dan bahkan serangan langsung kepada buruh sering dilakukan oleh preman-preman yang terorganisir.
Mobilisasi preman pun dipakai dalam politik. Organisasi seperti Pemuda Pancasila dan saingannya Pemuda Panca Marga, resmi diterima dalam organisasi kepemudaan korporatik KNPI, yang pada akhirnya dipakai untuk memenangkan Golkar. Di daerah-daerah, organisasi yang berafiliasi dengan militer lokal – seperti Angkatan Muda Siliwangi di Jawa Barat– juga diinkorporasi sebagai organisasi ‘resmi’ di bawah patronase militer.
Teror Sipil Sebagai Proxy
Adakah keadaan seperti ini berubah setelah kejatuhan pemerintahan militer Suharto?
Sesungguhnya dalam hal agen-agen kekerasan non-negara, tidak banyak yang berubah setelah Orde Baru runtuh. Yang baru adalah kekuasaan di Indonesia menjadi lebih terdesentralisasi. Di daerah-daerah lahir oligarki politik, yang dengan senang hati berkerjasama dengan orang kuat, jago, atau preman lokal. Di beberapa tempat, para oligarkh ini juga menciptakan milisi-milisi untuk mendukung kekuasaannya.
Studi yang dilakukan oleh Jun Honna (2006) tentang hubungan sipil-militer setelah Suharto jatuh memperlihatkan bagaimana militer dan sayap-sayap sipilnya mengalihkan dukungan kepada elit yang menguasai partai-partai politik sipil. Para politisi sipil ini juga tidak segan-segan mempergunakan agen-agen kekerasan non-negara untuk memberangus oposisi terhadap kekuasaannya.
Di beberapa tempat di Indonesia, pengorganisasian agen-agen kekerasan ini juga bercampur dengan organisasi etnik (kesukuan). Namun tidak ada yang lebih sukses dalam memobilisasi agen-agen kekerasan non-negara daripada lewat jalur agama. Jalur ini adalah jalur yang paling efektif untuk saat ini, karena masyarakat Indonesia sendiri memang bergerak ke kanan, ke arah konservatif-religius.
Seperti saya katakan di atas, negara membutuhkan kelompok-kelompok ini untuk melakukan teror terhadap rakyatnya sendiri. Persoalannya kemudian adalah mengapa negara perlu melakukan teror itu? Siapa saja yang menjadi sasaran?
Untuk menjawab pertanyaan itu kita perlu melihat kembali legacies (warisan-warisan) yang ditinggalkan Orde Baru. Dua institusi yang memainkan peranan paling penting dalam Orde Baru adalah militer (termasuk kepolisian) dan birokrasi. Militer dan birokrasi yang diwariskan kepada rejim-rejim demokrasi sesudah Suharto adalah militer dan birokrasi yang sama. Mereka juga beroperasi dalam sistem ekonomi yang relatif sama, yakni sistem ekonomi pasar. Bahkan, selama beberapa tahun belakangan ini (terutama dalam periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono), para ekonom yang berkuasa taat sekali menerapkan prinsip-prinsip neoliberalisme. Mereka berhasil merestorasi pertumbuhan ekonomi Orde Baru yang sempat macet akibat krisis ekonomi1997.
Militer dan polisi memiliki kedudukan khusus pada masa Orde Baru. Tugasnya adalah melakukan represi terhadap gerakan-gerakan popular yang dianggap akan mengancam pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya, target utama represi pada masa Orde Baru adalah kalangan kiri (yang sudah ditumpas habis-habisan sejak tahun 1965) serta gerakan-gerakan petani dan buruh. Dalam taraf tertentu, Orde Baru juga berusaha keras untuk mengurangi pengaruh kelas menengah perkotaan, terutama para intelektual liberal seperti akademisi, jurnalis, atau aktivis hak-hak asasi manusia.
Jatuhnya Suharto juga mengakibatkan hilangnya fungsi-fungsi represi dari aparatus keamanan negara ini. Paling tidak, fungsi-fungsi tersebut ditanggalkan secara hukum. Indonesia mencoba untuk berjalan di atas asas-asas demokrasi. Secara prosedural, demokrasi bisa dijalankan. Pemilihan umum digelar secara teratur, pers (dalam taraf tertentu) diberi kebebasan, dan kebebasan berbicara, berekspresi, dan berorganisasi berjalan dalam skala formal-prosedural. Segala macam kebebasan ini memang tidak dihambat oleh negara, namun dipakai cara-cara lain yang bergerak di luar negara untuk mengekangnya.
Pada titik inilah organisasi-organisasi vigilante diperlukan oleh negara. Organisasi-organisasi ini diperlukan sebagai kepanjangan tangan aparatus keamanan negara yang tidak bisa melakukan fungsi-fungsi represinya karena dihambat oleh aturan-aturan demokrasi prosedural. Fungsi dari organisasi-organisasi ini kurang lebih sama seperti fungsi ‘Petrus’ pada tahun 1982-83, yakni melakukan teror kepada massa-rakyat. Jika ‘Petrus’ dilakukan dengan menggeletakkan mayat-mayat di jalanan; teror-teror vigilante dilakukan dengan serbuan, razia illegal, hingga ke pembunuhan brutal. Jika Petrus’ tujuannya adalah menyatukan dunia preman dan membawanya pada kontrol negara, maka organisasi-organisasi vigilante ini juga bertujuan untuk memperpanjang kontrol negara. Demokrasi membatasi negara untuk melakukan represi. Organisasi-organisasi vigilante ini bisa menjadi proxy negara dalam melakukan represi.
Target represi pun hampir sama dengan pada masa Orde Baru. Organisasi-organisasi vigilante memang tidak menyasar organisasi-organisasi buruh, tetapi mereka menyasar apa saja yang berbau komunis. Dengan demikian, perjuangan buruh dan petani berusaha dipisahkan dari dimensi ideologisnya dan dipaksa untuk bergerak pada tataran normatif seperti kenaikan upah minimum, kenaikan tunjangan kesehatan, perumahan, dan lain sebagainya. Penghilangan dimensi ideologis akan memberikan jaminan pada kelas kapitalis bahwa ancaman perubahan sistematik, yang mengubah hubungan modal dengan buruh, tidak akan terjadi.
Sama seperti pada jaman Orde Baru, yang juga menjadi target adalah intelektual-intelektual liberal. Mereka menjadi target karena jaringan-jaringan internasional yang mereka miliki yang berpotensi untuk menggoyahkan sistem ekonomi dan politik di dalam negeri. Persoalan-persoalan kemerdekaan dan kebebasan yang selalu dipersoalkan oleh para intelektual liberal, selalu berbenturan dengan kepentingan negara.
Organisasi-organisasi vigilante yang berbasis agama mendapat tempat khusus pada negara pasca Orde Baru. Ini lebih dikarenakan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Seperti yang dikatakan di atas, kelas menengah Indonesia bertumbuh menjadi konservatif-religius. Dengan ‘menormalkan’ organisasi-organisasi vigilante keagamaan, negara sesungguhnya merangkul golongan konservatif-religious ini. Itulah sebabnya mengapa aparatur negara dan elit politik dari hampir semua spektrum politik cenderung memberikan keleluasaan kepada para vigilante religius ini.
Yang paling sering dijadikan target oleh organisasi-organisasi vigilante keagamaan ini adalah golongan-golongan minoritas seperti Jemaah Ahmadiyah, Shiah (baru akhir-akhir ini menghangat kembali setelah keberhasilan menghantam habis Ahmadiyah), serta golongan Kristen, terutama dari denominasi-denominasi kesukuan yang seperti HKBP atau denominasi evangelis yang lemah, yang tidak memiliki gereja induk yang kuat.
Dari pengamatan lebih jauh terhadap target-target kekerasan terhadap minoritas ini, kita bisa menyimpulkan beberapa hal. Pertama, yang menjadi target kekerasan adalah mereka yang ekonominya relatif lemah; kedua, pada umumnya yang menjadi sasaran adalah mereka yang powerless, yang tidak memiliki patron yang kuat yang mampu memberikan perlindungan kepada mereka. Jemaah Ahmadiyah, misalnya, tidak saja secara ekonomi lemah tetapi juga tidak memiliki orang-orang di lingkaran kekuasaan yang bisa membela mereka; ketiga, khusus untuk target Kristen, yang menjadi sasaran adalah denominasi-denominasi eksklusif kesukuan khususnya HKBP dan denominasi Evangelis yang bergerak di kalangan rakyat miskin. Sementara gereja-gereja dengan backing politik dan ekonomi yang kuat tidak pernah mengalami gangguan.
Penutup
Secara umum, yang menjadi target dalam kekerasan agama adalah mereka yang paling rentan (vulnerable) dalam masyarakat. Mereka tidak memiliki dukungan secara politik maupun ekonomi. Mereka powerless dan tidak memiliki patron di dalam lingkaran kekuasaan di negeri ini.
Dalam kasus-kasus penyerangan terhadap Jemaah Ahmadiyah, kita melihat ketidakadilan yang sangat telanjang yang dilakukan oleh negara terhadap warganya. Di beberapa tempat di Indonesia, Jemaah Ahmadiyah diusir dari tempat tinggalnya. Para penguasa lokal bahkan menciptakan Kamp pengasingan di pulau terpencil. Mirip seperti gettho terhadap orang-orang Yahudi di Eropa pada jaman dulu. Namun nasib mereka jauh lebih buruk dari orang Yahudi, karena mereka diasingkan, dirampas hak-haknya, dan dinistakan.
Di sini, lagi-lagi, kita dipaksa untuk menoleh lagi pada modus teror negara kepada rakyatnya seperti yang dilakukan dalam ‘Petrus’ di tahun 1982-83. Dan ternyata, setelah lebih dari satu dekade Orde Baru tumbang, tidak banyak perubahan signifikan yang terjadi.***
Catatan: Artikel ini adalah bagian dari penelitian yang sedang berlanjut. Dimuat di sini sebagai bahan Diskusi dan Pendidikan.

http://indoprogress.com/teror-sipil-sebagai-proxy/

Wednesday, March 13, 2013

Defamation of Religion Law in Post-Reformasi Indonesia: Is Revision Possible?

Bagir, Zainal Abidin, Defamation of Religion Law in Post-Reformasi Indonesia: Is Revision Possible? (March 4, 2013). Australian Journal of Asian Law, Vol. 13, No. 2, Article 3, 2013. Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=2228476


Zainal Abidin Bagir
Universitas Gadjah Mada (UGM)
March 4, 2013

Australian Journal of Asian Law, Vol. 13, No. 2, Article 3, 2013

Abstract:    
The Indonesian Law on Defamation of Religion of 1965 has created serious problems for non-mainstream religious groups, with the Ahmadiyah group being the hardest hit in recent years, and more recently still, the Shi’as. Despite the post-1998 Reformasi trend of strong legal acknowledgment of universal human rights and religious freedom, the 1965 Blasphemy Law has been used more frequently within and outside court. Further, in 2010 its standing was reinforced by the Constitutional Court, which found it to be constitutional, though it also suggested the Law needed to be revised. This paper analyses the contents of the law and considers to what extent the Law can be ‘revised’, such that it does not contradict Indonesian aspirations for a civic, non-discriminatory, pluralist society. The argument takes as its sources comparison with similar regulation in other countries; recent shifts in the position of the Organisation of Islamic Cooperation (formerly Organization of the Islamic Conference) on defamation; and the Constitutional Court proceedings.