Saturday, May 26, 2012

Nasib Ahmadiyah dan Kritik Wacana Agama

 Masnun Tahir*

Di penghujung tahun 2007, sejarah hubungan umat beragama masih mencatat adanya gesekan yang berujung kekerasan atas nama agama. Ironisnya, konflik antar agama yang terjadi di negeri ini tidak lagi terjadi antar agama tetapi terjadi intern agama. Salah satu contoh adalah pengusiran dan perusakan rumah tinggal dan tempat ibadah warga Ahmadiyah di Lombok NTB beberapa waktu lalu. Dampak dari kejadian itu, hingga kini masih dirasakan oleh warga yang mengaku “pengikut Mirza Gulam Ahmad” ini.

Ketika saya mengunjungi pengungsian pengikut jamaah Ahmadiyah di Lombok beberapa waktu lalu, perasaan miris muncul saat penuturan jujur keluar dari mulut para jama’ah Ahmadiyah “banyak keluarga kami yang kini terpaksa harus kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian dan semua ketentraman yang kami bangun selama ini. Anak-anak kami kini tak lagi bisa sekolah. Istri-istri kami tak leluasa lagi pergi ke tempat-tempat umum, seperti pasar. Takut dan malu”.

“Mengerikan” pikir saya, agama yang sejatinya diharapkan mampu menjadi pengayom, pemberi rasa aman, penebar kedamaian di bumi, kini justru berubah menjadi api pemantik kebencian dan permusuhan di kalangan penganutnya. Namun mengapa kadang iman gagal mencapai mokhsa di lingkungan pengikutnya? Seperti yang dikatakan Friedrich Nietzsche, salah seorang pembaharu filsafat teologi yang paling terkemuka akhir abad ke sembilanbelas, ia melihat ada realitas yang mengerikan tentang apa yang disebut “agama” pada masanya. Kancah perang dan peran sebagai media untuk saling membenci banyak diprakarsai oleh operasionalisasi agama. Agama tidak hadir sebagai sosok humanis dan menghargai kehidupan manusia. Nietzsche mengambil kesimpulan bahwa kesadaran historis yang plagiatiflah yang tertinggal dalam agama dan diimani jutaan orang. Selebihnya tidak ada. Agama telah berkarat. Gott ist tot, “Tuhan telah mati”, kata-kata yang paling populer darinya ketika memaknai gejala eksploitatif, holocaust, dan misoginis yang diperankan agama.

Kekerasan terhadap Jamaah ini bukan sekali terjadi. Ketika maraknya demo anti Ahmadiyah sekitar Agustus 2005 saya pernah diundang untuk ceramah dalam tablig Akbar di Masjid Jami’ Kabupaten Lombok Tengah oleh panitia yang mengatasnamakan diri AMANAH (Aliansi Masyarakat Anti Ahmadiyah). Dari TOR yang mereka sodorkan, saya memahami bahwa tujuan penyelenggaran tablig itu ialah ajakan untuk merapatkan barisan menghujat Ahmadiyah, tetapi saya menolak hadir dengan memberikan berbagai argumen. Saya mencoba memberikan penjelasan bahwa banyak ayat al-Qur’an yang memberikan kebebasan beragama dan tidak ada jalan pemaksaan apalagi kekerasan dalam Islam, saya juga mencontohkan sikap dua figur ulama kharismatik di Pulau Lombok seperti; al-Magfurlahu TGH. M.Zainuddin Abdul Madjid (Pendiri NW) dan TGH. M.Faisal (Pembawa NU ke Lombok) terhadap jamaah Ahmadiyah ini. Dua tokoh yang sangat dihormati oleh Gus Dur ini sepengetahuan saya belum pernah berfatwa tentang sesatnya Ahmadiyah, apalagi sampai mengajak dan mobilisasi umat untuk menyerang mereka. Hal ini dibuktikan adanya masjid Ahmadiyah di jalan Sudirman Pancor tidak jauh dari kantor sekretariat PBNW, begitu juga di Praya para jamaah panatik TGH. Faisal memberikan kebebasan kepada jama’ah Ahmadiyah untuk menjalankan ibadahnya.

Nasib jamaah Ahmadiyah di Pulau Lombok, mengingatkan saya pada perlakuan masyarakat kepada aliran yang “berlawanan” dengan agama mainstream seperti Islam Wetu Telu. Sekedar informasi tambahan, sebagai kelompok minoritas, keberadaan Islam Wetu Telu ditekan oleh tiga lapis “penindasan” sekaligus, yakni arus modernitas, penetrasi aktif dakwah Islamiyah yang tak kunjung surut, dan implikasi massif dari kebijakan politik khususnya program transmigrasi. Penganut Islam Wetu Telu yang tersisa saat ini semakin terpencil dari komunitas besar etnis Sasak (Islam Wetu Lima) dan distigma sebagai tingkatan masyarakat yang “ketinggalan zaman” dan secara teologis “sesat” dan karenanya perlu diluruskan.

Saya melihat kasus Ahmadiyah ini merupakan masalah pergulatan klaim kebenaran yang biasa terjadi sepanjang sejarah antara kalangan tekstualis, konservatif dan inovatif, arabis dan kultural, dan antar berbagai varian Islam lain. Disinilah sebenarnya kritik wacana agama dan pemahaman yang utuh dan tidak tunggal tentang agama dibutuhkan.

Salah satu ketidaktunggalan dalam pemahaman agama juga diakibatkan oleh perjumpaan (encounter) berbagai macam tradisi kesejarahan agama melalui praktik antar-agama. Di dunia global ini, sesuatu yang tak dapat dibantah adalah penghuni agama akhirnya mencoba merumuskan konsep moralitas baru. Pertama, masalah moral internal suatu agama yang memiliki legitimasi objektif tentang sisi-sisi keyakinan dirinya terkait dengan hal yang tak dapat dihindari sebagai entitas eksklusif. Kedua, rumusan agama-agama mencari kerangka minimal untuk bergerak secara bersama-sama menghadapi tantangan kegelisahan umat masing-masing. Dan ketiga, membiarkan dengan penuh tanggung jawab pada agama agar berada di kolam besar globalisasi berdasarkan sisi kelenturan dan pluralitasnya. Hal ini tentu sebagai cara memproses sebuah pengujian agama historis, yaitu yang dapat menyesuaikan dengan hukum sejarah yang menjamin perbedaan. Dengan demikian kita tidak congkak mengkafirkan atau mengklaim mereka sesat, bisa jadi mereka lebih mulia dan lebih Islam di hadapan Tuhan (kufrun indan nass wa lakin mukmin indallah). Pertanggungjawaban seorang umat kepada Tuhannya tidak dapat dirampas oleh orang lain, disamaratakan, atau diklaim karena tidak ada nilai objektif yang dapat dijadikan parameter. Takaran seseorang makin beriman atau makin kafir terhadap keyakinannya tidak dapat divonis oleh orang lain. Keduanya memiliki karakter yang tidak dapat dipertemukan dalam sebuah ruangan eksekusi.

Saya sangat menyayangkan Fatwa MUI beberapa waktu yang lalu yang menganggap Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan seharusnya kembali kepada kemurnian Islam atau membentuk agama baru. MUI pernah berfatwa dua kali tentang keberadaan Ahmadiyah yaitu tahun 1984 dan tanggal 29 Juli 2005. Inti fatwanya bahwa Ahmadiyah keluar dari Islam, sesat dan menyesatkan. Fatwa MUI inilah yang dijadikan dalil pembenar bagi sekelompok orang untuk melabelkan sesat dan bahkan mengusir serta membakar rumah dan tempat ibadah mereka. Klaim “sesat” ini lalu berujung pada pengajuan opsi terbatas bagi jemaat Ahmadiyah: menyesuaikan ajarannya dengan keyakinan umum umat Islam atau keluar dari Islam dan membikin agama baru. Ini logika teologis dan solusi klise yang rutin dilansir para ulama, terkhusus mereka yang terhimpun di MUI, dan kemudian dipegangi para pejabat lokal maupun nasional. Padahal bagi saya, nilai kebenaran masing-masing keyakinan sejatinya setara. Oleh karena itu, salah satu keyakinan tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menilai benar tidaknya keyakinan lain, meski keyakinan pertama ini di anut oleh mayoritas karena apabila dilihat secara epistemologis, suatu keyakinan tak lebih merupakan hasil pemahaman, produk pemikiran yang bersifat ijtihadi, sebuah tafsir terhadap doktrin pokok.

Menyikapi pluralitas keyakinan keagamaan dengan kekerasan seperti pada kasus Ahmadiyah bukan pilihan yang bijaksana, bahkan kontraproduktif dengan pesan dasar Islam sebagai agama penebar kasih dan rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin). Oleh karena itu, jika kita masih memandang keyakinan teologis Ahmadiyah “salah” atau “sesat”, sikap terbaik adalah menjalankan dakwah ke tengah mereka dengan cara-cara tanpa kekerasan, fisik maupun non-fisik. Menyampaikan dakwah dengan hikmah dan kebijakan seperti yang pernah dilakukan Rasulullah ketika berdiskusi dengan orang Kristen dan Nazran mengatakan, “mari kita diskusi, berbincang-bincang siapa tahu ada kebenaran di kami atau di anda”.

Selain itu di dalam al-Qur’an Allah menawarkan setidaknya tiga pilihan metodis dalam mengajak manusia ke jalan kebenaran, yakni (1) menjelaskan al-hikmah; (2) mengetengahkan petunjuk atau nasihat yang baik (al-ma’izah al-hasanah); dan (3) melangsungkan mujadalah (dialog) dengan cara terbaik. Ketiganya harus dijalankan dengan cara–cara simpatik (ahsan), lemah lembut, tanpa memaksa sebagaimana tercermin pada kata “ajaklah” atau “serulah” di awal ayat. Tak ada indikasi implisit atau apalagi eksplisit di ayat tersebut atau ayat-ayat lain, yang menganjurkan cara-cara kekerasan, misalnya paksalah, serbulah, bubarlah, atau bunuhlah. Semoga.

*Dosen IAIN Mataram dan Wakil Katib Syuriah PWNU NTB.

Retrieved from: http://masnuntahir.blogspot.com/2009/05/nasib-ahmadiyah-dan-kritik-wacana-agama.html

Friday, May 25, 2012

Prof. Dr. Amin Abdullah, MA: Sekarang, Harus Ada Fiqh Toleransi ….

Islamlib.com, 22/09/2002
Oleh Redaksi
Memang, sikap toleran dan bersedia menenggang perbedaan di antara kita seringkali hanya diasosiasikan kepada umat beragama yang berbeda. Akibatnya, terjadi defisit toleransi dan rasa tepo seliro di antara internal umat beragama ketika sikap tersebut hanya didefinisikan kepada umat di luar agamanya. Peristiwa tragis yang dialami umat Ahmadiyah ini menunjukkan masih minusnya rasa saling menghargai keberbedaan di antara umat Islam sendiri.
Minggu lalu, terjadi peristiwa pengusiran besar-besaran umat Ahmadiyyah di Lombok Timur. Tak hanya itu, rumah, mesjid dan harta benda mereka dibakar dan dirusak. Mereka diberi dua pilihan : keluar dari Lombok atau kembali pada Islam yang “benar”. Ahmadiyyah adalah bagian dari umat Islam. Dan yang memberikan pilihan itu juga umat Islam.
Memang, sikap toleran dan bersedia menenggang perbedaan di antara kita seringkali hanya diasosiasikan kepada umat beragama yang berbeda. Akibatnya, terjadi defisit toleransi dan rasa tepo seliro di antara internal umat beragama ketika sikap tersebut hanya didefinisikan kepada umat di luar agamanya. Peristiwa tragis yang dialami umat Ahmadiyah ini menunjukkan masih minusnya rasa saling menghargai keberbedaan di antara umat Islam sendiri.
Untuk mengulas persoalan perbedaan dan toleransi intra-Islam, Komunitas Islam Utan Kayu (KIUK) kali ini mewawancarai Prof. Dr. Amin Abdullah, Rektor IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan juga ‘Amir Ahmadiyah se-Indonesia KH Abdul Basith, yang berlangsung di Radio 68H pada 19 September 2002. Berikut petikannya:

Bisakah Anda menceritakan kronologi peristiwa di Lombok Timur?
KH Abdul Basith (AB): Sebetulnya peristiwa ini ada kaitannya dengan seminar mengenai Ahmadiyah yang diadakan oleh satu kelompok di Masjid Istiqlal, Jakarta. Seminar itu mendiskreditkan dan mengutuk Ahmadiyah. Hasil seminar itu sendiri dimuat di Sabili dengan judul “Menggulung Ahmadiyah”.
Saya perlu klarifikasi dulu sedikit bahwa semua tuduhan itu tidak benar sama sekali. Kita ini orang Islam juga. Rukun iman kita sama, rukun Islam juga sama, percaya kepada Tuhan yang sama, rasulnya juga Muhammad Saw. Begitu juga dengan salat dan ibadah hajinya. Dua tahun yang lalu saya juga ibadah haji. Bukan ke mana-mana, ke Mekkah juga. Jadi apa yang dituduhkan dalam seminar itu, termasuk bahwa kita punya kitab suci sendiri, itu tidak benar. Kami juga merujuk ke Alquran.
Menurut Anda, apakah peristiwa perusakan aset dan pengusiran warga Ahmadiyah itu terkait dengan seminar yang diselenggarakan sebelumnya?
AB: Saya kira itu hanya satu faktor pemicu (trigering factor) saja. Sebetulnya mereka sedang mempunyai rencana yang panjang. Karena, kalau cuma perbedaan paham seperti yang dituduhkan mereka, orang-orang Ahmadiyah yang ada di Lombok ini adalah orang-orang yang sudah 30-an tahun sudah berada di sana. Mereka orang lokal, bekerja di sana, lahir di sana dan bermasyarakat. Bagaimana bisa mereka tiba-tiba terusir karena dianggap akidahnya berbeda dan eksklusif.
Ada informasi bahwa Ahmadiyah ini secara resmi dilarang oleh Kejagung. Betulkah itu?
AB: Tidak ada sama sekali pelarangan itu. Kita berbadan hukum. Itu artinya kita sah di wilayah manapun di seluruh Indonesia. Kita punya bukti itu, dan dari dulu kita juga tidak pernah berbuat kerusuhan.
Atau mungkin pernah dilarang di salah satu daerah?
AB: Barangkali dilarang dalam artian tidak boleh melakukan kegiatan. Sebagai lembaga, kita tidak pernah dilarang. Karena kegiatan yang kita buat di setiap daerah berupa ibadah, salat Jumat, tahajud bersama, tarbiyah. Apanya yang perlu dilarang? Dalam melakukan dakwah pun kita tidak pernah memaksakan kehendak kita, tidak pernah memaksakan kebenaran kita.
Kekerasan di Lombok ini apakah pertama kalinya terjadi terhadap Ahmadiyah? Apakah sebelumnya sudah pernah ada?
AB: Ada. Tahun lalu juga di Sambieleh, tidak jauh dari sana, sehingga ada satu orang yang meninggal.
Saya ingin bertanya ke Pak Amin. Bagaimana Anda melihat masalah seperti ini? Ada kelompok yang tidak suka kepada kelompok lain dalam Islam, lalu memberangus, merusak dan sebagainya.
Amin Abdullah (AA): Ini bisa dilihat dari berbagai sudut. Mengapa itu terjadi? Karena mungkin pengajaran agama kita selama ini memang berorientasi pada agama itu sendiri, dan lebih kecil lagi kelompoknya sendiri. Akibatnya, amat sangat jarang melihat kelompok lain. Pada akhirnya agak sulit, kalau melihat orang lain imagenya bukan as human being, tapi the others, atau bahkan musuh. Apalagi kalau kemudian dibumbui dengan emosi keagamaan.
Nah, emosi keagamaan itu juga macam-macam, tergantung kelompoknya masing-masing. Maka di situlah sebenarnya perlunya melihat lagi corak pendidikan yang ada di tanah air, menghadapi berbagai isu. Apalagi seperti warga Ahmadiyah yang Lombok Timur tadi disebut sudah 30-an tahun berada di sana.
Tapi nampaknya akhir-akhir ini hal-hal semacam itu makin menonjol. Agaknya mereka susah sekali menerima perbedaan itu.
AA: Ya, itu sebagai produk dari pendidikan yang sekian lama. Jadi bukan fenomena dadakan sekarang. Ini hasil dari proses yang sudah lama dan kita menuai “buahnya” sekarang ini. Maka kalau persiapan untuk hasil ke depan, sekarang ini juga harus ada pemikiran-pemikiran fiqh toleransi. Fiqh toleransi itu ‘kan lebih banyak pada cara berpikir, cara bergaul, cara berinteraksi. Di sini jelas ada kaitan dengan ilmu sosial juga.
Pak Basith, menurut Anda, bagaimana sikap yang tepat untuk memahami perbedaan dalam umat Islam sendiri, atau dalam umat secara keseluruhan?
AB: Ada satu hal prinsip yang diajarkan oleh Rasulullah Saw, malah dalam Alquran Allah juga berfirman; Ta’awanu ‘ala al-birri wa al-taqwa, wala ta’awanu ‘ala al-itsmi wa al-‘udwan; bekerja samalah dalam kebaikan dan taqwa, bukan dalam dosa dan kejahatan. Itu prinsip yang sangat agung sekali untuk memelihara umat ini.
Oleh karena itu saya berpendapat bahwa perbedaan pendapat di dalam umat; di antara umat Islam sendiri, atau antara umat Islam dengan umat yang lain, ini memang satu gejala yang memang terjadi di mana-mana, normal saja. Dan saya melihat bahwa di antara umat ini ada yang positif sifatnya, ada yang baik. Kenapa tidak kita satukan, kita kembangkan potensi yang baik ini untuk kemaslahatan, untuk kebaikan umat. Kalau hanya memikirkan perbedaannya itu justru akan merugikan kita sendiri, karena susah mempersatukan pendapat dalam satu wadah, apalagi seperti di Indonesia sekarang ini.
Bagaimana dengan penilaian beberapa pihak yang menganggap bahwa Ahmadiyah juga merasa dirinya eksklusif dan enggan bergaul dengan yang lain?
AB: Barangkali begini. Kita tidak pernah menyatakan bahwa kitalah yang paling benar, karena kebenaran hakiki hanyalah ada pada Allah Swt. Barangkali kesan eksklusif ini muncul karena setiap kita mau kerjasama selalu ditolak. Padahal kita tidak eksklusif. Malah kebijakan saya selama satu tahun menjabat sebagai Ketua Umum atau Amir Ahmadiyah Indonesia ini justru Ahmadiyah harus mengembangkan segi-segi kemasyarakatan yang lebih. Ini pekerjaan rumah bagi saya dan jajaran staf Ahmadiyah untuk memperkenalkan lebih banyak lagi kepada masyarakat. Karena saya rasa, reaksi-reaksi yang muncul di daerah-daerah banyak yang karena nggak paham, tidak mengerti.
Apakah mungkin ada satu-dua kasus, karena kelompok Anda ini kecil, lalu tertutup sehingga dianggap eksklusif oleh orang lain?
AB: Di mana-mana sebetulnya kita terbuka. Tapi mungkin juga ada satu-dua kasus seperti itu. Secara umum, ini mungkin bisa jadi PR (publik relation)  kita supaya jemaah-jemaah kita di daerah-daerah lebih membuka diri. Jadi jangan sampai nanti ada kesan eksklusif. Oleh karena itu dalam rencana kerja kita ini kita lebih menekankan kepada yang sifatnya bakti sosial.
Kita punya jaringan, misalnya pengobatan alternatif, dan kita sudah ada di 130 cabang. Ini bisa memberikan bantuan ke masyarakat. Kita menerima ribuan pasien tiap bulan. Jadi saya menekankan kepada seluruh jemaah untuk melakukan hal-hal positif ke masyarakat sehingga kesan eksklusif ini tidak ada. Jangan lupa, donor mata terbesar di Indonesia disumbangkan oleh warga Ahmadiyah.
Kemudian yang kedua, cobalah di antara umat kita ini mengambil hal-hal yang positif tadi. Karena dengan mengumpulkan potensi positif ini kita bisa memberikan faedah dan sumbangsih kepada masyarakat Indonesia.
Misalnya kalau ada orang menganggap bahwa Anda punya masjid sendiri, tidak mau salat dengan orang lain, apakah itu betul?
AB: Tidak. Masjid kita ini didirikan untuk salat. Kita mendirikan tempat-tempat ibadah, dan itu milik Allah. Kita hanya membangun. Siapa saja boleh datang. Tidak usah jauh-jauh, masjid kita di Atmosukarto Jl. Bogowonto, itu hampir setengah jamaahnya orang-orang luar, orang lain. Begitu juga di tempat-tempat lain.
Insya Allah kami dari jamaah Ahmadiyah akan selalu membuka diri untuk dialog dengan cara-cara yang bijaksana, persuasif, dan selalu terbuka. Dan ini juga yang dilakukan oleh Rasulullah Saw; ketika beliau tabligh, menyampaikan amanat beliau, itu selalu dengan cara berdialog. Cara seperti itu yang, saya kira, tidak akan membawa keributan.
Pak Amin, bagaimana menurut Anda soal eksklusivisme dalam beragama?
AA: Ada dua hal yang perlu diingat. Yang pertama, perbedaan itu sebetulnya sunnatullah. Antara satu dengan lain pasti beda. Antara bapak dan ibu dalam satu keluarga saja berbeda. Karena itu yang menjadi penyakit ‘kan ketika menjadi eksklusif tadi yang memunculkan ketertutupan.
Kalau mau kembali ke Alquran, Allah sendiri berfirman: “janganlah kamu berlebih-lebihan dalam beragama”; la tadzlu fi dinikum. Tapi berlebih-lebihan ‘kan tidak hanya dalam minoritas, yang besar juga bisa eksklusif.
Menyangkut ukhuwah Islamiyah acapkali didasarkan pada Alquran dan hadis. Selama ini Ahmadiyah dianggap percaya adanya nabi sesudah Nabi Muhammad sehingga muncul penilaian bahwa mereka tidak layak “dihormati”?
AA: Saya kira, namanya ukhuwah Islamiyah memang dasarnya Alquran dan sunnah. Dalam hal ini semua umat Islam sepakat. Tetapi ketika jatuh pada tataran interpretasi, itu bisa berbeda-beda. Ketika beda-beda itulah toleransi itu diperlukan. Justru ukhuwah itu diperlukan karena ada perbedaan, bukan karena dasarnya sama, Alquran dan sunnah.
AB: Menurut saya, Ahmadiyah tidak pernah merasa paling benar sehingga berhak untuk mengatakan kelompok lain sebagai sesat atau kafir. Seingat saya, kami tidak pernah mengkafirkan orang lain. Itu pertama. Yang kedua, masalah interpretasi tadi. Kita berdasar Alquran dan Sunnah. Perbedaan interpretasi terhadap keduanya inilah yang membuat kita harus menyikapi dengan jiwa besar.
Jadi Anda ingin mengatakan bahwa perbedaan interpretasi dalam Islam ini sah-sah saja?
AB: Ya, sah-sah saja. Jadi seperti yang dikatakan Pak Amin tadi, di situlah kebesaran hati kita untuk melihat dan menghargai pendapat orang lain.
Pak Amin, bagaimana Anda melihat tudingan saling mengkafirkan di antara umat Islam?
AA: Kalau isu pengkafiran (takfir) ini memang isu yang sudah sejak zaman dulu. Literatur Islam selama 500 tahun itu isinya cuma kafir-mengkafirkan. Sekarang frekuensinya malah lebih, karena lebih sophisticated, lebih kompleks. Maka jargon itu sebetulnya secara akademik harus dilihat lebih jernih. Kita ingat debat al-Ghazali sama Ibn Rusyd dulu, kata-kata pengkafiran itu juga sudah muncul. Kaum Khawarij sejak lama mengintrodusir kata itu untuk membenarkan tindakannya.
Bagaimana sikap Ahmadiyah terhadap kelompok-kelompok lain yang ada dalam umat Islam sendiri?
AB: Kita tidak pernah mengkafirkan, karena mereka adalah umat Muhammad yang percaya kepada Rasulullah Saw dan Alquran. Oleh karena itu kalau dituduhkan bahwa kita mengkafirkan umat Islam, itu tidak benar. Mereka justru adalah kawan yang menjadi tempat dialog. Sikap itu yang harus dikembangkan di antara umat. Kalau tidak, umat ini akan porak-poranda.
Pak Amin, anda tadi bicara soal pendidikan agama di masa mendatang yang harus mengembangkan visi keterbukaan. Bagaimana hal itu digunakan untuk mengakhiri kafir-mengkafirkan ini?
AA: Ya, salah satu harapan ya memang pendidikan, meskipun itu jangka waktunya panjang. Tetapi kalau kita bisa menganggap kanan-kiri kita, saudara kita, sebagai kawan dalam perjalanan, bukan musuh dalam perjalanan, saya kira itu bagus. Maka dalam kaitan dengan pendidikan ini, saya kira semua lapisan umat, khususnya lapisan intern umat Islam, memerlukan model-model edukasi yang lebih kondusif kepada era keterbukaan. []

Retrieved from: http://islamlib.com/id/artikel/sekarang-harus-ada-fiqh-toleransi

Wednesday, May 23, 2012

Hidup Bersama Ahmadiyah

Dewi Nova Wahyuni
Voice of Human Rights, 22 Februari 2011



Jika negara berani mewujudkan kesetiaan  pada sejarah berbangsa 
dan konstitusi, ada banyak cara untuk hidup bersama

Tiga warga dibunuh dalam penyerangan atas nama agama di Kampung Pasir Peuteuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Minggu (6/2). Penyerangan brutal ini membuat publik menoleh pada Banten.

Secara geografis, Provinsi Banten, terutama Kabupaten Tangerang, merupakan wilayah penyangga ibu kota negara. Provinsi di ujung barat Pulau Jawa ini juga merupakan jalur penghubung antara Jawa dan Sumatera. Setiap hari pergerakan daya ekonomi antara dua pulau melintasi provinsi ini.

Jauh sebelum suku-suku bangsa dan berbagai cara pikir nusantara bersepakat mendirikan Republik Indonesia, Banten telah menjadi pelabuhan besar di Asia Tenggara di bawah Kesultanan Banten, setara dengan Malaka dan Makassar.

Dalam sejarah panjangnya, Banten pernah menjadi tempat pertemuan bangsa-bangsa, pertemuan ragam tata cara hidup. Hingga hari ini Provinsi Banten menjadi penghubung ragam budaya Sumatera - Jawa. Hal ini bisa dirasakan pada keunikan bahasa Sunda-Jawa di Banten, dengan kolaborasi bahasa suku-suku bangsa di Sumatera, yang berbeda dari bahasa Sunda di tatar Priangan dan bahasa Jawa suku Jawa di Jawa Tengah dan Jawa Timur. 


Lalu bagaimana pembunuhan atas nama perbedaan penafsiran berislam bisa terjadi di provinsi yang memiliki sejarah panjang belajar hidup beragam? 

Perusakan Hidup Bersama
Pada dunia yang mengglobal, Banten tak bisa membangun sendiri tata cara hidup bermasyarakat dan bernegaranya. Banten memberikan pengaruh terhadap ibu kota negara yang disangganya, dan Pulau Sumatera - Jawa yang distribusi ekonominya bergantung pada provinsi ini. Di sisi lain, Banten juga juga dipengaruhi kondisi sosial politik keindonesiaan. Surat keputusan bersama tiga menteri (Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama) tentang Ahmadiyah, puluhan peraturan daerah yang intoleran terhadap Ahmadiyah, dan lemahnya perlindungan negara terhadap warga negara adalah tiga dari banyak alasan yang mengakibatkan kemunduran adab bermasyarakat di Cikeusik. 

Apakah penyerangan di Cikeusik tetap akan terjadi, jika puluhan penyerangan di Lombok, Parung, Cianjur, dan tempat lain terhadap Jamaah Ahmadiyah dapat diantisipasi oleh intelijen negara? Dan, setelah insiden, pelaku ditindak tegas secara hukum? 

Komnas HAM mencatat, sepanjang tahun 2007 - 2008 terjadi 342 penyerangan dan intimidasi yang tidak diproses secara hukum oleh negara. Penyerangan di Cikeusik mendorong Komnas HAM mendesak Presiden memerintahkan segenap aparatnya menjamin keamanan dan ketenteraman warga negara, terutama kelompok minoritas beragama dalam memilih dan menjalankan agama dan keyakinannya.

Terkait lemahnya perlindungan keamanan, LBH Jakarta mencatat empat level keterlibatan polisi dalam penyerangan terhadap Ahmadiyah selama 10 tahun terakhir (2001-2011). Pertama, infliction, yaitu memaksa seseorang mengalami pengalaman pahit. Hal itu terjadi pada perusakan masjid dan rumah di Manis Lor, Kuningan, Jawa Barat,  2010. Kedua, instigation, yaitu mendorong atau menganjurkan. Hal ini terjadi pada penyerangan di Parung, yaitu massa penyerang menggunakan mobil polisi saat penyerangan. Ketiga, consent, persetujuan atau izin. Hal ini terjadi pada  penyerangan di Lombok tahun 2002. Aparat yang tergabung dalam Muspida dan Muspika memberikan persetujuan terhadap tekanan pihak yang merencanakan serangan. Keempat, acquiescence atau persetujuan diam-diam. Pada setiap peristiwa penyerangan dan pembakaran, anggota Polri berada di tempat kejadian dengan jumlah pasukan pengendali massa yang minim dan tanpa peralatan memadai.       

Publik tidak akan lupa, pada tahun 2005 Polres Mataram menyerah kepada massa sebanyak 9 truk yang meminta membebaskan 1 dari 5 tersangka perusakan. Pada 10 Februari lalu ratusan tokoh, ulama, dan Tim Pembela Muslim yang melakukan pertemuan di Rumah Makan Honje, Kabupaten Serang, meminta Polres Pandeglang membebaskan tersangka penyerangan Cikeusik yang ditahan di Polres Pandeglang. Sikap aparat hukum yang tidak mampu menegakkan hukum pada kasus sebelumnya menjadi preseden buruk bagi pencapaian keadilan di republik ini. Sekaligus menjadi bukti kelemahan negara, yang dipelajari kelompok pro-kekerasan untuk melestarikan cara kerja mereka.

Sebelum dan sesudah penyerangan-penyerangan tersebut, negara dan organisasi massa, yang celakanya tidak siap berbeda pandang dengan Ahmadiyah, telah merumuskan aturan dan kesepakatan yang mereka asumsikan sebagai aturan terbaik untuk menempuh hidup bersama. Surat Edaran Kejaksaan Agung terkait Ahmadiyah, SKB tiga menteri tentang Ahmadiyah, dan puluhan peraturan daerah di berbagai wilayah merumuskan aturan-aturan yang memposisikan Ahmadiyah sebagai pihak yang mesti mengalah pada keinginan arus utama.

Aturan-aturan tersebut lahir dengan semangat membatasi hak beragama Jamaah Ahmadiyah dan menutup pintu dialog kajian beragama antara Ahmadiyah dan Islam, arus utama. Majelis Ulama Indonesia berteguh pada semangat mempertobatkan Jamaah Ahmadiyah dengan opsi menempuh cara berislam sesuai MUI atau keluar dari apa yang mereka yakini sebagai lingkup agama Islam.

Apakah aturan-aturan negara tersebut dan fatwa ormas MUI menjadi sokongan yang baik bagi hidup berbangsa? Sebaliknya, aturan yang diskriminatif dan antidialog menjadi sumber idiologi bagi praktik kekerasan yang terus menyerang Jamaah Ahmadiyah. Bahkan, setelah penyerangan, aturan yang diskriminatif itu menjadi legitimasi untuk mencari-cari kekeliruan Jamaah Ahmadiyah. Bukti terakhir, ketika darah masih basah dan air mata belum kering, MUI bergegas melakukan penyelidikan. Bukan untuk menghasilkan kajian yang dialogis, saling menghormati, dan mendukung suasana damai, melainkan untuk menemukan apa kesalahan Ahmadiyah sehingga penyerangan Cikeusik terjadi!

Sebelum SKB tiga menteri disahkan, Komnas Perempuan pada 18 April 2008 meminta Presiden Yudhoyono menggunakan hak prerogratifnya untuk menghentikan penyusunan SKB tentang Ahmadiyah dan menegakkan kembali jaminan kebebasan beragama bagi semua warga negara, termasuk komunitas Ahmadiyah.

Suara Perempuan Ahmadiyah
Negara juga mesti mendengarkan suara perempuan Cikeusik yang harus berhadapan dengan situasi ini. Nayati, 35 tahun, menuturkan, “Waktu kejadian saya melihat dari jauh suami saya dipukuli, disabet celurit hingga kena pipi dan mukanya. Masya-Allah.” Dan sejak itu Nayati tidak pernah lagi melihat suaminya. Saat ini Nayati tinggal bersama anaknya yang masih kecil, dengan persediaan uang yang mulai habis. “Saya pernah berjualan obat-obat kecantikan, tapi nggak laku karena dimusuhi warga,” ujarnya. Bahkan, Nayati takut jika seminggu ke depan aparat Polri dan TNI tidak lagi berjaga-jaga di lokasi, dia bakal dibunuh warga (Radar Banten, 9/2/2011). 

Nayati adalah potret dari ratusan perempuan Ahmadiyah yang terus-menerus menjadi penopang dan pertahanan keluarga ketika penyerangan terjadi. Ada warga perempuan yang mengalami dikskriminasi berlapis karena peran gender dan keyakinan beragamanya. Warga perempuan kehilangan hak atas rasa aman, hak untuk penghidupan yang layak, hak untuk mengkases layanan publik. Apa yang sudah dilakukan negara kepada perempuan dan anak yang dikorbankan pada setiap peristiwa penyerangan? 

Pembentukan Hidup Bersama
Mengikuti talk show di statsiun televisi swasta antara Ahmadiyah, MUI, dan negara akhir-akhir ini, publik disuguhi dialog yang sesungguhnya tidak terjadi dialog. Ahmadiyah menghayati penafsirannya sebagai cara berislam, ormas MUI menghakiminya sebagai penodaan berislam, negara kehilangan arah di bagian mana mesti bersikap.

Bukankah penafsiran beragama adalah bagian dari privasi warga yang tidak boleh diatur oleh hukum negara? Kewajiban negara adalah melindungi hak dasar beragama setiap warga, seperti amanat konstitusi pada UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Hak-hak Sipil Politik. Negara juga mesti menjamin hidup beragama yang tidak mengkhianati cita-cita pembentukan Republik Indonesia.

Mengenang gagasan Bapak Bangsa, Soekarno, terkait perumusan Pancasila sebagai rekonsiliasi islamisme, nasionalisme, dan marxisme. Berislam dan bernegara, berislam di republik ini mesti bernasionalis, bersetia pada kebinekaan bangsa. Karena berislam yang intoleran tidak hanya mengikis identitas bangsa yang bineka, tetapi juga mengancam persatuan bangsa. Berislam di Banten mesti bersetia pada sejarah panjang pertemuan bangsa-bangsa dan tata cara hidup. Berislam di Indonesia mesti bersetia pada penghormatan kebinekaaan budaya, dinamika sejarah hidup bersama dari sejak dijajah kolonial hingga pemerintahan reformasi yang perlu perbaikan di sana-sini.

Di atas itu semua, jika beragama untuk kemanusiaan, mestinya setiap pertimbangan untuk mengatur hidup bersama Ahmadiyah dan umat minoritas mana pun didasarkan juga pada nilai-nilai kemanusiaan, seperti disepakati pada sila ke-2 kontrak berbangsa, Pancasila. Jika negara dan warga berani mewujudkan kesetiaan pada sejarah berbangsa dan konstitusi, ada banyak cara untuk hidup bersama Ahmadiyah. Juga dengan semua pemeluk keyakinan dan agama apa pun. 

Retrieved from: http://indonesia-for.blogspot.com/2011/07/hidup-bersama-ahmadiyah.html

Saturday, May 19, 2012

INDONESIA: Police Failed to Protect Ahmadiyah Mosque from Attacks

Salem-news.com, May-11-2012 12:47


Attacks towards the Ahmadiyah seem to be encouraged and justified with the issuance of policies that prohibit any religious activities of Ahmadiyah in Indonesia.
Ahmadiyah Mosque
Ahmadiyah Mosque photo courtesy: ahmadiyyatimes.blogspot.com

(HONG KONG) - An attack was carried out against the Ahmadiyah mosque on 20 April 2012 in Singaparna, Tasikmalaya, West Java. Reports indicate that the perpetrators were the Islamic Defenders Front (Front Pembela Islam, FPI).
Police were on scene at the location of the attack, yet they did not take any adequate measures to prevent the it.
One witnesses said the police and other state officials had been notified about the plan of FPI to come to the mosque a day before the villagers about this. A platoon of police were present while the attack occurred.
Indonesia is a state party to the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) and it should take these moral, legal obligations very seriously.
The 1945 Constitution of Indonesia guarantees the right of anyone, without exception, to freedom of religion. The interpretation of these rights should be in accordance with the international human rights standard.
In spite of these national laws, attacks towards the Ahmadiyah seem to be encouraged and justified with the issuance of policies that prohibit any religious activities of Ahmadiyah in Indonesia.
Attacks towards the Ahmadiyah seem to be encouraged and justified with the issuance of policies that prohibit any religious activities of Ahmadiyah in Indonesia.


May 11,2012

Mr. Suryadharma Ali
Minister of Religion Affairs
Jl. Lapangan Benteng Barat No. 3-4
Jakarta 10710
INDONESIA
Fax: +62 21 381 2306
E-mail: pinmas@kemenag.go.id, dumas@kemenag.go.id
Dear Minister of Religion Affairs,
I am William Nicholas Gomes, Human Rights Ambassador for Salem News.com. I am writing to voice my deep concern regarding the attack towards the Ahmadiyah mosque named Baitul Rahim in Singaparna, Tasikmalaya, West Java. I was informed that the attack was allegedly performed by the Islamic Defenders Front (Front Pembela Islam, FPI) on Friday, 20 April 2012. I am disturbed to learn that, before and during the attack, the police was present at the location yet did not take any adequate measures to prevent the attack. According to one of the witnesses, the police and other state officials were aware about the plan of FPI to come to the mosque a day before and they even informed the villagers about this. I was also told that at around 8 in the morning of 20 April 2012, one platoon of police was deployed to the mosque.
I was informed that, initially, the FPI’s intention in visiting the mosque was to put a banner which reads that the local residents reject the presence of Ahmadiyah as well as its activities in their area. The leader of the group came to Baitul Rahim mosque also delivered a speech which basically asserted that the mosque should be closed down, in accordance with the 2008 Joint Regulation of the Indonesian Minister of Religious Affair, the Attorney General and the Indonesian Home Minister as well as the West Java Governor’s Regulation concerning the prohibition of Ahmadiyah’s religious activities. Soon after he ordered the group to make sure that the mosque had been sealed, the members of FPI started smashing the windows of the mosque. The leader’s persuasion not to commit any violence was simply ignored and the members of the group kept destroying the lamp, water tab and the TV aerial of the mosque. Three Molotov bombs were also thrown into the mosque which started a fire. The police were present during the attack yet they did not take any measures until the mosque had been severely damaged.
I am aware that, under the Law No. 2 Year 2002 concerning the Indonesian National Police as well as the Chief of the Indonesian National Police No. 8 Year 2009, the police in Indonesia are obliged to ensure and protect the safety of every individual within the Indonesia territory and jurisdiction. I have also learned that, in so doing, the police have to respect the non-discrimination principle. I am therefore concerned with the fact that, in this case, the police have failed to protect the security of Ahmadiyah group in Singaparna by not taking adequate measures to prevent and stop the attacks directed by FPI against the Ahmadiyah’s Baitul Rahim mosque.
I would also like to emphasise that the 1945 Constitution guarantees the right of anyone, without exception, to freedom of religion. Bearing in mind that Indonesia is a state party to the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), the interpretation of such right should be in accordance with the international human rights standard. The term ‘religion’ under such right should be understood in a broad sense. In General Comment No. 22, the UN Human Rights Committee upholds that the term ‘religion’ does not refer only to traditional religions or religions with institutional characteristics or practice analogous to those of traditional religions. The Committee, therefore, ‘views with concern any tendency to discriminate against any religion or belief for any reason, including the fact that they are newly established, or represent religious minorities that may be the subject of hostility on the part of a predominant religious community.’ Based on such interpretation concerning freedom of religion, I believe the 2008 Joint Decree and West Java Governor Regulation No. 12 Year 2011 which prohibit any religious activities of the Ahmadiyah members are in violation of the right to freedom of religion.
Under the Law No. 2 Year 2002 regarding the Indonesian National Police, one of the main duties of the police is to provide protection to any members of society. Article 14 paragraph (1) point i of the law specifically establishes that the police is obliged to protect life, properties, the society and the environment from any kind of attacks or disruptions. In exercising such duty, the police have to respect human rights principles, one of which is the prohibition of discrimination. The Chief of the Indonesian National Police’s Regulation No. 8 Year 2009emphasises this by stating in one of its articles that ‘in accordance with the principle of respect for human rights, every INP member in discharging his/her duties or in the course of their daily lives must protect and respect human rights, or at least… act justly and non-discriminatory’.
However, this obligation is rarely fulfilled by the police when it comes to cases regarding attacks towards the Ahmadiyah communities in Indonesia. A local NGO, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Institute for Policy Research and Advocacy, ELSAM) reported that Ahmadiyah is the most persecuted religious groups in Indonesia. In 2011, 54% of freedom of religion cases in Indonesia is concerning the Ahmadiyah. The full report in English can be downloaded in here. Despite this fact, those who committed violence against the Ahmadiyah is hardly punished proportionately. Twelve people who beat three Ahmadiyah members to death last year were only sentenced to less than a year imprisonment. In other cases, the perpetrators are just simply got off scot-free.
Attacks towards the Ahmadiyah seem to be encouraged and justified with the issuance of policies that prohibit any religious activities of Ahmadiyah in Indonesia. In 2008, the Indonesian Minister of Religious Affair, the Attorney General and the Indonesian Home Minister issued a joint decree banning any religious activities of Ahmadiyah in Indonesia. One of the points established in the joint decree is that the members of Ahmadiyah are prohibited to disseminate any interpretation and religious activities which are not in accordance with the mainstream Islam’s teachings otherwise they will be punished for religious blasphemy, in accordance with laws. Such joint decree influenced the issuance of the Governor of West Java Regulation No. 12 Year 2011 three years later which does not only reaffirm the 2008 Joint Decree but also provides more detailed prohibition of Ahmadiyah’s activities in West Java. For instance, according to Article 3 paragraph (2) of the Governor Regulation, the prohibited activities include the dissemination of Ahmadiyah’s teachings in any forms, the using of any Ahmadiyah’s attributes and the establishment of Ahmadiyah’s name boards.
For these reasons, I am urging you to take all the necessary measures to ensure those who are responsible for the attack towards the Baitul Rahim mosque are proportionately punished. The police and other relevant institutions who conduct investigation and examination on this case have to be impartial and do not have any prejudice against the Ahmadiyah which may undermine the settlement of the case. I am also urging you to ensure that all discriminatory laws, policies and practices are repealed and eliminated to stop Indonesia from breaching its human rights obligations and its own constitution.
Your swift and effective response on this matter is requested.

Yours sincerely,
William Nicholas Gomes
Human Rights Ambassador for Salem News.com
www.williamgomes.org
______________________________
Salem-News.com Human Rights Ambassador William Nicholas Gomes is a Bangladeshi journalist, human rights activist and author was born on 25 December, 1985 in Dhaka. As an investigative journalist he wrote widely for leading European and Asian media outlets.
He is also active in advocating for free and independent media and journalists’ rights, and is part of the free media movement, Global Independent Media Center – an activist media network for the creation of radical, accurate, and passionate telling of the truth. He worked for Italian news agency Asianews.it from year 2009 to 2011, on that time he was accredited as a free lance journalist by the press information department of Bangladesh. During this time he has reported a notable numbers of reports for the news agency which were translated into Chinese and Italian and quoted by notable number of new outlets all over the world.He, ideologically, identifies himself deeply attached with anarchism. His political views are often characterized as “leftist” or “left-wing,” and he has described himself as an individualist anarchist.

Retrieved from: http://www.salem-news.com/articles/may112012/ahmadiyya-mosque-wg.php

Thursday, May 10, 2012

'Apa Salah Kami?’

Indoprogress, 6 Juni 2011

Fahri Salam, Penulis Lepas

CISALADA sebuah perkampungan tipikal provinsi Jawa Barat. Ia dikelilingi sawah dan kebun, sekira 20 kilometer dari kota Bogor. Warga bekerja petani, sebagian pensiunan. Kehidupan berjalan tenang dan lambat. Menjelang sore, anak-anak bermain di lapangan bulutangkis, sebelah madrasah, dan bersama orangtua menuju masjid guna ibadah maghrib. Suasana terlihat normal, sampai kemudian, di tengah meningkatnya kekerasan minoritas agama, warga Cisalada berselimut ketakutan dalam arus kebencian anti-Ahmadiyah saat penyerangan awal Oktober 2010.

Para penyerang dari dua kampung tetangga, tak lebih 500 meter. Mulanya 30-an remaja, usia 14-17 tahun, berusaha membakar masjid tapi segera dihentikan warga Cisalada. Lantas, disulut isu membela diri atau sudah dirancang sebelumnya, 300-an orang dewasa berdatangan dan menjadikan Cisalada panggung parade kebencian.

Mereka melempar batu dan bom molotov. Mereka membakar sebagian rumah dan bangunan masjid, isi rumah dijarah, kaca jendela pecah, pintu dirusak. Sekira 50 Al-quran dilalap api. Madrasah dibakar. Mereka teriak: “Podaran!” “Ahmadiyah anjing!” seraya takbir—di sisi serupa warga Cisalada mengucapkan “Astaghfirullah” sembari sembunyi di kebun belakang rumah atau lari ke sawah. Pada akhirnya, polisi dari kantor terdekat, sekira 20 menit dari lokasi kejadian, datang dua jam kemudian. Itu sangat terlambat. Alasan polisi: jalan diblokade. Hingga tengah malam api masih berkobar sejak prakarsa serangan dimulai pukul 19:00. Saat bersamaan pula saluran air dari sumber telaga dimatikan lebih dulu.

Ini hempasan balik relasi sosial yang hancur berantakan seketika. Warga Cisalada sulit percaya. Mereka terus mengatakan, “Apa salah kami?” dan menambahkan, “Sebelumnya hubungan kami baik-baik saja.” Kekerasan kian menjadi-jadi ketika presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengizinkan menteri agama, menteri dalam negeri dan jaksa agung, meneken surat keputusan bersama anti-Ahmadiyah 2008. Alih-alih mengurangi kekerasan, surat keputusan pelarangan itu justru mendorong intensitas persekusi terhadap muslim Ahmadiyah.

Sejak beleid itu diterbitkan, dokumentasi Setara Institute, lembaga nonpemerintah yang mengkaji kebebasan beragama, menulis jumlah kekerasan terhadap Ahmadiyah melonjak 286 kasus dalam kurun 2007 hingga Agustus 2010. Ini ditopang lemahnya penegakan hukum di Indonesia yang koruptif. Para pengikut Islam garis keras, benih yang ditanam tahun 1970-an, mengonsolidasikan diri lewat mobilisasi vertikal dalam saluran mesin birokrasi dan lembaga legislatif. Momentumnya sangat tepat di era transisi yang gampang goyah, bahkan sesudah 13 tahun euforia jatuhnya pemerintahan militer Soeharto pada 1998. Muslim Ahmadiyah Indonesia menjadi sasaran yang seakan mudah dibidik.

Sikap pemerintahan Yudhoyono, yang memberi ruang lebih besar bagi ekspresi politik intoleran, telah membawa kehancuran permanen mitos “Indonesia negara muslim terbesar yang demokratis.” Kenyataan bahwa presiden “membuka pintu hati, pikiran kami,” untuk menampung “pandangan, rekomendasi dan fatwa” dari MUI, sembilan bulan setelah dia dilantik, menjelaskan arah kebebasan beragama di negara ini. Terkesan tanpa memerhitungkan implikasi dari sikap tersebut, kita menyaksikan kekerasan demi kekekerasan terhadap minortas agama bersama pelanggaran hak sipil dan politik yang lain.

Mari melihat dari jarak terdekat. Sekira 300 muslim Ahmadiyah di Lombok, terpaksa mengungsi sejak gelombang pengusiran 10 tahun terakhir. Sekira 36 kepala keluarga mengungsi di Transito, sebuah bangunan pemerintah di Mataram. Mereka hidup sebagai internally displaced persons. Anak-anak terpaksa terhenti kegiatan sekolahnya, sebagian ditampung orangtua asuh di Jawa Barat, betapapun ejekan dan kecemasan terus menguntit. Ironisnya, Jawa Barat, yang memiliki sejarah gerakan negara Islam, adalah wilayah dengan jumlah pelanggaran tertinggi untuk kasus intoleransi kebebasan beragama. Tak satu pun para pelaku serangan di Lombok dihukum serius.

Pola itu terus berulang. Massa yang jauh lebih besar dihasut lewat seni menebar kebencian. Ia juga digerakkan organisasi Islam berpandangan Wahhabisme, yang memobilisasi penyerangan kantung-kantung komunitas muslim Ahmadiyah. Kebencian terhadap Ahmadiyah meluas sekaligus menajam. Di bawah payung fatwa “sesat” Majelis Ulama Indonesia pada 2005, sebuah lembaga semipemerintah, plus SKB anti-Ahmadiyah, mereka bertindak dalam semangat kebal hukum.

Dari setiap peristiwa persekusi itu aparat kepolisian melakukan pembiaran, bahkan lebih sering meminta komunitas Ahmadiyah untuk mengungsi; bukan mengusir para penyerang. Namun polisi menolak anggapan tak bekerja serius. Itu terjadi pada 2005, sewaktu penyerangan di Parung, pusat kegiatan Ahmadiyah, hingga serangan dua jam di Cisalada. Tak sedikit kasus yang melibatkan pejabat lokal.

Negara abai melindungi muslim Ahmadiyah selain mengukum para pelaku kekerasan. Sebuah gelembung anti-Ahmadiyah kian membesar. Dampak seterusnya ialah pembunuhan terhadap tiga Ahmadi—sebutan muslim Ahmadiyah—di Cikeusik pada 6 Februari 2011. Ia adalah bom waktu.

Itu siklus kekerasan yang jauh lebih mematikan. Para penyerang, berjumlah 1,500-an, datang bergelombang dari dua arah. Melihat sasaran rumah yang semula “dikosongkan” tapi kemudian berisi 20-an pemuda Ahmadi, lantas melakukan pembelaan diri, mereka mengobarkan balasan serangan lebih massif. Selain tiga korban tewas, lima orang terluka, sebuah rumah dihancurkan dan dua mobil dibakar. Seorang warga Cikeusik turut menjadi korban luka. Kini 12 tersangka dari pihak penyerang menjalani proses sidang. Sementara seorang muslim Ahmadiyah ditetapkan tersangka, sinyalemen viktimisasi terhadap korban, pola serupa untuk kasus Cisalada.

Sejak Jemaat Ahmadiyah Indonesia hadir pada 1925 semasa Hindia Belanda hingga kemudian berbadan hukum pada 1953, belum pernah kekerasan itu terjadi “sistematik dan meluas” seperti yang terjadi dalam sepuluh tahun terakhir. Itu indikasi adanya unsur utama “kejahatan terhadap kemanusian,” menurut laporan sementara Komnas HAM 2002-2007. Ia membutuhkan perhatian serius dari sebagian besar masyarat Indonesia, bila tak jatuh dalam situasi lebih menyulitkan seperti Pakistan. Banyak pandangan beranggapan kecenderungan menyeluruh intoleransi kebebasan beragama di Indonesia, kini menuju apa yang dinamakan ‘Pakistanisasi.’ Ada hubungan ideologi yang spesifik dan jelas antara organisasi anti-Ahmadiyah di Indonesia dan Pakistan.

Sekarang “sebatas” peraturan bersama anti-Ahmadiyah, plus sekurangnya 19 peraturan daerah di bawahnya. Lain waktu—jika kita berdiam diri, tak menutup peluang tekanan keyakinan Ahmadiyah “di luar Islam” diakomodasi lewat undang-undang. Sementara pesan itu telah mengisi mimbar kebencian anti-Ahmadiyah, dalam batas tertentu media-media turut mengobarkannya.

Ada sedikit informasi proporsional tentang muslim Ahmadiyah. Media mengedepankan “realitas psikologis,” mengutip ujaran memojokkan dari para pejabat dan tokoh radikal Islam terhadap Ahmadiyah, tanpa sikap menapis kesalahan tersebut. Media juga melakukan swasensor dengan menyebut “bentrokan” ketimbang “penyerangan.” Wartawan bersikap bias. Banyak contoh pemberitan tentang muslim Ahmadiyah justru terperangkap dalam strategi sensasional organisasi-organisasi Islam militan.

Kini taruhannya adalah demokrasi itu sendiri. Selagi media-media meliput kejadian besar tentang pembunuhan di Cikeusik, berselang dua hingga tiga minggu yang lekas ditinggalkan, kasus serangan di Cisalada belum sepenuhnya surut. Polisi menahan tiga tersangka dari pihak penyerang. Mereka dikenakan tahanan rumah dan, pada vonis persidangan di pengadilan negeri Cibinong, mereka dihukum ringan 4-6 bulan; seketika itu masa hukuman telah selesai. Sementara seorang terdakwa, bernama Nuryamin, harus menjalani tahanan, dua hari setelah serangan. Ia diduga menusuk seorang penyerang, remaja usia 15 tahun. Pada 18 April 2011, hakim memvonis 9 bulan penjara. Jaksa mengajukan banding.

Pada sidang-sidang itu massa pengunjung melewati rumah-rumah Ahmadi di komunitas lebih kecil di sekitar Cisalada. Pada pusaran menentukan, serangan itu menyisir. Hanya satu kilometer dari Cisalada, kampung komunitas kecil Ahmadi itu diserang. Pada 12 Maret ancaman menjalar. Esoknya, pukul 20:30, serangan pertama. Pada 16 Maret, serangan kedua. Akhirnya, melibatkan tokoh kyai berpaham Wahhabi serta tokoh lokal setingkat RT, ancaman lebih serius menguat. Pada 5 April, selagi 5 rumah itu sudah dikosongkan, serangan ketiga terjadi, pukul 23:30. Hingga akhir Mei, saat saya mengunjungi 28 pengungsi, termasuk anak-anak, mereka belum dapat kembali. Tawarannya satu: mereka boleh ke rumah masing-masing asalkan “pindah dari Ahmadiyah.”

Saya bertemu dengan seorang korban serangan tersebut. Ia mengajak saya mendatangi rumahnya pada siang hari. Ada tulisan “Ahmadiyah Anjing” di tembok warung kelontong miliknya. Itu warung menjadi sumber pendapatan keluarga dia. Dia sulit percaya: “Apa salah kami?”***

Retrieved from: http://indoprogress.com/2011/06/06/apa-salah-kami/

Wednesday, May 2, 2012

Attacks against the Ahmadis are new


The Jakarta Post   |  Tue, 05/01/2012 3:00 PM  |  Opinion