Friday, May 25, 2012

Prof. Dr. Amin Abdullah, MA: Sekarang, Harus Ada Fiqh Toleransi ….

Islamlib.com, 22/09/2002
Oleh Redaksi
Memang, sikap toleran dan bersedia menenggang perbedaan di antara kita seringkali hanya diasosiasikan kepada umat beragama yang berbeda. Akibatnya, terjadi defisit toleransi dan rasa tepo seliro di antara internal umat beragama ketika sikap tersebut hanya didefinisikan kepada umat di luar agamanya. Peristiwa tragis yang dialami umat Ahmadiyah ini menunjukkan masih minusnya rasa saling menghargai keberbedaan di antara umat Islam sendiri.
Minggu lalu, terjadi peristiwa pengusiran besar-besaran umat Ahmadiyyah di Lombok Timur. Tak hanya itu, rumah, mesjid dan harta benda mereka dibakar dan dirusak. Mereka diberi dua pilihan : keluar dari Lombok atau kembali pada Islam yang “benar”. Ahmadiyyah adalah bagian dari umat Islam. Dan yang memberikan pilihan itu juga umat Islam.
Memang, sikap toleran dan bersedia menenggang perbedaan di antara kita seringkali hanya diasosiasikan kepada umat beragama yang berbeda. Akibatnya, terjadi defisit toleransi dan rasa tepo seliro di antara internal umat beragama ketika sikap tersebut hanya didefinisikan kepada umat di luar agamanya. Peristiwa tragis yang dialami umat Ahmadiyah ini menunjukkan masih minusnya rasa saling menghargai keberbedaan di antara umat Islam sendiri.
Untuk mengulas persoalan perbedaan dan toleransi intra-Islam, Komunitas Islam Utan Kayu (KIUK) kali ini mewawancarai Prof. Dr. Amin Abdullah, Rektor IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan juga ‘Amir Ahmadiyah se-Indonesia KH Abdul Basith, yang berlangsung di Radio 68H pada 19 September 2002. Berikut petikannya:

Bisakah Anda menceritakan kronologi peristiwa di Lombok Timur?
KH Abdul Basith (AB): Sebetulnya peristiwa ini ada kaitannya dengan seminar mengenai Ahmadiyah yang diadakan oleh satu kelompok di Masjid Istiqlal, Jakarta. Seminar itu mendiskreditkan dan mengutuk Ahmadiyah. Hasil seminar itu sendiri dimuat di Sabili dengan judul “Menggulung Ahmadiyah”.
Saya perlu klarifikasi dulu sedikit bahwa semua tuduhan itu tidak benar sama sekali. Kita ini orang Islam juga. Rukun iman kita sama, rukun Islam juga sama, percaya kepada Tuhan yang sama, rasulnya juga Muhammad Saw. Begitu juga dengan salat dan ibadah hajinya. Dua tahun yang lalu saya juga ibadah haji. Bukan ke mana-mana, ke Mekkah juga. Jadi apa yang dituduhkan dalam seminar itu, termasuk bahwa kita punya kitab suci sendiri, itu tidak benar. Kami juga merujuk ke Alquran.
Menurut Anda, apakah peristiwa perusakan aset dan pengusiran warga Ahmadiyah itu terkait dengan seminar yang diselenggarakan sebelumnya?
AB: Saya kira itu hanya satu faktor pemicu (trigering factor) saja. Sebetulnya mereka sedang mempunyai rencana yang panjang. Karena, kalau cuma perbedaan paham seperti yang dituduhkan mereka, orang-orang Ahmadiyah yang ada di Lombok ini adalah orang-orang yang sudah 30-an tahun sudah berada di sana. Mereka orang lokal, bekerja di sana, lahir di sana dan bermasyarakat. Bagaimana bisa mereka tiba-tiba terusir karena dianggap akidahnya berbeda dan eksklusif.
Ada informasi bahwa Ahmadiyah ini secara resmi dilarang oleh Kejagung. Betulkah itu?
AB: Tidak ada sama sekali pelarangan itu. Kita berbadan hukum. Itu artinya kita sah di wilayah manapun di seluruh Indonesia. Kita punya bukti itu, dan dari dulu kita juga tidak pernah berbuat kerusuhan.
Atau mungkin pernah dilarang di salah satu daerah?
AB: Barangkali dilarang dalam artian tidak boleh melakukan kegiatan. Sebagai lembaga, kita tidak pernah dilarang. Karena kegiatan yang kita buat di setiap daerah berupa ibadah, salat Jumat, tahajud bersama, tarbiyah. Apanya yang perlu dilarang? Dalam melakukan dakwah pun kita tidak pernah memaksakan kehendak kita, tidak pernah memaksakan kebenaran kita.
Kekerasan di Lombok ini apakah pertama kalinya terjadi terhadap Ahmadiyah? Apakah sebelumnya sudah pernah ada?
AB: Ada. Tahun lalu juga di Sambieleh, tidak jauh dari sana, sehingga ada satu orang yang meninggal.
Saya ingin bertanya ke Pak Amin. Bagaimana Anda melihat masalah seperti ini? Ada kelompok yang tidak suka kepada kelompok lain dalam Islam, lalu memberangus, merusak dan sebagainya.
Amin Abdullah (AA): Ini bisa dilihat dari berbagai sudut. Mengapa itu terjadi? Karena mungkin pengajaran agama kita selama ini memang berorientasi pada agama itu sendiri, dan lebih kecil lagi kelompoknya sendiri. Akibatnya, amat sangat jarang melihat kelompok lain. Pada akhirnya agak sulit, kalau melihat orang lain imagenya bukan as human being, tapi the others, atau bahkan musuh. Apalagi kalau kemudian dibumbui dengan emosi keagamaan.
Nah, emosi keagamaan itu juga macam-macam, tergantung kelompoknya masing-masing. Maka di situlah sebenarnya perlunya melihat lagi corak pendidikan yang ada di tanah air, menghadapi berbagai isu. Apalagi seperti warga Ahmadiyah yang Lombok Timur tadi disebut sudah 30-an tahun berada di sana.
Tapi nampaknya akhir-akhir ini hal-hal semacam itu makin menonjol. Agaknya mereka susah sekali menerima perbedaan itu.
AA: Ya, itu sebagai produk dari pendidikan yang sekian lama. Jadi bukan fenomena dadakan sekarang. Ini hasil dari proses yang sudah lama dan kita menuai “buahnya” sekarang ini. Maka kalau persiapan untuk hasil ke depan, sekarang ini juga harus ada pemikiran-pemikiran fiqh toleransi. Fiqh toleransi itu ‘kan lebih banyak pada cara berpikir, cara bergaul, cara berinteraksi. Di sini jelas ada kaitan dengan ilmu sosial juga.
Pak Basith, menurut Anda, bagaimana sikap yang tepat untuk memahami perbedaan dalam umat Islam sendiri, atau dalam umat secara keseluruhan?
AB: Ada satu hal prinsip yang diajarkan oleh Rasulullah Saw, malah dalam Alquran Allah juga berfirman; Ta’awanu ‘ala al-birri wa al-taqwa, wala ta’awanu ‘ala al-itsmi wa al-‘udwan; bekerja samalah dalam kebaikan dan taqwa, bukan dalam dosa dan kejahatan. Itu prinsip yang sangat agung sekali untuk memelihara umat ini.
Oleh karena itu saya berpendapat bahwa perbedaan pendapat di dalam umat; di antara umat Islam sendiri, atau antara umat Islam dengan umat yang lain, ini memang satu gejala yang memang terjadi di mana-mana, normal saja. Dan saya melihat bahwa di antara umat ini ada yang positif sifatnya, ada yang baik. Kenapa tidak kita satukan, kita kembangkan potensi yang baik ini untuk kemaslahatan, untuk kebaikan umat. Kalau hanya memikirkan perbedaannya itu justru akan merugikan kita sendiri, karena susah mempersatukan pendapat dalam satu wadah, apalagi seperti di Indonesia sekarang ini.
Bagaimana dengan penilaian beberapa pihak yang menganggap bahwa Ahmadiyah juga merasa dirinya eksklusif dan enggan bergaul dengan yang lain?
AB: Barangkali begini. Kita tidak pernah menyatakan bahwa kitalah yang paling benar, karena kebenaran hakiki hanyalah ada pada Allah Swt. Barangkali kesan eksklusif ini muncul karena setiap kita mau kerjasama selalu ditolak. Padahal kita tidak eksklusif. Malah kebijakan saya selama satu tahun menjabat sebagai Ketua Umum atau Amir Ahmadiyah Indonesia ini justru Ahmadiyah harus mengembangkan segi-segi kemasyarakatan yang lebih. Ini pekerjaan rumah bagi saya dan jajaran staf Ahmadiyah untuk memperkenalkan lebih banyak lagi kepada masyarakat. Karena saya rasa, reaksi-reaksi yang muncul di daerah-daerah banyak yang karena nggak paham, tidak mengerti.
Apakah mungkin ada satu-dua kasus, karena kelompok Anda ini kecil, lalu tertutup sehingga dianggap eksklusif oleh orang lain?
AB: Di mana-mana sebetulnya kita terbuka. Tapi mungkin juga ada satu-dua kasus seperti itu. Secara umum, ini mungkin bisa jadi PR (publik relation)  kita supaya jemaah-jemaah kita di daerah-daerah lebih membuka diri. Jadi jangan sampai nanti ada kesan eksklusif. Oleh karena itu dalam rencana kerja kita ini kita lebih menekankan kepada yang sifatnya bakti sosial.
Kita punya jaringan, misalnya pengobatan alternatif, dan kita sudah ada di 130 cabang. Ini bisa memberikan bantuan ke masyarakat. Kita menerima ribuan pasien tiap bulan. Jadi saya menekankan kepada seluruh jemaah untuk melakukan hal-hal positif ke masyarakat sehingga kesan eksklusif ini tidak ada. Jangan lupa, donor mata terbesar di Indonesia disumbangkan oleh warga Ahmadiyah.
Kemudian yang kedua, cobalah di antara umat kita ini mengambil hal-hal yang positif tadi. Karena dengan mengumpulkan potensi positif ini kita bisa memberikan faedah dan sumbangsih kepada masyarakat Indonesia.
Misalnya kalau ada orang menganggap bahwa Anda punya masjid sendiri, tidak mau salat dengan orang lain, apakah itu betul?
AB: Tidak. Masjid kita ini didirikan untuk salat. Kita mendirikan tempat-tempat ibadah, dan itu milik Allah. Kita hanya membangun. Siapa saja boleh datang. Tidak usah jauh-jauh, masjid kita di Atmosukarto Jl. Bogowonto, itu hampir setengah jamaahnya orang-orang luar, orang lain. Begitu juga di tempat-tempat lain.
Insya Allah kami dari jamaah Ahmadiyah akan selalu membuka diri untuk dialog dengan cara-cara yang bijaksana, persuasif, dan selalu terbuka. Dan ini juga yang dilakukan oleh Rasulullah Saw; ketika beliau tabligh, menyampaikan amanat beliau, itu selalu dengan cara berdialog. Cara seperti itu yang, saya kira, tidak akan membawa keributan.
Pak Amin, bagaimana menurut Anda soal eksklusivisme dalam beragama?
AA: Ada dua hal yang perlu diingat. Yang pertama, perbedaan itu sebetulnya sunnatullah. Antara satu dengan lain pasti beda. Antara bapak dan ibu dalam satu keluarga saja berbeda. Karena itu yang menjadi penyakit ‘kan ketika menjadi eksklusif tadi yang memunculkan ketertutupan.
Kalau mau kembali ke Alquran, Allah sendiri berfirman: “janganlah kamu berlebih-lebihan dalam beragama”; la tadzlu fi dinikum. Tapi berlebih-lebihan ‘kan tidak hanya dalam minoritas, yang besar juga bisa eksklusif.
Menyangkut ukhuwah Islamiyah acapkali didasarkan pada Alquran dan hadis. Selama ini Ahmadiyah dianggap percaya adanya nabi sesudah Nabi Muhammad sehingga muncul penilaian bahwa mereka tidak layak “dihormati”?
AA: Saya kira, namanya ukhuwah Islamiyah memang dasarnya Alquran dan sunnah. Dalam hal ini semua umat Islam sepakat. Tetapi ketika jatuh pada tataran interpretasi, itu bisa berbeda-beda. Ketika beda-beda itulah toleransi itu diperlukan. Justru ukhuwah itu diperlukan karena ada perbedaan, bukan karena dasarnya sama, Alquran dan sunnah.
AB: Menurut saya, Ahmadiyah tidak pernah merasa paling benar sehingga berhak untuk mengatakan kelompok lain sebagai sesat atau kafir. Seingat saya, kami tidak pernah mengkafirkan orang lain. Itu pertama. Yang kedua, masalah interpretasi tadi. Kita berdasar Alquran dan Sunnah. Perbedaan interpretasi terhadap keduanya inilah yang membuat kita harus menyikapi dengan jiwa besar.
Jadi Anda ingin mengatakan bahwa perbedaan interpretasi dalam Islam ini sah-sah saja?
AB: Ya, sah-sah saja. Jadi seperti yang dikatakan Pak Amin tadi, di situlah kebesaran hati kita untuk melihat dan menghargai pendapat orang lain.
Pak Amin, bagaimana Anda melihat tudingan saling mengkafirkan di antara umat Islam?
AA: Kalau isu pengkafiran (takfir) ini memang isu yang sudah sejak zaman dulu. Literatur Islam selama 500 tahun itu isinya cuma kafir-mengkafirkan. Sekarang frekuensinya malah lebih, karena lebih sophisticated, lebih kompleks. Maka jargon itu sebetulnya secara akademik harus dilihat lebih jernih. Kita ingat debat al-Ghazali sama Ibn Rusyd dulu, kata-kata pengkafiran itu juga sudah muncul. Kaum Khawarij sejak lama mengintrodusir kata itu untuk membenarkan tindakannya.
Bagaimana sikap Ahmadiyah terhadap kelompok-kelompok lain yang ada dalam umat Islam sendiri?
AB: Kita tidak pernah mengkafirkan, karena mereka adalah umat Muhammad yang percaya kepada Rasulullah Saw dan Alquran. Oleh karena itu kalau dituduhkan bahwa kita mengkafirkan umat Islam, itu tidak benar. Mereka justru adalah kawan yang menjadi tempat dialog. Sikap itu yang harus dikembangkan di antara umat. Kalau tidak, umat ini akan porak-poranda.
Pak Amin, anda tadi bicara soal pendidikan agama di masa mendatang yang harus mengembangkan visi keterbukaan. Bagaimana hal itu digunakan untuk mengakhiri kafir-mengkafirkan ini?
AA: Ya, salah satu harapan ya memang pendidikan, meskipun itu jangka waktunya panjang. Tetapi kalau kita bisa menganggap kanan-kiri kita, saudara kita, sebagai kawan dalam perjalanan, bukan musuh dalam perjalanan, saya kira itu bagus. Maka dalam kaitan dengan pendidikan ini, saya kira semua lapisan umat, khususnya lapisan intern umat Islam, memerlukan model-model edukasi yang lebih kondusif kepada era keterbukaan. []

Retrieved from: http://islamlib.com/id/artikel/sekarang-harus-ada-fiqh-toleransi

No comments:

Post a Comment