Wednesday, May 23, 2012

Hidup Bersama Ahmadiyah

Dewi Nova Wahyuni
Voice of Human Rights, 22 Februari 2011



Jika negara berani mewujudkan kesetiaan  pada sejarah berbangsa 
dan konstitusi, ada banyak cara untuk hidup bersama

Tiga warga dibunuh dalam penyerangan atas nama agama di Kampung Pasir Peuteuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Minggu (6/2). Penyerangan brutal ini membuat publik menoleh pada Banten.

Secara geografis, Provinsi Banten, terutama Kabupaten Tangerang, merupakan wilayah penyangga ibu kota negara. Provinsi di ujung barat Pulau Jawa ini juga merupakan jalur penghubung antara Jawa dan Sumatera. Setiap hari pergerakan daya ekonomi antara dua pulau melintasi provinsi ini.

Jauh sebelum suku-suku bangsa dan berbagai cara pikir nusantara bersepakat mendirikan Republik Indonesia, Banten telah menjadi pelabuhan besar di Asia Tenggara di bawah Kesultanan Banten, setara dengan Malaka dan Makassar.

Dalam sejarah panjangnya, Banten pernah menjadi tempat pertemuan bangsa-bangsa, pertemuan ragam tata cara hidup. Hingga hari ini Provinsi Banten menjadi penghubung ragam budaya Sumatera - Jawa. Hal ini bisa dirasakan pada keunikan bahasa Sunda-Jawa di Banten, dengan kolaborasi bahasa suku-suku bangsa di Sumatera, yang berbeda dari bahasa Sunda di tatar Priangan dan bahasa Jawa suku Jawa di Jawa Tengah dan Jawa Timur. 


Lalu bagaimana pembunuhan atas nama perbedaan penafsiran berislam bisa terjadi di provinsi yang memiliki sejarah panjang belajar hidup beragam? 

Perusakan Hidup Bersama
Pada dunia yang mengglobal, Banten tak bisa membangun sendiri tata cara hidup bermasyarakat dan bernegaranya. Banten memberikan pengaruh terhadap ibu kota negara yang disangganya, dan Pulau Sumatera - Jawa yang distribusi ekonominya bergantung pada provinsi ini. Di sisi lain, Banten juga juga dipengaruhi kondisi sosial politik keindonesiaan. Surat keputusan bersama tiga menteri (Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama) tentang Ahmadiyah, puluhan peraturan daerah yang intoleran terhadap Ahmadiyah, dan lemahnya perlindungan negara terhadap warga negara adalah tiga dari banyak alasan yang mengakibatkan kemunduran adab bermasyarakat di Cikeusik. 

Apakah penyerangan di Cikeusik tetap akan terjadi, jika puluhan penyerangan di Lombok, Parung, Cianjur, dan tempat lain terhadap Jamaah Ahmadiyah dapat diantisipasi oleh intelijen negara? Dan, setelah insiden, pelaku ditindak tegas secara hukum? 

Komnas HAM mencatat, sepanjang tahun 2007 - 2008 terjadi 342 penyerangan dan intimidasi yang tidak diproses secara hukum oleh negara. Penyerangan di Cikeusik mendorong Komnas HAM mendesak Presiden memerintahkan segenap aparatnya menjamin keamanan dan ketenteraman warga negara, terutama kelompok minoritas beragama dalam memilih dan menjalankan agama dan keyakinannya.

Terkait lemahnya perlindungan keamanan, LBH Jakarta mencatat empat level keterlibatan polisi dalam penyerangan terhadap Ahmadiyah selama 10 tahun terakhir (2001-2011). Pertama, infliction, yaitu memaksa seseorang mengalami pengalaman pahit. Hal itu terjadi pada perusakan masjid dan rumah di Manis Lor, Kuningan, Jawa Barat,  2010. Kedua, instigation, yaitu mendorong atau menganjurkan. Hal ini terjadi pada penyerangan di Parung, yaitu massa penyerang menggunakan mobil polisi saat penyerangan. Ketiga, consent, persetujuan atau izin. Hal ini terjadi pada  penyerangan di Lombok tahun 2002. Aparat yang tergabung dalam Muspida dan Muspika memberikan persetujuan terhadap tekanan pihak yang merencanakan serangan. Keempat, acquiescence atau persetujuan diam-diam. Pada setiap peristiwa penyerangan dan pembakaran, anggota Polri berada di tempat kejadian dengan jumlah pasukan pengendali massa yang minim dan tanpa peralatan memadai.       

Publik tidak akan lupa, pada tahun 2005 Polres Mataram menyerah kepada massa sebanyak 9 truk yang meminta membebaskan 1 dari 5 tersangka perusakan. Pada 10 Februari lalu ratusan tokoh, ulama, dan Tim Pembela Muslim yang melakukan pertemuan di Rumah Makan Honje, Kabupaten Serang, meminta Polres Pandeglang membebaskan tersangka penyerangan Cikeusik yang ditahan di Polres Pandeglang. Sikap aparat hukum yang tidak mampu menegakkan hukum pada kasus sebelumnya menjadi preseden buruk bagi pencapaian keadilan di republik ini. Sekaligus menjadi bukti kelemahan negara, yang dipelajari kelompok pro-kekerasan untuk melestarikan cara kerja mereka.

Sebelum dan sesudah penyerangan-penyerangan tersebut, negara dan organisasi massa, yang celakanya tidak siap berbeda pandang dengan Ahmadiyah, telah merumuskan aturan dan kesepakatan yang mereka asumsikan sebagai aturan terbaik untuk menempuh hidup bersama. Surat Edaran Kejaksaan Agung terkait Ahmadiyah, SKB tiga menteri tentang Ahmadiyah, dan puluhan peraturan daerah di berbagai wilayah merumuskan aturan-aturan yang memposisikan Ahmadiyah sebagai pihak yang mesti mengalah pada keinginan arus utama.

Aturan-aturan tersebut lahir dengan semangat membatasi hak beragama Jamaah Ahmadiyah dan menutup pintu dialog kajian beragama antara Ahmadiyah dan Islam, arus utama. Majelis Ulama Indonesia berteguh pada semangat mempertobatkan Jamaah Ahmadiyah dengan opsi menempuh cara berislam sesuai MUI atau keluar dari apa yang mereka yakini sebagai lingkup agama Islam.

Apakah aturan-aturan negara tersebut dan fatwa ormas MUI menjadi sokongan yang baik bagi hidup berbangsa? Sebaliknya, aturan yang diskriminatif dan antidialog menjadi sumber idiologi bagi praktik kekerasan yang terus menyerang Jamaah Ahmadiyah. Bahkan, setelah penyerangan, aturan yang diskriminatif itu menjadi legitimasi untuk mencari-cari kekeliruan Jamaah Ahmadiyah. Bukti terakhir, ketika darah masih basah dan air mata belum kering, MUI bergegas melakukan penyelidikan. Bukan untuk menghasilkan kajian yang dialogis, saling menghormati, dan mendukung suasana damai, melainkan untuk menemukan apa kesalahan Ahmadiyah sehingga penyerangan Cikeusik terjadi!

Sebelum SKB tiga menteri disahkan, Komnas Perempuan pada 18 April 2008 meminta Presiden Yudhoyono menggunakan hak prerogratifnya untuk menghentikan penyusunan SKB tentang Ahmadiyah dan menegakkan kembali jaminan kebebasan beragama bagi semua warga negara, termasuk komunitas Ahmadiyah.

Suara Perempuan Ahmadiyah
Negara juga mesti mendengarkan suara perempuan Cikeusik yang harus berhadapan dengan situasi ini. Nayati, 35 tahun, menuturkan, “Waktu kejadian saya melihat dari jauh suami saya dipukuli, disabet celurit hingga kena pipi dan mukanya. Masya-Allah.” Dan sejak itu Nayati tidak pernah lagi melihat suaminya. Saat ini Nayati tinggal bersama anaknya yang masih kecil, dengan persediaan uang yang mulai habis. “Saya pernah berjualan obat-obat kecantikan, tapi nggak laku karena dimusuhi warga,” ujarnya. Bahkan, Nayati takut jika seminggu ke depan aparat Polri dan TNI tidak lagi berjaga-jaga di lokasi, dia bakal dibunuh warga (Radar Banten, 9/2/2011). 

Nayati adalah potret dari ratusan perempuan Ahmadiyah yang terus-menerus menjadi penopang dan pertahanan keluarga ketika penyerangan terjadi. Ada warga perempuan yang mengalami dikskriminasi berlapis karena peran gender dan keyakinan beragamanya. Warga perempuan kehilangan hak atas rasa aman, hak untuk penghidupan yang layak, hak untuk mengkases layanan publik. Apa yang sudah dilakukan negara kepada perempuan dan anak yang dikorbankan pada setiap peristiwa penyerangan? 

Pembentukan Hidup Bersama
Mengikuti talk show di statsiun televisi swasta antara Ahmadiyah, MUI, dan negara akhir-akhir ini, publik disuguhi dialog yang sesungguhnya tidak terjadi dialog. Ahmadiyah menghayati penafsirannya sebagai cara berislam, ormas MUI menghakiminya sebagai penodaan berislam, negara kehilangan arah di bagian mana mesti bersikap.

Bukankah penafsiran beragama adalah bagian dari privasi warga yang tidak boleh diatur oleh hukum negara? Kewajiban negara adalah melindungi hak dasar beragama setiap warga, seperti amanat konstitusi pada UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Hak-hak Sipil Politik. Negara juga mesti menjamin hidup beragama yang tidak mengkhianati cita-cita pembentukan Republik Indonesia.

Mengenang gagasan Bapak Bangsa, Soekarno, terkait perumusan Pancasila sebagai rekonsiliasi islamisme, nasionalisme, dan marxisme. Berislam dan bernegara, berislam di republik ini mesti bernasionalis, bersetia pada kebinekaan bangsa. Karena berislam yang intoleran tidak hanya mengikis identitas bangsa yang bineka, tetapi juga mengancam persatuan bangsa. Berislam di Banten mesti bersetia pada sejarah panjang pertemuan bangsa-bangsa dan tata cara hidup. Berislam di Indonesia mesti bersetia pada penghormatan kebinekaaan budaya, dinamika sejarah hidup bersama dari sejak dijajah kolonial hingga pemerintahan reformasi yang perlu perbaikan di sana-sini.

Di atas itu semua, jika beragama untuk kemanusiaan, mestinya setiap pertimbangan untuk mengatur hidup bersama Ahmadiyah dan umat minoritas mana pun didasarkan juga pada nilai-nilai kemanusiaan, seperti disepakati pada sila ke-2 kontrak berbangsa, Pancasila. Jika negara dan warga berani mewujudkan kesetiaan pada sejarah berbangsa dan konstitusi, ada banyak cara untuk hidup bersama Ahmadiyah. Juga dengan semua pemeluk keyakinan dan agama apa pun. 

Retrieved from: http://indonesia-for.blogspot.com/2011/07/hidup-bersama-ahmadiyah.html

No comments:

Post a Comment