Dewi Nova Wahyuni
Jika negara berani mewujudkan kesetiaan pada sejarah berbangsa
dan konstitusi, ada banyak cara untuk hidup bersama
Lalu bagaimana pembunuhan atas nama perbedaan penafsiran berislam bisa terjadi di provinsi yang memiliki sejarah panjang belajar hidup beragam?
Voice of Human Rights, 22 Februari 2011
Jika negara berani mewujudkan kesetiaan pada sejarah berbangsa
dan konstitusi, ada banyak cara untuk hidup bersama
Tiga
warga dibunuh dalam penyerangan atas nama agama di Kampung Pasir
Peuteuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Minggu (6/2).
Penyerangan brutal ini membuat publik menoleh pada Banten.
Secara
geografis, Provinsi Banten, terutama Kabupaten Tangerang, merupakan
wilayah penyangga ibu kota negara. Provinsi di ujung barat Pulau Jawa
ini juga merupakan jalur penghubung antara Jawa dan Sumatera. Setiap
hari pergerakan daya ekonomi antara dua pulau melintasi provinsi ini.
Jauh
sebelum suku-suku bangsa dan berbagai cara pikir nusantara bersepakat
mendirikan Republik Indonesia, Banten telah menjadi pelabuhan besar di
Asia Tenggara di bawah Kesultanan Banten, setara dengan Malaka dan
Makassar.
Dalam
sejarah panjangnya, Banten pernah menjadi tempat pertemuan
bangsa-bangsa, pertemuan ragam tata cara hidup. Hingga hari ini Provinsi
Banten menjadi penghubung ragam budaya Sumatera - Jawa. Hal ini bisa
dirasakan pada keunikan bahasa Sunda-Jawa di Banten, dengan kolaborasi
bahasa suku-suku bangsa di Sumatera, yang berbeda dari bahasa Sunda di tatar Priangan dan bahasa Jawa suku Jawa di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Lalu bagaimana pembunuhan atas nama perbedaan penafsiran berislam bisa terjadi di provinsi yang memiliki sejarah panjang belajar hidup beragam?
Perusakan Hidup Bersama
Pada
dunia yang mengglobal, Banten tak bisa membangun sendiri tata cara
hidup bermasyarakat dan bernegaranya. Banten memberikan pengaruh
terhadap ibu kota negara yang disangganya, dan Pulau Sumatera - Jawa
yang distribusi ekonominya bergantung pada provinsi ini. Di sisi lain,
Banten juga juga dipengaruhi kondisi sosial politik keindonesiaan. Surat
keputusan bersama tiga menteri (Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri, dan
Menteri Agama) tentang Ahmadiyah, puluhan peraturan daerah yang
intoleran terhadap Ahmadiyah, dan lemahnya perlindungan negara terhadap
warga negara adalah tiga dari banyak alasan yang mengakibatkan
kemunduran adab bermasyarakat di Cikeusik.
Apakah
penyerangan di Cikeusik tetap akan terjadi, jika puluhan penyerangan di
Lombok, Parung, Cianjur, dan tempat lain terhadap Jamaah Ahmadiyah
dapat diantisipasi oleh intelijen negara? Dan, setelah insiden, pelaku
ditindak tegas secara hukum?
Komnas
HAM mencatat, sepanjang tahun 2007 - 2008 terjadi 342 penyerangan dan
intimidasi yang tidak diproses secara hukum oleh negara. Penyerangan di
Cikeusik mendorong Komnas HAM mendesak Presiden memerintahkan segenap
aparatnya menjamin keamanan dan ketenteraman warga negara, terutama
kelompok minoritas beragama dalam memilih dan menjalankan agama dan
keyakinannya.
Terkait
lemahnya perlindungan keamanan, LBH Jakarta mencatat empat level
keterlibatan polisi dalam penyerangan terhadap Ahmadiyah selama 10 tahun
terakhir (2001-2011). Pertama, infliction, yaitu memaksa
seseorang mengalami pengalaman pahit. Hal itu terjadi pada perusakan
masjid dan rumah di Manis Lor, Kuningan, Jawa Barat, 2010. Kedua, instigation,
yaitu mendorong atau menganjurkan. Hal ini terjadi pada penyerangan di
Parung, yaitu massa penyerang menggunakan mobil polisi saat penyerangan.
Ketiga, consent, persetujuan atau izin. Hal ini terjadi pada
penyerangan di Lombok tahun 2002. Aparat yang tergabung dalam Muspida
dan Muspika memberikan persetujuan terhadap tekanan pihak yang
merencanakan serangan. Keempat, acquiescence atau persetujuan
diam-diam. Pada setiap peristiwa penyerangan dan pembakaran, anggota
Polri berada di tempat kejadian dengan jumlah pasukan pengendali massa
yang minim dan tanpa peralatan memadai.
Publik
tidak akan lupa, pada tahun 2005 Polres Mataram menyerah kepada massa
sebanyak 9 truk yang meminta membebaskan 1 dari 5 tersangka perusakan.
Pada 10 Februari lalu ratusan tokoh, ulama, dan Tim Pembela Muslim yang
melakukan pertemuan di Rumah Makan Honje, Kabupaten Serang, meminta
Polres Pandeglang membebaskan tersangka penyerangan Cikeusik yang
ditahan di Polres Pandeglang. Sikap aparat hukum yang tidak mampu
menegakkan hukum pada kasus sebelumnya menjadi preseden buruk bagi
pencapaian keadilan di republik ini. Sekaligus menjadi bukti kelemahan
negara, yang dipelajari kelompok pro-kekerasan untuk melestarikan cara
kerja mereka.
Sebelum
dan sesudah penyerangan-penyerangan tersebut, negara dan organisasi
massa, yang celakanya tidak siap berbeda pandang dengan Ahmadiyah, telah
merumuskan aturan dan kesepakatan yang mereka asumsikan sebagai aturan
terbaik untuk menempuh hidup bersama. Surat Edaran Kejaksaan Agung
terkait Ahmadiyah, SKB tiga menteri tentang Ahmadiyah, dan puluhan
peraturan daerah di berbagai wilayah merumuskan aturan-aturan yang
memposisikan Ahmadiyah sebagai pihak yang mesti mengalah pada keinginan
arus utama.
Aturan-aturan
tersebut lahir dengan semangat membatasi hak beragama Jamaah Ahmadiyah
dan menutup pintu dialog kajian beragama antara Ahmadiyah dan Islam,
arus utama. Majelis Ulama Indonesia berteguh pada semangat
mempertobatkan Jamaah Ahmadiyah dengan opsi menempuh cara berislam
sesuai MUI atau keluar dari apa yang mereka yakini sebagai lingkup agama
Islam.
Apakah
aturan-aturan negara tersebut dan fatwa ormas MUI menjadi sokongan yang
baik bagi hidup berbangsa? Sebaliknya, aturan yang diskriminatif dan
antidialog menjadi sumber idiologi bagi praktik kekerasan yang terus
menyerang Jamaah Ahmadiyah. Bahkan, setelah penyerangan, aturan yang
diskriminatif itu menjadi legitimasi untuk mencari-cari kekeliruan
Jamaah Ahmadiyah. Bukti terakhir, ketika darah masih basah dan air mata
belum kering, MUI bergegas melakukan penyelidikan. Bukan untuk
menghasilkan kajian yang dialogis, saling menghormati, dan mendukung
suasana damai, melainkan untuk menemukan apa kesalahan Ahmadiyah
sehingga penyerangan Cikeusik terjadi!
Sebelum
SKB tiga menteri disahkan, Komnas Perempuan pada 18 April 2008 meminta
Presiden Yudhoyono menggunakan hak prerogratifnya untuk menghentikan
penyusunan SKB tentang Ahmadiyah dan menegakkan kembali jaminan
kebebasan beragama bagi semua warga negara, termasuk komunitas
Ahmadiyah.
Suara Perempuan Ahmadiyah
Negara
juga mesti mendengarkan suara perempuan Cikeusik yang harus berhadapan
dengan situasi ini. Nayati, 35 tahun, menuturkan, “Waktu kejadian saya
melihat dari jauh suami saya dipukuli, disabet celurit hingga kena pipi
dan mukanya. Masya-Allah.” Dan sejak itu Nayati tidak pernah lagi
melihat suaminya. Saat ini Nayati tinggal bersama anaknya yang masih
kecil, dengan persediaan uang yang mulai habis. “Saya pernah berjualan
obat-obat kecantikan, tapi nggak laku karena dimusuhi warga,” ujarnya.
Bahkan, Nayati takut jika seminggu ke depan aparat Polri dan TNI tidak
lagi berjaga-jaga di lokasi, dia bakal dibunuh warga (Radar Banten, 9/2/2011).
Nayati
adalah potret dari ratusan perempuan Ahmadiyah yang terus-menerus
menjadi penopang dan pertahanan keluarga ketika penyerangan terjadi. Ada
warga perempuan yang mengalami dikskriminasi berlapis karena peran
gender dan keyakinan beragamanya. Warga perempuan kehilangan hak atas
rasa aman, hak untuk penghidupan yang layak, hak untuk mengkases layanan
publik. Apa yang sudah dilakukan negara kepada perempuan dan anak yang
dikorbankan pada setiap peristiwa penyerangan?
Pembentukan Hidup Bersama
Mengikuti talk show di
statsiun televisi swasta antara Ahmadiyah, MUI, dan negara akhir-akhir
ini, publik disuguhi dialog yang sesungguhnya tidak terjadi dialog.
Ahmadiyah menghayati penafsirannya sebagai cara berislam, ormas MUI
menghakiminya sebagai penodaan berislam, negara kehilangan arah di
bagian mana mesti bersikap.
Bukankah
penafsiran beragama adalah bagian dari privasi warga yang tidak boleh
diatur oleh hukum negara? Kewajiban negara adalah melindungi hak dasar
beragama setiap warga, seperti amanat konstitusi pada UU Nomor 12 Tahun
2005 tentang Ratifikasi Hak-hak Sipil Politik. Negara juga mesti
menjamin hidup beragama yang tidak mengkhianati cita-cita pembentukan
Republik Indonesia.
Mengenang
gagasan Bapak Bangsa, Soekarno, terkait perumusan Pancasila sebagai
rekonsiliasi islamisme, nasionalisme, dan marxisme. Berislam dan
bernegara, berislam di republik ini mesti bernasionalis, bersetia pada
kebinekaan bangsa. Karena berislam yang intoleran tidak hanya mengikis
identitas bangsa yang bineka, tetapi juga mengancam persatuan bangsa.
Berislam di Banten mesti bersetia pada sejarah panjang pertemuan
bangsa-bangsa dan tata cara hidup. Berislam di Indonesia mesti bersetia
pada penghormatan kebinekaaan budaya, dinamika sejarah hidup bersama
dari sejak dijajah kolonial hingga pemerintahan reformasi yang perlu
perbaikan di sana-sini.
Di
atas itu semua, jika beragama untuk kemanusiaan, mestinya setiap
pertimbangan untuk mengatur hidup bersama Ahmadiyah dan umat minoritas
mana pun didasarkan juga pada nilai-nilai kemanusiaan, seperti
disepakati pada sila ke-2 kontrak berbangsa, Pancasila. Jika negara dan
warga berani mewujudkan kesetiaan pada sejarah berbangsa dan konstitusi,
ada banyak cara untuk hidup bersama Ahmadiyah. Juga dengan semua
pemeluk keyakinan dan agama apa pun.
Retrieved from: http://indonesia-for.blogspot.com/2011/07/hidup-bersama-ahmadiyah.html
No comments:
Post a Comment