Kamis, 24 Oktober 2013
Bandung Mawardi
Bandung Mawardi
Hidup di kamar, ruang seminar, hotel
mirip jeda aneh. 17-20 Oktober, aku mengikuti Borobudur Writers &
Cultural Festival 2013, bertema Arus Balik: Memori Rempah dan Bahari Nusantara.
Aku mengikuti seminar demi seminar, berbekal ingatan dan jaket untuk
menahan dingin. Para pembicara mengajukan penjelasan-penjelasan apik,
menggugah imajinasi untuk mengerti sejarah Nusantara.
Dua lelaki bercerita tentang laut. Mereka
mengisahkan kehidupan di darat dan laut, menjalani pelbagai peristiwa
dengan ritual-ritual. Iwan mengisahkan Mandar. Bona mengisahkan
Lamalera. Aku duduk gelisah, mendapati kerinduan beragama secara luwes
dan harmoni. Di Mandar, Islam merasuk tanpa klaim-klaim kemurnian agama.
Di Lamalera, Katolik bisa meresap dalam kehidupan, mengajak orang
menjalani hidup sebagai peribadatan. Aku pun menginginkan penjelasan ke
mereka, mengenai kehadiran agama di Mandar dan Lamalera. Agama langit
bisa dialami sebagai agama bahari.
Imajinasiku mengarah ke peristiwa
kehadiran pendeta, ulama tentu menggunakan kapal. Mereka datang membawa
kitab suci, mendakwahkan agama. Kapal jadi alat transportasi penting
untuk melintasi samudra, selat, sungai. Aku mendapat penjelasan apik dan
gamblang. Mereka hidup dalam harmoni, berbeda dengan lakon-lakon
mutakhir: agama dijadikan dalih berkonflik.
Pulang dari Borobudur, aku membaca kembali buku Da’watoel ‘Amal
karangan Maulana Muhammad Ali. Buku ini tentu bisa sampai ke Nusantara
menggunakan kapal. Oemar Said Tjokroaminoto berperan sebagai penerjemah
buku, dari bahasa Inggris ke bahasa Melayu. Tokoh kondang dari Sarikat
Islam menerjemahkan buku dari pimpinan Ahmadiyah. Buku terjemahan
diterbitkan oleh Mirza Wali Ahmad Baig, mubaligh Ahmadiyah di
Jogjakarta.
Aku tak pernah menduga jika Oemar Said
Tjokroaminoto adalah penerjemah buku. Informasi tentang Oemar Said
Tjokroaminoto sering berurusan dengan orasi dan penulisan buku-buku
agama. Buku paling terkenal berjudul Islam dan Sosialisme, 1924. Aku harus rajin belajar agar terhindar dari kebodohan. Amin. Buku Da’watoel ‘Amal membuktikan ada harmoni di masa silam. Aku kagum dan terkejut. Oh!
Penjelasan tentang kehadiran buku
terjemahan ini memerlukan pengakuan terbuka, dari urusan isi buku sampai
misi penerbitan di Indonesia. Oemar Said Tjokroaminoto menjelaskan:
“Dengen senang hati kita mengaboelkan permintaannja saudara Mirza Wali
Ahmad Baig, oetoesan Pergerakan Ahmadijah di Djokdjakarta, akan menjalin
karangan terseboet di atas ini dalam bahasa Melajoe. Kesoekaan kita
dengan ichlas mengaboelkan permintaan itoe teroetama sekali ialah kita
pandang sebagai satoe tanda silatoerrahmi antara saudara-saudara kaoem
Ahmadi dengan saudara-saudara kaoem Moeslimin di negeri toempah-darah
kita, jang tentang Islam dan keislaman ada bertoenggal azas, bertoenggal
faham, bertoenggal fikiran dan bertoenggal haloean dengan jang bertanda
di bawah ini.” Aku mengerti saat membaca kalimat-kalimat dari Oemar
Said Tjokroaminoto. Ada pesan penting: buku menjadi ejawantah harmoni
dan persaudaraan.
Aku terlambat membaca buku ini jika
mengingat adegan-adegan konflik dan kekerasan berdalih agama.
Orang-orang membawa pentungan dan berteriak melafalkan nama Tuhan.
Adegan pemukulan, pengusiran, pembakaran rumah, pembunuhan terjadi
akibat klaim paling benar dalam beragama. Buku ini bisa mengingatkan
bahwa ada harmoni di masa lalu meski berbeda paham. Oemar Said
Tjokroaminoto menjadi teladan, berada di barisan mencipta harmoni di
kalangan Islam.
Buku Da’watoel ‘Amal harus aku
perlihatkan ke para ulama, intelektual, politisi…. Buku ini bakal
membuat mereka insaf, menghindari konflik dan mengadakan harmoni.
Perbedaan paham atau tafsir tak perlu melukai atau menghinakan. Aku jadi
ingin mengutip sepenggal penjelasan tentang Islam: “Di kelak kemoedian
hari mata-hari terbit dari Barat, begitoelah disabdakan oleh Nabi kita
jang soetji. Ternjatalah jang dimaksoedkan dengan mata-hari jaitoe
‘mata-hari Islam’ jang moela-moela pertama terbit di Timoer, dan telah
memenoehi negeri-negeri Timoer dengan tjhajanja jang gilang-gemilang.
Negeri Barat poen lebih doeloe telah menerima tjahaja batin, sebagai
djoega kelak kemoedian hari menerima tjahaja lahir, dan tjahaja batin
itoe telah memenoehi negeri Barat ialah kebetoelan pada kalanja Islam
soedah kehilangan sebanjak-banjaknja dari kekoeasannja perkara doenia.”
Penjelasan puitis, kompetensi dan selera bahasa dari Oemar Said
Tjokroaminoto pasti memberi pengaruh dari kehadiran kata-kata. Aku
kagum, kagum, kagum.
Di masa lalu, bacaan-bacaan mengajak
orang beragama secara indah. Sekarang, buku-buku berlabel agama justru
bisa merangsang permusuhan, perang, konflik, diskriminasi. Buku itu
simbol harmoni, mengisahkan sejarah persaudaraan dengan keinsafan.
Agenda literasi bergerak bersama semaian harmoni. Wah!
Aku perlu menghadirkan kutipan iklan di
sampul belakang: “Apakah Toean soedah berlangganan pada soerat kabar
bahasa Inggris bernama THE LIGHT? Kalau beloem, soenggoeh Toean
kehilangan perdjamoean jang sedap rasanja pada tiap-tiap empat belas
hari sekali. sebagaimana namanja ada menoendjoekkan, maka soerat kabar
jang terseboet itoe menjiar-njiari dan menerang-nerangi dengan tjahaja
Islam jang dejrnih.” THE LIGHT diterbitkan oleh Mirza Wali Ahmad Baig.
Aku belum mengenal dan bercakap dengan Mirza Wali Ahmad Baig, manusia
cerdas dan beriman, memiliki misi literasi dalam dakwah. Ampuh!
Buku ini pantas dibaca bersama saat lakon perbukuan agama di Indonesia jarang mengurusi harmoni. Begitu.
https://bandungmawardi.wordpress.com/tag/dawatul-amal/
No comments:
Post a Comment