Thursday, September 19, 2019

Buku dan Harmoni

Kamis, 24 Oktober 2013

Bandung Mawardi

Hidup di kamar, ruang seminar, hotel mirip jeda aneh. 17-20 Oktober, aku mengikuti Borobudur Writers & Cultural Festival 2013, bertema Arus Balik: Memori Rempah dan Bahari Nusantara. Aku mengikuti seminar demi seminar, berbekal ingatan dan jaket untuk menahan dingin. Para pembicara mengajukan penjelasan-penjelasan apik, menggugah imajinasi untuk mengerti sejarah Nusantara.

Dua lelaki bercerita tentang laut. Mereka mengisahkan kehidupan di darat dan laut, menjalani pelbagai peristiwa dengan ritual-ritual. Iwan mengisahkan Mandar. Bona mengisahkan Lamalera. Aku duduk gelisah, mendapati kerinduan beragama secara luwes dan harmoni. Di Mandar, Islam merasuk tanpa klaim-klaim kemurnian agama. Di Lamalera, Katolik bisa meresap dalam kehidupan, mengajak orang menjalani hidup sebagai peribadatan. Aku pun menginginkan penjelasan ke mereka, mengenai kehadiran agama di Mandar dan Lamalera. Agama langit bisa dialami sebagai agama bahari.

Imajinasiku mengarah ke peristiwa kehadiran pendeta, ulama tentu menggunakan kapal. Mereka datang membawa kitab suci, mendakwahkan agama. Kapal jadi alat transportasi penting untuk melintasi samudra, selat, sungai. Aku mendapat penjelasan apik dan gamblang. Mereka hidup dalam harmoni, berbeda dengan lakon-lakon mutakhir: agama dijadikan dalih berkonflik.


Pulang dari Borobudur, aku membaca kembali buku Da’watoel ‘Amal karangan Maulana Muhammad Ali. Buku ini tentu bisa sampai ke Nusantara menggunakan kapal. Oemar Said Tjokroaminoto berperan sebagai penerjemah buku, dari bahasa Inggris ke bahasa Melayu. Tokoh kondang dari Sarikat Islam menerjemahkan buku dari pimpinan Ahmadiyah. Buku terjemahan diterbitkan oleh Mirza Wali Ahmad Baig, mubaligh Ahmadiyah di Jogjakarta.

Aku tak pernah menduga jika Oemar Said Tjokroaminoto adalah penerjemah buku. Informasi tentang Oemar Said Tjokroaminoto sering berurusan dengan orasi dan penulisan buku-buku agama. Buku paling terkenal berjudul Islam dan Sosialisme, 1924. Aku harus rajin belajar agar terhindar dari kebodohan. Amin. Buku Da’watoel ‘Amal membuktikan ada harmoni di masa silam. Aku kagum dan terkejut. Oh!

Penjelasan tentang kehadiran buku terjemahan ini memerlukan pengakuan terbuka, dari urusan isi buku sampai misi penerbitan di Indonesia. Oemar Said Tjokroaminoto menjelaskan: “Dengen senang hati kita mengaboelkan permintaannja saudara Mirza Wali Ahmad Baig, oetoesan Pergerakan Ahmadijah di Djokdjakarta, akan menjalin karangan terseboet di atas ini dalam bahasa Melajoe. Kesoekaan kita dengan ichlas mengaboelkan permintaan itoe teroetama sekali ialah kita pandang sebagai satoe tanda silatoerrahmi antara saudara-saudara kaoem Ahmadi dengan saudara-saudara kaoem Moeslimin di negeri toempah-darah kita, jang tentang Islam dan keislaman ada bertoenggal azas, bertoenggal faham, bertoenggal fikiran dan bertoenggal haloean dengan jang bertanda di bawah ini.” Aku mengerti saat membaca kalimat-kalimat dari Oemar Said Tjokroaminoto. Ada pesan penting: buku menjadi ejawantah harmoni dan persaudaraan.

Aku terlambat membaca buku ini jika mengingat adegan-adegan konflik dan kekerasan berdalih agama. Orang-orang membawa pentungan dan berteriak melafalkan nama Tuhan. Adegan pemukulan, pengusiran, pembakaran rumah, pembunuhan terjadi akibat klaim paling benar dalam beragama. Buku ini bisa mengingatkan bahwa ada harmoni di masa lalu meski berbeda paham. Oemar Said Tjokroaminoto menjadi teladan, berada di barisan mencipta harmoni di kalangan Islam.

Buku Da’watoel ‘Amal harus aku perlihatkan ke para ulama, intelektual, politisi…. Buku ini bakal membuat mereka insaf, menghindari konflik dan mengadakan harmoni. Perbedaan paham atau tafsir tak perlu melukai atau menghinakan. Aku jadi ingin mengutip sepenggal penjelasan tentang Islam: “Di kelak kemoedian hari mata-hari terbit dari Barat, begitoelah disabdakan oleh Nabi kita jang soetji. Ternjatalah jang dimaksoedkan dengan mata-hari jaitoe ‘mata-hari Islam’ jang moela-moela pertama terbit di Timoer, dan telah memenoehi negeri-negeri Timoer dengan tjhajanja jang gilang-gemilang. Negeri Barat poen lebih doeloe telah menerima tjahaja batin, sebagai djoega kelak kemoedian hari menerima tjahaja lahir, dan tjahaja batin itoe telah memenoehi negeri Barat ialah kebetoelan pada kalanja Islam soedah kehilangan sebanjak-banjaknja dari kekoeasannja perkara doenia.” Penjelasan puitis, kompetensi dan selera bahasa dari Oemar Said Tjokroaminoto pasti memberi pengaruh dari kehadiran kata-kata. Aku kagum, kagum, kagum.

Di masa lalu, bacaan-bacaan mengajak orang beragama secara indah. Sekarang, buku-buku berlabel agama justru bisa merangsang permusuhan, perang, konflik, diskriminasi. Buku itu simbol harmoni, mengisahkan sejarah persaudaraan dengan keinsafan. Agenda literasi bergerak bersama semaian harmoni. Wah!


Aku perlu menghadirkan kutipan iklan di sampul belakang: “Apakah Toean soedah berlangganan pada soerat kabar bahasa Inggris bernama THE LIGHT? Kalau beloem, soenggoeh Toean kehilangan perdjamoean jang sedap rasanja pada tiap-tiap empat belas hari sekali. sebagaimana namanja ada menoendjoekkan, maka soerat kabar jang terseboet itoe menjiar-njiari dan menerang-nerangi dengan tjahaja Islam jang dejrnih.” THE LIGHT diterbitkan oleh Mirza Wali Ahmad Baig. Aku belum mengenal dan bercakap dengan Mirza Wali Ahmad Baig, manusia cerdas dan beriman, memiliki misi literasi dalam dakwah. Ampuh!

Buku ini pantas dibaca bersama saat lakon perbukuan agama di Indonesia jarang mengurusi harmoni. Begitu.

https://bandungmawardi.wordpress.com/tag/dawatul-amal/

No comments:

Post a Comment