Jumat, 6 Desember 2013
Bandung Mawardi
5
Desember 2013, teman-teman berkumpul di Bilik Literasi, mengikuti acara
Tadarus Buku. Priyadi mengisahkan buku lawas, berjudul Keindahan Bahasa Kita
karangan Pulungan. Ada kesadaran berbahasa dan bersastra. Buku lawas
itu cenderung memuat pelbagai hal tentang sastra, dari pantun sampai
puisi bercap modern. Sebelum Tadarus Buku, aku berbagi cerita ke mereka
tentang 3 orang asal Minangkabau: Haji Abdul Karim Amrullah, Haji Abdul
Malik Karim Amrullah (Hamka), Abdul Wadud Karim Amrullah. Aku berjanji
ke mereka untuk berbagi nukilan buku Haji Abdul Karim Amrullah, ulama
moncer, pemimpin gerakan Kaum Muda di Minangkabau, menggerakkan
pembaharuan.
Abdul Wadud Karim Amrullah dalam buku Dari Subuh Hingga Malam: Perjalanan Seorang Putra Minang Mencari Jalan Kebenaran mengisahkan sosok Haji Abdul Malik Amrullah meski secuil. Pengisahan panjang telah disampaikan oleh Hamka melalui buku berjudul Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Dua orang telah mengisahkan Haji Abdul Karim Amrullah. Aku kagum membaca dua anak berkisah bapak.
Aku ingin turut berkisah tentang Haji Abdul Karim Amrullah, melalui buku lawas Al-Qauloeccahih
(Marah Intan alias Dt. Nan Bareno, Jogjakarta). Buku ini semula terbit
tahun 1926 di Bukittinggi oleh Drukkerij Samaratoel Ichwan. Edisi awal
mencantumkan keinginan pengarang: “Tidak boleh ditjitak dengan tidak
izin saja” dan “Pengarang! Kalau saja meninggal doenja pindah kekoeasaan
kepada waris saja jang menoeroet agama soepaja ma’aloem.”
Buku ini dicetak ulang lagi. Penerbit di Jogjakarta menjelaskan: “Maka dari karena boekoe Al-Qawloes-Shahih
ini, moela-moela ditjitak didalam bahasa Melajoe toelisan ‘Arab sadja,
sedang kebanjakan orang koerang mengerti membatja toelisan ‘Arab bahasa
Melajoe itoe, lebih-lebih lagi ditanah Djawa, maka terpaksalah kita
mintak kepada Toean Dr. H. Abdulkarim Amrullah itoe, agar kita dapat
menjalin ini boekoe kedalam bahasa Melajoe toelisan Latijn itoe, ialah
agar ‘oemoem memfa’atnja, lebih-lebih lagi ditanah Djawa…”
Buku ini dikarang oleh Haji Abdul Karim
Amrullah di Padang Panjang, diterbitkan di Bukittinggi dan Jogjakarta.
Aku merasa ada pola sebaran literasi agama secara beruntun, melibatkan
sekian pelaku dan pelbagai kepentingan. Buku ini tentu memiliki pengaruh
besar di Sumatra dan Jawa saat ada reaksi atas keberadaan penganut
Ahmadiyah. Apakah buku ini pernah dipakai sebagai rujukan saat para ahli
menjelaskan tentang konflik berkaitan Ahmadiyah sekian tahun silam? Aku
belum tahu. Apakah para pembaca buku-buku Hamka memerlukan juga membaca
dan mengoleksi buku karangan Haji Abdul Karim Amrullah? Apakah
pengarang juga memberi pengaruh ke Hamka dalam urusan kepenulisan dan
pemikiran agama? Wah! Aku terlalu ingin mengerti, berharap bisa
merekonstruksi situasi literasi dan keberagamaan di masa 1920-an.
Haji Abdul Karim Amrullah menulis tentang
pengakuan Goelam Ahmad sebagai nabi: “Sedang Goelam Ahmad sendiri
sementara hidoepnja soedah djoega mengirim soerat seroeannja kepada
‘oelama-‘oelama di Mesir jang mana mereka menoelak soeratnja itoe,
seperti sajjidinan Moehammad Rasjid Ridha pengarang Al-Manar dan
Moestafa Kamil almarhoem dan lain-lain oelama, akan tetapi adakah dia
mengakoe dirinja nabi atau rasoel atau tidak maka tidaklah dapat kita
keterangannja jang sahih.”
Perdebatan tentang Ahmadiyah masih
berlangsung sampai sekarang. Aku tak terlalu mendalami sumber-sumber
perdebatan atau permusuhan, berkaitan kehadiran dan perkembangan
Ahmadiyah di Indonesia. Aku cuma tahu bahwa Ahmadiyah pernah membuat
sekolah-sekolah di Jawa. H.O.S. Tjokroaminoto dan sekian tokoh agama
memiliki hubungan dengan orang-orang Ahmadiyah bersemangat toleransi.
Aku tak ingin terlibat urusan pelik. Inginku, beragama tak perlu saling
bermusuhan dan adu kekerasan.
Penilaian Haji Abdul Karim Amrullah
memang tegas dan lugas. Aku menduga ada ekspresi tegang saat penulisan
buku. Bagaimana para pembaca menanggapai keterangan dan argumentasi dari
Haji Abdul Karim Amrullah? Aku tentu tak bisa kembali ke masa 1920-an.
Aku berharap kelak ada orang mau menerangkan, memberikan pemahaman
sejarah Islam di Indonesia. Aku jadi ingat buku terbaru Ricklef, Mengislamkan Jawa, 2013. Aku harus belajar sejarah Islam di Sumatra dan Jawa agar tak bodoh selama seratus tahun. Memalukan!
Haji Abdul Karim Amrullah menulis: “Maka
sekarang soedah njata benar bertemoe tanda itoe pada Goelam Ahmad dan
kaoem Ahmadi jaitoe mendatangkan wahi-wahi palsoe akan penambah-nambah
Qoeran dan hadis-Hadis penghoeloe kita, jang mana wahi-wahi itoe
semata-mata dari pada sjetan hantoe jang diperdapatnja didalam
pertapaannja diatas goenoeng didalam goea-goea batoe setjara ‘adatnja
Hindoe…” Aku tak boleh membaca-menerima konklusi ini tanpa lacak
keterangan berkaitan konteks model dakwah dan anutan paham dari umat
Islam di Indonesia.
Buku-buku agama dari masa lalu sering
menimbulkan penasaran. Para ulama rajin menulis buku, berdakwah dengan
huruf-huruf tertulis. Halaman-halaman buku adalah perantaraan untuk
menjumpai umat. Dakwah berkaitan melek-aksara, pembesaran selebrasi
literasi. Sekarang, ulama masih rajin menulis? Aku enggan menjawab
ketimbang mendapat tuduhan-tuduhan aneh. Aku selalu berharapan, para
ulama rajin menulis buku tapi “bermutu”. Aku sering melihat buku-buku
agama di pelbagai toko buku kurang memberi gairah untuk mengajak publik
mempelajari agama. Begitu.
https://bandungmawardi.wordpress.com//?s=ahmadi&search=Lanjut
No comments:
Post a Comment