Thursday, September 19, 2019

Ulama dan Buku

Jumat, 6 Desember 2013

Bandung Mawardi

5 Desember 2013, teman-teman berkumpul di Bilik Literasi, mengikuti acara Tadarus Buku. Priyadi mengisahkan buku lawas, berjudul Keindahan Bahasa Kita karangan Pulungan. Ada kesadaran berbahasa dan bersastra. Buku lawas itu cenderung memuat pelbagai hal tentang sastra, dari pantun sampai puisi bercap modern. Sebelum Tadarus Buku, aku berbagi cerita ke mereka tentang 3 orang asal Minangkabau: Haji Abdul Karim Amrullah, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), Abdul Wadud Karim Amrullah. Aku berjanji ke mereka untuk berbagi nukilan buku Haji Abdul Karim Amrullah, ulama moncer, pemimpin gerakan Kaum Muda di Minangkabau, menggerakkan pembaharuan.

Abdul Wadud Karim Amrullah dalam buku Dari Subuh Hingga Malam: Perjalanan Seorang Putra Minang Mencari Jalan Kebenaran mengisahkan sosok Haji Abdul Malik Amrullah meski secuil. Pengisahan panjang telah disampaikan oleh Hamka melalui buku berjudul Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Dua orang telah mengisahkan Haji Abdul Karim Amrullah. Aku kagum membaca dua anak berkisah bapak.


Aku ingin turut berkisah tentang Haji Abdul Karim Amrullah, melalui buku lawas Al-Qauloeccahih (Marah Intan alias Dt. Nan Bareno, Jogjakarta). Buku ini semula terbit tahun 1926 di Bukittinggi oleh Drukkerij Samaratoel Ichwan. Edisi awal mencantumkan keinginan pengarang: “Tidak boleh ditjitak dengan tidak izin saja” dan “Pengarang! Kalau saja meninggal doenja pindah kekoeasaan kepada waris saja jang menoeroet agama soepaja ma’aloem.”


Buku ini dicetak ulang lagi. Penerbit di Jogjakarta menjelaskan: “Maka dari karena boekoe Al-Qawloes-Shahih ini, moela-moela ditjitak didalam bahasa Melajoe toelisan ‘Arab sadja, sedang kebanjakan orang koerang mengerti membatja toelisan ‘Arab bahasa Melajoe itoe, lebih-lebih lagi ditanah Djawa, maka terpaksalah kita mintak kepada Toean Dr. H. Abdulkarim Amrullah itoe, agar kita dapat menjalin ini boekoe kedalam bahasa Melajoe toelisan Latijn itoe, ialah agar ‘oemoem memfa’atnja, lebih-lebih lagi ditanah Djawa…”

Buku ini dikarang oleh Haji Abdul Karim Amrullah di Padang Panjang, diterbitkan di Bukittinggi dan Jogjakarta. Aku merasa ada pola sebaran literasi agama secara beruntun, melibatkan sekian pelaku dan pelbagai kepentingan. Buku ini tentu memiliki pengaruh besar di Sumatra dan Jawa saat ada reaksi atas keberadaan penganut Ahmadiyah. Apakah buku ini pernah dipakai sebagai rujukan saat para ahli menjelaskan tentang konflik berkaitan Ahmadiyah sekian tahun silam? Aku belum tahu. Apakah para pembaca buku-buku Hamka memerlukan juga membaca dan mengoleksi buku karangan Haji Abdul Karim Amrullah? Apakah pengarang juga memberi pengaruh ke Hamka dalam urusan kepenulisan dan pemikiran agama? Wah! Aku terlalu ingin mengerti, berharap bisa merekonstruksi situasi literasi dan keberagamaan di masa 1920-an.

Haji Abdul Karim Amrullah menulis tentang pengakuan Goelam Ahmad sebagai nabi: “Sedang Goelam Ahmad sendiri sementara hidoepnja soedah djoega mengirim soerat seroeannja kepada ‘oelama-‘oelama di Mesir jang mana mereka menoelak soeratnja itoe, seperti sajjidinan Moehammad Rasjid Ridha pengarang Al-Manar dan Moestafa Kamil almarhoem dan lain-lain oelama, akan tetapi adakah dia mengakoe dirinja nabi atau rasoel atau tidak maka tidaklah dapat kita keterangannja jang sahih.”


Perdebatan tentang Ahmadiyah masih berlangsung sampai sekarang. Aku tak terlalu mendalami sumber-sumber perdebatan atau permusuhan, berkaitan kehadiran dan perkembangan Ahmadiyah di Indonesia. Aku cuma tahu bahwa Ahmadiyah pernah membuat sekolah-sekolah di Jawa. H.O.S. Tjokroaminoto dan sekian tokoh agama memiliki hubungan dengan orang-orang Ahmadiyah bersemangat toleransi. Aku tak ingin terlibat urusan pelik. Inginku, beragama tak perlu saling bermusuhan dan adu kekerasan.

Penilaian Haji Abdul Karim Amrullah memang tegas dan lugas. Aku menduga ada ekspresi tegang saat penulisan buku. Bagaimana para pembaca menanggapai keterangan dan argumentasi dari Haji Abdul Karim Amrullah? Aku tentu tak bisa kembali ke masa 1920-an. Aku berharap kelak ada orang mau menerangkan, memberikan pemahaman sejarah Islam di Indonesia. Aku jadi ingat buku terbaru Ricklef, Mengislamkan Jawa, 2013. Aku harus belajar sejarah Islam di Sumatra dan Jawa agar tak bodoh selama seratus tahun. Memalukan!


Haji Abdul Karim Amrullah menulis: “Maka sekarang soedah njata benar bertemoe tanda itoe pada Goelam Ahmad dan kaoem Ahmadi jaitoe mendatangkan wahi-wahi palsoe akan penambah-nambah Qoeran dan hadis-Hadis penghoeloe kita, jang mana wahi-wahi itoe semata-mata dari pada sjetan hantoe jang diperdapatnja didalam pertapaannja diatas goenoeng didalam goea-goea batoe setjara ‘adatnja Hindoe…” Aku tak boleh membaca-menerima konklusi ini tanpa lacak keterangan berkaitan konteks model dakwah dan anutan paham dari umat Islam di Indonesia.

Buku-buku agama dari masa lalu sering menimbulkan penasaran. Para ulama rajin menulis buku, berdakwah dengan huruf-huruf tertulis. Halaman-halaman buku adalah perantaraan untuk menjumpai umat. Dakwah berkaitan melek-aksara, pembesaran selebrasi literasi. Sekarang, ulama masih rajin menulis? Aku enggan menjawab ketimbang mendapat tuduhan-tuduhan aneh. Aku selalu berharapan, para ulama rajin menulis buku tapi “bermutu”. Aku sering melihat buku-buku agama di pelbagai toko buku kurang memberi gairah untuk mengajak publik mempelajari agama. Begitu.

https://bandungmawardi.wordpress.com//?s=ahmadi&search=Lanjut

No comments:

Post a Comment