Saturday, September 7, 2019

Kisah Jemaah Ahmadiyah yang Kembali ke Pangkuan Islam

Menteri Agama Suryadharma Ali (tengah), berbincang dengan para ulama usai acara mantan jemaah Ahmadiyah mengucapkan kalimat syahadat untuk bertaubat dan masuk ajaran Agama Islam, di Mesjid Agung Baiturrohman, Singaparna, Tasikmalaya Jabar, Senin (20/5).
Selasa 21 May 2013 09:11 WIB
Red: Heri Ruslan
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah
Khazanah

Rani Rahmawati, kini merasa lega pascakeputusannya keluar dari Ahmadiyah. Ibu dari satu anak ini, sejak kecil telah mengikuti ajaran yang didakwahkan oleh Mirza Ghulam Ahmad itu.
Di wilayah tempat tinggalnya, Cetenggek, Kutawaringin, Salawu Tasikmalaya, Jawa Barat, nyaris sebagian besar penduduknya adalah Ahmadi, sebutan bagi pengikut Ahmadiyah. 
Keluarga besar Rani pun mulai kakek hingga buyutnya, termasuk panganut tulen aliran yang 'menabikan' Ghulam Ahmad tersebut. "Lebih plong sekarang," tutur perempuan berusia 26 tahun ini kepada Republika di Masjid Agung Baiturrahman, Senin (20/5).
Dengan bahasa Indonesianya yang terbata-bata, Rani, mengisahkan pengalamannya selama 26 tahun bergabung di Ahmadiyah. Dirinya mengaku hanya ikut-ikutan. Tanpa menyadari sejauhmana penyimpangan aliran yang bermarkas di London, Inggris itu. Jamaah mesti diwajibkan membaca bacaan, layaknya shalawat, dalam bahasa Urdu. Soal arti, sama sekali ia tak mengerti. 
"Pokoknya teh suruh baca saja," papar Rani dengan dialek Sundanya yang kental. Ia mesti pula menelaah Tadzkirah, kompilasi wasiat Mirza Ghulam yang maknanya sama sekali tak ia pahami. 

Soal ibadah, ujarnya, memang tak ada beda. Mereka juga shalat lima waktu, seperti non-Ahmadi. Hanya, perempuan diwajibkan menunaikah Shalat Jumat di Masjid Ahmadiyah. Jemaah Ahmadi dilarang shalat di masjid yang bukan sealiran dengan Ahmadiyah.  Para Ahmadi tidak boleh bermakmum shalat di belakang imam non-Ahmadi. 
Jika sebaliknya, menjadi imam bagi mereka yang di luar Ahmadiyah, maka tak jadi masalah. Terkait ibadah, memang kesan ekslusif begitu kentara. Tetapi, menyangkut interaksi dan muamalat, tak ada aturan ketat. Pergaulan antarsesama warga Ahmadi dan non-Ahmadi, mengalir seperti biasa. Tak tersekat akidah.
Sampai detik ini pula, ia belum tahu persis, peruntukkan sumbangan wajib rutin bisa pekanan dan bulanan yang diberlakukan untuk jemaah Ahmadi. Besaran infak, sesuai kemampuan. Ada istilah infak takrik jadid dan candah 'aam. 
Rani, memang terbilang 'kader' tulen. Sosok yang sekarang mengajar di Paud Bahrussalam, Kotawaringin ini, pernah bersekolah di SMA Al-Wahid, sekolah menengah Ahmadiyah terbesar di Tanah Air yang terletak di Tenjowaringin, Selawu. Konon, di lokasi yang sama, ratusan Ahmadi dari dalam dan luar negeri sering menggelar hajatan skala internasional. Ia pun mengaku kurang paham, perhetalan jenis apa yang berlangsung. 
Doktrin demi doktrin ideologi yang menancap sedari kecil, tak bisa mengikis hati kecil Rani, lambat laun ia merasa kurang cocok. Dorongan untuk keluar dari lilitan dan jerat Ahmadiyah perlahan kian memuncak, hingga pada 2006, ia memutuskan berikrar syahadat kembali. Rasa tenang pun kini bisa ia nikmati, tanpa ada beban dan harus bersitegang ideologi dengan kebanyakan Muslim. "Dulu rasanya seperti diperbudak," ketusnya.
Tak banyak kisah yang diutarkan Taryan. Ayah kandung Rani ini mengaku, keluarga besar Taryan dan kesembilan saudara kandungnya, semenjak kecil, mengikuti jejak buyut menganut Ahmadiyah. Sebagian besar penduduk yang berprofesi sebagai buruh dan tani, maklum kurang tersentuh pendidikan dan dakwah Islam yang integral. Ini pula yang menjadi sebab mudahnya keterpengaruhan mereka pada Ahmadiyah.
Belakangan, Taryan sadar, ada yang janggal dari aliran yang ia dan keluarganya yakini selama ini. Sebut saja soal infak dan donasi. Sedikit sekali pemanfaatannya untuk dhuafa, ada tetapi hanya sekian persen. Sebagian besar entah kemana. Tampaknya, untuk membiayai operasional Ahmadiyah. Mulai dari gaji mubalig hingga biaya kelangsungan lembaga. Dirinya tak habis pikir, semestinya infak itu, diprioritaskan untuk kalangan tak mampu. Seperti tuntunan Islam, bahwa zakat dan infak itu untuk delapan asnaf (mustahik zakat).
"Ibu saya yang dhuafa saja tidak pernah dikasih,"ujarnya.
Taryan yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil ini mengaku, awalnya ragu bahkan enggan undur diri dari Ahmadiyah. Apalagi kedua orangtunya, kala itu penganut konservatif Ahmadiyah. Bila ia beranjak, lantas bagaimana nasib ikatannya sebagai anak kepada orang tuanya?
Sangat dilematis. Hingga akhirnya, ia mengetahui bahwa akidah tak ada daya tawar dan sangkut paut, dan bukan soal  enak atau tidak enak dengan orang tua. Ramadhan 1999, ia mantap meninggalkan Ahmadiyah, sekalipun tanpa restu orang tua.
"Saya semakin yakin Ahmadiyah itu sesat,"ujarnya. Kini, bersama ratusan warga Selawu, mereka hidup terisolir, di kecamatan itu masih terdapat 4700 pengikut Ahmadiyah. Mereka yang keluar, mengalami kesulitan ekonomi. Tersingkir dari komunitas Ahmadiyah, dan mesti beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Mereka ingin segera bangkit, mandiri ekonomi dan pendidikan. 
Dalam wadah Ikamasa (Ikatan Masyarakat Mantan Aliran Sesat Ahmadiyah), mengharapkan rangkulan segenap pihak. "Kita butuh bimbingan spiritual, ekonomi, dan pendidikan,"papar pria paruh baya ini.

https://www.republika.co.id/berita/mn4m38/kisah-jemaah-ahmadiyah-yang-kembali-ke-pangkuan-islam (accessed 7 Aug 2019)

No comments:

Post a Comment