Sunday, November 4, 2012

Sekuntum hikmah dari maha guru Sunnah, Syi‘ah, dan Ahmadiyah



Pengantar untuk buku  
Sekuntum hikmah dari maha guru Sunnah, Syi‘ah, dan Ahmadiyah  

Oleh Asrar Mabrur Faza

Ahmad Najib Burhani
Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)

Satu hal yang menarik dari buku ini adalah keberaniannya untuk memasukkan Ahmadiyah dalam kelompok orthodoks Islam dan menyandingkannya dengan Syi‘ah dan Ahlus Sunnah atau Islam Sunni. Tidak hanya itu, penulis buku ini juga menyandingkan Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah, dengan tokoh besar dalam Islam Sunni dan Syi‘ah; Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Ini adalah sebuah langkah besar dan kontroversial karena hampir semua ulama, baik Sunni maupun Syi‘i, menganggap Ahmadiyah sebagai ajaran yang sesat dan Mirza Ghulam Ahmad dituduh sebagai nabi palsu.

Ada beberapa kutipan dari Mirza Ghulam Ahmad yang sangat cocok untuk melihat dan merefleksikan nasib dan kondisi Ahmadiyah di Indonesia saat ini. Di halaman 12, misalnya, dikutip pernyataan Ghulam Ahmad, “Terimalah kehidupan pahit karena Tuhan. Kesulitan yang karena Tuhan suka, lebih baik dari kesenangan yang karena Tuhan murka. Kegagalan yang karenanya Tuhan suka lebih baik dari kemenangan yang menyebabkan kemurkaan Ilahi.” Kalimat ini menjadi keyakinan teologis yang sangat bermakna bagi pengikut Ahmadiyah saat ini, terutama ketika mereka menghadapi persekusi.

Ahmadiyah mengenal teologi yang biasa disebut theology of suffering (teologi penderitaan). Dengan teologi ini, maka banyak orang Ahmadi mampu menghadapi persekusi dengan senyuman, bukan tangisan. Coba kita bertanya, pernahkah orang Ahmadiyah menghujat pemerintah meskipun mereka menghadapi nasib buruk dalam dekade terakhir? Satu-satunya demonstrasi yang dilakukan oleh orang Ahmadiyah sejak turunnya Suharto tahun 1998 adalah pada 1 Juni 2008 yang lalu (peringatan Hari Kesaktian Pancasila). Selebihnya, mereka tak mau melakukan demonstrasi untuk menentang atau memprotes kebijakan pemerintah. Bagaimana orang Ahmadiyah mampu menerima berbagai penderitaan itu tanpa protes? Diantaranya adalah kemampuan mereka untuk menjiwai dan mempraktekkan kata-kata Ghulam Ahmad seperti tersebut di atas.

Kita lihat kutipan lain dalam buku ini yang juga menjadi dasar dari theology suffering dari Ahmadiyah. Di halaman 71, Ghulam Ahmad berkata: “Siapa yang menangis karena-Nya, akan dibuat-Nya tertawa gembira”. Kemudian di halaman 29 dikutipkan: “Jauhilah dendam-kesumat. Berlakulah kepada sesama makhluk dengan kasih-sayang yang sebenarnya.” Inilah beberapa prinsip mengapa Ahmadiyah tidak ingin menyerang balik para penyerangnya. Mereka bahkan mempromosikan motto: “Love for all, hatred for none” (Cinta kepada semua orang, dan tak membenci siapapun). Yang paling mencerminkan prinsip ini adalah kutipan pada halaman 69: “Sudahilah pertentangan-pertentangan antara satu sama lain dengan aman dan damai, serta maafkanlah kesalahan saudaramu. Sebab sesungguhnya jahatlah dia yang tidak bersedia diajak berdamai oleh saudaranya.”

Ada prinsip lain yang menjadi ciri dari Ahmadiyah dan menciptakan kemandirian dari organisasi ini. Seperti dikutip pada halaman 27, Ghulam Ahmad berkata: “Jika kamu sungguh punya mata, niscaya akan tampak kepadamu Tuhan dan hanya Tuhan saja. Segala sesuatu yang ada di duni ini tidak berharga sama sekali.” Kemudian di halamman 46 dikutip pernyataan dari Ghulam Ahmad: “Alihkanlah seluruh perhatianmu kepada Allah, agar perhatianmu kepada dunia ini jadi berkurang”. Kalimat-kalimat itu tidak berbeda dari kalimat-kalimat yang biasa disampaikan oleh para sufi. Bedanya, kalimat ini seringkali diejawantahkan dalam urusan dunia oleh pengikut Ahmadiyah. Misalnya, Ahmadiyah mampu mengumpulkan dana yang cukup besar untuk dakwah dan mengembangkan organisasi dengan berpegang prinsip itu. Mereka tidak membuka kotak amal di jalan-jalan dengan meminta pengendara mobil dan bis memperlambat laju kendaraannya. Untuk membangun masjid yang besar, Ahmadiyah cukup dengan dana dari anggotanya sendiri.

Selanjutnya, ada orang yang bertanya dengan heran, mengapa Ahmadiyah mempu menyulap daerah seperti Rabwah di Pakistan yang dulunya merupakan daerah tandus, kering dan mati, menjadi daerah yang ramai dan subur? Mengapa Ahmadiyah mampu menyulap Manis Lor menjadi desa yang sejahtera dan religious? Padahal sebelumnya Manis Lor adalah daerah miskin dan tempat orang yang kurang beragama. Kemampuan Ahmadiyah ini diantaranya berdasarkan penjiwaan pada prinsip yang dikutip di halaman 63 buku ini: “Waktu sangatlah pendek, sedangkan tugas hidupmu belum lagi terpenuhi. Bergegaslah melangkahkan kaki, karena hari sudah sore dan malam hampir tiba. Apa saja yang kamu persembahkan kepada Tuhan, periksalah berulang-ulang. Jangan-jangan ada kekurangan dan mnyebabkan kerugian.”

Buku ini banyak mengandung kata-kata mutiara, namun ada satu kelemahan yang mencolok. Penulis tidak menyebutkan referensi dari kutipan-kutipan itu. Dari buku apa hikmah-hikmah itu dikutip. Jika itu bias ditambahkan, maka akan menambah keindahan buku ini.

No comments:

Post a Comment