Pengantar untuk buku
Sekuntum hikmah dari maha guru Sunnah,
Syi‘ah, dan Ahmadiyah
Oleh Asrar Mabrur Faza
Oleh Asrar Mabrur Faza
Ahmad Najib Burhani
Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Satu hal yang menarik dari buku ini adalah keberaniannya
untuk memasukkan Ahmadiyah dalam kelompok orthodoks Islam dan menyandingkannya
dengan Syi‘ah dan Ahlus Sunnah atau Islam Sunni. Tidak hanya itu, penulis buku
ini juga menyandingkan Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah, dengan tokoh
besar dalam Islam Sunni dan Syi‘ah; Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib.
Ini adalah sebuah langkah besar dan kontroversial karena hampir semua ulama,
baik Sunni maupun Syi‘i, menganggap Ahmadiyah sebagai ajaran yang sesat dan
Mirza Ghulam Ahmad dituduh sebagai nabi palsu.
Ada beberapa kutipan dari Mirza Ghulam Ahmad yang sangat
cocok untuk melihat dan merefleksikan nasib dan kondisi Ahmadiyah di Indonesia
saat ini. Di halaman 12, misalnya, dikutip pernyataan Ghulam Ahmad, “Terimalah
kehidupan pahit karena Tuhan. Kesulitan yang karena Tuhan suka, lebih baik dari
kesenangan yang karena Tuhan murka. Kegagalan yang karenanya Tuhan suka lebih
baik dari kemenangan yang menyebabkan kemurkaan Ilahi.” Kalimat ini menjadi
keyakinan teologis yang sangat bermakna bagi pengikut Ahmadiyah saat ini,
terutama ketika mereka menghadapi persekusi.
Ahmadiyah mengenal teologi yang biasa disebut theology of suffering (teologi
penderitaan). Dengan teologi ini, maka banyak orang Ahmadi mampu menghadapi
persekusi dengan senyuman, bukan tangisan. Coba kita bertanya, pernahkah orang
Ahmadiyah menghujat pemerintah meskipun mereka menghadapi nasib buruk dalam
dekade terakhir? Satu-satunya demonstrasi yang dilakukan oleh orang Ahmadiyah
sejak turunnya Suharto tahun 1998 adalah pada 1 Juni 2008 yang lalu (peringatan
Hari Kesaktian Pancasila). Selebihnya, mereka tak mau melakukan demonstrasi
untuk menentang atau memprotes kebijakan pemerintah. Bagaimana orang Ahmadiyah
mampu menerima berbagai penderitaan itu tanpa protes? Diantaranya adalah
kemampuan mereka untuk menjiwai dan mempraktekkan kata-kata Ghulam Ahmad
seperti tersebut di atas.
Kita lihat kutipan lain dalam buku ini yang juga menjadi
dasar dari theology suffering dari
Ahmadiyah. Di halaman 71, Ghulam Ahmad berkata: “Siapa yang menangis
karena-Nya, akan dibuat-Nya tertawa gembira”. Kemudian di halaman 29
dikutipkan: “Jauhilah dendam-kesumat. Berlakulah kepada sesama makhluk dengan
kasih-sayang yang sebenarnya.” Inilah beberapa prinsip mengapa Ahmadiyah tidak
ingin menyerang balik para penyerangnya. Mereka bahkan mempromosikan motto:
“Love for all, hatred for none” (Cinta kepada semua orang, dan tak membenci
siapapun). Yang paling mencerminkan prinsip ini adalah kutipan pada halaman 69:
“Sudahilah pertentangan-pertentangan antara satu sama lain dengan aman dan
damai, serta maafkanlah kesalahan saudaramu. Sebab sesungguhnya jahatlah dia
yang tidak bersedia diajak berdamai oleh saudaranya.”
Ada prinsip lain yang menjadi ciri dari Ahmadiyah dan
menciptakan kemandirian dari organisasi ini. Seperti dikutip pada halaman 27,
Ghulam Ahmad berkata: “Jika kamu sungguh punya mata, niscaya akan tampak
kepadamu Tuhan dan hanya Tuhan saja. Segala sesuatu yang ada di duni ini tidak
berharga sama sekali.” Kemudian di halamman 46 dikutip pernyataan dari Ghulam
Ahmad: “Alihkanlah seluruh perhatianmu kepada Allah, agar perhatianmu kepada
dunia ini jadi berkurang”. Kalimat-kalimat itu tidak berbeda dari
kalimat-kalimat yang biasa disampaikan oleh para sufi. Bedanya, kalimat ini
seringkali diejawantahkan dalam urusan dunia oleh pengikut Ahmadiyah. Misalnya,
Ahmadiyah mampu mengumpulkan dana yang cukup besar untuk dakwah dan
mengembangkan organisasi dengan berpegang prinsip itu. Mereka tidak membuka
kotak amal di jalan-jalan dengan meminta pengendara mobil dan bis memperlambat
laju kendaraannya. Untuk membangun masjid yang besar, Ahmadiyah cukup dengan
dana dari anggotanya sendiri.
Selanjutnya, ada orang yang bertanya dengan heran, mengapa
Ahmadiyah mempu menyulap daerah seperti Rabwah di Pakistan yang dulunya
merupakan daerah tandus, kering dan mati, menjadi daerah yang ramai dan subur?
Mengapa Ahmadiyah mampu menyulap Manis Lor menjadi desa yang sejahtera dan
religious? Padahal sebelumnya Manis Lor adalah daerah miskin dan tempat orang
yang kurang beragama. Kemampuan Ahmadiyah ini diantaranya berdasarkan penjiwaan
pada prinsip yang dikutip di halaman 63 buku ini: “Waktu sangatlah pendek,
sedangkan tugas hidupmu belum lagi terpenuhi. Bergegaslah melangkahkan kaki,
karena hari sudah sore dan malam hampir tiba. Apa saja yang kamu persembahkan
kepada Tuhan, periksalah berulang-ulang. Jangan-jangan ada kekurangan dan
mnyebabkan kerugian.”
Buku ini banyak mengandung kata-kata mutiara, namun ada satu
kelemahan yang mencolok. Penulis tidak menyebutkan referensi dari
kutipan-kutipan itu. Dari buku apa hikmah-hikmah itu dikutip. Jika itu bias
ditambahkan, maka akan menambah keindahan buku ini.
No comments:
Post a Comment