Kompas, Rabu, 23 Februari 2011 | 03:06 WIB
Budiarto Danujaya
Toleransi bukanlah sekadar perkara rentang, melainkan juga batas normatif sebuah masyarakat sebagai entitas sosiopolitik. Toleransi eksesif, apalagi tak berketentuan dan tak berkesudahan, sama buruknya dengan intoleransi eksesif.
Inilah kiranya pangkal pengulangan berketerusan insiden intoleransi agama berdarah di negeri ini. Intoleransi eksesif hanya mungkin terus berulang terjadi lantaran toleransi kita terhadap intoleransi juga kelewat eksesif.
Tengoklah, setiap kebengisan intoleransi datang, hujan lebat caci maki pun menjelang. Namun, sesegera itu pula, keadaan kembali tenang seolah tak ada kegentingan apa pun sempat terjadi. Padahal, juga tak ada penanggulangan berarti apa pun sudah dilakukan. Lalu, seolah juga tak ada lagi yang peduli ke mana semua kegeraman itu menguap, sampai kerusuhan intoleransi kembali menyambang.
Ada apakah dengan politik toleransi kita? Mengapa deru demokratisasi kita, yang katanya marak puja-puji masyarakat internasional, bak kelu menghadapi keganasan intoleransi berkelanjutan semacam itu?
Tembok legal-etis
Puluhan peristiwa dari tahun ke tahun—paling tidak satu dasawarsa terakhir—menggamblangkan kepada kita bahwa rangkaian insiden tersebut bukanlah sekadar amuk massa.
Terlepas selalu diiringi merebaknya isu politisasi, misalnya, pengalihan isu atau sebaliknya juga penujuan perhatian masyarakat senyampang titik kritis pencitraan rezim penguasa sedang bergoyang, kiranya sedikit yang percaya kalau tak ada kelompok ekstremis di balik rangkaian kerusuhan ini. Bagaimana mungkin gerombolan massa di berbagai kawasan berbeda sontak jadi kelompok-kelompok bertujuan sama, jelas, tertata taktis, dan terus berulang?
Oleh karena itu, reaksi gamang para pihak berkepentingan terhadap pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membubarkan organisasi perusuh yang bertanggung jawab, jelas lebih memperlihatkan keraguan politis ketimbang ketidakpahaman situasional. Keraguan ini tampak lebih gamblang lewat upaya mengait-ngaitkan pembubaran organisasi perusuh dengan kemunduran agenda demokratisasi.
Pengaitan semacam ini jelas retorika semantik belaka. Terlalu gamblang bahwa kebengisan intoleransi merupakan perkara pelanggaran hak-hak asasi sesama warga; padahal, demokrasi justru sebuah pengakuan akan isonomia: kesetaraan kedaulatan politis segenap warga di hadapan konstitusi, terlepas dari segenap perbedaan dan keyakinannya.
Dengan demikian, dalam rezim demokratis mana pun, mestinya kesetaraan konstitusional menjadi batas legal-etis sebuah masyarakat sebagai bangsa, apalagi yang secara konstitusional mengakui kebinekaan. Dalam hal ini, laiknya sebuah negeri senantiasa memiliki ”tembok” (baca: batas wilayah kedaulatan), setiap komunitas politik baik de facto maupun de jure juga senantiasa memiliki ”tembok” (baca: batas rentang legal-etis).
Dalam konteks itulah Jacques Derrida berpendirian bahwa keterbukaan absolut, seperti halnya ketertutupan absolut, sama-sama akan membuyarkan proses pemaduan sebuah komunitas sosiopolitik. Jadi, seorang Derrida yang mewacanakan toleransi sebagai hospitalitas tanpa batas bahkan secara tak langsung akhirnya juga mengakui adanya ”marjin” toleransi. Persoalannya, kebengisan intoleransi semacam itu baginya bukan lagi perkara hospitalitas rentang toleransi, melainkan pelanggaran ”tembok” legal-etis. Jadi, perkara pelanggaran hukum di ruang publik.
Perangkap anarkisme
Pewacanaan intoleransi eksesif lebih sebagai pelanggaran hukum ini sekaligus menggamblangkan bahwa batas pemakluman terhadap kekejian eksesif semacam itu bukanlah limit psikologis, bukan pula marjin artikulatif, melainkan tembok legal-etis. Dalam kerangka yuridis-formal, batasnya adalah konstitusi beserta segenap derivasi hukumnya.
Dengan begitu, kalau perbuatan semacam itu memang harus kita caci maki, bukanlah lantaran kehabisan kesabaran akan kebrutalannya yang keterlaluan. Bukan pula perkara etis interpersonal atau komunal, melainkan jelas-jelas bermatra legal; melakukan kekerasan di ruang publik—apalagi sampai meregangkan nyawa orang lain—adalah pelanggaran hukum berat.
Tentu juga bukan lantaran menerjang marjin artikulatif kelompok keyakinan berbeda, seperti coba diwacanakan para pihak yang justru menginginkan pembubaran kelompok artikulasi keyakinan berbeda yang dianggap ekstrem sehingga memprovokasi kerusuhan. Kita harus jelas dan terpilah dalam membedakan perkara perbedaan artikulatif—bahkan intoleransi artikulatif sekalipun—dengan pelanggaran hukum.
Atas nama keyakinan apa pun, tak ada kelompok masyarakat mana pun yang berhak ”menertibkan” pihak lain dengan kekerasan. Misalnya, penutupan seminar atau pembubaran kegiatan demonstrasi kelompok lain ataupun penyegelan paksa atau penghancuran rumah hiburan, yang kelewat kerap terjadi. Secara konstitusional, hanya negara yang punya wewenang koersif. Kita boleh saja berang dan menggugat, tetapi seyogianya tetap hanya negara—lewat polisi—sajalah yang boleh melakukan penertiban koersif semacam itu.
Apalagi penyerbuan berdarah, penganiayaan berat berkorban jiwa, serta pembakaran tempat tinggal dan rumah ibadah kelompok berkeyakinan atau berartikulasi keyakinan lain. Rasanya, lewat pengadilan sekalipun, bahkan negara juga tetap tidak akan pernah cukup memiliki kewenangan hukum untuk melakukannya karena menyangkut hak-hak asasi manusia yang secara konstitusional penjagaan, pengejawantahan, dan pewujudannya justru wajib mendapat jaminan penuh negara.
Oleh karena itu, senyampang kembali terulangnya tragedi intoleransi eksesif semacam ini, kita semestinya justru diinsafkan bahwa komunitas politik, baik senyatanya maupun seharusnya memang memiliki—dan karena itu juga berkewajiban mematuhi dan merawat—batas legal-etisnya. Tanpa kesadaran bersama akan hal ini, kita mudah disilapkan kepentingan miopis kelompok sendiri, tanpa menyadari bahayanya bagi pemaduan berkelanjutan imajineri kita bersama sebagai sebuah bangsa.
Tembok legal-etis bersama itu perlu betul-betul kita sadari keniscayaannya agar tak gampang rancu membedakan intoleransi eksesif dan pelanggaran hukum; pun, tak gampang luput memahami relasi timbal-balik intoleransi tak berkejuntrungan dengan toleransi tak berkejuntrungan. Tanpa kesadaran bersama pentingnya batas normatif itu, negeri ini bisa tergelincir masuk perangkap anarkisme.
Kita tahu bangsa China sampai merasa perlu membangun tembok besar lebih dari 6.000 kilometer untuk mencegah ”barbarisme” memorakkan wilayah kedaulatannya. Rasanya, upaya raksasa ini secara metaforis cukup menggamblangkan kenyataan dan keharusan setiap negeri memiliki tembok, baik dalam arti geografis maupun legal-etis.
BUDIARTO DANUJAYA Pengajar Filsafat Politik, Departemen Filsafat FIB-UI
Retrieved from: http://nasional.kompas.com/read/2011/02/23/03060023/
Budiarto Danujaya
Toleransi bukanlah sekadar perkara rentang, melainkan juga batas normatif sebuah masyarakat sebagai entitas sosiopolitik. Toleransi eksesif, apalagi tak berketentuan dan tak berkesudahan, sama buruknya dengan intoleransi eksesif.
Inilah kiranya pangkal pengulangan berketerusan insiden intoleransi agama berdarah di negeri ini. Intoleransi eksesif hanya mungkin terus berulang terjadi lantaran toleransi kita terhadap intoleransi juga kelewat eksesif.
Tengoklah, setiap kebengisan intoleransi datang, hujan lebat caci maki pun menjelang. Namun, sesegera itu pula, keadaan kembali tenang seolah tak ada kegentingan apa pun sempat terjadi. Padahal, juga tak ada penanggulangan berarti apa pun sudah dilakukan. Lalu, seolah juga tak ada lagi yang peduli ke mana semua kegeraman itu menguap, sampai kerusuhan intoleransi kembali menyambang.
Ada apakah dengan politik toleransi kita? Mengapa deru demokratisasi kita, yang katanya marak puja-puji masyarakat internasional, bak kelu menghadapi keganasan intoleransi berkelanjutan semacam itu?
Tembok legal-etis
Puluhan peristiwa dari tahun ke tahun—paling tidak satu dasawarsa terakhir—menggamblangkan kepada kita bahwa rangkaian insiden tersebut bukanlah sekadar amuk massa.
Terlepas selalu diiringi merebaknya isu politisasi, misalnya, pengalihan isu atau sebaliknya juga penujuan perhatian masyarakat senyampang titik kritis pencitraan rezim penguasa sedang bergoyang, kiranya sedikit yang percaya kalau tak ada kelompok ekstremis di balik rangkaian kerusuhan ini. Bagaimana mungkin gerombolan massa di berbagai kawasan berbeda sontak jadi kelompok-kelompok bertujuan sama, jelas, tertata taktis, dan terus berulang?
Oleh karena itu, reaksi gamang para pihak berkepentingan terhadap pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membubarkan organisasi perusuh yang bertanggung jawab, jelas lebih memperlihatkan keraguan politis ketimbang ketidakpahaman situasional. Keraguan ini tampak lebih gamblang lewat upaya mengait-ngaitkan pembubaran organisasi perusuh dengan kemunduran agenda demokratisasi.
Pengaitan semacam ini jelas retorika semantik belaka. Terlalu gamblang bahwa kebengisan intoleransi merupakan perkara pelanggaran hak-hak asasi sesama warga; padahal, demokrasi justru sebuah pengakuan akan isonomia: kesetaraan kedaulatan politis segenap warga di hadapan konstitusi, terlepas dari segenap perbedaan dan keyakinannya.
Dengan demikian, dalam rezim demokratis mana pun, mestinya kesetaraan konstitusional menjadi batas legal-etis sebuah masyarakat sebagai bangsa, apalagi yang secara konstitusional mengakui kebinekaan. Dalam hal ini, laiknya sebuah negeri senantiasa memiliki ”tembok” (baca: batas wilayah kedaulatan), setiap komunitas politik baik de facto maupun de jure juga senantiasa memiliki ”tembok” (baca: batas rentang legal-etis).
Dalam konteks itulah Jacques Derrida berpendirian bahwa keterbukaan absolut, seperti halnya ketertutupan absolut, sama-sama akan membuyarkan proses pemaduan sebuah komunitas sosiopolitik. Jadi, seorang Derrida yang mewacanakan toleransi sebagai hospitalitas tanpa batas bahkan secara tak langsung akhirnya juga mengakui adanya ”marjin” toleransi. Persoalannya, kebengisan intoleransi semacam itu baginya bukan lagi perkara hospitalitas rentang toleransi, melainkan pelanggaran ”tembok” legal-etis. Jadi, perkara pelanggaran hukum di ruang publik.
Perangkap anarkisme
Pewacanaan intoleransi eksesif lebih sebagai pelanggaran hukum ini sekaligus menggamblangkan bahwa batas pemakluman terhadap kekejian eksesif semacam itu bukanlah limit psikologis, bukan pula marjin artikulatif, melainkan tembok legal-etis. Dalam kerangka yuridis-formal, batasnya adalah konstitusi beserta segenap derivasi hukumnya.
Dengan begitu, kalau perbuatan semacam itu memang harus kita caci maki, bukanlah lantaran kehabisan kesabaran akan kebrutalannya yang keterlaluan. Bukan pula perkara etis interpersonal atau komunal, melainkan jelas-jelas bermatra legal; melakukan kekerasan di ruang publik—apalagi sampai meregangkan nyawa orang lain—adalah pelanggaran hukum berat.
Tentu juga bukan lantaran menerjang marjin artikulatif kelompok keyakinan berbeda, seperti coba diwacanakan para pihak yang justru menginginkan pembubaran kelompok artikulasi keyakinan berbeda yang dianggap ekstrem sehingga memprovokasi kerusuhan. Kita harus jelas dan terpilah dalam membedakan perkara perbedaan artikulatif—bahkan intoleransi artikulatif sekalipun—dengan pelanggaran hukum.
Atas nama keyakinan apa pun, tak ada kelompok masyarakat mana pun yang berhak ”menertibkan” pihak lain dengan kekerasan. Misalnya, penutupan seminar atau pembubaran kegiatan demonstrasi kelompok lain ataupun penyegelan paksa atau penghancuran rumah hiburan, yang kelewat kerap terjadi. Secara konstitusional, hanya negara yang punya wewenang koersif. Kita boleh saja berang dan menggugat, tetapi seyogianya tetap hanya negara—lewat polisi—sajalah yang boleh melakukan penertiban koersif semacam itu.
Apalagi penyerbuan berdarah, penganiayaan berat berkorban jiwa, serta pembakaran tempat tinggal dan rumah ibadah kelompok berkeyakinan atau berartikulasi keyakinan lain. Rasanya, lewat pengadilan sekalipun, bahkan negara juga tetap tidak akan pernah cukup memiliki kewenangan hukum untuk melakukannya karena menyangkut hak-hak asasi manusia yang secara konstitusional penjagaan, pengejawantahan, dan pewujudannya justru wajib mendapat jaminan penuh negara.
Oleh karena itu, senyampang kembali terulangnya tragedi intoleransi eksesif semacam ini, kita semestinya justru diinsafkan bahwa komunitas politik, baik senyatanya maupun seharusnya memang memiliki—dan karena itu juga berkewajiban mematuhi dan merawat—batas legal-etisnya. Tanpa kesadaran bersama akan hal ini, kita mudah disilapkan kepentingan miopis kelompok sendiri, tanpa menyadari bahayanya bagi pemaduan berkelanjutan imajineri kita bersama sebagai sebuah bangsa.
Tembok legal-etis bersama itu perlu betul-betul kita sadari keniscayaannya agar tak gampang rancu membedakan intoleransi eksesif dan pelanggaran hukum; pun, tak gampang luput memahami relasi timbal-balik intoleransi tak berkejuntrungan dengan toleransi tak berkejuntrungan. Tanpa kesadaran bersama pentingnya batas normatif itu, negeri ini bisa tergelincir masuk perangkap anarkisme.
Kita tahu bangsa China sampai merasa perlu membangun tembok besar lebih dari 6.000 kilometer untuk mencegah ”barbarisme” memorakkan wilayah kedaulatannya. Rasanya, upaya raksasa ini secara metaforis cukup menggamblangkan kenyataan dan keharusan setiap negeri memiliki tembok, baik dalam arti geografis maupun legal-etis.
BUDIARTO DANUJAYA Pengajar Filsafat Politik, Departemen Filsafat FIB-UI
Retrieved from: http://nasional.kompas.com/read/2011/02/23/03060023/
No comments:
Post a Comment