Gatra,
Minggu, 28 Oktober 2012 14:08
Jakarta, GATRAnews - Malam takbiran memperingati lebaran Idul Adha di Kota Kembang, Bandung, Jawa Barat, berlangsung meriah pada Kamis (26/10/2012) malam. Seperti kota-kota lain di Indonesia, gema takbir berkumandang, bersahut-sahutan, menyebut kebesaran illahi.
Sayang, suasana malam takbiran yang meriah di Bandung ternodai oleh aksi anarkhis perusakan sebuah mesjid. Puluhan anggota Front Pembela Islam (FPI) menyatroni dan merusak Masjid An-Nasir milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Gang Sapari Kelurahan Cibadak, Kecamatan Astana Anyar, Bandung.
Penyerangan bermula saat puluhan anggota FPI melakukan razia minuman keras dan hiburan malam di wilayah itu. Namun, saat melewati Masjid An-Nasir, sekitar pukul 23.00 WIB, mereka melihat warga Ahmadiyah tengah bertakbir. Para anggota FPI meminta warga Ahmadiyah menghentikan ibadah mereka.
Namun permintaan tersebut ditolak. Cekcok pun terjadi. Anggota FPI bersikukuh meminta jamaah mematuhi peraturan Gubernur Jabar yang melarang berbagai bentuk aktivitas Ahmadiyah. Keputusan gubernur yang dimaksud adalah Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat, yang diteken Gubernur Ahmad Heryawan pada 3 Maret 2011 lalu.
Karena tak ada yang mau mengalah, mereka mendatangi Mapolsek Astana Anyar yang letaknya hanya 300 meter dari masjid. Namun, pertemuan berakhir buntu. Mendengar itu, anggota FPI yang masih berada di sekitar masjid melempari kaca dan merusak pagar masjid. Pengrusakan ini terjadi sekitar pukul 01.00, Jumat (26/10/2012) dini hari.
Penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, sering terjadi bentrok antar umat yang dipicu oleh keberadaan Ahmadiyah. Masih di Jawa Barat, tepatnya di Bogor, Tasikmalaya dan Kuningan, misalnya, nasib Ahmadiyah lebih buruk. Belum lama ini, masjid Ahmadiyah di Ciampea, Bogor, dibakar massa. Juga ada teror pembakaran panti asuhan di Tasikmalaya dan bentrokan di Kuningan.
Di provinsi banten, puncak tragedi berdarah terkait aliran Ahmadiyah terjadi pada Ahad, 6 Februari 2011. Tiga orang tewas dalam penyerbuan rumah mubalig Ahmadiyah, Suparman, di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten.
Sementara itu, di luar Jawa pun sering terjadi bentrok antar umat terkait keberadaan Ahmadiyah. Pada 2004, para pengikut ajaran Mirza Ghulam Ahmad di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, harus mengungsi dari tanahnya sendiri. Jumlahnya tak sedikit, mencapai 36 kepala keluarga dan 138 jiwa. Bertahun-tahun mereka harus tinggal di Wisma Transito.
Jamaah Ahmadiyah juga ditolak di Sulawesi Selatan. Sekretariat mereka di Jalan Anuang, Kecamatan Mamajang, Makassar, didatangi seratusan anggota FPI Sulawesi Selatan, pada 28 dan 29 Januari 2011. Akibatnya, puluhan anggota Ahmadiyah terpaksa diungsikan ke kantor Polrestabes Makassar.
Setara Institute mencatat, pada kurun 2008-2010, ada 276 kali aksi kekerasan terkait aliran Ahmadiyah. Paling banyak terjadi pada 2008, yakni 193 kasus, atau 73 persen dari total kekerasan terkiat aliran beragama. Pada 2009 dan 2010, bentrok karena kehadiran Ahmadiyah masing-masing sebanyak 33 dan 50 kali.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Ma'ruf Amin mengaku khawatir bila bentrokan antar umat beragama itu tidak segera ditanggulangi. Khusus kejadian di Bandung pada malam takbiran menyambut lebaran haji, menurut dia, bila tak segera diantisipasi, bisa menjalar ke kota besar lainnya.
Ma'ruf menegaskan penyerangan oleh FPI tidak bisa dibenarkan. "Eksekusi tidak boleh dilakukan oleh umat. Jika masyarakat melihat ada pelanggaran, laporkan saja pada aparat agar pemerintah, yang bertindak," kata Ma'ruf di Jakarta, Sabtu (27/10/2012).
Agar tak terjadi lagi tindakan anarkis serupa, Ma'ruf meminta kepada pemerintah untuk bergerak cepat mengatasi permasalah tersebut. "Aparat hukum harus sigap, harus berani melakukan tindakan. Kalau pidana, aparat harus berani, jangan pandang bulu," tegasnya.
Ia pun meminta kepada umat Islam untuk menahan diri dan tidak mudah terpancing emosi. "Ini terjadi karena emosi yang tidak terkendali, diprovokasi. Ini yang harus dihindari," ujarnya.
Mengapa bentrok FPI dan Ahmadiyah itu tak berujung? Pihak FPI memandang bahwa faham Ahmadiyah telah melenceng dari Islam. Selain itu, keberadaannya sudah melanggar Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, yaitu Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung pada 9 Juni 2008. Surat tersebut memerintahkan penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatan yang bertentangan dengan Islam.
Tapi, keputusan itu memancing tafsir yang lentur. FPI memandang semua kegiatan Ahmadiyah tergolong sebagai dakwah. “Harusnya mereka berhenti. Jika tidak, mereka telah menyebarkan ajaran kafir,” kata Habib Reza, salah satu pentolan FPI.
Sumber konflik adalah perbedaan tafsir mengenai nabi terakhir. Ahmadiyah menafsirkan, setelah Nabi Muhammad wafat, muncul tokoh pembaru yang jadi panutan, yakni Mirza Ghulam Ahmad. Ia dianggap sebagai nabi yang tak membawa syariat baru.
Ketua MUI Bidang Kerukunan Antar Umat Beragama Slamet Effendi Yusuf mengatakan penafsiran Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi tak bisa diterima sebagian besar umat Islam. "Hampir semua menganggap Ahmadiyah sesat," kata dia.
Tapi, tudingan itu ditolak Ahmadiyah. Mereka berkilah, Ahmadiyah tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Adapun soal kitab Tazkirah, pihak Ahmadiyah mengaku itu bukanlah kitab suci. Kitab tersebut hanya kumpulan pengalaman rohani Mirza Ghulam Ahmad. Mereka mengakui bahwa pegangan dan pedoman hidup Ahmadiyah tetaplah Alquran.
Soal kontroversi Ahmadiyah ini, cendekiawan muslim dan mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Azyumardi Azra menekankan pentingnya ulama dan tokoh masyarakat mendidik masyarakat. Azyumardi meminta masyarakat tak alergi atas keberadaan Ahmadiyah.
"Jangan cepat marah. Perkuat saja keimanan kita sendiri," ujar Azyumardi. "Kementerian Agama perlu memberikan pendidikan yang lebih intensif kepada umat Islam supaya keimanannya tidak goyah."
Dia juga menyarankan pemerintah memperkuat toleransi kerukunan umat beragama. Azyumardi sendiri percaya Ahmadiyah tak merusak agama Islam. Keberadaan Ahmadiyah tak bakal mengurangi keimanan seseorang. "Keimanan saya tetap saja meskipun ada orang-orang Ahmadiyah," pungkasnya. (HP)
Retrieved from: http://www.gatra.com/fokus-berita/19977-fpi-vs-ahmadiyah-kapan-berakhir.html
Jakarta, GATRAnews - Malam takbiran memperingati lebaran Idul Adha di Kota Kembang, Bandung, Jawa Barat, berlangsung meriah pada Kamis (26/10/2012) malam. Seperti kota-kota lain di Indonesia, gema takbir berkumandang, bersahut-sahutan, menyebut kebesaran illahi.
Sayang, suasana malam takbiran yang meriah di Bandung ternodai oleh aksi anarkhis perusakan sebuah mesjid. Puluhan anggota Front Pembela Islam (FPI) menyatroni dan merusak Masjid An-Nasir milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Gang Sapari Kelurahan Cibadak, Kecamatan Astana Anyar, Bandung.
Penyerangan bermula saat puluhan anggota FPI melakukan razia minuman keras dan hiburan malam di wilayah itu. Namun, saat melewati Masjid An-Nasir, sekitar pukul 23.00 WIB, mereka melihat warga Ahmadiyah tengah bertakbir. Para anggota FPI meminta warga Ahmadiyah menghentikan ibadah mereka.
Namun permintaan tersebut ditolak. Cekcok pun terjadi. Anggota FPI bersikukuh meminta jamaah mematuhi peraturan Gubernur Jabar yang melarang berbagai bentuk aktivitas Ahmadiyah. Keputusan gubernur yang dimaksud adalah Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat, yang diteken Gubernur Ahmad Heryawan pada 3 Maret 2011 lalu.
Karena tak ada yang mau mengalah, mereka mendatangi Mapolsek Astana Anyar yang letaknya hanya 300 meter dari masjid. Namun, pertemuan berakhir buntu. Mendengar itu, anggota FPI yang masih berada di sekitar masjid melempari kaca dan merusak pagar masjid. Pengrusakan ini terjadi sekitar pukul 01.00, Jumat (26/10/2012) dini hari.
Penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, sering terjadi bentrok antar umat yang dipicu oleh keberadaan Ahmadiyah. Masih di Jawa Barat, tepatnya di Bogor, Tasikmalaya dan Kuningan, misalnya, nasib Ahmadiyah lebih buruk. Belum lama ini, masjid Ahmadiyah di Ciampea, Bogor, dibakar massa. Juga ada teror pembakaran panti asuhan di Tasikmalaya dan bentrokan di Kuningan.
Di provinsi banten, puncak tragedi berdarah terkait aliran Ahmadiyah terjadi pada Ahad, 6 Februari 2011. Tiga orang tewas dalam penyerbuan rumah mubalig Ahmadiyah, Suparman, di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten.
Sementara itu, di luar Jawa pun sering terjadi bentrok antar umat terkait keberadaan Ahmadiyah. Pada 2004, para pengikut ajaran Mirza Ghulam Ahmad di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, harus mengungsi dari tanahnya sendiri. Jumlahnya tak sedikit, mencapai 36 kepala keluarga dan 138 jiwa. Bertahun-tahun mereka harus tinggal di Wisma Transito.
Jamaah Ahmadiyah juga ditolak di Sulawesi Selatan. Sekretariat mereka di Jalan Anuang, Kecamatan Mamajang, Makassar, didatangi seratusan anggota FPI Sulawesi Selatan, pada 28 dan 29 Januari 2011. Akibatnya, puluhan anggota Ahmadiyah terpaksa diungsikan ke kantor Polrestabes Makassar.
Setara Institute mencatat, pada kurun 2008-2010, ada 276 kali aksi kekerasan terkait aliran Ahmadiyah. Paling banyak terjadi pada 2008, yakni 193 kasus, atau 73 persen dari total kekerasan terkiat aliran beragama. Pada 2009 dan 2010, bentrok karena kehadiran Ahmadiyah masing-masing sebanyak 33 dan 50 kali.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Ma'ruf Amin mengaku khawatir bila bentrokan antar umat beragama itu tidak segera ditanggulangi. Khusus kejadian di Bandung pada malam takbiran menyambut lebaran haji, menurut dia, bila tak segera diantisipasi, bisa menjalar ke kota besar lainnya.
Ma'ruf menegaskan penyerangan oleh FPI tidak bisa dibenarkan. "Eksekusi tidak boleh dilakukan oleh umat. Jika masyarakat melihat ada pelanggaran, laporkan saja pada aparat agar pemerintah, yang bertindak," kata Ma'ruf di Jakarta, Sabtu (27/10/2012).
Agar tak terjadi lagi tindakan anarkis serupa, Ma'ruf meminta kepada pemerintah untuk bergerak cepat mengatasi permasalah tersebut. "Aparat hukum harus sigap, harus berani melakukan tindakan. Kalau pidana, aparat harus berani, jangan pandang bulu," tegasnya.
Ia pun meminta kepada umat Islam untuk menahan diri dan tidak mudah terpancing emosi. "Ini terjadi karena emosi yang tidak terkendali, diprovokasi. Ini yang harus dihindari," ujarnya.
Mengapa bentrok FPI dan Ahmadiyah itu tak berujung? Pihak FPI memandang bahwa faham Ahmadiyah telah melenceng dari Islam. Selain itu, keberadaannya sudah melanggar Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, yaitu Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung pada 9 Juni 2008. Surat tersebut memerintahkan penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatan yang bertentangan dengan Islam.
Tapi, keputusan itu memancing tafsir yang lentur. FPI memandang semua kegiatan Ahmadiyah tergolong sebagai dakwah. “Harusnya mereka berhenti. Jika tidak, mereka telah menyebarkan ajaran kafir,” kata Habib Reza, salah satu pentolan FPI.
Sumber konflik adalah perbedaan tafsir mengenai nabi terakhir. Ahmadiyah menafsirkan, setelah Nabi Muhammad wafat, muncul tokoh pembaru yang jadi panutan, yakni Mirza Ghulam Ahmad. Ia dianggap sebagai nabi yang tak membawa syariat baru.
Ketua MUI Bidang Kerukunan Antar Umat Beragama Slamet Effendi Yusuf mengatakan penafsiran Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi tak bisa diterima sebagian besar umat Islam. "Hampir semua menganggap Ahmadiyah sesat," kata dia.
Tapi, tudingan itu ditolak Ahmadiyah. Mereka berkilah, Ahmadiyah tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Adapun soal kitab Tazkirah, pihak Ahmadiyah mengaku itu bukanlah kitab suci. Kitab tersebut hanya kumpulan pengalaman rohani Mirza Ghulam Ahmad. Mereka mengakui bahwa pegangan dan pedoman hidup Ahmadiyah tetaplah Alquran.
Soal kontroversi Ahmadiyah ini, cendekiawan muslim dan mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Azyumardi Azra menekankan pentingnya ulama dan tokoh masyarakat mendidik masyarakat. Azyumardi meminta masyarakat tak alergi atas keberadaan Ahmadiyah.
"Jangan cepat marah. Perkuat saja keimanan kita sendiri," ujar Azyumardi. "Kementerian Agama perlu memberikan pendidikan yang lebih intensif kepada umat Islam supaya keimanannya tidak goyah."
Dia juga menyarankan pemerintah memperkuat toleransi kerukunan umat beragama. Azyumardi sendiri percaya Ahmadiyah tak merusak agama Islam. Keberadaan Ahmadiyah tak bakal mengurangi keimanan seseorang. "Keimanan saya tetap saja meskipun ada orang-orang Ahmadiyah," pungkasnya. (HP)
Retrieved from: http://www.gatra.com/fokus-berita/19977-fpi-vs-ahmadiyah-kapan-berakhir.html
No comments:
Post a Comment