Burhani,
Ahmad Najib. 2014. "Khilafah Ahmadiyah sebagai Satu Model Penerapan
Sistem Kekhilafahan di Era Kontemporer", in Komaruddin Hidayat (ed.), Kontroversi Khilafah: Islam, Negara, dan Pancasila. Bandung: Mizan, pp. 113-129.
Sejak
IS (Islamic State, sebelumnya ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) atau ISIL
(Islamic State of Iraq and the Levant)) mendeklarasikan terbentuknya
kekhilafahan baru bagi umat Islam dengan Abu Bakr al-Baghdadi (lahir 1971) sebagai
khalifahnya pada 29 Juni 2014, isu tentang khilafah Islamiyah kembali ramai
dibicarakan dan menjadi energi baru bagi beberapa kelompok yang selama ini
mendukung khilafah. Sebelum IS, wacana dan upaya untuk mewujudkan khilafah telah
dipromosikan secara massif oleh Hizbut Tahrir (HT) sejak 1953 dan Al-Qaeda sejak
akhir 1980an sebagai pengganti dari sistem demokrasi yang dipandang oleh
kelompok ini sebagai sistem tidak Islami. Meski ketiga kelompok itu sama-sama
mempromosikan khilafah, namun masing-masing dari ketiga kelompok itu saling
menentang kekhilafahan yang diusung kelompok lain.[1]
Sebagai
sebuah sistem pemerintahan, khilafah telah hancur pada Maret 1924 setelah
sistem ini berjalan lebih dari 13 abad semenjak wafatnya Nabi Muhammad tahun
632 Masehi. Namun sebagai wacana, gagasan untuk membangun kembali khilafah itu terus
muncul dalam tubuh sebagian umat Islam. Tahun
2007 lalu, misalnya, Universitas Meryland mengadakan survey terhadap 4.384
orang Islam di empat negara (Maroko, Mesir, Pakistan, dan Indonesia). Salah
satu pertanyaannya adalah pandangan mereka tentang khilafah. Mereka yang
memberikan jawaban “sangat setuju” (agree
strongly) dan “agak setuju” (agree
somewhat) adalah sebagai berikut: Mesir (67%), Indonesia (49%), Maroko
(71%), dan Pakistan (67%).[2]
Selain HT dan Al-Qaida, salah satu promoter wacana khilafah adalah Abul A’la
Maududi (1903-1979) yang, misalnya, menyebutkan bahwa khilafah adalah salah
satu dari tiga prinsip politik Islam, yaitu tauhid, risalah (kenabian), dan
khilafah (Maududi tt.; Liebl 2009, 373-4).[3]
Dalam
wacana tentang khilafah ini, satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa kalau
Ahmadiyah diakui sebagai bagian dari Islam, maka sistem kekhilafahan Islam itu sebetulnya
tidaklah benar-benar hancur. Ini karena sebelum kekhilafahan Turki Utsmani dibubarkan
oleh Mustafa Kemal Ataturk, pada tahun 1908 kelompok Ahmadiyah telah mendirikan
kekhilafahan baru di India. Hanya saja, karena kelompok ini sering dipandang
sebagai kelompok sesat dan di luar Islam, maka kekhilafahan Ahmadiyah sering
tak diperhatikan oleh umat Islam lain.
Tulisan
ini secara lebih khusus akan melihat sistem kekhilafahan Ahmadiyah dan sekilas
perbedaannya dengan sistem kekhilafan Islam yang lain. Beberapa pertanyaan yang
hendak dibahas dalam tulisan ini adalah: Bagaimana sistem khilafah Ahmadiyah itu
terbentuk dan bagaimana cara memilih khalifah? Apa dasar otoritas dari khalifah
dan apa batas kekuasaan yang dimilikinya? Apakah ada batasan masa kekuasaan
dari seorang khalifah? Kekhilafahan Ahmadiyah, yang menjadi bahasan utama
tulisan ini, diangkat untuk memberikan bayangan perbandingan tentang wujud dari
sistem khilafah itu ketika diterapkan oleh kelompok Islam di masa kontemporer.
Tentu saja akan terjadi berbagai variasi ketika sistem khilafah diterapkan oleh
umat Islam yang berbeda, namun ada elemen yang sama dalam semua sistem
khilafah, diantaranya adalah adanya bayangan tentang persatuan seluruh umat
Islam dibawah satu khalifah dan adanya otoritas keagamaan yang luar biasa pada
diri khalifah.
[1] Penolakan HT terhadap IS bisa
dilihat di link ini: http://hizbut-tahrir.or.id/2014/07/26/bagaimana-sikap-ht-terhadap-khilafah-yang-diproklamirkan-isis/
(Diakases 1 September 2014). Hubungan IS dengan AL-Qaeda bahkan telah
putus sama sekali sejak Februari 2014.
[2] “Muslim Public Opinion on U.S.
Policy, Attacks on Civilians, and al Qaeda”. Versi online survey ini tersedia
di http://www.worldpublicopinion.org/pipa/pdf/apr07/START_Apr07_quaire.pdf (Diunduh 25 Agustus 2014). Hasil
ini tentu mengejutkan dan meragukan karena berdasarkan survey yang dilakukan
oleh PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat) UIN Jakarta pada 2010,
pendukung Hizbut Tahrir, kelompok yang paling getol mengusung khilafah, di
Indonesia itu hanya 0,4 persen (Bush 2012). Tentu saja harus dilihat bahwa
pertanyaan yang diajukan oleh kedua survey itu memang berbeda; yang pertama
tentang khilafah, yang kedua tentang HT. Pendukung khilafah belum tentu
pendukung HT, tapi pendukung HT pasti menjadi pendukung khilafah.
[3] Intinya, menurut Maududi, dengan
sistem khilafah tersebut maka otoritas manusia dalam politik di dunia ini
sebetulnya hanya untuk mewujudkan apa yang diperintahkan oleh Allah.