Saturday, December 2, 2017
Thursday, November 23, 2017
Memahami Kontroversi Ahmadiyah
Geotimes, Jum'at, 24 November 2017
Jemaah Ahmadiyah Berkunjung & Berdoa di Depan Makam Mirza Ghulam Ahmad [foto: Ahmad Najib Burhani] |
Ahmad
Najib Burhani*
Dalam
beberapa sidang Judicial Review terhadap
UU No. 1/PNPS/1965, persoalan yang berulang kali ditanyakan adalah terkait
keyakinan Ahmadiyah. Demikian pula dalam sidang keenam, 7 November 2017 yang
lalu. Persoalan ini muncul karena isu yang menjadi alasan diskriminasi terhadap
komunitas ini dan juga menjadi alasan berbagai peraturan terkait Ahmadiyah
adalah teologi. Intinya adalah pada kontroversi apakah keyakinan itu bisa dianggap
sebagai penodaan agama atau tidak.
Bagi
kelompok yang tak setuju dengan keberadaan Ahmadiyah, keyakinan dan keberadaan
komunitas ini dianggap telah mengganggu “ketertiban umum”, yang sering
diartikan sebagai “mengganggu hati” atau “merecoki keamanan keyakinan” atau
“mengganggu keimanan kelompok mainstream”. Karena Ahmadiyah tak melakukan makar
atau keonaran, “ketertiban umum” itu tak banyak berhubungan dengan gangguan
fisik atau properti atau ketenteraman masyarakat dalam arti non-teologis. Keyakinan
Ahmadiyah yang berbeda dianggap merusak kenyamanan dan ketertiban masyarakat
Muslim di Indonesia secara batin dan karena itu mereka perlu dilarang.
Ahmadiyah
memang gerakan yang sering disalahpahami dan kerap menjadi kontroversi. Karena
itu, tulisan ini mencoba menjelaskan secara ringkas hal-hal kontroversial dalam
Ahmadiyah yang muncul dalam persidangan beberapa hari lalu, terutama terkait kenabian,
buku Tazkirah, persepsi kelompok ini
terhadap umat Islam lain, dan sholat berjamaah dengan Muslim lain.
Ahmadiyah
Mirip Gerakan Tarekat
Berbeda
dari anggapan bahwa Ahmadiyah memiliki syahadat khusus, syahadat jemaat ini
adalah dua kalimat syahadat, persis seperti yang diucapkan oleh umat Islam
lain. Namun demikian, sebagai komunitas yang menekankan jalinan sesama anggota
yang kuat, selain bersyahadat maka semua anggota Ahmadiyah wajib berbai’at.
Tradisi bai’at ini bukanlah sesuatu yang hanya didapati di Ahmadiyah. Praktik
ini umum terjadi dalam gerakan tarekat dalam dunia tasawuf. Karena itu, bisa dikatakan
bahwa Ahmadiyah memiliki pola yang mirip dengan tarekat.
Selain
bai’at, ciri lain dari tarekat adalah ketaatan mutlak kepada mursyid. Ini juga
terjadi di Ahmadiyah. Bedanya, mursyid dalam gerakan ini adalah khalifah yang
saat ini dipegang oleh Mirza Masroor Ahmad. Hubungan pengikut Ahmadiyah dengan
khalifahnya adalah seperti hubungan mursyid dengan muridnya. Kadang, hubungan
Ahmadi dengan khalifahnya bisa lebih dari sekadar mursyid-murid karena mereka bisa
memiliki hubungan personal yang sangat kuat hingga biasa melaporkan berbagai
hal terkait kehidupan kepada khalifah, termasuk urusan pribadi.
Bagi
mereka yang di luar tarekat, dan juga non-Ahmadiyah, ketaatan kepada mursyid
dan khalifah itu terlihat berlebihan. Ini adalah salah satu kritik yang sering
dilontarkan baik kepada tarekat dan juga kapada Ahmadiyah. Bedanya, jika praktek
yang terjadi di tarekat sering dipandang masih berada dalam koridor Islam, apa
yang dilakukan oleh Ahmadiyah sering dinilai telah keluar dari Islam.
Dalam
sidang Mahkamah Konstitusi yang lalu, ada satu pertanyaan yang terkait dengan
persoalan kekhilafahan ini, yaitu pertanyaan tentang perbedaan produk dan
metodologi penafsiran agama di Ahmadiyah. Untuk memudahkan jawaban terhadap
pertanyaan ini, barangkali perbandingan antara yang dipraktikkan di NU,
Muhammadiyah, dan Ahmadiyah akan sedikit membantu. Dalam menentukan pandangan
hukumnya, NU menggunakan sumber: kitab kuning (terutama Syafiiyah), pandangan
para kyai, Al-Qur’an dan hadits, dan tentu saja akal. Di Muhammadiyah, metode
yang dipakai adalah: Teks Al-Qur’an dan hadits adalah yang pertama, lantas
digunakan akal, dan referensi dari kitab-kitab terdahulu merupakan pelengkap.
Di
Ahmadiyah, elemen dan urutannya agak berbeda. Khalifah dan pandangan pendiri gerakan
ini adalah referensi pertama, kemudian Al-Qur’an dan hadits, dan lantas penggunaan
akal. Inilah yang kemudian melahirkan pandangan bahwa ortodoksi di NU itu banyak
ditentukan oleh “kitab kuning”, sementara di Muhammadiyah banyak didasarkan
pada “kitab suci”. Di Ahmadiyah, ortodoksinya banyak ditentukan oleh “kitab
yang hidup” atau khalifah.
Kenabian
dan Tazkirah
Persoalan
yang tak disinggung dalam persidangan adalah tentang kenabian Mirza Ghulam
Ahmad. Membaca beberapa buku Ahmadiyah secara mandiri memang kadang bisa bingung
dan terkecoh. Kalau dasar hati kita memang sudah tidak suka, maka yang dicari-cari
adalah pembenaran terhadap ketidaksukaan itu. Diantaranya dengan mencari kutipan-kutipan
atau pernyataan yang menyudutkan Ahmadiyah.
Ada
beberapa buku yang seakan menunjukkan bahwa posisi Mirza Ghulam Ahmad yang
sangat tinggi, bahkan melakukan klaim-klaim seperti yang dilakukan oleh Syekh
Siti Jenar. Namun, jika mencoba hidup bersama Ahmadi, akan lebih jelas pemahaman
kita tentang persoalan ini. Tanpa melakukan proses itu, hasil yang diraih
adalah sama dengan yang terjadi pada beberapa orang yang terjangkit
Islamophobia ketika membaca teks Al-Qur’an. Bahwa ada cukup ayat yang menyuruh
untuk membunuh dan menjadi teroris. Apakah memang seperti itu yang diajarkan
Al-Qur’an? Tanyakanlah kepada umat Islam agar tahu konteksnya. Demikian pula dengan
Ahmadiyah. Tanyakanlah beberapa hal yang kontroversial itu kepada mereka, agar
tahu konteks dan pemahamannya.
Memang
disebutkan dalam beberapa literatur dan juga disampaikan oleh pengikut
Ahmadiyah bahwa Ghulam Ahmad adalah seorang nabi. Sering disebutkan bahwa ia
hanyalah nabi pengganti, sebagaimana terefleksikan dari namanya, Ghulam Ahmad,
yang berarti pelayan terhadap Ahmad (nama lain dari Nabi Muhammad). Posisinya
mirip dengan Harun terhadap Musa. Ia adalah nabi tanpa syari’at. Agama dan
syari’at yang dijalankannya adalah sama dengan yang dibawa oleh Nabi Muhammad.
Prejudice terhadap
Ahmadiyah itu tampak terang dalam kaitannya dengan Tazkirah, buku yang selama ini dianggap oleh lawan-lawan Ahmadiyah
sebagai kitab suci komunitas ini. Sejauh penelitian penulis, Tazkirah bukanlah kitab suci Ahmadiyah.
Kitab suci mereka adalah Al-Qur’an. Lantas mengapa ada kata “suci” dalam
halaman muka buku ini dan juga beberapa kutipan didalamnya? Seperti apa isi
dari buku ini?
Para
orentalis lama sering dikritik karena penilaian mereka terhadap Islam sering
didasarkan pada teks tertentu dan tidak melihat Islam sebagai “living religion”
atau agama yang hidup di tengah masyarakat. Kita juga sering terjebak melakukan
hal yang sama, melihat Ahmadiyah dari cover
buku dan beberapa kutipan dan kemudian menginterpretasikan sendiri. Kita
tidak mau bertanya kepada subyek yang kita kaji dan ketika diberi tahu, malah dibantahnya.
Seakan kita lebih tahu tentang Ahmadiyah daripada orang Ahmadiyah sendiri. Kita
seperti beberapa pengkaji Islam atau pengkaji Indonesia yang dikritik karena
arogan dan merasa lebih tahu tentang Islam dan Indonesia daripada pelakunya
sendiri.
Tazkirah
memang menjadi salah satu buku referensi utama dalam Ahmadiyah, namun itu bukan
kitab suci dan tidak selevel dengan kitab suci. Buku yang ditulis tahun 1930-an
ini isinya merupakan kumpulan wahyu, ilham, dan ketetapan dari Mirza Ghulam
Ahmad. Buku ini ditulis secara kronologis. Kata “suci” dalam cover buku itu tidak menunjukkan bahwa
ia adalah kitab suci. Tidak sepenuhnya sama, namun kita bisa melihat penggunaan
kata “suci” pada nama seni bela diri yang ada di Muhammadiyah, Tapak Suci
Putera Muhammadiyah. Kata “suci” dalam nama ini tak menunjukkan bahwa
gerakan-gerakannya berasal dari wahyu Tuhan, tapi lebih menunjukkan bahwa
aliran dan keilmuwan pencak silat ini “berlandaskan Al-Islam, bersih dari
syirik dan menyesatkan, dengan sikap mental dan gerak langkah yang merupakan
tindak tanduk kesucian dan mengutamakan Iman dan Akhlak” (Persilat 2017).
Tidak
ada orang Ahmadiyah yang menyebut Tazkirah sebagai kitab sucinya. Mengapa kita
terus memaksa mereka untuk mengakui itu? Demikian juga dengan haji. Qadian
bukanlah tempat ibadah haji bagi Ahmadiyah dan mereka telah berulang kali
menegaskan itu. Mengapa banyak orang yang ngotot
menyebutkan bahwa mereka berhaji ke Qadian? Sikap demikian itu seakan
menunjukkan bahwa kita, sebagai outsider,
merasa lebih tahu tentang keyakinan seseorang dibanding pelaku keyakinan itu
sendiri.
Minaratul Masih Terlihat dari Halaman Masjidil Aqsa [foto: Ahmad Najib Burhani] |
Klaim
Sesat dan Kafir
Bagaimana
dengan klaim sesat dari Ahmadiyah terhadap umat Islam lain dan anggapan bahwa
non-Ahmadi adalah kafir? Dalam beberapa literatur dan video bisa ditemukan juga
klaim bahwa Ahmadiyah adalah “the true Islam”. Anggapan seperti ini memang bisa
ditemukan di Ahmadiyah. Ini adalah anggapan dan keyakinan yang sama yang
terjadi pada Sunni Islam atau kelompok Ahlus
Sunnah bahwa hanya kelompoknya saja yang masuk surga. Kelompok Islam yang
lain akan masuk neraka, sesuai dengan hadits tentang 73 golongan umat Islam. Jika
Sunni boleh membuat klaim seperti itu, mengapa Ahmadiyah tidak boleh? Klaim
teologis seperti ini akan terus terjadi. Asal negara tidak mengadopsi salah
satu keyakinan itu sebagai yang sah dan kita saling memahami, maka tak akan menjadi
masalah.
Klaim
kebenaran itulah diantaranya yang membuat Ahmadiyah tak bersedia sholat
berjamaah dengan umat Islam lain. Memang, jika pikiran kita terobsesi dengan
pan-Islamisme atau terus-menerus membayangkan tentang adanya umat Islam yang
bersatu seluruh dunia, maka sikap Ahmadiyah yang tidak bersedia diimami oleh
non-Ahmadi adalah persoalan serius. Psikologi masa lampau di Pakistan dan
India, perlakuan masyarakat terhadap Ahmadiyah saat, keyakinan teologis, dan
juga keinginan menjaga kesatuan Jemaah Ahmadiyah menjadi hambatan untuk ini.
Bisa jadi hal yang satu ini tak bisa diselesaikan. Namun umat masih bisa
berhubungan dengan baik tanpa harus berebut untuk menjadi imam terhadap
golongan yang lain.
Terakhir,
istilah sesat dan kafir memang bukan domain akademisi. Karena itulah, judul
berita yang dibuat Kompas terkait
kesaksian penulis yang berjudul “Di Sidang MK, Peneliti LIPI Nilai Ahmadiyah
Tak Bisa Dianggap Sesat” (7/11) menimbulkan sensasi tertentu. Ini rasanya kurang
konsisten dengan keseluruhan naskah persidangan. Saya
merasa cocok dengan judul atau kesimpulan yang dibuat oleh Andreas Harsono
ketika me-retwit berita Kompas tersebut
pada 8 November 2017. Ia menulis “Sebagian
masyarakat Muslim salah memahami ajaran Ahmadiyah. Kesalahpahaman ini membuat
Ahmadiyah dituding sesat.”
Istilah sesat dan kafir bukanlah bagian dari kapasitas saya sebagai peneliti. Saya kira, sesat dan kafir itu juga bukan masuk dalam jurisdiksi atau kewenangan negara dan karena itu perlu dihindari. Bahasa akademik yang biasa dipakai penulis adalah distinctive dan unique, bukan kata sesat. Sesat adalah terminologi fatwa atau istilah agama. Beberapa ajaran Ahmadiyah yang masuk kategori distinctive, diantaranya, adalah kenabian, keyakinan tentang al-Masih, candah, konsep jihad, dan khilafah. Sebagian sudah dijelaskan di atas dengan perspektif akademik, bukan teologis.
Istilah sesat dan kafir bukanlah bagian dari kapasitas saya sebagai peneliti. Saya kira, sesat dan kafir itu juga bukan masuk dalam jurisdiksi atau kewenangan negara dan karena itu perlu dihindari. Bahasa akademik yang biasa dipakai penulis adalah distinctive dan unique, bukan kata sesat. Sesat adalah terminologi fatwa atau istilah agama. Beberapa ajaran Ahmadiyah yang masuk kategori distinctive, diantaranya, adalah kenabian, keyakinan tentang al-Masih, candah, konsep jihad, dan khilafah. Sebagian sudah dijelaskan di atas dengan perspektif akademik, bukan teologis.
Kalau
kita atau siapapun yakin bahwa keyakinannya benar, maka mestinya tidak perlu
takut terhadap Ahmadiyah. Tidak perlu meminta bantuan pemerintah untuk melarang
Ahmadiyah. Tidak perlu menggunakan kekerasan untuk menghadapi Ahmadiyah. Kalau
kita atau siapa saja yakin pemahaman agamanya benar, kita mestinya berani
berkompetisi secara fair dan terbuka
dengan Ahmadiyah.
-oo0oo-
https://geotimes.co.id/kolom/agama/memahami-kontroversi-ahmadiyah/
Subscribe to:
Posts (Atom)