Ahmad Najib Burhani*
Jonathan
Z. Smith dalam bukunya To Take Place:
Toward Theory in Ritual (1987) menyebutkan bahwa sebuah tempat itu menjadi
suci sebetulnya bukan karena tempat itu pada dasarnya suci. Ia berubah
statusnya menjadi suci karena ada peristiwa sejarah tertentu atau fenomena
tertentu yang membuatnya dianggap sebagai tempat suci. “There is nothing that
is inherently sacred or profane. These are not substantive categories, but
rather situational ones. Sacrality, is above all, a category of emplacement”
(Smith 1987, 104). Singkatnya, tidak ada tempat di muka bumi ini yang secara
inheren, intrinsik, dan substantif suci atau tidak suci. Manusialah yang
membuatnya menjadi suci. Ia menjadi suci karena ada proses tertentu seperti
dikunjungi atau menyimpan relik dari orang yang dipandang suci atau pernah
terjadi peristiwa keagamaan yang bersejarah di tempat itu.
Pandangan
Smith di atas berbeda dari beberapa penganut agama yang meyakini bahwa sebuah
tempat itu disebut sebagai tempat suci karena esensinya memang suci. Sebelum ia
ditemukan sebagai tempat suci dan dikunjungi banyak orang untuk beribadah, ia
sudah menyimpan elemen-elemen kesucian. Seperti dijelaskan oleh Mircea Eliade
dalam The sacred and the profane: The
nature of religion (1987) dan Joel P. Brereton dalam tulisannya di The encyclopedia
of religion yang berjudul “Sacred space” (1987), sebuah tempat itu tak bisa
secara asal atau semaunya sendiri menjadi tempat suci. “Objectively, and not
only subjectively, a sacred place is different from the surrounding area, for
it is not a place of wholly human creation or choice. Rather, its significance
is grounded in its unique character, a character that no purely human action
can confer on it” (Brereton 1987, Vol. 12:526). Pendeknya, tempat suci itu
biasanya berbeda dari tempat-tempat di sekitarnya. Ia memiliki karakter yang
unik yang terjadi karena keterlibatan kekutan lain di luar manusia.
Pandangan
Smith, Eliade, dan Brereton itu kiranya cukup untuk mewakili dua pandangan yang
berseberangan tentang tempat suci dan bagaimana kesucian sebuah tempat itu
terbentuk. Penulis cenderung pada pandangan Smith, bahwa tidak ada tempat yang
pada asalnya telah suci. Beberapa tempat menjadi suci karena Tuhan telah
memilihnya atau menjadikannya menjadi tempat suci serta menyebutkan kesucian
tempat itu melalui wahyu yang diturunkan kepada para rasul-Nya. Pada kasus
lain, sebuah tempat dianggap suci karena diyakini bahwa Tuhan bersemayam di
tempat itu atau pernah dalam suatu waktu Tuhan menunjukkan dirinya kepada
manusia di tempat itu. Atau, suatu tempat menjadi suci karena telah melalui
prosesi penyucian melalui upacara keagamaan.
Sebelum
masuk ke pembahasan tentang tempat suci Ahmadiyah, perlu digarisbawahi bahwa
yang dimaksud dengan tempat suci di sini berbeda dari tempat ibadah biasa
seperti masjid atau geraja. Diskusi kita mengacu kepada tempat suci yang memiliki
makna khusus. Beberapa tempat suci Ahmadiyah yang akan dibahas diantaranya
adalah Dar al-Masih (rumah tempat lahir dan tempat tinggal Mirza Ghulam Ahmad),
Ludhiana (tempat bai’at Ahmadiyah yang pertama), Hoshiarpur (tempat berkhalwat
Ghulam Ahmad dimana ia menerima wahyu tentang akan lahirnya Muslih Mau’ud Mahmud
Ahmad), Bahishti Maqbarah (pekuburan Ghulam Ahmad dan para pengikut setia
jemaah), Masjid Mubarak (masjid yang dibangun oleh Ghulam Ahmad), Masjid
al-Aqsa (masjid yang dibangun ayah Ghulam Ahmad dan diyakini sebagai masjid
al-Aqsa sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an), Minaratul Masih (menara yang
menjadi simbol turunnya al-Masih), Baitut Du’a (tempat Ghulam Ahmad berdo’a),
Baitul Fikr (tempat Ghulam Ahmad menulis buku-bukunya), dan sebagainya.
Berdoa di makam Mirza Ghulam Ahmad di Qadian, India (doc. Najib Burhani) |
Ketika membahas tentang tempat suci, orang sering menyalahartikan antara tempat suci dan tempat ibadah haji atau tempat melaksanakan rukun Islam. Atau lebih jelasnya, terdapat sikap yang mendua dari beberapa kalangan Islam berkaitan dengan ibadah haji orang Ahmadiyah. Pada satu sisi, mereka sering dituduh memiliki tempat ibadah haji sendiri yang berbeda dari umat Islam lain, yaitu di Qadian, India. Namun pada sisi lain, ketika orang Ahmadiyah hendak melaksanakan rukun Islam kelima, berhaji ke Baitullah di Makkah, beberapa orang menghambat pendaftaran mereka. Hambatan untuk mendaftar haji ini, misalnya, dialami oleh anggota Ahmadiyah di Manis Lor.
Karena
itu, tulisan ini akan secara singkat membedakan beberapa kata kunci yang
terkait tema ini, yaitu: haji, umrah, tempat suci, ziarah spiritual, dan pilgrimage.
Haji itu memang satu bentuk dari pilgrimage karena istilah pilgrimage
biasa dipakai untuk menyebut beragam ziarah spiritual. Namun dalam Islam,
haji itu berbeda dari umrah dan berbeda pula dari kunjungan ke masjid al-Aqsa
di Palestina serta ziarah walisongo.
Pendeknya,
pilgrimage dalam Islam itu bisa dibagi dalam beberapa kategori: Pertama,
pilgrimage yang wajib dan menjadi salah satu dari rukun Islam. Inilah
yang disebut dengan haji. Ia hanya dijalankan pada bulan tertentu yaitu Dzul
Hijjah, dan memiliki prosesi ritual yang sudah baku. Ia memiliki syarat, wajib,
dan rukun dalam menjalankannya. Di dalamnya ada wuquf di Arafah, thawaf, sa’i,
melempar jumrah, dan sebagainya. Haji merupakan bagian dari rukun Islam yang
wajib dilaksanakan oleh setiap umat Islam yang memiliki kemampuan. Tidak
sempurna keislaman seseorang sebelum ia melaksanakan ibadah haji. Kedua adalah
umrah atau haji kecil. Ia bisa merupakan bagian dari haji dan bisa juga menjadi
ibadah atau kegiatan yang terpisah. Pelaksanaannya tidak terikat pada bulan
tertentu meskipun ia memiliki beberapa ritual yang sudah distandarisasikan.
Ketiga adalah ziarah spiritual ke tempat-tempat suci. Masing-masing kelompok
dalam Islam memiliki tempat suci yang berbeda berdasarkan pada sejarah gerakan
itu. Bagi Syiah, Qum dan Karbala adalah bagian dari tempat suci mereka dan
berkunjung ke tempat-tempat itu memiliki nilai spiritual yang tinggi. Bagi
orang NU (Nahdlatul Ulama), ziarah ke makam walisongo adalah tradisi yang
sangat dianjurkan dan memiliki makna ruhani tinggi juga.
Qadian
memang menjadi salah satu tempat suci atau tempat yang perlu dikunjungi oleh
jemaat Ahmadiyah. Sama halnya dengan pengikut Syiah melihat Qum dan Karbala
sebagai tempat untuk melakukan ziarah spiritual. Qadian adalah tempat kelahiran
Ahmadiyah, tempat terjadinya berbagai peristiwa penting dalam komunitas ini.
Bukan hanya berkaitan dengan sejarah, beberapa tempat di Qadian dan sekitarnya
juga berkaitan dengan doktrin teologis dalam jemaat Ahmadiyah, seperti Ludhiana
(tempat bai’at pertama), Hoshiarpur (tempat Ghulam Ahmad bermeditasi atau uzlah),
Minaratul Masih sebagai simbol turunnya al-Masih untuk kedua kalinya dalam
wujud Ghulam Ahmad, dan Kashmir (yang dalam keyakinan Ahmadiyah menjadi lokasi
Nabi Isa dikuburkan dan menjadi bukti bahwa Isa as itu sudah meninggal dunia
sebagaimana nabi-nabi yang lain. Ia tidak tinggal di Lauh al-Mahfudz, di sisi Allah,
sebagaimana diyakini oleh umat Islam Sunni). Namun demikian, Qadian bukanlah
tempat berhaji dan berkunjung ke tempat ini tidak dianggap sebagai ibadah
pengganti haji.
Minaratul Masih. Terlatak di samping Masjid al-Aqsa, Qadian, India. (Doc: Najib Burhani) |
Berbagai
hal di atas diantaranya yang membedakan antara haji dan kunjungan ke tempat
suci lain. Tempat suci umat Islam yang lain tidak berkaitan dengan rukun Islam.
Bahkan ibadah di Madinah dan mengunjungi makam Nabi Muhammad di sana pun tidak termasuk
bagian dari haji. Masjid al-Aqsa di Palestina juga tidak termasuk tempat suci
yang wajib dikunjungi. Dan kembali dalam konteks Ahmadiyah, kunjungan ke
berbagai tempat di Qadian itu posisinya dibawah kunjungan ke Makkah dan
Madinah.
Pertanyannya
sekarang adalah mengapa Qadian menjadi tempat yang istimewa bagi Ahmadiyah?
Sebelum
menjawab pertanyaan tersebut, perlu dilihat terlebih dahulu berbagai kegiatan
yang dilakukan di berbagai tempat suci tersebut. Apa yang dilakukan oleh jemaat
Ahmadiyah di berbagai tempat suci di Qadian pada intinya adalah shalat dan
berdoa. Tidak ada ritual khusus yang diwajibkan. Ketika berkunjung ke Bahishti
Maqbarah dan berdoa di dekat makam Ghulam Ahmad, misalnya, mereka dilarang
mengambil tanah karena ditakutkan akan menyebabkan syirik dengan menyembah
Ghulam Ahmad.
Inti
dari semua kunjungan ke tempat-tempat suci itu adalah mempelajari dan memahami
perjuangan Ghulam Ahmad dalam memajukan Islam, merasakan suasana dan lingkungan
dimana Ghulam Ahmad menghadapi beragam hambatan, dan menyaksikan sendiri tempat
bai’at pertama, tempat kelahiran Ghulam Ahmad, tempatnya menulis puluhan buku,
tempatnya bermeditasi, dan tempatnya menerima wahyu. Bagi jemaat Ahmadiyah,
ziarah ke Qadian berarti belajar sejarah tentang kelahiran, perjuangan, bai’at
pertama, tempat menerima wahyu, dan juga dakwah Ghulam Ahmad. Mereka seperti
hadir langsung dalam khutbah-khutbahnya. Mereka menjadi direct audience atau orang-orang yang secara langsung menjadi
sasaran dari khutbah tersebut. Mereka menjadi saksi dalam proses sejarah dari
jemaat Ahmadiyah. Hal serupa juga yang dilakukan orang ketika berkunjung ke
tempat suci lain, seperti ziarah walisongo. Yaitu, berdoa dan mengingat kembali
kisaran sejarah berjuangannya menyebarkan Islam, serta me-refresh tentang apa saja yang telah diajarkan para wali
tersebut.
Bersama Maulana Muhammad Inam Ghaori (Nazir A’la Muslim Ahmadiyah India) di depan rumah Mirza Ghulam Ahmad (Doc: Najib Burhani) |
Banyak orang yang sudah pernah membaca tentang tempat-tempat suci itu atau bahkan sudah menonton video dokumenter tentang Qadian atau tempat-tempat suci lain, namun hadir dan merasakan sendiri akan berbeda. Ia akan membuat seseorang lebih paham, merasakan getaran spiritual dan kehadiran Ghulam Ahmad di sisinya. Makanya, identitas seorang Ahmadi itu tidak akan sempurna sebelum hadir di Qadian. Demikian juga bagi peneliti gerakan ini, belum lengkap penelitiannya tentang Ahmadiyah jika belum pernah hadir dan merasakan getar, gerak dan aktivitas Ahmadiyah di kota kecil Qadian ini.
Jika
dilanjutkan dengan pertanyaan, apakah Qadian adalah tempat ibadah haji orang
Ahmadiyah? Dalam definisi umat Islam tentang istilah haji, bukan makna harfiah
haji sebagai pilgrimage, maka Qadian bukanlah tempat haji orang
Ahmadiyah dan mereka tidak meyakini ini sebagai haji. Mereka percaya bahwa
berkunjung ke Qadian bukanlah rukun Islam dan tidak menggugurkan kewajiban
ibadah haji. Qadian adalah tempat bersejarah dan bernilai spiritual tinggi
sebagaimana tempat-tempat suci lain.
Melihat Masjid al-Aqsa & Minaratul Masih dari atap rumah Mirza Ghulam Ahmad di Qadian, India (Doc: Najib Burhani) |
Namun
demikian, ada dua proses yang bisa mengubah hal ini. Pertama, jika berbagai
ibadah di Qadian itu diritualkan atau menjadi ritus dan tidak dikontrol, maka
bisa saja orang menjadi meyakini bahwa ini adalah haji atau setara dengan haji
atau menjadi pengganti haji. Jika seluruh proses ibadah di Qadian dipatenkan
urutannya, waktunya, jumlah yang dikunjungi dan ibadah seseorang dianggap tidak
sah jika tidak memenuhi seluruh prosesi atau mengunjungi destinasi yang telah
ditentukan itu, maka ia akan menjadi haji. Jika, misalnya, ke Ludhiana dan
Hoshiarpur menjadi wajib dan memiliki ibadah khusus di sana, maka ini akan
mengarah pada pembentukan haji. Kedua,
berkunjung ke Qadian bisa saja berubah menjadi pengganti ibadah haji atau
setara dengan ibadah haji jika umat Islam terus-menerus menuduh seperti itu dan
memaksa Ahmadi mengkuinya dan melarang atau menghalangi terus mereka berhaji ke
Makkah.
-oo0oo-
*Peneliti Senior LIPI (Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia), pernah berkunjung dan mengikuti Jalsa Salana
Ahmadiyah di Qadian, India pada Desember 2016.
https://geotimes.co.id/menjawab-tuduhan-tentang-ibadah-haji-ahmadiyah/
https://geotimes.co.id/menjawab-tuduhan-tentang-ibadah-haji-ahmadiyah/