Tulisan di bawah ini adalah kutipan sepenuhnya dari buku “Sang Pelintas Batas: Biografi Djohan Effendi” (hal. 45-49, 59-66, 80-82), yang ditulis oleh Ahmad Gaus AF, dan diterbitkan atas kerjasama ICRP dan Kompas, cetakan I September 2009.
Di Tepi Jurang Agnostik
Di Kelas II PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negeri) Djohan menerima pelajaran filsafat. Gurunya adalah Hasbullah Bakry. Bagi Djohan, filsafat merupakan hal yang baru, namun juga membuatnya mengalami pergolakan iman yang cukup serius, terutama ketika ia merenungi perdebatan antara Ibn Rusyd dan al-Ghazali. Pikiran Djohan lebih cenderung memilih pendapat Ibn Rusyd terutama tentang keazalian alam dan kehidupan akhirat yang bersifat rohani. Filsafat bahkan nyaris menyeret imannya ke tepi jurang agnostik karena doktrin yang diterima oleh mayoritas umat Islam adalah pendapat al-Ghazali. Dalam suasana batin yang terombang-ambing Djohan menemukan bahan-bahan bacaan yang diterbitkan oleh Ahmadiyah yang –terlepas dari doktrin keahmadiyahannya– menawarkan pendekatan yang memadukan penafsiran rasional dan penghayatan spiritual dalam keberagamaan. Argumen Ahmadiyah tentang kehidupan akhirat secara rohaniah membuat Djohan lebih mantap dalam menerima pendapat Ibn Rusyd.
Di pihak lain ada guru-guru PHIN yang memberikan nuansa lain dengan memasukkan dan menanamkan aspek-aspek ideologis kepada murid-muridnya. Kebanyakan guru-guru PHIN, khususnya yang memberikan pelajaran kalam dan fikih adalah pendukung Masyumi. Karena itu, disamping memberikan pengetahuan agama mereka juga menanamkan kesadaran politik dan ideologis sebagai golongan Islam. Di tangan mereka, fikih, misalnya, menjadi alat untuk mengukur keabsahan suatu sistem, dari sistem politik hingga sistem keyakinan. Pada masa itu partai-partai Islam menempatkan Islam sebagai ideologi alternatif terhadap ideologi-ideologi negara, Pancasila, dan masyarakat Indonesia seolah-seolah sudah terpecah dalam dua kelompok, Islam dan Pancasila. Alam demokrasi yang tumbuh ketika itu memang memberikan tempat dan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpolemik tentang masalah-masalah politik dan ideologi.
Begitu juga fiqhul-akbar atau fikih besar, yang di dalamnya mencakup masalah-masalah akidah, menyediakan begitu banyak argumen untuk menyanggah keyakinan yang berbeda. Ini pun, bagi Djohan, sebenarnya tidak terlalu baru, sebab sejak menjadi pembaca literatur terbitan PERSIS, terutama karya A. Hassan, ia sudah mengikuti polemiknya mengenai berbagai hal dalam perkara-perkara agama. Polemik paling keras yang dilancarkan A. Hassan adalah terhadap keyakinan Ahmadiyah. Polemik ini yang plaing mengesankan Djohan ketika itu dan membuatnya makin mengagumi A. Hassan, selain pandangannya yang anti-mazhab dan anti-taqlid.
Literatur dan Tokoh Ahmadiyah
Belakangan, Djohan sadar bahwa selama ini ia hanya tahu tentang Ahmadiyah dari buku-buku polemis kalangan yang menentangnya. Pandangannya mengenai isu-isu yang menjadi materi polemik pun menjadi tidak seimbang; lebih berpihak secara buta kepada si pengritik. Di Yogyakarta, ia punya kesempatan untuk membaca sendiri literatur Ahmadiyah dari sumber primer. Lebih dari itu Djohan juga bergaul dengan pemuka-pemuka Ahmadiyah dan menyaksikan kehidupan mereka yang religius, tulus dan bersih. Yogyakarta waktu itu merupakan tempat tumbuh dan berkembangnya Ahmadiyah secara pesat. Tak pelak, Djohan pun berinteraksi dengan perkumpulan yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad itu.
Persentuhan pertama Djohan dengan Ahmadiyah terjadi secara “kebetulan”. Suatu kali ia diminta Hasbullah Bakry, guru filsafatnya, untuk mencari buku tentang Ahmadiyah, dan ia menyuruh Djohan menemui Muhammad Irshad, seorang tokoh Ahmadiyah Lahore. Djohan pun datang ke rumah Irshad yang menerimanya dengan sangat ramah. Irshad lalu memberi Djohan buku-buku dan majalah-majalah Ahmadiyah. Buku yang dipesan oleh Hasbullah Bakry segera ia berikan, sementara buku-buku dan majalah yang diberikan oleh Irshad untuk dirinya ia baca. Dari situlah Djohan pertama kali tahu tentang Ahmadiyah.
Bagi Djohan, buku-buku tentang Ahmadiyah yang dibacanya telah memberinya wawasan yang kaya tentang Islam, terutama karena pendekatannya yang lebih holistik dan komprehensif. Buku-buku dan artikel-artikel yang ditulis oleh tokoh-tokoh Ahmadiyah memang sangat berbeda dibanding literatur Islam yang berasal dari Timur Tengah, apalagi yang bersifat kepustakaan klasik. Tulisan-tulisan itu ditujukan terutama kepada masyarakat Barat dan karena itu mereka juga membaca banyak kepustakaan Barat. Semangat dan gaya tulisannya sangat berbeda, tidak romantis dengan mengetengahkan kemajuan dan keagungan masa lalu, akan tetapi apologis untuk menunjukkan kelebihan Islam dibanding agama-agama dan ideologi-ideologi modern. Hal ini terutama terlihat dalam kepustakaan Ahmadiyah Lahore yang lebih mementingkan penyebaran wawasan keagamaan daripada perkembangan dan kemajuan organisasi.
Beberapa persoalan agama yang ditemui Djohan dalam pelajaran filsafat, dipecahkan dengan “pendekatan” Ahmadiyah. Misalnya, ia merasa terganggu imannya akibat membaca polemik Ibn Rusyd dan al-Ghazali. Ada dua materi perdebatan dua filosof muslim itu. Pertama adalah soal keabadian alam. Bagi Ibn Rusyd alam mempunyai permulaan, tidak diciptakan dari tidak ada. Itu berarti bahwa antara permulaan alam dengan keazalian Tuhan terdapat jarak waktu. Jika demikian, waktu itu makhluk; tapi siapa yang menciptakan waktu? Yang kedua, soal kehidupan sesudah mati. Kehidupan itu bersifat materi ataukan spiritual? Dari literatur Ahmadiyah yang dibacanya Djohan menemukan penafsiran yang masuk akal. Dan itu menyelamatkan imannya yang sempat terguncang.
Tidak hanya dengan Ahmadiyah Lahore, perkenalan Djohan juga berlanjut ke kalangan Ahmadiyah Qadyan. Ia mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh Ahmadiyah, salah satunya yang berpengaruh adalah Mian Abdul Hayye, seorang mubaligh Ahmadiyah di Yogyakarta. Ketika Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) menyelenggarakan kongres di Yogyakarta Djohan sempat mengikuti ceramah para mubaligh mereka. Di kongres itu ia melihat Kiai Ma’sum, tokoh ulama PERSIS, duduk di depan berdampingan dengan para mubaligh Jemaat Ahmadiyah. Ia sangat terkesan menyaksikan persahabatan akrab antara Kiai Ma’sum dengan Mian Abdul Hayye. Bahkan suatu hari ia bertemu dengan Kiai Ma’sum di rumah Abdul Hayye dan mereka berbicara dengan akrab penuh canda. “Apa dengan jihad damai seperti diajarkan ‘nabimu’ itu Islam bisa menang?” tanya Kiai Ma’sum ketika itu, meledek Mian Abdul Hayye.
Di rumah Abdul hayye juga Djohan bertemu dengan mubaligh JAI yang lain seperti Abdul Wahid, Abu Bakar Ayyub, dan Malik Abdul Aziz. Selain dengan mereka, ia juga berkenalan dengan tokoh-tokoh Ahmadiyah yang lain seperti Muhammad Shadiq, Saleh Nahdi, Hafidz Qudratullah, Ghulam Yassin. Keakraban Kia Ma’sum (ulama yang sangat menentang paham Ahmadiyah) dengan Abdul Hayye (muballigh Ahmadiyah), memberi kesan tersendiri pada Djohan bahwa pertentangan pendapat dan keyakinan tidak harus membuat orang saling bermusuhan. Melalui pergaulan dekat dan akrab, terlepas dari perbedaan pandangan, Djohan menyaksikan pribadi-pribadi yang secara total mewakafkan dirinya untuk dakwah sebagai perwujudan baiat mereka menjunjung agama melebihi dunia.
Djohan tidak sempat mendalami lebih jauh ajaran dan pikiran kalangan Ahmadiyah karena masa studinya di PHIN Yogyakarta sudah selesai (1960) dan ia harus kembali ke Kalimantan. Tugas barunya setelah lulus sebagai siswa ikatan dinas telah menantinya di sana. Djohan bekerja di Kerapatan Qadhi Amuntai selama 2 tahun. Pada tahun 1962, ia kembali lagi ke Yogyakarta untuk belajar di IAIN Sunan Kalijaga. Periode ini kembali menjadi momentum yang penuh pergolakan dan sangat menentukan masa depan Djohan Effendi.
Pergolakan Pemikiran
Djohan kembali ke Yogyakarta pada tahun 1962 untuk belajar di IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Sunan Kalijaga sebagai mahasiswa tugas belajar dari Departemen Agama. Ia meninggalkan Kerapatan Qadhi Amuntai tempat ia berdinas pertama kali sebagai pegawai Departemen Agama. Ia diterima untuk mengikuti kuliah pada Fakultas Syariah. Bagi Djohan sendiri penugasan ini bukan hal yang sulit untuk diemban karena ia telah lama mendalami ilmu-ilmu Syariah, ditambah dengan pengalamannya sebagai panitera di kantor Kerapatan Qadhi Amuntai. Bukan hal yang sulit juga baginya untuk beradaptasi dengan lingkungan intelektual kota Yogyakarta karena sebelumnya ia pernah tinggal di sana selama tiga tahun.
Ujian pertama yang dialami Djohan adalah kematian ayahnya, H. Moelkani, yang terjadi satu minggu setelah ia berada di Yogyakarta. Namun, berita duka itu baru ia terima beberapa minggu setelah peristiwanya terjadi karena keluarganya tidak ingin mengagetkan dirinya. Mula-mula Djohan menerima surat dari pamannya di Banjarmasin, Amberan anak Nenek Aisyah, yang memberinya nasehat supaya belajar sabar dan tabah menghadapi cobaan. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi tapi ia tidak bisa menduga-duga. Baru beberapa minggu kemudian ia mendapat surat dari pamannya, H. Kasim, memberi tahu Djohan bahwa ayahnya meninggal dunia. “Saya sempat menangis membaca berita itu”, kata Djohan, “bukan karena kematiannya tapi karena saya belum sempat membalas jasanya membesarkan saya.” Djohan menyurati ibunya, minta pendapatnya, sebab Djohan adalah anak tertua. Tapi ibunya mengatakan agar Djohan meneruskan kuliahnya. Untungnya Djohan segera terlibat dengan kesibukan kuliah yang hanya memberinya sedikit waktu untuk memikirkan hal-hal lain selain belajar. Pada tahun pertama Djohan sangat rajin mengikuti kuliah. Niatnya untuk segera menyelesaikan belajar dan pulang ke Kalimantan membuatnya memisahkan diri dari berbagai kegiatan ekstra kampus yang dulu, ketika duduk di bangku PHIN, begitu digandrunginya.
Tapi pada tahun kedua, segalanya dengan cepat berubah. Tanggal 10 Oktober 1963, kampus IAIN bergolak. Dewan Mahasiswa menggerakkan demonstrasi kepada Menteri Agama, Saifuddin Zuhri, yang datang ke IAIN Sunan Kalijaga dalam rangka pembukaan kuliah semester baru. Mereka menuntut Departemen Agama menghentikan upaya NU-isasi IAIN. Buntut dari gerakan yang dimotori oleh HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) itu adalah pemutasian sejumlah dosen dan penangkapan serta pemecatan beberapa mahasiswa penggerak demo. Di Jakarta, gerakan yang sama juga terjadi untuk mendukung tuntutan mahasiswa Yogyakarta. Tak kurang dari tokoh-tokoh seperti Mahmud Yunus (dekan IAIN Jakarta) dan Arifin Tamaeng terlibat dalam demonstrasi ini. Mahmud Yunus bahkan sempat diperiksa aparat keamanan dan mendekam di tahanan.
Menghadapi tuntutan mahasiswa itu, Depag justru balik melawan. Dosen-dosen yang terlibat dalam demonstrasi dipindahkan dari Yogyakarta, sehingga IAIN Sunan Kalijaga kehilangan banyak sekali dosen. Mereka digantikan oleh dosen-dosen yang baru lulus. Djohan mengaku sangat kecewa dengan cara mengajar dosen-dosen baru itu. Ia merasa kuliah dosen-dosen baru itu tidak menambah pengetahuan dan wawasannya. Semangatnya untuk mengikuti kuliah mengendur dan akhirnya sering membolos. Ia hanya menitip tanda tangan kepada teman-teman sekelasnya agar bisa mengikuti ujian kenaikan tingkat.
Ketika teman-temannya asyik mengikuti perkuliahan, Djohan memilih mengunjungi berbagai perpustakaan di Yogyakarta. Di Yogyakarta terdapat Perpustakaan Islam, Perpustakaan Negara, Perpustakaan Hatta, dan Perpustakaan Katolik yang cukup besar. Selain membaca buku-buku di perpustakaan Djohan jug amengikuti Pengajian Tafsir Alquran setiap minggu pagi yang diberikan oleh Muhammad Irshad, tokoh Ahmadiyah Lahore, yang diberi nama Sunday Morning Class. Yang dibaca dalam pengajian ini adalah The Holy Qur’an karya tokoh Ahmadiyah Lahore, Maulana Muhammad Ali. Yang menarik bagi Djohan, pengajian ini disampaikan dalam bahasa Inggris, sehingga tercipta suasana yang sangat modern. Selain Sunday Morning Class, Irshad juga membuka pengajian di sore hari dengan membaca The Religion of Islam satu kali dalam seminggu. Pada bulan puasa, setelah tarawih membaca A Manual of Hadits. Semuanya karya Maulana Muhammad Ali. Buku lain yang dibaca adalah Muhammad the Prophet yang pernah disadur oleh HOS Tjokroaminoto menjadi buku berjudul Tarikh Islam, dan juga buku Early Caliphate.
Djohan makin intensif berinteraksi dengan literatur Ahmadiyah. Ia menghabiskan waktunya untuk membaca artikel-artikel tentang Islam dalam majalah-majalah Islamic Review, The Light terbitan Ahmadiyah Lahore dan The Review of Religions terbitan Ahmadiyah Qadyan serta berbagai terbitan lain. Ia merasakan pendekatan yang berbeda dibanding kepustakaan Islam yang selama ini ia baca yang diterbitkan kalangan NU, Muhammadiyah, atau PERSIS. Bagi Djohan, literatur Ahmadiyah lebih membuka wawasan dan lebih mencerahkan. Para penulis Ahmadiyah umumnya menikmati pendidikan di Inggris sehingga mereka mengenal dengan baik kepustakaan Barat. Hal ini memberi nuansa lain dibanding kepustakaan Islam dari Timur Tengah, apalagi literatur klasik yang diajarkan di pesantren.
Penulis-penulis Ahmadiyah tidak bersikap romantis dengan membangga-banggakan masa lalu, tapi cenderung agak apologetik dengan mencoba menonjolkan kelebihan Islam dibanding agama-agama dan paham lain, dan lebih ditujukan pada masyarakat Barat, dan karenanya menawarkan penafsiran Islam yang lebih rasional tapi sekaligus juga lebih spiritual. Hal ini terutama terlihat pada Ahmadiyah Lahore yang lebih mementingkan penyebaran wawasan daripada paham sektarian organisasi. Ada dua buku yang sangat mempengaruhi Djohan, yaitu The Teaching of Islam (Falsafat Islamiyah) tulisan Mirza Ghulam Ahmad dan The Secret of Existence (Rahasia Hidup) karangan Khawaja Kamaluddin. Yang pertama membicarakan aspek kedalaman agama dengan tekanan pada perkembangan jiwa dan akhlak manusia, dan yang kedua membangun semangat untuk bertindak. Buku ini juga dikenal dengan nama The Gospel of Action (Kabar Baik tentang Tindakan) dan sama sekali tidak berbicara tentang teologi. Menurut Djohan, ia membaca kedua buku itu berkali-kali karena mengasyikkan dan inspiratif. Karya tulis Djohan yang terbit pada tahun 1970-an tentang perkembangan jiwa manusia dan takdir tidak terlepas dari pengaruh kedua buku itu.
Apologi Islam
Para jamaah pengajian Sunday Morning Class membentuk organisasi yang diberi nama Islamic Sunday Morning Class (ISMC). Didorong keinginan untuk lebih memperluas peminat, ISMC menyelenggarakan ceramah-ceramah umum. Hal itu juga didukung oleh situasi kota Yogyakarta yang kondusif bagi dakwah Ahmadiyah. Kecuali polemik-polemik dalam bentuk literatur yang cukup keras terhadap Ahmadiyah, saat itu nyaris tidak ada ancaman fisik terhadap para pengikut ajaran Mirza Ghulam Ahmad tersebut seperti yang sering terjadi belakangan ini. Tanpa perasaan takut ataupun bersalah, siapa pun bisa hadir mengikuti pengajian umum Ahmadiyah ini.
Sebagai peserta aktif, Djohan ikut ambil bagian dalam berbagai kegiatan ceramah ISMC. Dalam suatu ceramah umum di Masjid Syuhada, Djohan berbicara tentang pengarus paganisme dalam Gereja Kristen. Ia membuat sebuah paper panjang membahas topik ceramahnya yang terutama ia ambil dari sumber-sumber yang kritis terhadap agama dan gereja Kristen. Perkenalannya dengan buku-buku Ahmadiyah telah mendorong Djohan untuk bersikap apologetis, membela Islam sambil mencari kelemahan agama lain. Sebelumnya, Djohan juga telah membacara buku-buku yang beredar luas di kalangan Ahmadiyah tentang Islam dan Kristen, dan ia merasa ‘termakan’ oleh misi orang Ahmadiyah yang mengatakan akan membunuh babi dan mematahkan salib –babi merupakan materialisme dan salib sebagai simbol ajaran Kristen. Djohan juga terpengaruh oleh interpretasi kalangan Ahmadiyah tentang Gog, Magog, dan Dajjal, yang dikenakan kepada Kapitalisme, Komunisme, dan agama Kristen.
Argumen dari serangan Djohan terhadap paganisme Kristen didasarkan pada pengakuan agama Kristen sendiri bahwa, misalnya, penanggalan Hari Natal dipilih berdasarkan dewa-dewa yang dipercayai secara mitologis di daratan Eropa. Kelahiran Yesus Kristus dikaitkan dengan kepercayaan bahwa dewa-dewa itu lahir sekitar tanggal 25 Desember, saat terjadi peralihan dari musim dingin ke musim semi. Menurut Djohan, kritiknya terhadap Kristen tidak didasarkan pada kebencian, melainkan hanya untuk membuktikan kelemahan-kelemahan agama itu. Waktu itu, aku Djohan, ia masih berada di kubu kaum apologetik dengan cara berpikir yang sangat islamis. “Pada waktu menyerang Kristen itu saya belum terlibat di HMI, jadi belum ada pencerahan. HMI-lah yang membuka wawasan saya sehingga terjadi semacam reformasi pemikiran,” ungkap Djohan.
Sikap apologetis Djohan yang lain tampak dalam karya tulisnya, sebuah buku kecil, yang diberi judul Fakta Kemurnian Al-Qur’an, yang isinya membuktikan bahwa Alquran itu murni. Di sini Djohan berargumen bahwa yang dimaksud dengan “Perjanjian Baru” itu sebenarnya tidak lain adalah Alquran. Dalam pandangan Djohan, kisah tentang putra Nabi Ibrahim yang bernama Ishak didasarkan pada Perjanjian Lama, dan kitab-kitab Injil hanyalah lanjutan perjanjian klasik, jadi masih merupakan bagian Perjanjian Lama juga, karena ditujukan untuk Bani Israel. Kisah tentang putra Nabi Ibrahim yang lain, Ismail, didasarkan pada kitab suci Alquran yang ditujukan untuk Bani Ismail, karena itu Alquranlah yang sesungguhnya merupakan Perjanjian Baru. Tegasnya, Perjanjian Lama adalah Kitab Taurat, dan Nabi Isa mengatakan tidak mengubah Taurat sedikit pun, karena itu Injil masuk ke Perjanjian Lama. Kalau ada Perjanjian Baru, menurut Djohan, maka pasti ia akan berbeda dengan yang lama. Dan Perjanjian Baru itu tidak lain adalah Alquran. Argumen-argumen apologetis ini digunakan Djohan untuk menyerang agama Kristen di dalam ceramahnya di hadapan para jamaah pengajian yang dikoordinasi oleh ISMC.
Dalam perkembangannya, ISMC berubah menjadi AMAL (Angkatan Muda Ahmadiyah Lahore). Sejak itu Djohan terkait dengan organisasi Ahmadiyah. Peristiwa itu terjadi sebelum Djohan melibatkan diri dalam organisasi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) pada tahun 1964/1965 di mana ia mengaku mulai menemukan suasana yang lebih bebas tanpa terikat pada paham keagamaan tertentu. Dicatat sebagai anggota Ahmadiyah tidak dipersoalkan oleh Djohan sebab ia tidak merasa ada yang salah dengan komitmen seorang Ahmadi yang berjanji untuk menghindari perbuatan maksiat, bersikap rendah hati, simpati pada orang lain, dan menjunjung agama melebihi dunia. Akan tetapi, Djohan tidak tertarik dan menganut teologi Ahmadiyah berkaitan dengan paham kedatangan Isa al-Masih dan Imam Mahdi yang menjadi akar tunjang dari keahmadiyahan baik Qadyan maupun Lahore. Buku Imam Mahdi karangan Ustadz Muhammad Arsyad Talib Lubis sangat jelas membahas masalah kepercayaan tentang kedatangan Imam Mahdi. Apalagi kemudian Djohan membaca tentang gerakan-gerakan ‘mesianis’ yang ada hampir di semua agama.
Masalah yang menjadi perdebatan serius berkenaan dengan Ahmadiyah Qadyan adalah konsep tentang khatamun-nabiyyin. Umat Islam umumnya percaya bahwa Nabi Muhammad adalah khatamun-nabiyyin, yakni nabi penutup, namun sebagian besar masih percaya Nabi Isa akan turun lagi karena dia masih hidup di langit. Perbedaan Ahmadiyah Qadyan dengan umat Islam yang percaya Nabi isa akan turun lagi adalah bahwa para penganut Ahmadiyah Qadyan percaya Nabi Isa sudah turun dalam wujud Mirza Ghulam Ahmad. Menurut mereka Nabi Isa yang datang itu bukan Nabi Isa yang dulu, sebab dia sudah wafat, tapi umat Nabi Muhammad sendiri yang berfungsi sebagai Nabi Isa terhadap Nabi Musa. Dalam hal ini sejalan dengan paham Ahmadiyah Lahore, namun mereka menolak anggapan bahwa pendiri Ahmadiyah berpangkat nabi, hanya sebagai al-masih dan al-mahdi.
Djohan sendiri dalam konsep khatamun-nabiyyin ini mengaku sebagai seorang Iqbalian, pengikut pandangan Muhammad Iqbal, bahwa setelah Nabi Muhammad, Tuhan tidak akan mengirim lagi utusan dari langit. Manusia tidak lagi memerlukan tokoh langit, apakah al-masih, al-mahdi apalagi nabi untuk membantu mereka menghadapi tantangan dunia. Manusia harus mampu memecahkan sendiri masalah-masalah kehidupan dunia ini tanpa mengundang kehadiran orang dari langit. Manusia sudah meninggalkan fase akal deduktif dan memasuki fase akal induktif. Dalam pemahaman Djohan, ini berarti manusia tidak memerlukan ‘cetak biru’ dari langit. Untuk menyelesaikan masalah-masalah kehidupan di dunia ini, manusia harus mengenali tantangan-tantangan yang mereka hadapi dan mencari serta menemukan jawabannya sendiri.
Sikap Pluralis
Walaupun Djohan merasa dan menganggap dirinya sudah tidak terkait lagi dengan organisasi Ahmadiyah, namun silaturahmi dengan orang-orang Ahmadiyah tetap ia jaga. Kontak dan persentuhannya dengan Ahmadiyah merupakan bagian dari perjalanan hidupnya sebagaimana persentuhannya dengan PERSIS, al-Washliyah, HMI, dan organisasi-organisasi lain. Lebih-lebih pengalaman keberagamaannya, ketika ia berada dalam krisis justru kepustakaan Ahmadiyah menyelamatkannya. Bagaimanapun, pergaulan dengan mereka telah memberi kontribusi bagi perjalanan keberagaman dan kemuslimannya. Djohan merasa persentuhannya dengan Ahmadiyah memperteguh komitmen keagamaannya untuk menjunjung agama melebihi dunia, dan juga mengembangkan keberagamaan yang seimbang antara penalaran dan penghayatan. Ia berusaha menghayati apa yang ia sering anjurkan dalam training-training bahwa kita harus komitmen kepada nilai dan bukan kepada lembaga.
Sebaliknya, Djohan juga tidak merasa perlu bereaksi terhadap pernyataan orang lain yang mengait-ngaitkannya dengan Ahmadiyah. Tak jarang Djohan menghadiri pertemuan-pertemuan Ahmadiyah, baik Lahore maupun Qadyan. Dalam perjalan ke luar negeri, kalau kebetulan ke Pakistan ia menyempatkan diri mengunjungi pusat Ahmadiyah Lahore di Lahore dan pusat Ahmadiyah Qadyan di Rabwah. Bukan saja dengan Ahmadiyah, ia juga mengunjungi pusat pertemuan Jamaah Tabligh di Delhi, Brahma Kumaris di Maduband, Jainisme di Rajastan, dan House of Justice, Pusat Bahai di Haiva dan Temple Bahai di Delhi dan Sydney. Ia memandang komunitas-komunitas keagamaan, apapun, mengandung nilai-nilai positif yang bisa dijadikan pelajaran. Bagi Djohan, semua agama dan keyakinan hidup adalah mata air kearifan untuk mencapai pencerahan kehidupan manusia.
Dalam silaturahminya ke berbagai tokoh Ahmadiyah, Djohan tidak pernah memperdebatkan masalah-masalah dasar dalam paham Ahmadiyah seperti tentang kenabian, al-masih, dan Imam Mahdi, karena hal itu baginya tak ada gunanya. Djohan memegang pendirian dan keyakinannya sendiri, tapi ia juga menghormati pendirian dan keyakinan orang lain. Mempersoalkan perbedaan paham keagamaan bisa merusak persahabatan. Sikap Djohan terhadap HMI juga tidak berubah. Meskipun ia sudah resmi mengundurkan diri melalui ‘Statemen Pamitan’ pada 1969, namun ia masih mendatangi training-training HMI dan tetap bersahabat dengan para alumni HMI.[]
http://ahmadiyah.org/djohan-effendi-dan-ahmadiyah/