Oleh: Rai Rahman Indra
Apa itu Ahmadiyah?
Sampai saat inipun, sepertinya orang-orang masih bertanya-tanya tentang mereka, yang kalau di berita-berita disebut aliran sesat. Mempercayai nabi selain Muhammad dan sembahyang di masjid dengan kaumnya sendiri. Berkesan ekslusif dan menyimpang dari Islam. Tapi apakah dengan begitu, mereka patut dibenci dan kemudian diserang?
Membaca kisah Maryam, lalu menggiring kita untuk melihat Ahmadiyah dari dalam. Tentang apa yang mereka rasa saat menjadi berbeda, dan kemudian terkucilkan karena dianggap minoritas dan menyimpang.
Cerita dibuka saat Maryam kembali ke kampung halamannya di Lombok, setelah hampir kira-kira sepuluh tahun di jakarta. Tertulis Januari 2005. Maryam merasa ragu dan gamang, karena pulang berarti ia dihadapkan pada semua kenangan pahit yang pernah ia tinggalkan, keluarga dan keyakinannya.
Gerupuk, hanyalah kampung kecil di sudut timur pesisir selatan Lombok. Nyaris tak dikenal. Peta-peta wisata menggambarkan hanya Kuta sebagai satu-satunya nama tempat di sepanjang garis pantai itu. Baru tahun-tahun belakangan, ketika orang-orang asing mulai mengetahui ada ombak tinggi di kampung ini Gerupuk mulai didatangi. (hal 41).
Di kampung itulah Maryam dan penganut Ahmadiyah tinggal. Tapi tahun 2005 situasi sudah berubah, Maryam tidak menemukan lagi keluarganya dan warga Ahmadi lainnya. Kemana mereka?
Kita diajak kembali ke tahun 2001 lewat tokoh Jamil, yang dulu bekerja pada Pak Khairuddin, orang tua Maryam. Katanya, tanpa ada yang bisa menjelaskan asal mulanya, tiba-tiba semua orang di desa itu menjadi beringas. Mengangkat cangkul dan parang, membawa batu-batu besar, menuju rumah orang-orang yang mereka anggap berbeda dari yang kebanyakan. Orang-orang yang mereka anggap telah menduakan nabi mereka dan telah memperlakukan agama sesuai keinginan mereka. Bukan lagi berdasar yang seharusnya. (hal 51).
Keluarga Maryam terusir. Padahal, keluarga Maryam tidak jadi Ahmadi tiba-tiba. Kakek dan nenek Maryam- lah yang jadi pemula, lebih dari 70 tahun yang lalu. Kakek Maryam bertemu dengan seorang dai saat pergi ke Praya, Lombok Tengah. Pak Khairuddin Ahmadi sejak lahir.
Maryam kecil pernah menangis saat pelajaran agama. Karena ada buku pelajaran kelas lima yang menyebut Ahmadiyah sebagai ajaran sesat. Tentang penjelasan dari gurunya bahwa Ahmadiyah bukanlah Islam.
Berikutnya, ada sosok Zulkhair, Ketua organisasi Ahmadiyah. Pada Maryam, dan kita pembaca, dia menjelaskan bahwa penyerangan terhadap warga Ahmadiyah sudah kerap terjadi. Selain keluarga Maryam, ada sekitar 45 keluarga lain yang terusir dari rumahnya, sekitar 200 orang.Mereka orang-orang yang diusir dari berbagai desa di Lombok. Yang paling banyak dari daerah selatan, desa yang tak jauh dari Gerupuk.
“Seperti ada orang yang sengaja memengaruhi. Entah apa maunya, kita sama-sama tidak tahu,” Zulkhair (hal 69).
Tahun 1999, juga pernah terjadi keributan. Tak lama setelah televisi menayangkan peristiwa kerusuhan di Jakarta dan di banyak kota. Seorang Ahmadi dibunuh di daerah utara. Seorang lagi luka parah.
Sekitar tahun 2003, setelah hampir tiga tahun terlunta-lunta di pengungsian, warga Ahmadi kembali tinggal di
rumah, di sebuah perkampungan yang terpencil. Berbatas sawah, dan sungai, di samping kuburan. Di Gegerung, tak jauh dari Mataram.
Masalah selesai? Belum. Sekitar Juli 2005, ada kabar tersiar lewat televisi. Gerombolan orang sedang bertengkar, adu fisik, lalu penggempuran bangunan. Orang-orang memecah jendela, menendang pintu, melempar batu. Kejadian berlangsung di Parung, Jawa Barat. Ada pertemuan tahunan warga jamaah Ahamadiyah di sana. ( hal 219)
Penyiar berita tersambung dengan seseorang lewat layar telepon. Foto seorang laki-laki di pojok layar, bersorban putih dan jenggot.
“Mereka sudah kami beri peringatan sejak seminggu lalu. Jangan buat acara pertemuan di Parung. Kenapa tetap dilaksanakan.”
“Apa dasarnya kelompok Anda meminta pertemuan dibubarkan?”
“Sudah jelas dasarnya. MUI baru saja mengeluarkan fatwa. Bilang itu sesat. Harus ada dasar apa lagi?”
“Tapi bukankah tetap tidak dibenarkan melakukan kekerasan seperti tadi?”
“Mbak, kami tidak berniat melakukan kekerasan. Mereka yang keras kepala dan sengaja memancing kerusuhan…”
Tak lama setelah itu, Oktober 2005, giliran Maryam dan keluarganya di Gegerung kembali terusir. Orang-orang beringas melempari rumah dengan batu. Rusuh. Sebelum pasukan polisi datang dan meminta rumah dikosongkan. Maryam dan keluarga awalnya bersikeras tidak mau. Namun pasrah dan kembali mengungsi di Gedung Transito.
Hingga 2011, sejumlah warga masih hidup di pengungsian. Ada yang lahir dan meninggal di sana. Hidup dan bertumbuh di antara sekat-sekat kain, berbagi kamar mandi dan menerima apa-adanya.
Fakta dalam Fiksi
Novel Maryam seperti rekaman potongan kejadian tentang Ahmadiyah, lewat sosok Maryam. Dari akhir tahun 90-an sampai tahun 2011. Okky Madasari sebagai pengarang mengajak pembacanya melihat Ahmadiyah dari dalam. Mencoba memahami bahwa meski Ahmadiyah berbeda tapi tidak seharusnya mereka mendapat perlakuan tidak adil.
Jika melihat rangkaian yang diatas, tentunya runutan kejadian seperti laporan seorang jurnalis di koran-koran. Namun, Okky membalut kisah dengan apik, bagaimana karakter Maryam bertumbuh. Hubungannya dengan dirinya sendiri, keluarga dan kisah cintanya dengan Gamal, Alam, dan Umar.
Ada banyak fakta dalam novel ketiga Okky ini. Sama seperti Entrok ataupun 86, fakta-fakta itu dirangkai dalam penceritaan yang enak dibaca. Menggugah hati dan seperti yang disampaikan Okky sendiri, ‘memanusiakan manusia’.
Sekilas novel ini mengingatkan pada karya-karya sastra yang menerapkan konsep jurnalistik, seperti karya Seno Gumira Ajidarma lewat insiden Dili Timor Timur, atau Lynda Christanty lewat insiden di Aceh. Kisah-kisah yang tidak tersampaikan maksimal lewat laporan jurnalistik.
“Ketika Jurnalisme dibungkan, Sastra Harus Bicara,” demikian tulisan SGA. Yang memecutnya menulis banyak cerita pendek, ataupun novel yang diambil dari rangkaian kejadian nyata yang tidak mendapat perhatian dari pemangku jabatan ataupun menarik perhatian khalayak. Di koran, laporan-laporan tadi terkena sensor pemilik modal, atau dimuat tapi sudah diedit sedemikian rupa.
Kembali ke Maryam, novel ini kurang lebih sama. Okky mengajak pembacanya melihat masalah Ahmadiyah lebih dalam, tidak hanya di permukaan. Darimana keyakinan ini berasal, bagaimana mereka melihat perbedaan, ekslusivitas, dan bagaimana mereka pun ada yang meragu.
Seperti cara kerja jurnalis, pengarang dengan lengkap dan gamblang menuliskan unsur apa, dimana, kapan, siapa, bagaimana dan kenapa di sana. Bahkan set-nya sangat jelas tertulis, Lombok. Dan di akhir novel juga jelas surat yang berisikan suara dan tuntutan Maryam pada Gubernur yang abai.
Dari sini, kita melihat bahwa Okky ingin menyuarakan Maryam, yang kebetulan lahir dari keluarga Ahmadiyah yang kemudian terusir dari rumah yang sudah ia tinggal sejak lahir dan terusir, dan terusir lalu mengungsi.
Dari segi pembacaan, di awal kisah agak sedikit membingungkan karena ada alur bolak-balik dan tokoh-tokoh baru yang cukup banyak. Dari set tahun 2001, 1997, 2000, kembali lagi tahun 2001. Ada Maryam, keluarganya, kisah cinta segitiganya, dan kalau tidak hati-hati membacanya bisa terbolak-balik. Kisah ini mengalir dengan cepat dan gusar.
Sampai di bagian tengah novel, pembacaan mulai terasa asik dan menggugah. Penceritaan tampak diatur temponya saat naik dan turun. Dan ada banyak bagian yang menggugah dan menyentuh.
Maryam menjadi novel yang mengajak kita seperti menyaksikan sebuah film drama yang mengharu-biru tapi tidak melulu cengeng. Lewatnya, kita seperti ditampar, untuk menghargai perbedaan. Tidak menghakimi dan melakukan kekerasan terhadap orang lain. Terutama untuk para pengambil kebijakan, supaya mengambil tindakan yang bijak. Menguntungkan orang banyak tapi bukan berarti merugikan yang minoritas juga.
Setelah Maryam, kita yakin Okky Madasari masih akan terus menulis dan menyuarakan kisah humanis lewat rangkaian cerita fiksinya. Semoga saja suara Maryam didengar dan tersampaikan.
Retrieved from: http://okkymadasari.net/news-review/membaca-maryam-melihat-ahmadiyah-dari-dalam/
Apa itu Ahmadiyah?
Sampai saat inipun, sepertinya orang-orang masih bertanya-tanya tentang mereka, yang kalau di berita-berita disebut aliran sesat. Mempercayai nabi selain Muhammad dan sembahyang di masjid dengan kaumnya sendiri. Berkesan ekslusif dan menyimpang dari Islam. Tapi apakah dengan begitu, mereka patut dibenci dan kemudian diserang?
Membaca kisah Maryam, lalu menggiring kita untuk melihat Ahmadiyah dari dalam. Tentang apa yang mereka rasa saat menjadi berbeda, dan kemudian terkucilkan karena dianggap minoritas dan menyimpang.
Cerita dibuka saat Maryam kembali ke kampung halamannya di Lombok, setelah hampir kira-kira sepuluh tahun di jakarta. Tertulis Januari 2005. Maryam merasa ragu dan gamang, karena pulang berarti ia dihadapkan pada semua kenangan pahit yang pernah ia tinggalkan, keluarga dan keyakinannya.
Gerupuk, hanyalah kampung kecil di sudut timur pesisir selatan Lombok. Nyaris tak dikenal. Peta-peta wisata menggambarkan hanya Kuta sebagai satu-satunya nama tempat di sepanjang garis pantai itu. Baru tahun-tahun belakangan, ketika orang-orang asing mulai mengetahui ada ombak tinggi di kampung ini Gerupuk mulai didatangi. (hal 41).
Di kampung itulah Maryam dan penganut Ahmadiyah tinggal. Tapi tahun 2005 situasi sudah berubah, Maryam tidak menemukan lagi keluarganya dan warga Ahmadi lainnya. Kemana mereka?
Kita diajak kembali ke tahun 2001 lewat tokoh Jamil, yang dulu bekerja pada Pak Khairuddin, orang tua Maryam. Katanya, tanpa ada yang bisa menjelaskan asal mulanya, tiba-tiba semua orang di desa itu menjadi beringas. Mengangkat cangkul dan parang, membawa batu-batu besar, menuju rumah orang-orang yang mereka anggap berbeda dari yang kebanyakan. Orang-orang yang mereka anggap telah menduakan nabi mereka dan telah memperlakukan agama sesuai keinginan mereka. Bukan lagi berdasar yang seharusnya. (hal 51).
Keluarga Maryam terusir. Padahal, keluarga Maryam tidak jadi Ahmadi tiba-tiba. Kakek dan nenek Maryam- lah yang jadi pemula, lebih dari 70 tahun yang lalu. Kakek Maryam bertemu dengan seorang dai saat pergi ke Praya, Lombok Tengah. Pak Khairuddin Ahmadi sejak lahir.
Maryam kecil pernah menangis saat pelajaran agama. Karena ada buku pelajaran kelas lima yang menyebut Ahmadiyah sebagai ajaran sesat. Tentang penjelasan dari gurunya bahwa Ahmadiyah bukanlah Islam.
Berikutnya, ada sosok Zulkhair, Ketua organisasi Ahmadiyah. Pada Maryam, dan kita pembaca, dia menjelaskan bahwa penyerangan terhadap warga Ahmadiyah sudah kerap terjadi. Selain keluarga Maryam, ada sekitar 45 keluarga lain yang terusir dari rumahnya, sekitar 200 orang.Mereka orang-orang yang diusir dari berbagai desa di Lombok. Yang paling banyak dari daerah selatan, desa yang tak jauh dari Gerupuk.
“Seperti ada orang yang sengaja memengaruhi. Entah apa maunya, kita sama-sama tidak tahu,” Zulkhair (hal 69).
Tahun 1999, juga pernah terjadi keributan. Tak lama setelah televisi menayangkan peristiwa kerusuhan di Jakarta dan di banyak kota. Seorang Ahmadi dibunuh di daerah utara. Seorang lagi luka parah.
Sekitar tahun 2003, setelah hampir tiga tahun terlunta-lunta di pengungsian, warga Ahmadi kembali tinggal di
rumah, di sebuah perkampungan yang terpencil. Berbatas sawah, dan sungai, di samping kuburan. Di Gegerung, tak jauh dari Mataram.
Masalah selesai? Belum. Sekitar Juli 2005, ada kabar tersiar lewat televisi. Gerombolan orang sedang bertengkar, adu fisik, lalu penggempuran bangunan. Orang-orang memecah jendela, menendang pintu, melempar batu. Kejadian berlangsung di Parung, Jawa Barat. Ada pertemuan tahunan warga jamaah Ahamadiyah di sana. ( hal 219)
Penyiar berita tersambung dengan seseorang lewat layar telepon. Foto seorang laki-laki di pojok layar, bersorban putih dan jenggot.
“Mereka sudah kami beri peringatan sejak seminggu lalu. Jangan buat acara pertemuan di Parung. Kenapa tetap dilaksanakan.”
“Apa dasarnya kelompok Anda meminta pertemuan dibubarkan?”
“Sudah jelas dasarnya. MUI baru saja mengeluarkan fatwa. Bilang itu sesat. Harus ada dasar apa lagi?”
“Tapi bukankah tetap tidak dibenarkan melakukan kekerasan seperti tadi?”
“Mbak, kami tidak berniat melakukan kekerasan. Mereka yang keras kepala dan sengaja memancing kerusuhan…”
Tak lama setelah itu, Oktober 2005, giliran Maryam dan keluarganya di Gegerung kembali terusir. Orang-orang beringas melempari rumah dengan batu. Rusuh. Sebelum pasukan polisi datang dan meminta rumah dikosongkan. Maryam dan keluarga awalnya bersikeras tidak mau. Namun pasrah dan kembali mengungsi di Gedung Transito.
Hingga 2011, sejumlah warga masih hidup di pengungsian. Ada yang lahir dan meninggal di sana. Hidup dan bertumbuh di antara sekat-sekat kain, berbagi kamar mandi dan menerima apa-adanya.
Fakta dalam Fiksi
Novel Maryam seperti rekaman potongan kejadian tentang Ahmadiyah, lewat sosok Maryam. Dari akhir tahun 90-an sampai tahun 2011. Okky Madasari sebagai pengarang mengajak pembacanya melihat Ahmadiyah dari dalam. Mencoba memahami bahwa meski Ahmadiyah berbeda tapi tidak seharusnya mereka mendapat perlakuan tidak adil.
Jika melihat rangkaian yang diatas, tentunya runutan kejadian seperti laporan seorang jurnalis di koran-koran. Namun, Okky membalut kisah dengan apik, bagaimana karakter Maryam bertumbuh. Hubungannya dengan dirinya sendiri, keluarga dan kisah cintanya dengan Gamal, Alam, dan Umar.
Ada banyak fakta dalam novel ketiga Okky ini. Sama seperti Entrok ataupun 86, fakta-fakta itu dirangkai dalam penceritaan yang enak dibaca. Menggugah hati dan seperti yang disampaikan Okky sendiri, ‘memanusiakan manusia’.
Sekilas novel ini mengingatkan pada karya-karya sastra yang menerapkan konsep jurnalistik, seperti karya Seno Gumira Ajidarma lewat insiden Dili Timor Timur, atau Lynda Christanty lewat insiden di Aceh. Kisah-kisah yang tidak tersampaikan maksimal lewat laporan jurnalistik.
“Ketika Jurnalisme dibungkan, Sastra Harus Bicara,” demikian tulisan SGA. Yang memecutnya menulis banyak cerita pendek, ataupun novel yang diambil dari rangkaian kejadian nyata yang tidak mendapat perhatian dari pemangku jabatan ataupun menarik perhatian khalayak. Di koran, laporan-laporan tadi terkena sensor pemilik modal, atau dimuat tapi sudah diedit sedemikian rupa.
Kembali ke Maryam, novel ini kurang lebih sama. Okky mengajak pembacanya melihat masalah Ahmadiyah lebih dalam, tidak hanya di permukaan. Darimana keyakinan ini berasal, bagaimana mereka melihat perbedaan, ekslusivitas, dan bagaimana mereka pun ada yang meragu.
Seperti cara kerja jurnalis, pengarang dengan lengkap dan gamblang menuliskan unsur apa, dimana, kapan, siapa, bagaimana dan kenapa di sana. Bahkan set-nya sangat jelas tertulis, Lombok. Dan di akhir novel juga jelas surat yang berisikan suara dan tuntutan Maryam pada Gubernur yang abai.
Dari sini, kita melihat bahwa Okky ingin menyuarakan Maryam, yang kebetulan lahir dari keluarga Ahmadiyah yang kemudian terusir dari rumah yang sudah ia tinggal sejak lahir dan terusir, dan terusir lalu mengungsi.
Dari segi pembacaan, di awal kisah agak sedikit membingungkan karena ada alur bolak-balik dan tokoh-tokoh baru yang cukup banyak. Dari set tahun 2001, 1997, 2000, kembali lagi tahun 2001. Ada Maryam, keluarganya, kisah cinta segitiganya, dan kalau tidak hati-hati membacanya bisa terbolak-balik. Kisah ini mengalir dengan cepat dan gusar.
Sampai di bagian tengah novel, pembacaan mulai terasa asik dan menggugah. Penceritaan tampak diatur temponya saat naik dan turun. Dan ada banyak bagian yang menggugah dan menyentuh.
Maryam menjadi novel yang mengajak kita seperti menyaksikan sebuah film drama yang mengharu-biru tapi tidak melulu cengeng. Lewatnya, kita seperti ditampar, untuk menghargai perbedaan. Tidak menghakimi dan melakukan kekerasan terhadap orang lain. Terutama untuk para pengambil kebijakan, supaya mengambil tindakan yang bijak. Menguntungkan orang banyak tapi bukan berarti merugikan yang minoritas juga.
Setelah Maryam, kita yakin Okky Madasari masih akan terus menulis dan menyuarakan kisah humanis lewat rangkaian cerita fiksinya. Semoga saja suara Maryam didengar dan tersampaikan.
Retrieved from: http://okkymadasari.net/news-review/membaca-maryam-melihat-ahmadiyah-dari-dalam/