Sunday, July 6, 2014

Pluralitas dan Ortodoksi dalam Pilpres 2014



Ahmad Najib Burhani*

Dalam visi, misi, dan program capres/cawapres yang diserahkan ke KPU (Komisi Pemilihan Umum), pasangan Prabowo-Hatta Rajasa secara eksplisit hanya menyebut satu program yang berkaitan dengan Islam, yaitu “mendirikan lembaga tabung haji”. Program ini pun lebih berkaitan dengan persoalan ekonomi daripada soal keagamaan karena ia diletakkan dalam sub-judul “ekonomi kerakyatan”. Memang ada program lain yang bersinggungan dengan agama seperti ajakan menjunjung tinggi toleransi agama dan perbaikan kualitas pesantren/pendidikan agama. Namun program ini juga lebih berhubungan dengan penguatan karakter bangsa dan peningkatan sumber daya manusia daripada isu keislaman an sich, sebagaimana yang dibayangkan oleh kelompok Islamis. Tentu saja ini mengejutkan beberapa orang yang sebelumnya menyebut koalisi Prabowo-Hatta sebagai “koalisi syariah”.

Pertanyaannya, seperti apakah corak keislaman dari koalisi Prabowo-Hatta itu? Apa yang tertulis di visi, misi, dan program seakan berbeda dari suasana ketika deklarasi pasangan ini. Pada deklarasi di Rumah Polonia, simbol-simbol keislaman terlihat begitu dominan. Dimulai dengan pembacaan Al-Qur’an, teriakan takbir (Allahu akbar) sering terdengar bersambungan, ditutup dengan do’a, pakaian dari peserta yang hadir didominasi warna putih, dan ketika berangkat ke KPU untuk mendaftarkan capres/cawapres mereka menyempatkan mampir ke Masjid Sunda Kelapa untuk shalat Dhuhur berjamaah dengan diimami oleh Suryadharma Ali.

Apakah keislaman dalam koalisi yang secara resmi menyebut dirinya sebagai “koalisi merah-putih” ini hanya menjadi semacam gincu atau lipstik, tampak jelas bagi orang lain tapi tak terasa bagi penggunanya? Apakah keislaman mereka lebih ditekankan dalam simbol-simbol saja, sementara untuk program mereka berlandaskan sesuatu yang sifatnya universal? Dalam Dialog Kenegaraan yang diadakan di Gedung DPD RI pada 28 Mei 2014, Drajat Hari Wibowo, salah satu juru bicara koalisi Prabowo-Hatta, menegaskan bahwa selain pendirian lembaga tabung haji, program keislaman lain yang akan digarap oleh Prabowo-Hatta jika nanti terpilih sebagai presiden/wakil presiden adalah menjadikan Indonesia pusat fashion muslimah dunia dan pusat perbankan syariah.

Berdasarkan visi-misi, acara deklarasi, dan beberapa program yang disampaikan Drajat Wibowo, maka bangunan simbolis keislaman dari koalisi Prabowo-Hatta tentu lebih kuat daripada pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Seperti disebutkan Wibowo, simbol itu merefleksikan isi, antara symbol dan substansi tak bisa dipisahkan. Inilah diantaranya daya tarik dari capres/cawapres ini bagi kelompok Islamis di PPP, PKS, PAN, dan PBB serta para aktivis Islam semisal Abdullah Gymnastiar, Arifin Ilham, dan FPI (Front Pembela Islam). Meski visi-misi dan program dari capres/cawapres kedua ini jauh lebih tebal (42 halaman) dibandingkan yang diajukan Prabowo-Hatta (9 halaman), namun tidak ada program yang secara eksplisit menyebut Islam atau berkaitan erat dengan Islam.

Jokowi-JK menjadikan isu intoleransi sebagai satu dari tiga masalah pokok bangsa yang krusial untuk diatasi. Mereka bahkan menegaskan bahwa “Jati diri bangsa terkoyak oleh merebaknya konflik sektarian dan berbagai bentuk intoleransi” (h. 2). Kehidupan keberagamaan yang plural dari bangsa ini, sebagaimana disebutkan dalam visi-misi Jokowi-JK, saat ini terancam oleh primordialisme, fundamentalisme, konservatisme, dan kekerasan berbasiskan keagamaan (h. 40). Intinya, Jokowi-JK menekankan keberagamaan yang majemuk, menghargai perbedaan dan keragaman, serta menentang penyeragaman.

Posisi Jokowi-JK dalam hal keagamaan itu tentu bersebarangan dengan kelompok yang meyakini bahwa tidak ada persoalan dengan toleransi di Indonesia, mereka yang kadang memiliki kesadaran bahwa kelompok agama mayoritas di negeri ini justru belum mendapat peran sesuai dengan kuantitasnya. Program Jokowi-JK itu juga secara diametral berhadapan dengan Manifesto Perjuangan Partai Gerindra bidang agama (h. 40) yang menekankan penyeragaman dan pemurnian: “Negara juga dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama”. Makna pemurnian di sini, dan dipertegas dalam berbagai pernyataan yang disampaikan oleh Fadly Zon dan pimpinan Gerindra lain, ditujukan kepada kelompok yang dianggap memiliki pandangan keagamaan menyimpang seperti Ahmadiyah, Syiah, Mormon, dan Saksi Jehovah. Sikap ini tentunya sejalan dengan pandangan beberapa partai pendukung koalisi dalam melihat Ahmadiyah dan Syiah seperti tercermin dalam sikap dan pernyataan Suryadharma Ali baik dalam kapasitasnya sebagai pribadi, pimpinan partai, maupun Menteri Agama.

Dari paparan di atas, barangkali sudah terlihat corak keberagamaan dari kedua capres/cawapres itu jika kelak memimpin negeri ini. Tentu saja orang boleh bertanya apakah visi, misi, dan program itu betul-betul dibuat sendiri oleh capres/cawapres. Orang juga bisa berkilah bahwa itu semua hanya dibuat di masa kampanya. Nanti begitu dipilih menjadi presiden dan wakil presiden, mereka tentu akan memodifikasi dan menyesuaikan dengan kebijakan yang lain. Tapi paling tidak visi, misi, dan program itulah yang ditawarkan dan menarik bagi beberapa calon pemilih yang nantinya bisa ditagih. Jika pemilih menghendaki gebyar Islam dan kemapanan ortodoksi agama, maka pilihlah Prabowo-Hatta. Jika orang memimpikan pluralitas dan kebebasan beragama, maka pilihlah Jokowi-Jusuf Kalla.
-oo0oo-

*Peneliti LIPI

No comments:

Post a Comment