Ahmad Najib Burhani*
Dalam visi, misi, dan program capres/cawapres yang
diserahkan ke KPU (Komisi Pemilihan Umum), pasangan Prabowo-Hatta Rajasa secara
eksplisit hanya menyebut satu program yang berkaitan dengan Islam, yaitu
“mendirikan lembaga tabung haji”. Program ini pun lebih berkaitan dengan
persoalan ekonomi daripada soal keagamaan karena ia diletakkan dalam sub-judul “ekonomi
kerakyatan”. Memang ada program lain yang bersinggungan dengan agama seperti
ajakan menjunjung tinggi toleransi agama dan perbaikan kualitas
pesantren/pendidikan agama. Namun program ini juga lebih berhubungan dengan
penguatan karakter bangsa dan peningkatan sumber daya manusia daripada isu
keislaman an sich, sebagaimana yang
dibayangkan oleh kelompok Islamis. Tentu
saja ini mengejutkan beberapa orang yang sebelumnya menyebut koalisi
Prabowo-Hatta sebagai “koalisi syariah”.
Pertanyaannya, seperti apakah corak keislaman dari koalisi Prabowo-Hatta
itu? Apa yang tertulis di visi, misi, dan program seakan berbeda dari suasana
ketika deklarasi pasangan ini. Pada deklarasi di Rumah Polonia, simbol-simbol
keislaman terlihat begitu dominan. Dimulai dengan pembacaan Al-Qur’an, teriakan
takbir (Allahu akbar) sering terdengar
bersambungan, ditutup dengan do’a, pakaian dari peserta yang hadir didominasi
warna putih, dan ketika berangkat ke KPU untuk mendaftarkan capres/cawapres mereka
menyempatkan mampir ke Masjid Sunda Kelapa untuk shalat Dhuhur berjamaah dengan
diimami oleh Suryadharma Ali.
Apakah keislaman dalam koalisi yang secara resmi menyebut
dirinya sebagai “koalisi merah-putih” ini hanya menjadi semacam gincu atau
lipstik, tampak jelas bagi orang lain tapi tak terasa bagi penggunanya? Apakah
keislaman mereka lebih ditekankan dalam simbol-simbol saja, sementara untuk
program mereka berlandaskan sesuatu yang sifatnya universal? Dalam Dialog
Kenegaraan yang diadakan di Gedung DPD RI pada 28 Mei 2014, Drajat Hari Wibowo,
salah satu juru bicara koalisi Prabowo-Hatta, menegaskan bahwa selain pendirian
lembaga tabung haji, program keislaman lain yang akan digarap oleh
Prabowo-Hatta jika nanti terpilih sebagai presiden/wakil presiden adalah
menjadikan Indonesia pusat fashion muslimah dunia dan pusat perbankan syariah.
Berdasarkan visi-misi, acara deklarasi, dan beberapa program
yang disampaikan Drajat Wibowo, maka bangunan simbolis keislaman dari koalisi
Prabowo-Hatta tentu lebih kuat daripada pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Seperti
disebutkan Wibowo, simbol itu merefleksikan isi, antara symbol dan substansi
tak bisa dipisahkan. Inilah diantaranya daya tarik dari capres/cawapres ini
bagi kelompok Islamis di PPP, PKS, PAN, dan PBB serta para aktivis Islam
semisal Abdullah Gymnastiar, Arifin Ilham, dan FPI (Front Pembela Islam). Meski
visi-misi dan program dari capres/cawapres kedua ini jauh lebih tebal (42
halaman) dibandingkan yang diajukan Prabowo-Hatta (9 halaman), namun tidak ada
program yang secara eksplisit menyebut Islam atau berkaitan erat dengan Islam.
Jokowi-JK menjadikan isu intoleransi sebagai satu dari tiga
masalah pokok bangsa yang krusial untuk diatasi. Mereka bahkan menegaskan bahwa
“Jati diri bangsa terkoyak oleh merebaknya konflik sektarian dan berbagai
bentuk intoleransi” (h. 2). Kehidupan keberagamaan yang plural dari bangsa ini,
sebagaimana disebutkan dalam visi-misi Jokowi-JK, saat ini terancam oleh primordialisme,
fundamentalisme, konservatisme, dan kekerasan berbasiskan keagamaan (h. 40).
Intinya, Jokowi-JK menekankan keberagamaan yang majemuk, menghargai perbedaan
dan keragaman, serta menentang penyeragaman.
Posisi Jokowi-JK dalam hal keagamaan itu tentu bersebarangan
dengan kelompok yang meyakini bahwa tidak ada persoalan dengan toleransi di
Indonesia, mereka yang kadang memiliki kesadaran bahwa kelompok agama mayoritas
di negeri ini justru belum mendapat peran sesuai dengan kuantitasnya. Program
Jokowi-JK itu juga secara diametral berhadapan dengan Manifesto Perjuangan Partai Gerindra bidang agama (h. 40) yang
menekankan penyeragaman dan pemurnian: “Negara juga dituntut untuk menjamin
kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan dan
penyelewengan dari ajaran agama”. Makna pemurnian di sini, dan dipertegas dalam
berbagai pernyataan yang disampaikan oleh Fadly Zon dan pimpinan Gerindra lain,
ditujukan kepada kelompok yang dianggap memiliki pandangan keagamaan menyimpang
seperti Ahmadiyah, Syiah, Mormon, dan Saksi Jehovah. Sikap ini tentunya sejalan
dengan pandangan beberapa partai pendukung koalisi dalam melihat Ahmadiyah dan
Syiah seperti tercermin dalam sikap dan pernyataan Suryadharma Ali baik dalam
kapasitasnya sebagai pribadi, pimpinan partai, maupun Menteri Agama.
Dari paparan di atas, barangkali sudah terlihat corak keberagamaan
dari kedua capres/cawapres itu jika kelak memimpin negeri ini. Tentu saja orang
boleh bertanya apakah visi, misi, dan program itu betul-betul dibuat sendiri
oleh capres/cawapres. Orang juga bisa berkilah bahwa itu semua hanya dibuat di
masa kampanya. Nanti begitu dipilih menjadi presiden dan wakil presiden, mereka
tentu akan memodifikasi dan menyesuaikan dengan kebijakan yang lain. Tapi
paling tidak visi, misi, dan program itulah yang ditawarkan dan menarik bagi beberapa
calon pemilih yang nantinya bisa ditagih. Jika pemilih menghendaki gebyar Islam
dan kemapanan ortodoksi agama, maka pilihlah Prabowo-Hatta. Jika orang
memimpikan pluralitas dan kebebasan beragama, maka pilihlah Jokowi-Jusuf Kalla.
-oo0oo-
No comments:
Post a Comment