Saturday, July 25, 2015

Ahmad Najib Burhani: “Peran Kerajaan Saudi dalam Kekerasan Keagamaan Bersifat Tak Langsung”

 in Wawancara July 22, 2015 7,941 Views
Belum lama ini Wikileaks membocorkan 600 ribu dokumen rahasia yang dikirimkan Kerajaan Arab Saudi ke Kedutaan Besar Saudi di seluruh negara, termasuk di Indonesia. Khusus mengenai Indonesia, ditemukan dua surat yang menunjukkan peran Saudi dalam menekan Ahmadiyah. (baca: Wikileaks Ungkapkan Bukti Saudi Menekan Pemerintah dan MUI untuk Menghabisi Ahmadiyah)
Temuan ini menimbulkan dugaan bahwa berbagai bentuk konflik keagamaan dan penindasan terhadap hak beragama yang banyak berlangsung di Indonesia dalam dekade terakhir ini turut dipengaruhi oleh Arab Saudi. Ada dugaan bahwa pemerintah Saudi secara berkelanjutan berusaha mempengaruhi paham keagamaan di Indonesia sehingga lebih mendekati corak yang tidak menghargai keberagaman dan tak terbuka sebagaimana tertanam kuat di Saudi.
Untuk membahas intervensi Saudi, redaksi madinaonline.id secara khusus mewawancarai peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ahmad Najib Burhani, yang menulis disertasi When Muslims are not Muslims: The Ahmadiyya Community and the Discourse on Heresy in Indonesia.
Penerima penghargaan The Professor Charles Wendell Memorial Award 2012-2013 dari Universitas California Santa Barbara (UCSB) itu mengakui adanya intervensi politik, ideologi, dan kebudayaan Saudi ke Indonesia. Menurutnya, Kerajaan Saudi memang tidak terlibat langsung dalam aksi kekerasan keagamaan di Indonesia, namun di sisi lain, Saudi aktif mendorong penyebaran gagasan-gagasan yang akan mempengaruhi wacana keagamaan sehingga masyarakat sendiri yang bergerak atau ‘terbakar’ untuk melakukan kekerasan.
Berikut petikan lengkap wawancara Redaksi Madina Online Irwan Amrizal dengan peneliti yang menekuni kajian tentang kelompok minoritas, seperti Ahmadiyah, Baha’i, Isma’ili, Druze, dan Yazidi itu via telepon (14/7).
Apa komentar anda tentang terungkapnya surat dari Kerajaan Arab Saudi ke Pemerintah RI dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengawasi laju perkembangan Ahmadiyah di Indonesia? Surat itu dikirim oleh Pangeran Naif dan Raja Saudi Abdullah bin Abdul Aziz pada 2012…
Intervensi Kerajaan Arab Saudi itu sudah dilakukan sejak tahun 1980-an ketika MUI mengeluarkan fatwa tentang Ahmadiyah. Waktu itu ada surat dari Saudi kepada Kementerian Agama RI untuk membatasi gerak jemaat Ahmadiyah di Indonesia, termasuk juga Syiah.
Saya tidak tahu apakah surat itu sangat rahasia atau tidak. Tapi kita mengetahui banyak kasus di mana Kerajaan Saudi mengintervensi negara-negara lain untuk menekan kelompok-kelompok saingan Saudi seperti Syiah dan Ahmadiyah di berbagai negara tersebut.
Apa motivasi Kerajaan Saudi melakukan intervensi itu? 
 Secara ideologi, hal itu bagian dari dominasi Saudi di dunia Islam. Saudi merasa dirinya otoritas yang tertinggi ketika berbicara tentang Islam. Kita tahu secara politis, Saudi yang berpaham Wahabi bersaing dengan Syiah dalam berebut dominasi di dunia Islam. Dalam konteks regional, Saudi sudah lama bersaing dengan Iran untuk memperebutkan posisi nomor satu di kawasan Timur-Tengah. Karena itu isu ‘Syiah dan Ahmadiyah bukan Islam’ itu digunakan untuk memperkuat dominasi Saudi.
Dalam konteks Ahmadiyah, mereka memang menentang ortodoksi keislaman yang dibangun Saudi. Karena itu, wajar bila Saudi khawatir bila ideologi-ideologi penentang Wahabisme itu bisa berkembang di dunia Islam.
Selain berkirim surat ke pemerintah negara lain, adakah model lain intervensi mereka?
Strateginya bermacam-macam. Kalau secara politis, ada intervensi. Kalau yang secara umum dan terbuka itu, misalnya, pemberian penghargaan terhadap tokoh yang dinilai dekat dengan Wahabisme. Di antaranya Pemerintah Saudi memberikan penghargaan kepada M. Natsir (Mantan Perdana Menteri Indonesia; red) bersama Abul A’la Maududi dan Syekh Nadwi dari Pakistan sebagai ‘pemimpin Islam’ pada akhir 1960-an.
Untuk akar rumput, strategi yang paling mudah adalah membangkitkan sense of identity, penentangan terhadap yang lain, dan dengan cara mengkafirkan. Pemikiran ideologis kan rumit dan itu bukan kelasnya untuk akar rumput. Di akar rumput cukup melakukan kampanye negatif dengan mengidentifikasi ‘siapa bagian dari saya, maka dia Islam, dan yang bukan bagian dari saya, maka dia kafir.’
Strateginya ada beberapa level. Secara politik, Saudi melakukannya dengan intervensi terhadap satu pemerintah, mengirim surat ke satu kementerian tertentu, atau melalui pendidikan, dan memberikan penghargaan. Untuk masyarakatnya masuk melalui media, selebaran, dan menggulirkan isu-isu tertentu.
Jadi, ada berbagai macam strategi yang dilakukan pemerintahan Saudi merebut dominasi secara ideologis dan politis di dalam dunia Islam.
Jadi, jika belakangan ini gencar kampanye yang menyebutkan bahwa Syiah dan Ahmadiyah bukan lagi bagian dari komunitas Muslim itu adalah strategi Saudi untuk mendominasi dunia Islam?
Iya, itu bagian dari dominasi dan hegemoni secara ideologis dan politis Saudi di dunia Islam.
Selain terlibat dalam kampanye ‘Syiah dan Ahmadiyah bukan bagian dari Islam,’ apakah pemerintah Saudi juga terlibat dalam aksi kekerasan bermotif agama yang dalam beberapa tahun terakhir marak terjadi kepada dua kelompok itu?
Kalau dalam aksi kekerasan, saya kira, Saudi tidak terlibat secara langsung. Sebab dalam diplomasi politik mereka harus berhati-hati. Misalnya, dalam proses penggodokan undang-undang, Saudi dan juga negara-negara asing lainnya tidak mau melakukan intervensi secara terang-terangan. Mereka cukup membiarkan proses itu dilakukan oleh orang-orang Indonesia sendiri. Mereka hanya mempengaruhi melalui diskusi dan penyebaran wacana.
Nah, dalam konteks politik luar negeri, negara-negara asing termasuk Saudi pasti tidak terlibat langsung dalam konflik yang berujung pada kekerasan. Yang bisa mereka lakukan adalah melalui penyebaran buku, mempengaruhi wacana, pendidikan, dan sebagainya. Selanjutnya, mereka membiarkan masyarakat sendiri yang bergerak atau ‘terbakar.’ Dengan cara begitu, negara yang terlibat dalam peristiwa konflik kekerasan tidak bisa dituduh secara langsung dan ‘cuci tangan.’
Jadi, kita tidak bisa sembarangan menuduh Saudi atau negara manapun terlibat langsung dalam kerusuhan yang terjadi di Indonesia. Karena tidak ada aktor dari pihak mereka yang terlibat di situ. Yang bisa kita lihat hanya ada jaringan ideologi, network politik, dan lain-lain.
Jadi, keterlibatan Saudi dalam kerusuhan berbasis agama itu secara tidak langsung, ya? 
Keterlibatan Saudi itu dapat disebut hanya pada pembentukan wacana dan doktrin yang kemudian mempengaruhi sikap dan pandangan masyarakat. Strategi ini juga dilakukan oleh MUI terkait Ahmadiyah. MUI berkilah bahwa mereka tidak terlibat langsung dalam aksi kekerasan terhadap Ahmadiyah. Tapi fatwa mereka sering menjadi alat untuk membakar masyarakat.
Begitu juga Pemerintah Saudi tidak terlibat langsung dalam kekerasan agama di Indonesia. Saudi cukup menyebarkan pandangan Wahabisme yang menolak mazhab yang berbeda dan hanya berteman dengan mereka yang punya pandangan sama dengan mereka. Dalam doktrin Wahabisme istilah ini disebut sekutu (wala) dan lawan (bara). Doktrin inilah yang mempengaruhi masyarakat dan membuat mereka antipati terhadap keberagaman.
Dalam data yang dibocorkan Wikileaks disebutkan, selain melakukan diplomasi politik untuk menghentikan laju Ahmadiyah di Indonesia, Saudi juga mengelontorkan dana besar ke berbagai pihak di Indonesia seperti MUI. Bahkan mereka berusaha menyuap media terkemuka di Indonesia. Komentar anda?
Mereka menggelontarkan dana itu betul. Pemerintah Saudi itu menggelontorkan dana untuk pembangunan masjid-masjid dan pembentukan yayasan-yayasan pendidikan. Nah, kemudian mereka menetapkan persyaratan yang ketat agar dana besar itu bisa dicairkan.
Dalam konteks masjid, misalnya, nama-nama khatib dan materi khutbah Jumat dan pengajian mingguan harus sesuai dengan doktrin Wahabi. Begitu juga dengan yayasan pendidikan. Yang diajarkan kepada para murid haruslah buku-buku yang berisi doktrin-doktrin Wahabi. Jadi, penggelontoran dana itu bukan untuk aksi kekerasan. Strategi mereka untuk menyebarkan pandangan Wahabi dan bukan aksi kekerasan yang bersifat langsung.
Saya tidak punya data yang mengungkap bahwa dana itu digunakan untuk aksi kekerasan yang bersifat langsung. Tapi saya punya banyak data yang menyatakan bahwa dana itu digunakan untuk penyebaran pandangan Wahabisme melalui kamuflase pembangunan masjid, selebaran, pendidikan, dan lain sebagainya.
Ada yang berpandangan bahwa kekerasan bermotif agama sejak 2005 hingga kini dan terjadi di banyak tempat rasanya tak mungkin terjadi tanpa sokongan dana dari kalangan tertentu. Komentar anda?
Kalau aksi kekerasan bermotif agama yang marak terjadi di Indonesia itu dipandang terjadi hanya karena keterlibatan pihak asing, sepertinya kita sedang mencoba cuci tangan dari kedaulatan negara. Seolah-olah negara kita itu tidak memiliki kekuatan sama sekali di hadapan kekuatan asing itu sehingga bisa begitu mudah dipengaruhi.
Jadi, pengaruh asing seakan-akan kita besar-besarkan sendiri dari kemampuan mereka yang sebenarnya. Memang pihak asing memberikan pengaruh, tapi pengaruh itu tidak akan berfungsi bila seumpamanya negara kita berdaulat dan mampu menangani permasalahan keagamaan. Meskipun kita saat ini hidup di era globalisasi, tapi kita masih mempunyai kedaulatan.
Jadi tidak semata-mata pengaruh dari luar itu begitu berkuasa sehingga kita tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan demikian, ada faktor lain yang memungkinkan mengapa kekerasan agama itu massif terjadi, yaitu kesempatan aktor lokal untuk mengekspresikan pandangannya.
Beberapa saat lalu saya mewawancarai Jubir Ahmadiyah (baca: Jubir Ahmadiyah: Mungkin Arab Saudi Ingin Jadi pemimpin Dunia Islam dengan Kucurkan Dana Besar). Dia mengatakan, ada kelompok di Cianjur yang dulu sangat aktif menekan Ahmadiyah namun belakangan melempem. Menurutnya, kelompok Gerakan Reformis Islam (Garis) ini melempen karena sudah kehilangan sumber dananya yang diyakini berasal dari Saudi. Komentar anda?
Sebetulnya sumber dana Garis itu dari aktor lokal. Ada pengusaha lokal yang mendukung aksi-aksi Garis. Perlu juga diingat, Chep Hernawan (Ketua Umum Garis yang juga pemimpin ISIS Indonesia, red) itu juga adalah orang kaya. Nah, apakah menurunnya aksi Garis disebabkan karena menurunnya pendanaan itu perlu dipelajari lebih jauh.
Sebagai contoh LPPI (Lembaga Pengkajian dan Penelitian Islam, red) yang dipimpin Amin Jamaluddin yang kantornya di Manggarai, Jakarta. Selama ini Amin dikenal sebagai tokoh anti aliran sesat oleh kelompok-kelompok garis keras. Berdasarkan wawancara saya dengannya, ia memang menerima bantuan Pemerintah Saudi dalam bentuk, misalnya, dihajikan beberapa kali. Kemudian pesantrennya mendapat bantuan dari Pemerintah Saudi. Jadi, pola bantuan dananya seperti itu.
Kalau kita melihat beberapa pesantren salafi yang mendapat bantuan dari Pemerintah Saudi itu sebenarnya bukan pesantren yang kaya. Misalnya, Pesantren Ihya’ al-Sunah di Yogyakarta. Luas tanahnya hanya 300 meter persegi dengan jumlah santri yang cukup banyak. Jika melihat kamar santrinya, kita akan melihat santri itu tidur berdesak-desakan dalam satu kamar. Jadi, banyak pesantren-pesantren salafi yang berafiliasi dengan Wahabi itu sederhana, bahkan cenderung miskin.
Kalau aksi kekerasan dan penyebaran paham Wahabi semua tergantung pada dana Saudi itu bagi saya tidak masuk akal. Saudi menanamkan pandangan Wahabinya, iya, tapi kalau mengucurkan dana besar, saya tidak menemukan buktinya di lapangan.
Di Yaman, ada Syekh Muqbil yang menjadi corong Wahabisme di negara itu. Tapi kalau lihat pesantrennya tampak seperti pesantren miskin. Tidak sebanding dengan sekolah-sekolah modern yang ada di Indonesia seperti sekolah Muhammadiyah.
Jadi, bantuan dana dari Pemerintah Saudi ke pesantren, masjid atau yayasan pendidikan itu tidak dalam jumlah besar, ya?
Beberapa pesantren yang berafiliasi dengan Wahabisme itu bukan pesantren yang kaya. Kehidupan yang mereka jalani itu bukan kehidupan yang mewah. Rata-rata pesantrennya sederhana. Tidak sebanding dengan lembaga pendidikan yang dimiliki Muhammadiyah atau NU. Tapi militansi mereka cukup tinggi. Jika mereka dimanjakan dengan kucuran dana yang besar, saya melihat kehidupan mereka tidak cocok dengan asumsi itu.
Apakah itu karena Pemeritah Saudi cukup selektif ketika ingin menggelontorkan dana?
Yang jelas, mereka menetapkan sejumlah persyaratan ketika ingin mengucurkan dana. Dulu waktu kuliah saya pernah bekerjasama dengan salah satu yayasan yang berafiliasi dengan Wahabi untuk mengadakan lomba resensi buku. Kontrol dari Pemerintah Saudi melalui petinggi yayasan itu cukup ketat.
Pertama, mereka yang menentukan buku apa saja yang bisa diresensi. Kedua, lembaga apa saja yang harus dilibatkan dalam kegiatan ini. Mulai dari LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arabred) dan lembaga lain yang punya kaitan dengan Saudi. Ketiga, penjuriannya harus mereka yang melakukan. Keempat, kriteria penilaian juga dari mereka, dan seterusnya.
Pola ini juga mereka berlakukan ketika ingin menggelontorkan dana ke masjid. Syaratnya, di masjid itu harus diajarkan kitab-kitab yang ditulis Muhammad ibn Abdul Wahab (pendiri Wahabisme; red). Termasuk buku-bukunya Ibn Taimiyah dan muridnya, Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Kedua, yang mengisi takmir masjidnya harus mendapat persetujuan dari perantara Pemerintah Saudi itu. Selain itu, ada delapan persyaratan lainnya.
Jadi, penggelontoran dana yang dilakukan Pemerintah Saudi polanya seperti itu. Saya belum menemukan data bahwa penggelontoran dana itu untuk aksi kekerasan secara langsung.
Kesan bahwa lembaga yang dibiayai Pemerintah Saudi mendapat kemewahan itu tidak tepat ya?
Yang saya pahami, hal itu karena di luar prinsip mereka. Misalnya, Syekh Muqbil itu mengkritik keras gaya hidup elite Saudi yang hedonis, tapi dia tetap berkolaborasi dengan mereka. Kehidupan Syekh Muqbil sendiri sangat sederhana. Gaya hidupnya kontras dengan gaya hidup elite Saudi sendiri.
Syekh Muqbil mungkin tidak tahu bahwa Pemerintah Saudi memanfaatkannya. Atau mungkin juga dia tahu. Di sisi lain, dia sadar bahwa elite-elite Saudi itu bukanlah Muslim yang ideal dalam pandangannya. Tapi mungkin dia tidak bisa berbuat apa-apa dan mau tidak mau tetap berkolaborasi dengan mereka.
Apa rekomendasi anda untuk Pemerintah RI terkait data yang dibocorkan Wikileaks itu?
Untuk Pemerintah RI, saya kira, sudah jelas bahwa, pertama, kita punya kewibawaan dan kedaulatan. Kalau seumpamanya kita menegakkan kedaulatan dan tidak terpengaruh oleh kekuatan asing, maka tentu saja intervensi negara lain itu tidak bisa berlaku. Kedua, ada political will dari pemerintah untuk menegakkan keindonesiaan kita yang damai.
Selama pemerintah, baik pusat maupun daerah,ada political will untuk menegakkan keindonesiaan kita yang damai, maka persoalaan keagamaan bisa diatasi dengan baik.
Rekomendasi anda untuk MUI?
Selama ini di tubuh MUI memang terjadi perdebatan, apakah MUI itu mengikuti OKI (Organisasi Konferensi Islam; red), Rabithah Islamiyah, atau organisasi keislaman lintas negara yang lain. Sebagian orang di MUI itu mengatakan bahwa MUI itu bagian dari OKI dan Rabitah.Sementara anggota MUI yang lain mengatakan bahwa MUI itu memiliki kesejajaran dengan anggota OKI yang lain. Dengan begitu fatwa OKI itu tidak mengikat umat Islam di Indonesia.
Saya kira, jika ulama-ulama Indonesia mau menegaskan bahwa mereka juga punya otoritas yang sama dengan ulama-ulama lain yang ada di OKI, maka MUI dan umat Islam Indonesia tidak bisa didikte begitu saja oleh mereka.
Jadi, yang perlu dilakukan MUI adalah memperkuat independensinya dari pengaruh fatwa dari luar Indonesia. Kalaupun mengikuti fatwa itu harus disesuaikan dulu dengan konteks keindonesiaan. Bukan mengadopsi fatwa itu secara mentah-mentah. Seperti fatwa MUI tentang Syiah dan Ahmadiyah itu pengaruh dari fatwa dari OKI.[]
http://www.madinaonline.id/sosok/wawancara/ahmad-najib-burhani-peran-kerajaan-saudi-dalam-kekerasan-keagamaan-bersifat-tak-langsung/



No comments:

Post a Comment