MENJAGA KERUKUNAN AGAMA,
MENJAGA KEUTUHAN BANGSA
Oleh
Dr. Ahmad Najib Burhani*
Yang
Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Yang Mulia Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Sidang Mahkamah Konstitusi yang berbahagia
Yang Mulia Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Sidang Mahkamah Konstitusi yang berbahagia
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Penduluan
Saya ingin menegaskan terlebih dahulu
bahwa kesaksian saya dalam sidang ini bukanlah untuk melakukan pembelaan
terhadap Ahmadiyah. Saya bersedia hadir menjadi saksi ahli karena menginginkan
pasal-pasal dalam UU No. 1/PNPS/1965 itu tidak disalah artikan dan
disalahgunakan. Kalaulah ada bagian yang menyangkut Ahmadiyah, yang saya
lakukan bukan sebuah pembelaan, tapi menyampaikan apa yang saya tahu tentang komunitas
keagamaan ini. Ada tiga hal utama yang ingin saya sampaikan di sini: 1)
Beberapa kesalahpahaman kita tentang Ahmadiyah, 2) Pendefinisian penodaan agama
dan ancaman diskriminasi terhadap berbagai kelompok agama, termasuk NU dan
Muhammadiyah, jika tidak ada penafsiran bersyarat terhadap beberapa pasal dalam
undang-undang aquo, dan 3) Memahami
posisi minoritas agama.
Kesalah-pahaman dan Stereotype tentang Ahmadiyah
Majelis hakim yang mulia!
Saya sudah mengkaji dan
meneliti tentang Ahmadiyah ini bukan hanya dalam hitungan hari atau minggu atau
bulan, tapi sudah beberapa tahun. Paling tidak, sudah tujuh tahun secara serius
saya mengkaji gerakan ini. Saya tidak hanya mendatangi satu lokasi tempat
komunitas ini berada, tapi saya hadir di beberapa tempat: ke pusat JAI di
Parung; desa Manis Lor, Kuningan, yang lebih dari separuh penduduknya adalah
Ahmadi; Transito di Mataram, NTB, tempat warga Ahmadiyah menjadi pengungsi
selama lebih dari 10 tahun sejak rumah-rumah mereka dihancurkan; ke Pandeglang
dan Cikeusik, tempat tiga anggota Ahmadiyah dibunuh; ke Bandung, Surabaya,
Medan, Praya, Cirebon, dan beberapa tempat lain dimana Ahmadiyah menghadapi
kesulitan menjalankan keyakinannya. Saya juga hadir pada jalsa salana
(pertemuan tahunan) yang diadakan oleh Ahmadiyah Jakarta, Yogyakarta, dan
Tangerang
Di luar Indonesia, saya datang
ke komunitas Ahmadiyah di Texas, AS, Manchester, Inggris, Jepang, dan
Singapura. Satu pengalaman yang sangat penting, saya ikut Jalsa Salana di
Qadian, India, tempat kelahiran Ahmadiyah, dimana saya tinggal atau menginap di
Dar al-Masih atau rumah Mirza Ghulam
Ahmad selama 10 hari. Terakhir, saya sudah bertemu dan berdialog langsung
dengan khalifah Ahmadiyah ke-5, Mirza Masroor Ahmad, yang saat ini memimpin gerakan
ini. Berdasarkan pengalaman itu, saya ingin menunjukkan beberapa hal yang
kurang pas dalam pandangan kita selama ini terhadap Ahmadiyah, kesalahpahaman
saya terutama, sebagai bagian dari umat Islam non-Ahmadiyah. Kesalahpahaman
yang sering melahirkan prejudice dan
tuduhan terhadap komunitas ini.
Pertama, tentang
tuduhan ibadah haji Ahmadiyah. Memang ada tempat-tempat tertentu di Qadian yang
mendapat perlakuan khusus, atau katakanlah sebagai tempat suci (sacred space), seperti Minaratul Masih,
Masjidil Aqsa, Masjid Mubarak, Bahishti Maqbarah, dan Darul Masih. Namun
demikian, ketika membahas tentang tempat suci, orang sering
menyalahartikan antara tempat suci dan tempat ibadah haji. Lebih jelasnya, terdapat
sikap yang mendua dari sebagian kita umat Islam berkaitan dengan ibadah haji
orang Ahmadiyah. Pada satu sisi, mereka sering dituduh memiliki tempat ibadah
haji sendiri yang berbeda dari umat Islam lain, yaitu di Qadian, India. Namun
pada sisi lain, ketika orang Ahmadiyah hendak melaksanakan rukun Islam kelima,
berhaji ke Baitullah di Makkah, beberapa orang menghambat pendaftaran mereka.
Saya sudah hadir di tempat-tempat itu semua dan
menyaksikan bahwa yang mereka lakukan bukanlah seperti bayangan orang bahwa
mereka melakukan haji. Tidak ada ketentuan waktu untuk berkunjung, tidak ada
ketentuan urutan beribadah, dan tidak ada ritual yang baku. Itu lebih mirip
ziarah ke tempat suci, seperti ziarah ke makam Wali Songo dalam tradisi kita. Qadian
memang menjadi salah satu tempat istimewa atau tempat yang perlu dikunjungi
oleh jemaah Ahmadiyah. Sama halnya dengan pengikut Syiah melihat Qum dan Karbala
sebagai tempat untuk melakukan ziarah spiritual. Qadian adalah tempat kelahiran
Ahmadiyah, tempat terjadinya berbagai peristiwa penting dalam komunitas ini.
Namun demikian, Qadian bukanlah tempat berhaji dan berkunjung ke tempat ini
tidak dianggap sebagai ibadah pengganti haji.
Kedua, tentang
kitab suci Ahmadiyah. Ada beberapa buku yang beredar di sekitar kita yang
menyebutkan bahwa kitab suci orang Ahmadiyah adalah Tazkirah, bukan Al-Qur’an.
Saya sudah membaca buku-buku Ahmadiyah, tidak ada yang menyebutkan kitab
sucinya adalah Tazkirah. Saya datang ke rumah-rumah dan masjid-masjid
Ahmadiyah, yang saya temukan adalah Al-Qur’an, bukan Tazkirah. Saya datang ke
perpustakaannya di Qadian yang ketika itu sedang ada penulisan mushhaf
Al-Qur’an. Sekali lagi Al-Qur’an, bukan Tazkirah. Tentu saja ada beberapa
individu yang memiliki Tazkirah dan beberapa kantor Ahmadiyah juga memiliki
itu. Tapi itu bukan kitab suci. Sama seperti pembedaan antara tempat suci dan
tempat ibadah haji di atas, perlu pula dibedakan makna “suci” dalam Tazkirah
dan kitab suci Al-Qur’an. Itu tidak memiliki makna sama dan tidak berada pada
level yang sama.
Ketiga, tentang keyakinan
Ahmadiyah mengenai Mirza Ghulam Ahmad. Ini yang paling kontroversial. Ketika
saya di Qadian, kamar yang saya tempati berada di atas kamar yang dulu
ditempati oleh Mirza Ghulam Ahmad. Bukan persis di atasnya, mungkin 10 meter
sebelah utara dari kamar tempat lahir Ghulam Ahmad. Saya datang ke kamar tempat
Ghulam Ahmad dilahirkan, kamar tempat ia sering berdoa, kamar tempatnya sering
menghabiskan waktu untuk menulis. Saya ikut sholat di Masjid Mubarak dan Masjid
al-Aqsa yang cukup keramat dan bersejarah bagi warga Ahmadiyah. Saya mengamati,
apakah orang Ahmadiyah telah menempatkan Ghulam Ahmad lebih tinggi dari Nabi
Muhammad? Apakah Ghulam Ahmad disanjung lebih tinggi dari Nabi Muhammad? Setahu
saya, itu tidak terjadi. Sanjungan dan pujian yang dilakukan di tempat-tempat
itu adalah kepada Nabi Muhammad.[1]
Di pagi dan sore hari,
saya sering duduk tak jauh dari makam Mirza Ghulam Ahmad. Selama berjam-jam
dalam beberapa hari secara berturut-turut. Saya memperhatikan dan mengamati
pengikut Ahmadiyah dari berbagai negara yang berkunjung ke tempat itu. Apakah
ada yang aneh dari mereka? Apakah ada yang menyembah atau memuja berlebihan
terhadap Mirza Ghulam Ahmad? Tidak ada yang mulia. Tidak ada pemujaan
berlebihan. Tidak ada yang menangis keras-keras. Tidak ada yang mengambil tanah
untuk jimat. Tidak ada yang menaruh bunga. Tidak ada yang melempar koin. Tidak
seperti bayangan kita bahwa mereka memuja berlebihan terhadap Mirza Ghulam
Ahmad. Bisa jadi, sikap orang Ahmadiyah ketika berkunjung ke makam Ghulam Ahmad
tak ada apa-apanya dibanding dengan sikap orang NU ketika berkunjung ke makam
Gus Dur di Jombang.
Majelis hakim yang mulia!
Saya menyaksikan sendiri
bagaimana orang Ahmadiyah beribadah; dalam berpuasa dan menjalankan sholat. Sebagai
orang yang separuh pendidikannya ditempuh di pesantren dan separuhnya dalam
pendidikan Barat, saya merasa seperti orang sekuler di hadapan orang-orang
Ahmadiyah. Saya tidak bisa menonjol-nonjolkan, melebih-lebihkan atau mengurangi
tentang Ahmadiyah. Sebagai peneliti, saya memiliki kode etik untuk tidak
berbohong dalam melakukan penelitian dan menyampaikan hasilnya. Saya bisa saja
salah, namun saya tak boleh berbohong.
Pendefinisian Penodaan
Agama dan Diskriminasi
Majelis hakim yang mulia!
Saya belajar tentang
berbagai Undang-Undang terkait HAM (Hak Asasi Manusia), Deklarasi Universal
HAM, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, tentang kebebasan
beragama, dan sebagainya. Sudah 13 tahun saya menjadi pelajar dan peneliti di beberapa
negara; di Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Jepang, dan sekarang di
Singapura. Saya sudah menulis sejumlah makalah tentang Ahmadiyah yang terbit di
berbagai jurnal internasional ternama, termasuk yang terkait teologi atau
akidah Ahmadiyah yang sering diperdebatkan dan juga terkait berbagai fatwa
tentang Ahmadiyah.[2]
Tapi untuk kali ini, saya tinggalkan itu semua. Saya berharap kita berbicara
dengan hati, bukan mencoba untuk saling mengalahkan. Saya sudah agak lelah
dengan perdebatan teologis itu. Saya ingin mengetuk hati saya sendiri sebagai
bagian dari mayoritas umat Islam Indonesia.
Saya juga sudah menulis makalah
tentang ketertiban umum dan penodaan agama dengan logika dan argumen-argumen
akademis yang cukup detail. Sekali lagi, kali ini ini saya ingin meninggalkan itu
semua. Jika bapak-ibu tertarik membacanya, silahkan meminta ke pengacara. Saya
sudah menyerahkan kepadanya. Untuk sementara saya hanya ingin mengetuk hati
saya sendiri dan mengajak kita semua kembali ke hati, sebagai manusia, sebagai
umat yang bersaudara, dan kemudian merenungkan apa dan siapa yang benar-benar
menghina agama.
Ada beberapa hal yang
sering disebut sebagai penodaan atau penistaan agama. Ketika sebuah koran di
Denmark, Jyllands-Posten, memuat
kartun-kartun tentang Nabi Muhammad pada 30 September 2005, orang menyebutkan
itu sebagai pelecehan agama. Demikian juga dengan koran Perancis Charlie Hebdo yang sering memuat poster
dan kartun anti-agama. Geert Wilders dari Belanda dengan film Fitna-nya juga memberikan eksplorasi dan
penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang berbeda dari penafsiran umumnya.
Di Indonesia, kelahiran undang-undang ini juga terkait dengan kegiatan PKI
(Partai Komunis Indonesia) yang anti-agama dan merongrong kepercayaan kita
kepada Tuhan. Apakah kita hendak menyamakan apa yang dilakukan oleh Ahmadiyah
dengan itu semua? Saya tidak tega jika kita hendak melakukan itu.
Perbedaan penafsiran
tidak bisa dimaknai sebagai penodaan. Jika tidak diberi penafsiran bersyarat,
maka pasal ini bukan hanya mengenai Ahmadiyah, tapi juga kelompok agama lain. Bulan
lalu (Oktober 2017), terdapat pelarangan pendirian masjid dan bahkan pembakaran
tiang Masjid At-Taqwa Samalanga, Bireun, Aceh. Ini bukan Masjid Ahmadiyah, tapi
Muhammadiyah. Mengapa? Karena Muhammadiyah di sana dianggap memiliki pandangan
keagamaan yang berbeda dari masyarakat. Muhammadiyah dianggap bukan Ahlussunnah Waljamaah. Itu yang tertulis
resmi dari pihak-pihak berwenang di Aceh. Muhammadiyah dituduh Wahabi yang
menyimpang dari keyakinan pada umumnya.
Mari kita bayangkan, jika
ada kelompok yang tidak toleran terhadap slametan dan tradisi keagamaan yang
selama ini dipraktekkan oleh kelompok NU, lantas tiba-tiba kelompok ini
berkuasa di negeri ini, maka NU akan dianggap sesat, melakukan penafsiran agama
yang menyimpang dari Islam. Kelompok seperti ini benar-benar ada, bukan hanya
dalam imajinasi kita, tapi berada di tengah-tengah masyarakat kita. Keberadaan
mereka bukan khayalan semata. Mereka ini aktif berteriak-teriak. Maka bangunan
keagamaan kita bisa runtuh dengan sikap mereka, dengan bersenjatakan pasal-pasal
ini. Ada kelompok agama di Jawa Tengah yang sangat benci terhadap NU dan bahkan
berkali-kali menuduhnya sesat. Bukan di abad lampau, tapi saat ini. Jika
kelompok ini atau yang seperti ini menjadi bagian dari penguasa, maka dengan
menggunakan pasal-pasal dari undang-undang ini mereka bisa menuduh NU telah
melakukan penodaan agama.
Penutup
Majelis hakim yang mulia!
Saya bagian dari bapak
dan ibu semua. Saya lahir dan besar dalam lingkungan NU, dari orang tua yang
merupakan kiai kampung, yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mengajar
Islam di kampung. Saya mengikuti pendidikan agama di madrasah dan pesantren
sejak TK hingga Madrasah Aliyah atau SMA. Ketika kuliah S1 di IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, saya mulai menjadi aktivis Muhammadiyah dan sekarang
merupakan wakil ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah. Model
keberagamaan saya adalah bagian dari yang bapak dan ibu ikuti. Saya adalah
bagian dari kelompok mainstream di Indonesia. Tapi mari kita, sebentar saja,
merasakan menjadi Ahmadi, yang ingin diperbolehkan beribadah dan menundukkan
diri kepada Allah.
Dalam
pengadilan-pengadilan, kita sering disuguhi dengan berbagai argumen yang pelik
dan brilian, namun ada sesuatu yang kadang terlewatkan, yaitu hati kita. Dalam salah
satu sabdanya, Nabi Muhammad menganjurkan pengikutnya untuk meminta fatwa atau
keputusan kepada hati, istafti qalbak. Tidak
banyak yang dituntut oleh Ahmadiyah, mereka hanya minta untuk diperbolehkan
beribadah sesuai dengan keyakinannya. Mereka ingin menyembah dan memuja Allah
di rumah mereka. Apakah kita tega melarang itu? Terus-terang, jika ternyata
Ahmadiyah itu sesat, maka tidak usah dilarangpun mereka akan hancur sendiri.[3]
Tanpa SKB atau regulasi lain, Ahmadiyah pasti ditinggalkan orang, jika ternyata
kelompok ini memang sesat.[4]
Ahmadiyah hanya menuntut bisa berdoa di tempat ibadahnya. Karena itu yang
mulia, mohon berikan tafsir konstitusional bersyarat terhadap pasal 1, 2, dan 3
dalam UU No. 1/PNPS/1965. Mohon berikan penafsiran konstitusional bersyarat
seperti yang diminta oleh para pemohon.
-oo0oo-
Jakarta,
7 November 2017
* Makalah saksi ahli
yang disampaikan pada sidang ke-6 dalam Judicial
Review UU No. 1/PNPS/1965 di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
Selasa, 7 November 2017.
[1] Barangkali, cara orang Ahmadiyah menghormati Mirza
Ghulam Ahmad itu tidak sebanding dengan cara sebagian orang Syi’ah menghormati
dan mengagungkan Ali bin Abi Thalib.
[2] Seperti yang Bapak dan Ibu pahami, fatwa itu adalah
pandangan ulama. Sifatnya tidak mengikat. Ada beberapa fatwa yang tidak banyak
ditaati, termasuk fatwa dari MUI. Misalnya, fatwa tentang larangan merokok dan
memilih presiden perempuan.
[3] Klaim Ahmadiyah bahwa non-Ahmadi itu sesat adalah sama
dengan klaim kita bahwa yang selamat itu hanya Ahlussunnah wal Jamaah. Selain
Ahlussunnah adalah sesat. Dengan klaim itu maka Syiah dianggap sesat, Wahabi
sesat, dan Ahmadiyah sesat. Mengapa kita boleh melakukan klaim sementara mereka
tidak? Perdebatan tentang keimanan seperti ini sangat panjang, jika tidak tak
mau disebut tak berujung. Kita percaya dengan Isra’ Mi’raj, tapi kita tak
sepakat apakah Nabi ber-mi’raj dengan jasad atau fisiknya atau ruhnya saja. Bagi
non-Muslim, peristiwa itu bisa jadi dianggap kebohongan. Orang Ahmadiyah
percaya bahwa Nabi Isa AS itu sudah wafat, tapi orang Islam lain berbeda
pandangan dengan itu. Peran negara bukan pada soal teologi ini, bukan menentukan
benar atau salah keyakinan seseorang, tapi menjaga ketertiban umum.
[4] Sekadar informasi, salah satu korban Cikeusik itu
adalah orang yang baru menjadi Ahmadiyah setelah penyerangan Parung. Apa yang
terjadi saat ini, pada satu sisi adalah menjadikan Ahmadiyah korban. Namun pada
sisi lain, membuat orang tahu tentang Ahmadiyah.
No comments:
Post a Comment