Sunday, January 29, 2012

Ahmadiyah dan Bahaya Plagiator Agama

Hidayatullah.com, Kamis, 07 April 2011


Oleh: Dr. M. Abdurrahman, MA

HIRUK PIKUK pemberitaan yang selama ini ikut meramaikan dunia para pebisnis media dan pembela akidah. Kasus ini, tak urung menjadikan perilaku umat atau bangsa Indonesia yang selama ini terkenal santun dan memiliki kepedulian tolong menolong identik suka melakukan "perlawanan". Namun umumnya, pertengakaran, konflik, dan peperangn dari dahulu sampai sekarang pun karena berkaitan dengan hak-hak seseorang yang diganggu, harta, tahta, material, spiritual, malahan "cinta dan wanita" yang sebenarnya "sepele".

Suatu istilah yang berkaitan dengan mengganggu hak orang lain yang akrab dan dekat ditelinga kita ialah, istilah penghinaan, cemooh, pencemaran nama baik yang berkaitan, baik fisik maupun non-fisik, seperti istilah ghasab, pencurian termasuk plagiat dan lain-lain yang berkaitan dengan penguasaan hak kekayaan material dan intelektual tanpa dasar. Jangankan urusan "keyakinan" yang selama ini terjadi, urusan-usrusan keduniaan yang berkaitan dengan nama lembaga, businis, bahkan pada nama seseorang yang amat sederhana pun bila ada yang menyamainya akan menjadi biang konflik.

Dalam mata uang Indonesia rupiah, misalnya dahulu ada peringatan tertulias pada uang dengan ancaman pidana bagi yang memalsukannya. Karena itulah banyak perusahaan memasang himbaun yang berbunyi, "Awas barang tiruan!".

Di Surabaya ada seorang Doktor dicabut gelarnya karena pada disertasinya ada pengambilan tulisan dari orang lain yang tidak disebut sumbernya. Di Bandung ada suatu universitas memecat dan mencabut gelar guru besarnya karena yang bersangkutan menjiplak tulisan orang lain dan tidak ada foot note-nya.Dalam karya ilmiah saja seseorang harus mendapatkan kode ISBN sebagai tanda hak cipta.

Dalam karya-karya Timur Tengah ada ungkapan, “Jami’ul huquq mahfuzhah”, semua hak-hak dilindungi. HAK CIPTA ini tidak boleh diganggu oleh siapapun, baik nama maupun substansi, malahan ada lembaga yang disebut HAKI.

Namun rupanya, masalah PALSU dan ASLI tak hanya terjadi pada barang dagangan atau produk. Dalam agama juga ada. Dalam kasus Ahmadiyah dengan umat Islam Indonesia,  termasuk terkait antara yang ASLI dan yang PALSU.

Hukuman bagi Plagiator
Di Negara mana pun plagiat atau pembajakan apapun namanya, termasuk karya ilmiyah dilarang dan akan dikenai sanksi hukum. Setiap pengambilan karya ilmiah di Indonesia, misalnya akan dihukum dengan peraturan perundang-undangan, yaitu UU nomor 19 tahun tahun 2002 tetang Hak Cipta dengan pidana masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000 (lima milyar rupiah).

Untuk masalah agama, Indonesia sudah menetapkan beberapa peraturan perundangan undangan yang berkaitan dengan penodaan terhadap agama, seperti UU PNPS no 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang ditetapkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Janauari 1965, kemudian dimasukkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1965 Nomor 3. Isinya pada Pasal 1, “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum,untuk melakukan penafsitran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”.

Kemudian, dalam KUH Pidana secara eksplisit berbunyi, “Pasal 56 a. “Dipidana dengan Pidana Penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan senagaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, a. yang pokoknya bersifat permusuhan. Penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama di Indonesia. Atas dasar itu, maka MUI telah mengeluarkan Fatwa bahwa ajaran Ahmadiyah Qodiyan sesat menyesatkan dan di luar Islam. Surat edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji nomor D/BA.01/3099/84 tanggal 20 September 1984.

Dalam kasus Ahmadiyah ini, Mirza Ghulam Ahmad termasuk plagiator di dunia dalam bidang keagamaan, baik gelar yang dimiliki maupun kitab suci-nya. Dalam gelar dia mengaku Nabi, Rasul, Isa al-Masih, Mujaddid, al-Mahdi, seperti tertulis dalam karya-karyanya. Syeikh Manzhur Ahmad Chinioti dari Pakistan dalam karyanya, Keyakinan al-Qadhiyani terbitan LPPI - 2002 (a-Qadiyani wa Mu'taqidatuh- judul asli,), yang di antara kutipan keyakinannya mengatakan;

Pertama, mengaku mujaddid, al-mahdi, al-Masih, Nabi, dan Rasul.
"Rahim Allah mengeluarkan cahaya langit, Akulah cahaya itu, al-Mujaddid yang dapat perintah, hamba yang ditolong, al-Mahdi yang dikenal, al-Masih yang dijanjikan. Dan sesungguhnya aku berada dalam posisi yang sangat mulia di sisi Tuhanku, tak ada seorangpun yang mengetahuinya (Khutbah Ilhamiyah Ruhani Khazain 16/15 karya al-Qadiyani).

"Dan Allah yanag sebenarnya. Dialah yang mengutus Rasul-Nya di Qadiyan ((Daifi'ul Bala 11 RK 231).

“Akulah al-Masih yang dijanjikan yang telah ditentukan kedatangannya di akhir zaman oleh Allah yang Maha bijak. Akulah orang yang diberi nikmat yang disebutkan dalam surat al-Fatihah pada saat muncul dua golongan tersebut.” (Khutbah Ilhamiyah, Ruhani Khazain16/179.

Kedua, ia melakukan pasal penghinaan. Di antaranya poenghinaan pada Isa al-Masih ibn Maryam dan pada Allah.

"Lihatlah aku datang sesuai yang dikabarkan oleh Nabi sallallahu alaihi wa sallalah, Isa tidak mampu untuk meletakkan kakinya di atas mimbarku." (Izalah al-Auham 158 R-K 240).

Ketiga, penjiplakan pada Al-Quran
Ahmadiyah juga ikut menjiplak al-Quran yang menurutnya diwahyukan kepadanya oleh Allah, yang disebutnya, Tazdkirah. Dalam halaman 1 kitab Tadzkirah tertulis: “Tadzkirah ya'ni Wahyu Muqaddas: Ru'ya wa Kusyuf Hadhrat Masil al-Mau'ud Alaihis salatu wa sallam, Tadzkirah adalah wahyu yang disucikan, ru'ya (-mimpi-ilham), dan kusyuf (melihat langsung), hadrah (di depan) Masih yang dijanjikan." Di antara contoh lain plagiat Mirza terhadap al-Quran, sebagaimana dikutip di bawah ini.

1. Tadzkirah hal: 33 plagiat dari al-Quran surat al-Baqarah/2: 23 yaitu:
Ayat diplintir dan dijiplak dengan menggunakan kalimat setelah lafal, 'ala 'abdina dengan kalimat, 'Fa'tu bisyifa'in min mislih……..Inkuntum shadiqin dibuang.

2. Tadzkirah hal: 40 plagiat dari al-Quran surah Maryam: 25: 19 yaitu:
Ayat yang diplintir dan dijiplak dengan cara mengubah tanda kasrah pada muhkatahab untuk muannast (perempuan) huzzi dengan huzza, kaf yang dikasrah "ki" dengan fathah (mudzakkar) yaitu "ka". Jadi, ayat ini berbunyi” Huzza ilaika bijidz’innakhlati tusaqith alaika ruthaban janniya”. Perkataan, hudzdzi mnjadi hudzadza, ilaiki menjadi ilaika.

3. Tadzkirah hal: 43 plagiat dari surah al-Anfal/8: 17, yaitu ayat:
Ayat tersebut yang kata dia Mirza ada ilham dan perintah kepadaku, dengan menambah ungkapan, "Ya Ahmad barakallahu fika-M ramaita idz ramaita walakinnallaha rama". Ayat ini langsung dipotong ujung ayant ini, malah langsung disambung setelah menggun akan tanda-dengan ayat lain dari syurah ar-Rahman/55: 1-2 yang isinya: Arrahman, allamal Quran. Lalu, disambung lagi dengan ayat lain surah lain, yaitu sepotong surah Yasin/36: 6.

4. Tadzkirah hal: 50 plagiat dari surah at-Thur/52: 48 yaitu,
Ayat pada surat ini, selain dibuang sebagian ditambahi oleh Mirza dengan kalimat, “Ya Ahmad, fadhat ar-rahmatu ala syfataika-ditambah dengan sebagian ayat di atas dengan “innaka biayunina” .

5. Tadzkirah hal: 51 plagiat dari ayat al-Quran surah al-Muddtasir/74: 1-3.
Yaitu Ayat ini ditambah dengan kalimat, "Yatimmu ismuka wala yatimmu ismi-kun fiddunya ka annaka gharibun aw abirus sabilin –wa kun minas shalihin was shiddiqin".

6. Tadzkirah hal: 637 plagiat dari al-Quran surah al-Isra/17: 105 yaitu
Ketika menjiplak ayat ini Mirza G. Ahmad la'anahullah, menyatakan, “Sesunggunya Kami telah menurunkan kitab suci Tadzkirah ini dekat dengan Qadiyan-India dan dengan kebenaran kami menurunkannya dan dengan kebenaran dia turun”.
Inilah sekedar contoh beberapa plagiat Mirza G. Ahmad nabinya Amadiyah dari kitab sucinya Tazkirah.

Bias HAM
Pada tanggal 26 Maret 2009 Dewan HAM PBB menyatakan bahwa, “Penistaan Agama adalah Melanggar HAM. Berdasarkan resolusi HAM Pasal 18 ayat 3 negara berhak melakukan pembatasan hokum dalam kebebasan HAM. “Defamation of religion is violating Human Right, Penodaan agama adalah kejahatan kemanusiaan”.

Dengan mengacu pada ini, jelas Ahmadiyah sudah menodai ajaran Islam dengan mengaku “Muslim”, padahal punya Nabi sendiri dan kitab sucinya sendiri pula. Mereka lebih berhak dinamai sebagai non-muslim.

Tapi, deklarasi HAM PBB itu rupanya dilanggar juga oleh para aktivis LSM yang mengatasnamakan dirinya “Pembela HAM”. Ia justru tetap meminta agar eksistensi Ahmadiyah di Indonesia ada, meski itu menodai agama dan telah melakukan plagiat.
Untuk banyak hal, Barat tidak sungguh-sungguh menerapkan apapun resolusinya, termasuk masalah penodaan agama ini. Kasus terbaru di mana burqa (cadar) dilarang di Prancis.
Persis sendiri sudah menolak sejak awal keberadaan Ahmadiyah sebagai Muslim di Indonesia, seperti dalam debat A. Hassan dengan tokoh Ahmadiyah, Rahmat Ali dan Abu Bakar Ayub pada tanggal 29 September 1933.

Majalah Pembela Islam menerbitkan rekaman yang kemudian dicetak ulang 40 tahun kemudian (1973). Bapak H. Ir. Soekarno-almarhum yang selanjutnya menjadi Presiden RI Pertama menulis artikel pada tanggal 25 November 1935 berjudul, “Tidak Percaya Bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi”.

Masalahnya, bila sekedar HAK CIPTA saja seseorang bisa mendapatkan sanksi dan hukuman berat, bagaimana dengan orang/kelompok yang melakukan plagiat pada Wahyu Allah atas namanya sendiri?

Penulis adalah Guru Besar Fak. Syariah-Universitas Islam Bandung, Ketua Umum PP Persis dan anggota dewan ulama internasional - pembebasan al-Quds, wakil Asia Tenggara

Retrieved from: http://www.hidayatullah.com/read/16245/07/04/2011/--ahmadiyah-dan-bahaya-plagiator-agama.html

No comments:

Post a Comment