Tempo, 18 November 1989
"GAMBAR ular adalah simbol memudahkan mengenal orang India. Gambar ini dipasang untuk menunjukkan Mirza Ghulam Ahmad itu nabi sesat dari India. Kami bukan menghinanya atau memberikan interpretasi jahat," kata H. Buchari Tamam.
Dalam majalah Serial Media Dakwah (SMD) nomor 172, Oktober 1988, disiarkan laporan utama Sesatnya Ahmadiyah. Edisi itu juga memuat ilustrasi Yusar Hidayat yang melukiskan tubuh Mirza Ghulam Ahmad -- pendiri Ahmadiyah yang beserban itu -- dililit dan hendak dipatuk seekor ular kobra.
Cara SMD itu tidak diterima oleh Ketua Nasional Pengurus Besar Ahmadiyah Indonesia, Ir. Syarif Ahmad Lubis, M.Sc. dan Sekjen Ir. Pipip Sumantri. Mereka kemudian menggugat H. Buchari Tamam, Pemimpin Umum, Pemred, Penanggung Jawab SMD. Penerbit majalah ber-STT (Surat Tanda Terbit) yang beroplah 11 ribu itu, yaitu Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), juga mereka gugat. Dakwaan perdatanya disampaikan 22 September.
Sidang pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 1 November lalu, berlangsung sepi, lebih kurang 3 menit. Majelis hakim yang dipimpin Wahono Baoed, S.H., bersama W. Napitupulu, S.H., dan Imam Parwis, S.H., cuma menerima surat kuasa terdakwa dari Maqdir Ismail, S.H., dan Askodar, S.H. Ahmadiyah diwakili Hans Pardamean Siagian, S.H., dkk. Karena ia berdiri di sekitar ruang sidang, Hans tak mendengar panggilan. Majelis menilainya ia tak hadir sampai sidang dilanjutkan Rabu pekan ini. "Lha, sejak tadi kita di sini. Hilang sudah ongkos Rp 15 ribu," gerutu Hans. "Kami menggugat gambar itu, karena menimbulkan tafsiran buruk pada pendiri Ahmadiyah," katanya.
Menurut pandangan umat beragama, kata Hans pada wartawan TEMPO Ahmadie Thaha, ular adalah simbol setan. Gambar yang dimuat SMD menunjukkan, Mirza Ghulam Ahmad yang dililit dan hendak dipatuk setan, selain bisa ditafsirkan buruk, malah mengakibatkan misi Ahmadiyah tersendat. Penggugat minta tergugat mencabut gambar itu, selain memasang iklan minta maaf (setengah halaman) di koran-koran Ibu Kota. "Kami meninjaunya secara yuridis saja," ujar Hans.
Kasus ini juga sudah dilaporkan ke Polda Metro Jaya agar gugatan pidana cepat diproses. Kata Syafi R. Batuah, penjabat Sekretaris Tablig Ahmadiyah, pihaknya pernah mengutus kurir ke kantor SMD di Kramat Raya 45, Jakarta Pusat, mengajak berdamai. Nihil. Lalu, 17 Oktober 1988, pihaknya menantang mubahalah dengan pimpinan SMD. Tak digubris. Akhirnya mereka menggugat ke pengadilan.
"Gugatan tersebut lemah," kata Maqdir Ismail. Misalnya, dua tergugat (Buchari Tamam dan penerbit SMD) disatukan di secarik surat gugatan. Sedangkan Buchari Tamam menolak disebut menghina pendiri Ahmadiyah (Qadiani) itu. Dulu memang ada datang seorang utusan Ahmadiyah ke kantor SMD menjelaskan Ahmadiyah tak sesat. "Karena ia tak bisa baca Quran, argumentasinya kami tolak," kata Buchari Tamam. Setelah itu, tak ada usaha damai dan dikira kasusnya selesai. Malah ia ke Departemen Penerangan menjelaskan gambar kobra dimaksud.
Tapi ajakan mubahalah? "Itu main-main saja, kamuflase," ujar Sekretaris DDII itu. "Ahmadiyah sengaja memakai trik mubahalah untuk merekrut pengikut baru. Padahal, seperti dinyatakan oleh Pemerintah Arab Saudi, Ahmadiyah itu sesat. Bahkan pengikutnya dilarang melakukan ibadat haji ke Mekah." Ia menyebutkan, Departemen Agama RI juga pernah menolak jamaah Ahmadiyah naik haji. Sedang di Pakistan, kaum Ahmadiyah disebut minoritas nonmuslim -- dan diatur dalam satu ordonansi. "Kami sependapat dengan pendapat itu," kata Buchari Tamam.
Retrieved from: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1989/11/18/AG/mbm.19891118.AG21441.id.html
No comments:
Post a Comment