Monday, June 4, 2012

Fatwa dan Rekomendasi tentang Ahmadiyah 1984

Satu fatwa, empat rekomendasi

HANYA satu fatwa yang dikeluarkan oleh Rakernas MUI tahun ini. Sidang yang berlangsung 4-8 Maret itu, di Jakarta, mengesankan memberi perhatian kepada berbagai permasalahan sosial yang jauh lebih luas dari sekadar masalah hukum - hal yang juga sudah terasa pada Munas 1980.

Menarik adalah ceramah Adi Sasono, Direktur Lembaga Studi Pembangunan, yang mengetengahkan pendekatan masalah dan alternatif operasional bagi dakwah pembangunan yakni dakwah yang merupakan "keseluruhan upaya pengembangan masyarakat dalam mewujudkan tatanan sosial ekonomi dan kebudayaan menurut ajaran Islam."

Fatwa yang diputuskan dalam jangka sidang lima hari itu hanya tentang adopsi. Di situ adopsi dianggap sebagai amal saleh, alias kebajikan besar, bila ia berarti "pengangkatan anak dengan tidak mengubah statusnya", alias tetap mengakui hubungan darahnya dengan orangtuanya yang asli. Melanggar itu, maka adopsi haram.

Di bawah fatwa, terdapat empat rekomendasi. Salah satunya tentang Syiah (lihat: Syiah Kalau-Kalau Datang). Tapi yang juga menarik adalah tentang pendayagunaan tanah warisan. Intinya: agar tanah warisan yang sedikit, khususnya dl desa-desa, tidak dibagi-bagi di antara ahli waris. Melainkan: dimanfaatkan secara kooperatif atau dibeli oleh salah satu dari mereka yang mampu atau oleh pemilik tanah tetangganya. Atau, bila semua butir urutan itu tak bisa dipenuhi, dijual kepada orang sedesa yang Muslim - agar, bila kemudian bisa dijadikan ladang atau sawah, zakatnya bisa di manfaatkan para tetangga. "Ahli waris yang kemudian tidak mendapat tanah, dan hanya menerima uang penjualan bagiannya, supaya bersedia bertransmigrasi," kata K.H. Syukri Ghozali, Ketua Umum MUI, dalam laporannya tentang hasil-hasil Rakernas. Semua itu dengan pertimbangan bahwa tanah di Jawa sudah sangat sempit.

Semua rekomendasi itu memang berdasar maslahat. Soal haji, misalnya. Di sini MUI mengimbau umat agar "menghayati bahwa ibadah haji itu diwajibkan hanya sekali" - itu pun bagi yang mampu. Sehingga untuk haji yang sunah, alias tambahan, dianjurkan umat menggantinya dengan amal jariah "yang dapat dirasakan manfaatnya oieh umum".

Dalam pidato pembukaan Rakernas, Kiai Syukri malah mengemukakan hasil keputusan sidang Majma'ul Buhutsil Islamiyah yang berkedudukan di Mesir. Keputusan itu menyatakan bahwa buah amal jariah, di akhirat, lebih besar dari pahala haji sunah. "Mekah dan Mina itu sangat sempit tidak mungkin diperluas," kata Kiai Syukri. Dan itulah alasan pokok.

Rekomendasi keempat adalah tentang Jamaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) alias aliran Qadian. MUI, untuk itu, minta kepada yang berwewenang untuk meninjau kembali Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI tahun 1953, yang memberi status badan hukum kepada JAI. Dasarnya: kepercayaan Qadiani, yang membawa nama Islam itu, "bertentangan dengan ajaran agama Islam".

Ahmadiyah Qadiani adalah yang menganggap Ghulam Ahmad nabi. Pertemuan para ulama yang dilangsungkan di Mekah sendiri, beberapa tahun lalu, menyatakan jemaah itu berada di luar Islam. Langkah yang sejajar kemudian diambil pemerintah Pakistan, asal kelahiran aliran ini. Tetapi Ahmadiyah yang aliran Lahore, yang tidak menganggap Ghulam Ahmad nabi, dikecualikan oleh keputusan Mekah maupun MUI, sementara pemerintah Pakistan tidak membedakan dua-duanya.

 Menteri Agama sendiri dalam pidatonya juga meminta perhatian majelis kepada jemaah yang, menurut Kiai Syukri, "perkembangannya kita lihat memang pesat" itu. Yang menarik, dalam rekomendasi itu tak ada kalimat permintaan pelarangan - kepada Kejaksaan Agung, misalnya. Tetapi, seperti dikatakan Kiai Syukri, Rakernas mengharapkan agar pemerintah RI, seperti juga Pakistan, "memperlakukan Jemaah Ahmadiyah Qadian sebagai non-Islam".

Available at: http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:8NeukeeZqI0J:majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1984/03/17/AG/mbm.19840317.AG42473.id.html+&cd=1&hl=en&ct=clnk&gl=us&client=firefox-a

No comments:

Post a Comment