Sejak tahun 2005 warga Ahmadiyah di Desa
Sukadana mengalami kekerasan. Rumah-rumah dan masjid dibakar. Kekerasan
tidak juga berhenti.
VHR Media.com, 2 November 2011 - 13:27 WIBPada 20 September 2005, dalam serangan satu malam, 70 rumah dan 6 masjid dibakar di empat kampung yang berdekatan. Setelah penyerangan di Cikeusik, Pandeglang, Banten, pada 6 Februari 2011, pengawasan makin ketat. Maret 2011 Pemerintah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, didukung Gerakan Islam Reformis (Garis) memasang dua buah baliho setinggi empat meter di depan seluruh masjid Ahmadiyah di wilayah itu. Satu berisi Surat Keputusan Bersama 3 Menteri yang anti-Ahmadiyah dan satu lagi pernyataan 12 butir Amir Nasional Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Pemasangan ini menandai bertambahnya kekerasan terhadap warga Ahmadiyah di Sukadana, Kecamatan Campaka.
Mulai Maret hingga Juli 2011, masjid dipinjam untuk menggelar pengajian, dengan menghadirkan massa dari luar desa. Ade Ruspandi menyatakan ada surat instruksi resmi dari kepala desa bahwa setiap Jumat dan malam Senin diadakan tabligh akbar.
Kiai dan perangkat desa aktif memobilisasi warga. Ruspandi menyatakan Kepala Desa Sukadana Mawan Karmawan giat sekali menggerakkan massa. Rumah Mawan sekitar satu kilometer dari Neglasari. Ia paling keras menentang Ahmadiyah.
Pengajian berisi hujatan terhadap warga Ahmadiyah. Para kiai menuduh warga Ahmadiyah, terutama di daerah, hanya menjadi korban kebohongan para pemimpinnya. Teror kian mencekam warga Ahmadiyah. Kata-kata “bunuh”, “cincang”, “kafir” menyebar sepanjang ceramah. Awalnya beberapa anggota Ahmadiyah ikut pengajian itu. Lama-lama mereka tak tahan dan memilih meninggalkan masjid.
Puncaknya, Sabtu 9 Juli 2011, sebuah tabligh akbar digelar di Kampung Cilimus untuk peringatan Isra Mi’raj Nabi Muhammad. Penceramah dari luar Cianjur, secara terang-terangan memprovokasi warga untuk mengusir warga Ahmadiyah.
“Apabila tidak dituruti, diperbolehkan untuk dibinasakan jiwanya dan dirusak harta bendanya, karena menurut penceramah tersebut, orang Ahmadiyah jelas kafir, murtad dan sesat,” kata Ruspandi.
Rangkaian kekerasan ini, beserta aktor-aktor penggerak di lapangan, tak pernah diusut tuntas dan ditangkap.
Mataharimulai meninggi. Beberapa anak yang mengantar kami berlari dan melompat-lompat di hamparan kebun teh.
Pagi itu Ibu Euis, yang rumahnya di Dusun Cieceng ludes dibakar pada Maret 2011, sedang bekerja memetik teh. Perlu agak lama mencari Ibu Euis. Ada tujuh perempuan setengah baya sedang bekerja. Mereka mengenakan baju lengan panjang, celana panjang, dan topi lebar.
Euis tersenyum lebar menyambut kami. Keranjang yang ditenteng di bahunya baru terisi separuh. Kolega Euis lebih cekatan. Dalam satu menit, setumpuk daun teh berpindah ke keranjang. Sekilo teh seharga Rp 400. Rata-rata mereka bekerja dari pagi hingga pukul 16.00.
Seorang ibu, yang telah 27 tahun bekerja, bisa mengumpulkan 50 hingga 80 kilogram daun teh atau maksimal Rp 32 ribu sehari. Euis paling banter memetik 20 kilogram daun teh atau seharga Rp 8 ribu. Euis belum cekatan. Ia baru bekerja sejak Maret, setelah rumahnya dibakar. Dia diajak Deti Komariah, anak kedua, yang lebih dulu bekerja di perkebunan.
“Daripada nggak ada kerjaan. Meski sedih, sekarang jadi kuli….”
Hari berangsur siang. Kami lanjutkan perbincangan di rumahnya. Euis telah berganti pakaian, mengenakan baju berwarna biru dan kerudung putih. Baru dua minggu ia menempati rumah kayu berbentuk panggung. Ada dua kamar tidur, ruang tamu, dan dapur. Baru terisi sebuah lemari kayu dan sepasang sofa tua di kamar depan. Bagian depan rumah, rencananya untuk buka warung kecil-kecilan.
“Bungah, sudah punya rumah,” ucapnya sambil tersenyum.
Pada 29 Maret 2011 pukul 22.00, Euis bermalam di rumah Deti. Rumah ditinggalkan dalam keadaan kosong. Tiba-tiba sejumlah tetangga tergopoh-gopoh mengabari bahwa rumahnya terbakar.
Tungkai kaki Euis lemas.Ia meraung sambil memeluk kedua anaknya. Rumahnya, berukuran 20 x 8 meter dengan 5 kamar, ludes dalam dua jam. Rumah itu dibangunnya sedikit-sedikit, bertahun-tahun. “Saya ingin melihat, tapi orang-orang melarang, takut saya pingsan.”
Tiga hari setelahnya, diantar polisi, ia menengok rumahnya. Euis tersedu menyaksikan rumahnya tinggal puing. Perabotan lengkap, televisi, alat-alat kerjanya untuk bikin keripik singkong, tiga karung gabah hasil panen terakhirnya juga ludes jadi abu.
Kamila, anak bungsunya menangis. Ia kehilangan baju seragam, buku-buku, dan celengan yang berbulan-bulan dikumpulkan demi membeli sepatu olahraga yang lama diidamkan.
Euis pekerja ulet. Ia punya sawah empat are. Dalam setahun sawahnya dua kali panen. Waktu kejadian itu, ia baru saja memanen. Dapat tiga karung gabah yang sudah dijemurnya beberapa kali. Ia juga punya warung sembako dan usaha keripik singkong.
Peristiwa pembakaran itu tak pernah diusut tuntas. Polisi menyebarkan informasi bahwa kebakaran itu dipicu “hubungan pendek arus listrik”.
Setelah kejadian Euis menginap di rumah Deti. Tetangga berdatangan. Mereka menyumbang beras, telur, baju, alat dapur. Beberapa orang datang, memeluk dan menyelipkan uang di tangannya. Ibu Ida, pengurus Ahmadiyah dan guru SD Sukadana, datang menguatkan hati, “Sudah, nanti juga Tuhan akan berikan penggantinya.”
Organisasi JAI membangunkan sebuah rumah panggung berdinding kayu. Warga menyumbang kayu, genting, makanan, dan uang. Semuanya dikumpulkan ke bendahara. Tak sampai sebulan rumah kayu sederhana seluas 4 x 6 meter berdiri.
“Kami belikan tanahnya dengan uang kas. Kemudian kami gotong-royong untuk membangun,” kata Ade Ruspandi.
Euis merasakan benar ikatan solidaritas sesama anggota. Ade Ruspandi mengatakan, sebagai minoritas mereka berusaha sebisa mungkin menjaga solidaritas. Di Sukadana, JAI juga memiliki perkebunan kopi seluas satu hektare, yang digarap beberapa anggotanya dengan sistem bagi hasil. Sebagian laba disisihkan untuk kas. Dari uang kas itulah mereka membiayai kegiatan, termasuk sumbangan kepada anggota yang kesusahan. Uang kas juga diperoleh dari infak atau iuran setiap anggota, sebesar 1/16 hingga 1/3 dari pendapatan per bulan.
Dari reruntuhan rumah, Euis cuma menemukan sebuah kastrol. Tempat menanak nasi terbuat dari tembaga itu tak hangus dilahap api.
“Dari semua harta Ibu bertahun-tahun, cuma tersisa ini?”
Euis tertawa. Kastrol dipeluknya erat-erat. Ia ingat peralatan membuat keripik singkong yang telah ludes, juga satu set panci seharga Rp 200 ribu yang belum lunas dicicil. Di warung kelontong Haji Zaenal, Euis juga masih punya utang sekian puluh ribu rupiah.
Euis mendatangi warung itu setelah kejadian. “Utang-utang saya dihitung saja, Pak.” Haji Zaenal enggan memberikan keringanan. Dulu hubungan mereka baik, Euis pelanggan setia warung itu. Setelah pembakaran rumah, Haji Zaenal terkesan sinis dan menghindar.
Euis berkisah, selama bertahun-tahun tinggal di Sukadana, interaksi sosial di kampung itu berjalan “sangat baik”. Jika ada tetangga melahirkan, punya hajat, atau sakit, mereka saling mengunjungi, tak peduli Ahmadiyah atau bukan. Tak pernah sekali pun mereka menyinggung soal keyakinan. Kini, setelah penyerangan tahun 2005, kondisi berubah. Beberapa tetangga berpaling saat berpapasan dengannya.
“Mungkin takut. Ustad Yiyi suka mengancam mereka. Jangan berhubungan lagi sama orang Ahmadiyah. Gitu katanya. Katanya, ‘orang Ahmadiyah sesat’. Padahal, orang sesatmah nggak sembahyang, kan? Orang Ahmadiyah kan sembahyang. Kami juga nggak suka merusak,” kata Euis.
Euis menonton berita di televisi tentang penyerangan anggota Ahmadiyah di Cikeusik. Kemudian mereka bersama-sama berdoa di masjid. Ketika diadakan salat gaib, baik laki-laki maupun perempuan semuanya menangis haru.
Baru-baru ini Euis menyaksikan rekaman video penyerangan Cikeusik yang dibawa seseorang dari Jakarta. Air matanya meleleh.
“Sedih. Di pikir saya, orang nggak punya pikiran! Kan sama-sama orang, sama-sama umat manusia, kok bisa dipukul sampai mati?!”
Euis memiliki empat anak. Suaminya menikah lagi tak lama setelah lahir anak ketiga. Euis menolak dipoligami. Namun, baru mengurus surat resmi beberapa tahun lalu.
Di Ahmadiyah tak ada aturan ketat tentang poligami, hanya tak dianjurkan. Setahu Euis, hanya suaminya yang berpoligami. Imbasnya, kegiatan suami sehari-hari sebagai warga Ahmadiyah berkurang, mungkin karena malu. Namun Euis juga merasakan anaknya marah melihat perceraian ini. Kamila, anak bungsunya, paling terlihat sensitif. Ia jadi pendiam. Di sekolah sering menerima ejekan sebagai Ahmadiyah, di rumah ia melihat orang tuanya berpisah.
Ketika bersama teman-temannya bermain di kebun teh, Kamila sering murung. Ia ikut berlarian dengan riang, namun menghindar saat difoto.
“Kamila sedih waktu rumahmu dibakar?” tanya saya.
“Sedih.”
“Nangis ya waktu itu?”
“Nangis. Dalam hati saja. Malu sama orang kalau nangis.”
“Kamila nggak pernah nangis selama ini? Sampai keluar air mata gitu?”
“Nggak.”
“Jadi, kalau sedih bagaimana? Ditahan aja?”
“Iya…”
“Kan, dada Kamila jadi sesak?”
Dia terdiam lama. Mukanya memerah, dan berlari meninggalkan saya.
Menjelang asyar, ibu-ibu mengaji di masjid Ahmadiyah Neglasari. Masjid ini dibangun pada 1970-an di tanah wakaf pendiri Ahmadiyah di kampung tersebut. Masjid benar-benar berfungsi sebagai pusat kegiatan. Ibu-ibu mengaji, anak-anak bermain di halaman masjid. Ada yang bermain sepeda, berlarian-larian. Dua anak asyik bermain tenis meja.
Ida Rohayati masih mengajar mengaji. Biasanya sekali sepekan, namun ditambah frekuensinya pada bulan Ramadan. Senyum Ida merekah begitu tahu saya menunggunya di halaman masjid.
“Maaf ya, tadi pagi ke rumah, ya? Tadi ke Ciparay sebenta,” katanya.
Ida lalu mengajak mengobrol di rumahnya, yang berdiri di tanah berundak di sisi masjid. Penampilannya tenang dan berwibawa. Ida satu-satunya guru PNS di Neglasari. Belakangan ia menghadapi ancaman mutasi.
Ida berasal dari Ciparay, kampung tetangga Neglasari. Setelah menikah pindah ke Neglasari dan dipercaya mengajar pengajian ibu-ibu dan anak-anak. Lulus sekolah pendidikan guru, Ida menjadi guru honorer di SD Margasari, sembari melanjutkan pendidikan sarjana. Pada tahun 2007 ia resmi menjadi pegawai negeri sipil di SD Sukadana, satu kilometer dari Neglasari. Di sekolahnya ada 26 murid Ahmadi dari 240 siswa.
Pada Juni 2010 sekolah mengadakan pengajian sebagai acara kenaikan kelas. Penceramah seorang ustad bernama Budi, yang sudah sering diundang berceramah di Sukadana. Isi ceramahnya hasutan kebencian terhadap Ahmadiyah.
“Ahmadiyah itu bukan Islam!” katanya.
Ida terkesiap. Hatinya panas. Ia memilih pulang. Beberapa orang tua murid Ahmadi juga. Ia menceritakannya kepada pengurus Ahmadiyah. Khawatir terjadi kekacauan, ada yang berinisiatif melapor ke polisi. Polisi berdatangan ke sekolah untuk berjaga-jaga.
Kepala sekolah meminta maaf. “Nggak menyangka kok jadinya begini,” ujarnya.
Namun, guru agama menyudutkan. “Terima aja, memang Ahmadiyah sesat!” katanya.
“Selama bertahun-tahun mengajar, tak pernah menemui masalah. Padahal dari dulu saya selalu terbuka bahwa saya Ahmadiyah,” kata Ida.
Setahun berikutnya, di acara yang sama, terjadi lagi.
Ustad Budi, yang anti-Ahmadiyah, berseru, “Ada murid Ahmadiyah di sini?”
“Ada,” barisan belakang, kebanyakan orang tua murid, berseru.
“Kita usir, setuju?”
“Setuju!”
Teriakan bergema. Nyali Ida ciut. Ia sempat menyaksikan murid-murid Ahmadi ketakutan. Juga wajah pias orang tua mereka. Ia kemudian bersembunyi di sebuah gudang sempit, pintu dikunci dari dalam. Ida tayamum dan salat minta pertolongan. Ia menangis. Tubuhnya gemetar.
Seorang anak muda berteriak-teriak di depan gudang, “Wooi… ada orangnya nih. Ayo kita cincang!”
Situasi mulai mencair setelah Ustad Budi turun dari mimbar. Koleganya mengetok pintu. “Keluar Bu, sudah aman….”
Malamnya, murid-murid menemui Ida di rumah. Mereka takut dan menangis, ingin pindah ke sekolah lain.
Ida juga menerima sejumlah pesan pendek, meminta dia mengajukan pindah dari sekolah. Ida mengetahui nomor pengirim pesan, seorang kiai anti-Ahmadiyah, kerabat Ustad Budi. Ida lantas mengganti nomor telepon seluler.
“Suami saya dipanggil kepala sekolah dan kepala desa. Kepala desa juga mendatangi sekolah, meminta saya dimutasi.”
Suparman, pengawas sekolah memanggilnya, “Semua guru harus taat pada aturan, aturan Pergub, MUI, kalau nggak, keluarkan saja!”
Ida menghadap kepala sekolah, yang menguatkannya agak tetap bertahan. Dua puluh enam murid Ahmadi juga masih bersekolah di SD Sukadana.
Pukul 17.00 kami berpamitan. Perjumpaan tak lebih dari 1,5 hari itu terasa hangat benar di lubuk hati. Orang-orang masih melambaikan tangan, hingga mobil yang mengantar menuju Terminal Cianjur melaju. Sukadana nan elok itu perlahan lenyap dari pandangan.
Lebaran lalu, ketika penjuru negeri ini ribut karena belum ada kepastian penetapan Hari Raya Idul Fitri 1432 oleh pemerintah, dari balik keheningan Sukadana, Ade Ruspandi membawa kabar sedih: warga dilarang salat Ied di masjid Neglasari. Bahkan ada ancaman dari Kasat Intel Polres Cianjur: jika Ahmadiyah tidak menurut maka akan terjadi “Cikeusik (jilid) 2”. Aparat desa kembali bersuara keras. Polisi berjaga-jaga dan siap melakukan evakuasi.
Akhirnya Rabu 31 Agustus 2011muslim Ahmadiyah menggelar salat Ied di sebuah madrasah. Mereka tak tahu sampai kapan teror akan berakhir. (E4)
Foto: VHRmedia / Perkumpulan 6211
Retrieved from: http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=4800
No comments:
Post a Comment