Sukarno merangkulnya, Gus Dur membebaskannya dan MUI mengharamkannya.
OLEH: BONNIE TRIYANA
SEORANG lelaki
telungkup bersimbah darah. Sekarat tak berdaya. Seperti belum puas,
beberapa orang beringas yang berdiri mengelilinginya memukulkan lagi
sebilah bambu. Plak!! Sebuah pukulan mengenai bagian belakang
kepala lelaki malang itu sekaligus mengakhiri riwayat hidupnya. Pekik
takbir terus menggema, merayakan kematiannya. Adegan itu tampak dari
sebuah tayangan video insiden berdarah di Cikeusik, Pandeglang, Banten
(6/2) lalu dan sekaligus terparah semenjak tiga tahun terakhir.
Kehadiran Ahmadiyah di Indonesia tak
terlepas dari peran tiga pemuda dari Sumatera Thawalib, sekolah Islam
modern pertama di Indonesia, yang merantau ke India. Seperti dikutip
dari laman resmi Ahmadiyah, www.alislam.org, ketiga pemuda itu
adalah Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan. Kedatangan
mereka kemudian disusul oleh 20 pemuda Thawalib lainnya untuk bergabung
dengan jamaah Ahmadiyah. Pada 1925 Ahmadiyah mengirim Rahmat Ali ke
Hindia Belanda. Ahmadiyah resmi menjadi organisasi keagamaan di Padang
pada 1926. Sejak saat itulah Ahmadiyah mulai menyebarkan pengaruhnya di
Indonesia.
Ahmadiyah berhasil meraih pengikut dari
kalangan terdidik yang bisa dengan cepat menerima ajarah Mirza Ghulam
Ahmad. Namun demikian masuknya Ahmadiyah ke Indonesia menuai respons
dari beberapa kalangan. Perdebatan pun terjadi di mana-mana. Sebagian
kelompok muslim lain menganggap pengikut Ahmadiyah sesat karena mengakui
kenabian Mirza Ghulam Ahmad yang sama artinya menafikan bahwa Muhammad
SAW sebagai nabi terakhir.
Kontroversi keberadaan Ahmadiyah tak
serta-merta berakhir dengan kekerasan. Perbedaan pendapat dan penafsiran
itu malah dibawa ke meja dialog yang sangat intelek. Pada 28-29
September 1933 beberapa organisasi Islam menyelenggarakan debat terbuka
untuk membahas Ahmadiyah. Ada sekira 10 organisasi yang hadir antara
lain Persatuan Islam (Persis), Nahdlatul Ulama dan Al-Irsyad. Perdebatan
itu menarik minat masyarakat sehingga gedung pertemuan di Gang Kenari,
Salemba itu disesaki oleh 1800 orang yang antusias. Sejumlah suratkabar
ternama seperti Sipatahunan, Sin Po, Pemandangan dan Bintang Timur
meliput jalannya perdebatan. Dr. Pijper, kelak menjadi ahli Islam,
datang sebagai wakil pemerintah Belanda untuk menyaksikan jalannya
acara.
Acara debat itu dihadiri oleh Rahmat Ali
dan Abubakar Ayyub yang mewakili Ahmadiyah berhadapan dengan Ahmad
Hassan, pendiri Persis. Ahmad Sarido dari komite Munazarah ditunjuk
sebagai moderatornya. Sebelum debat dimulai moderator mengumumkan
peraturan kepada para penonton untuk tidak bersorak-sorai, menghujat,
meneriakkan kebencian dan menyindir para pembicara, khususnya dari
perwakilan Ahmadiyah.
Baik pada malam pertama dan kedua
panelis mengajukan argumennya masing-masing. Ahmad Hassan mempertanyakan
kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Sementara itu Rahmat Ali dan Abubakar
Ayyub pun mengajukan argumentasi untuk mendukung pendiriannya di
Ahmadiyah. Acara pada malam kedua dibanjiri sekitar 2000 orang penonton.
Karena sejak awal moderator telah mengingatkan mereka untuk tidak
membuat kegaduhan, acara debat pun berakhir damai. Kendati para panelis
berkeras pada pendiriannya, tak ada yang saling memaksa untuk mengubah
pendapatnya dan keyakinannya masing-masing.
Keberadaan Ahmadiyah di Indonesia
menjadi perbicangan luas. Bahkan Sukarno pun sempat digosipkan sebagai
pengikut Ahmadiyah. Menurut pengakuannya, penyebar gosip miring itu
adalah dinas rahasia kolonial atau PID (Politieke Inlichtingen Dienst)
yang bertujuan mendiskreditkan Sukarno yang saat itu berada di
pengasingannya di Ende. Untuk menepis sassus itu, pada 25 November 1935
Sukarno menulis sebuah artikel berjudul “Tidak Percaya Bahwa Mirza Gulam
Ahmad Adalah Nabi”.
Dalam artikelnya itu Sukarno menolak
tuduhan bahwa dia adalah jemaat Ahmadiyah. “Saya bukan anggota Ahmadiah.
Jadi mustahil saya mendirikan cabang Ahmadiah atau menjadi
propagandisnya. Apalagi buat bagian Celebes! Sedang pelesir ke sebuah
pulau yang jauhnya hanya beberapa mil saja dari Endeh, saya tidak boleh!
Di Endeh memang saya lebih memperhatikan urusan agama daripada dulu. Di
samping saya punja studi sociale wetenschappen, rajin jugalah
saya membaca buku-buku agama. Tapi saya punya ke-Islam-an tidaklah
terikat oleh sesuatu golongan. Dari Persatuan Islam Bandung saya banyak
mendapat penerangan; terutama personnya tuan A. Hassan sangat membantu
penerangan bagi saya itu.”
Sukarno menampik keras tuduhan itu. Dia
lebih suka disebut sebagai penganut Islam yang tak terikat dengan satu
golongan apa pun. Kendati demikian Sukarno mengagumi beberapa hal yang
terdapat di dalam ajaran Ahmadiyah. “Mengenai Ahmadiah, walaupun
beberapa pasal di dalam mereka punya visi saya tolak dengan yakin, toh
pada umumnya ada mereka punya features yang saya setujui: mereka punya rationalisme, mereka punya kelebaran penglihatan (broadmindedness), mereka punya modernisme, mereka punya hati-hati terhadap kepada hadist, mereka punya striven Qur’an saja dulu, mereka punya systematische aannemelijk maken van den Islam.
Oleh karena itu, walaupun ada beberapa pasal dari Ahmadiah tidak saya
setujui dan malahan saya tolak, misalnya mereka punya ‘pengeramatan’
kepada Mirza Gulam Ahmad, dan kecintaan kepada imperialisme Inggris, toh
saya merasa wajib berterima kasih atas faedah-faedah dan
penerangan-penerangan yang telah saya dapatkan dari mereka punya
tulisan-tulisan yang rasionel, modern, broadminded dan logis itu.”
Sukarno menempatkan dirinya pada posisi
yang relatif netral terhadap Ahmadiyah. Ada beberapa soal di dalam
ajaran Ahmadiyah yang dia terima sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang
rasionil. Tapi ada pula yang dia tolak mentah-mentah, terutama sekali
soal “pengeramatan” yang berlebihan pada sosok Mirza Gulam Ahmad. Relasi
yang terbangun antara Sukarno dengan Ahmadiyah bisa dilihat dari
selembar foto di mana dia tampak berbicara santai dengan dua tokoh
Ahmadiyah, yakni Said Syah Muhammad dan Hafiz Quadratullah pada resepsi
perayaan kemerdekaan Indonesia ke-5 tahun 1950.
Menurut Iskandar Zulkarnain, penulis buku Gerakan Ahmadiyah di Indonesia,
tiga tahun setelah pertemuan itu, pemerintah Republik Indonesia
mengeluarkan keputusan tentang pengesahan jamaah Ahmadiyah sebagai
organisasi keagamaan yang tercantum dalam ketetapan menteri tanggal 13
Maret 1953 No. JA.5/23/13 dan dimuat dalam Berita Negara Republik
Indonesia No. 22, 31 Maret 1953. Ketetapan tersebut kemudian diubah
dengan akta perubahan yang telah diumumkan di dalam Berita Negara No. 3
tahun 1989; dan Tambahan Berita Negara No. 65 tanggal 15 Agustus 1989.
Pengakuan terhadap eksistensi Ahmadiyah diperkuat pernyataan Departemen
Agama RI tanggal 11 Maret 1968 tentang hak hidup bagi seluruh organisasi
keagamaan di Indonesia.
Keputusan itu merupakan pengakuan
pemerintah terhadap eksistensi warga Ahmadiyah di wilayah Republik
Indonesia. Pengesahan tersebut sekaligus menempatkan Ahmadiyah sebagai
organisasi yang memilki hak dan kewajiban yang setara dengan organisasi
keagamaan lainnya. Ahmadiyah berhak mendapatkan perlindungan dari
pemerintah sekaligus wajib menaati peraturan yang berlaku di Republik
Indonesia.
Jamaah Ahmadiyah sendiri terbagi dua
aliran, Qadian dan Lahore. Banyak pendapat yang mengatakan aliran Qadian
menyimpang dari ajaran Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada
Musyawarah Nasional II yang berlangsung di Jakarta sejak 26 Mei–1 Juni
1980 memfatwa bahwa jamaah Ahmadiyah Qadian sebagai aliran sesat. Namun
pada era Orde Baru, kendati dinyatakan sesat, tak pernah terdengar
tindak kekerasan yang menyerang warga Ahmadiyah.
Dari Ensiklopedi Islam yang
disusun oleh Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta yang diketuai
Prof Dr Harun Nasution disebutkan bahwa kedua golongan Ahmadiyah itu
tetap percaya penuh pada Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Mereka
juga disebutkan beriman kepada Allah SWT, para malaikat-Nya, kitab-Nya,
Rasul-Nya, hari akhir dan Takdir-Nya. Masih dari Ensiklopedi Islam, sebagaimana dikutip dari buku Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, kedua golongan Ahmadiyah itu percaya bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Khatamul Anbiya
(nabi penutup). “Namun”, demikian Harun Nasution dan Tim Penyusun,
“Mereka (Qadian) mentakhsiskan atau menyempitkan artinya menjadi penutup
nabi-nabi yang membawa syari’at. Sementara itu nabi-nabi yang tidak
membawa syari’at masih dibutuhkan kehadirannya pada masa-masa sesudah
Nabi Muhammad SAW. Rupanya itulah pangkal perselisihan yang tak kunjung
usai.
Perselisihan penafsiran itu sempat
berujung kepada tindak kekerasan semasa Orde Lama. Pelaku kekerasannya
tak lain Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang melancarkan
pemberontakan di bawah SM Kartosuwirjo. Pada 1950-an, beberapa orang
anggota Ahmadiyah dibunuh. Pemberontakan baru dapat dipadamkan oleh
pemerintah dengan tertangkapnya SM Kartosuwirjo pada 14 Juni 1962.
Selanjutnya pada masa Orde Lama Ahmadiyah relatif bisa menjalankan
kegiatannya dengan tenang tanpa gangguan kekerasan.
Di era pemerintah Gus Dur jamaah
Ahmadiyah semakin menemukan momentum kebebasannya. Presiden yang
terkenal demokratis dan menjunjung keberagaman itu membuka keran
kebebasan berekspresi dan menjalankan ajaran agamanya tanpa perlu merasa
takut mengalami kekerasan. Sejumlah kegiatan ilmiah yang membahas
Ahmadiyah pun diselenggarakan di kampus-kampus, seperti yang pernah
diselenggarakan pada 24 Juli 2000 di Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Pada hari-hari terakhir ini Ahmadiyah mengalami teror kekerasan. Korban tewas berjatuhan. Beberapa kelompok memaksakan kehendaknya agar Ahmadiyah dibubarkan. Ada baiknya pemerintah sekarang belajar dari sejarah pada era Sukarno yang telah memilih satu di antara dua pilihan: membiarkan DI/TII memberontak untuk kemudian menggantikan ideologi Pancasila atau menghentikan perlawanan mereka sehingga semua umat beragama memiliki hak untuk hidup setara dengan umat lainnya, baik minoritas maupun mayoritas.
Retrieved from: http://www.historia.co.id/artikel/2/716/Majalah-Historia/Ahmadiyah_di_Indonesia
No comments:
Post a Comment