Saturday, June 14, 2008
Oleh: Muhammad Iqbal (Wartawan biasa, tinggal di Pulau Batam. Pernah menang Mochtar Lubis Award 2010 dan Anugerah Adiwarta Sampoerna 2010).
CAHAYA matahari menyusup ke dalam sebuah ruko warna biru di kawasan Nagoya, Jumat (13/6) menjelang siang. Tapi kesan gelap masih saja terasa di ruang seluas lapangan bulu tangkis itu. Dari celah pintu yang dibuka tak sampai setengah, tiga bocah melongokkan kepala.
''Cari siapa ya?'' tanya mereka. ''Pak Muslim Barus. Ada?'' jawab saya. ''Ada di atas. Naik saja,'' kata seorang bocah perempuan yang terlihat lebih tua dari dua lainnya. Di pojok depan sebelah kanan pintu masuk ruko, tempat para bocah itu bermain, sepatu dan sandal berserakan, meski rak tiga tingkat warna putih yang ada di sana terlihat kosong.
Menginjakkan kaki di lantai dua, langkah dihadang sebuah ruang tamu sederhana. Satu set sofa sudut warna merah tua mengapit televisi layar datar 21 inchi. Kipas angin mini yang ditaruh di atas tv berputar mendinginkan suhu ruangan yang terasa agak gerah.
Inilah markas organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Cabang Batam. "Yah, beginilah. Seperti inilah tempat kami,'' kata Muslim Barus, pembina JAI Batam. Barus lalu duduk di sofa merah tua. Di atas kepalanya terpajang potret Mirza Gulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah. Di bawah gambar Mirza, ikut pula dipasang lima potret tokoh lainnya. "Mereka ini para kalifahnya,'' kata Barus sembari menunjuk satu per satu foto itu.
Saat turun dari kamar tinggalnya di lantai tiga, Barus membawa sebuah handycam, yang lalu ditaruh di meja depan sofa. Seorang anggotanya bernama Sultan, yang lebih dulu menemui saya, kemudian menyalakan alat perekam itu di atas tripod warna hitam. Lensanya mengarah ke wajah saya. "Maaf ya, semua pembicaraan ini harus saya rekam. Untuk dokumentasi kami,'' ujar Sultan. Barus meminta alamat lengkap markas JAI Batam tidak dikorankan. ''Demi keamanan,'' ujarnya. Inilah kali pertama aktivitas mereka diliput media.
Ruko tiga lantai ini, selain berfungsi sebagai tempat tinggal Barus dan keluarga, kantor organisasi, juga sebagai tempat ibadah. Musala yang diberi nama Baitul Dzikir terletak berdampingan dengan ruang tamu.
Menurut Barus, kecuali warga sekitar dan polisi, tak banyak yang tahu bahwa di sanalah anggota JAI melaksakan ibadah berjamaah, minimal saban Jumat. Padahal, menurut Harlin, salah satu anggota Ahmadiyah terlama di Batam, aktivitas Ahmadiyah di ruko itu sudah berjalan sejak 1995. ''Ruko ini dipinjamkan salah satu anggota kita,'' kata Harlin.
Barus sendiri baru sepuluh bulan jadi pembina sekaligus mubaligh Ahmadiyah di Batam. Meski usianya baru 35 tahun, Barus sudah punya jam terbang tinggi. Pria asal Tanah Karo, Sumatera Utara itu sebelumnya bertugas di Tanjungpinang. ''Sebelum di Pinang, saya ditugaskan di daerah eks transmigrasi di Indragiri Hilir,'' katanya.
Ia juga sudah mengunjungi beberapa daerah lain di Indonesia yang ada pengikut Ahmadiyah-nya. Ayah dua anak ini mengaku bergabung dengan Ahmadiyah tahun 1994. Ia kemudian menempuh pendidikan khusus Ahmadiyah di Parung, Jawa Barat. ''Itu lho, tempat yang dulu dihancurkan massa,'' katanya. Saat penyerangan terjadi 15 Juli 2005, Barus sudah tak di sana. ''Saya sudah tamat,'' ungkapnya.
Pukul 12.09 WIB adzan berkumandang dari musala. Berbeda dengan musala-musala lainnya, suara Muchtar, sang muadzin, hanya terdengar di ruang itu saja. Tidak ada pengeras suara di luar ruko. Satu per satu jamaah masuk ke dalam musala. Beberapa di antaranya menyempatkan diri mandi terlebih dahulu "Maklumlah mereka rata-rata dari jauh,'' kata Barus. Ruang musala disekat jadi dua bagian dengan menggunakan tripleks yang diberi cat warna cokelat. ''Bagian yang satunya untuk jamaah wanita,'' kata Barus.
Beberapa menit berselang, Barus naik ke mimbar mengucapkan salam. Adzan kedua berkumandang. Barus tampil sebagai khatib dengan tema kotbah: "Persaudaraan dalam Islam". Hanya sekitar 15 menit saja ia di atas mimbar. Salat berjamaah kemudian digelar. Kali ini Barus maju sebagai imam. Setelah lantunan al fatihah rakaat pertama ia membaca surat al baqarah, dan di rakaat kedua Barus melafalkan surat al isra. Hanya 20 orang jamaah saja, termasuk empat anak-anak, yang dipimpin Barus dalam salat Jumat itu. "Tidak semua anggota datang,'' ucapnya.
Baitul Dzikir merupakan satu-satunya sarana ibadah Ahmadiyah di Batam. Karena itulah, para pengikut dari seluruh pelosok, seperti Batuaji dan Tanjunguncang harus menempuh perjalanan berpuluh kilometer untuk bisa menunaikan salat Jumat berjamaah. Sebagian tak bisa datang karena terbentur sempitnya waktu. Selain salat Jumat, berkumpul sesama pengikut Ahmadiyah biasa dilakukan saat pengajian bulanan yang waktunya jatuh pada Sabtu malam, pekan pertama awal bulan. ''Tapi sejak SKB terbit kita vacum dulu,'' ungkap Barus.
***
KAPAN Ahmadiyah pertama kali
ada di Batam? Ketua Pengurus Ahmadiyah Batam Ahmad Agung Nugroho, tidak
punya jawaban pasti. "Kalau itu agak sulit menjawabnya. Sebelum ada
kepengurusan beberapa anggota sudah ada yang tinggal di sini,'' kata
Agung yang memimpin Ahmadiyah untuk periode 2007-2010.Menurut Harlin, pengikut Ahmadiyah yang lama tinggal di Batam, sejak awal 1990-an beberapa anggota Ahmadiyah sudah mukim di pulau ini. ''Tapi masih tersiar (tersebar, red). Belum ada struktur,'' katanya. ''Keberadaan kita waktu itu masih di bawah pantauan pengurus Sumatera Bagian Utara,'' katanya.
Struktur resmi terbentuk pada tahun 1995. Agus Yusuf terpilih sebagai ketua pertama. ''Itu dia orangnya,'' kata Harlin menunjuk seorang pria 50-an tahun berkaca mata dengan postur agak kurus. Agus tersenyum dan menganggukkan kepala. Ia duduk dekat tiang di dalam musala. ''Waktu itu hanya ada tiga keluarga saja,'' kata Agus mengenang.
Sejak itu, roda organisasi bergulir sebagaimana organisasi lainnya. Pemilihan pengurus dilakukan secara periodik tiga tahun sekali. Kini jumlah pengikut di Batam, kata Barus, sekitar 70 orang. ''Tidak lebih dari itu. Dari yang baru lahir sampai yang sudah uzur,'' katanya.
Barus mengatakan, jumlah anggota sangat fluktuatif. Tidak menentu. Sebab tidak seluruh anggota menetap selamanya di Batam. "Ada yang bekerja di instansi pemerintah kadang tugas di Batam hanya setahun saja,'' ujarnya.
Di organisasi Ahmadiyah, ada semacam hukum tak tertulis yang dijalankan para pengikut. Setiap kali ada anggota yang akan mengunjungi atau pindah ke daerah lain, ia akan mengontak kantor pusat untuk menanyakan, apakah daerah yang dituju ada pengikut dan kantor cabang Ahmadiyah. Jika ada, maka kantor pusat akan memberikan alamatnya. ''Dari situlah kita biasanya tahu ada anggota yang baru datang atau pergi,'' kata Barus.
Para anggota yang datang silih berganti inilah yang menghidupi organisasi. Barus menjelaskan, dalam anggaran dasar Ahmadiyah, setiap anggota wajib menginfakkan seper enambelas pendapatan mereka tiap bulan. Infak dalam organisasi Ahmadiyah disebut "candah".
Candah adalah bahasa Urdu, bahasa ibu Mirza Gulam Ahmad. Candah yang terkumpul dari para anggota itu kemudian dikirimkan ke Pengurus Pusat Ahmadiyah. ''Dana itu pusat yang kelola. Nanti pusat kirim lagi ke kita untuk operasional,'' kata Barus yang mengaku digaji Ahmadiyah sebagai mubaligh sebesar Rp160 ribu sebulan.
Apa bedanya situasi dulu, saat pengurus baru terbentuk dengan sekarang? "Sama saja. Datar-datar saja. Ibarat air, tak ada riaknya,'' kata Agus Yusuf. Sejauh ini, para pengurus dan pengikut mengaku tidak ada masalah dengan lingkungan tempat tinggal dan kerja mereka.
Edi Darsono, pengikut yang tinggal di Tiban misalnya, mengaku seluruh tetangga dekatnya tahu kalau ia anggota Ahmadiyah. ''Biasa-biasa saja. Hubungan kami seperti hubungan dengan warga lainnya,'' katanya. Begitu juga dengan Sultan. ''Kalau ada kegiatan di lingkungan, gotong royong misalnya, kita biasa ikut,'' kata pria asal Bandung ini.
Pengakuan yang sama juga disampaikan Ardi. Bahkan, kata dia, dulu mereka juga sering mengelar aksi sosial seperti donor darah dan bagi sembako. ''Tapi tidak atas nama Ahmadiyah, dan tidak ada atribut Ahmadiyah. Para penerima malah nggak tahu kalau itu dari Ahmadiyah,'' kata Ardi, yang kerap didapuk sebagai ketua panitia kegiatan sosial.
Para pengikut Ahmadiyah, kata Ardi, juga sudah membuat semacam janji akan mendonorkan kornea mata mereka ke Bank Mata, kelak bila mereka wafat. ''Anggota di Batam sudah sepuluh orang yang bersedia. Semuanya wanita,'' kata Ardi.
Barus mengungkapkan, meski semua bejalan biasa saja, sejumlah petugas polisi rutin memantau dan melakukan kontak dengan mereka. Komunikasi makin intensif sejak kontroversi soal keberadaan organisasi Ahmadiyah menguat di masyarakat. ''Kadang polisi tanya, bagaimana keadaan kami,'' ujarnya. ***
Retrieved from: http://iqbalfile.blogspot.com/2008/06/suatu-hari-di-markas-ahmadiyah.html
No comments:
Post a Comment