Tuesday, July 31, 2012

Mencari Sosok Calon Pemimpin Alternatif



Oleh Ahmad Najib Burhani*

Pemilihan gubernur DKI putaran kedua akan berlangsung beberapa waktu lagi. Dua tahun lagi kita juga akan memilih pemimpin nasional yang baru. Ada satu kriteria pemimpin yang baik yang sering terabaikan selama ini, yaitu kepedulian dan pembelaannya terhadap kelompok minoritas. Tentu saja kelompok ini tak terlalu berpengaruh dalam pemenangan calon gubernur atau presiden. Tapi esensi dari demokrasi sesungguhnya terletak, diantaranya, pada bagaimana seorang pemimpin yang terpilih dengan suara terbanyak itu melindungi kelompok minoritas. Demokrasi diciptakan antara lain agar tak terjadi apa yang disebut dengan tirani mayoritas.

Selama ini sering terjadi, seorang walikota, bupati, gubernur, atau presiden merasa ketakutan untuk memberikan pembelaan terhadap hak-hak minoritas hanya karena takut akan kehilangan suara dari kelompok yang mengklaim sebagai representasi mayoritas. Pada pemilihan lurah di desa Umbulan, Cikeusik, misalnya, ada calon yang berjanji akan mengusir Ahmadiyah dari desa itu jika ia terpilih menjadi kepada desa. Begitu terpilih, dengan beragam upaya ia mencoba mewujudkan janji itu.

Peristiwa seperti itu terjadi juga di tempat-tempat lain seperti di Kuningan, Jawa Barat. Bahkan pada tingkat nasional pun hal yang serupa juga terjadi. Untuk menjaga agar tak kehilangan dukungan dari kelompok yang seakan-akan mewakili suara mayoritas, seorang pemimpin pemerintahan tunduk pada tuntutan kelompok ini meski ia harus melanggar hak-hak beragama dari kelompok minoritas.

Negara dan Agama
Mengenai peran negara dalam kaitannya dengan kelompok agama minoritas, John Locke pernah berkata bahwa setiap keyakinan keagamaan itu ortodok (benar) untuk dirinya sendiri meski mereka mengklaim bahwa hanya kelompoknya saja yang benar (2003, 215). Karena itu, dalam konteks ini, negara tidak memiliki otoritas untuk menghakimi mana paham keagamaan yang benar dan salah. Inilah posisi yang semestinya diambil oleh negara sekuler seperti Indonesia.

Tentu saja sudah menjadi hak institusi keagamaan seperti MUI, Muhammadiyah, dan NU untuk mengelaurkan fatwa yang memberikan rambu-rambu tentang keyakinan keagamaan yang bisa diterima atau harus ditolak. Namun pemerintah tak memiliki kewajiban untuk mentaati satu fatwa tertentu atau berpihak pada paham keagamaan tertentu. Tugas dari negara sesuai konstitusi adalah memberikan ketenteraman kepada rakyat dan melindungi warganya untuk secara aman menjalankan kegiatan keagamaan yang mereka anut.

Jika pemimpin atau pemerintah berpihak pada paham teologi tertentu, maka lembaran hitam sejarah akan terulang. Pada masa kekhilafahan Al-Makmun dalam dinasti Abbasiyah di Baghdad, pemerintah mengadopsi Mu’tazilah sebagai paham resmi negara. Akibatnya, kelompok Sunni mengalami persekusi. Salah satu tokoh Sunni yang menderita penyiksaan adalah Ahmad bin Hanbal.

Dalam dunia kontemporer, Saudi Arabia adalah contoh lain. Hanya Wahhabi yang boleh hidup di sana, sementara paham Islam lain tak boleh ada. Jika Indonesia meniru Saudi Arabia atau Pakistan dalam memperlakukan Ahmadiyah, maka inkuisisi (mihnah) terhadap kelompok ini dan kelompok kecil lain tak akan pernah ada habisnya. Maka, satu-satunya solusi adalah bahwa pemimpin atau negara tak boleh berpihak pada teologi tertentu.

Demokrasi Angka-angka
Dalam sebuah sabdanya, Nabi Muhammad berkata, “Bukanlah bagian dari umatku jika ada kelompok mayoritas atau kuat tapi tak menyayangi minoritas atau lemah. Dan juga bukan bagian dari umatku jika ada kelompok minoritas tapi tak hormat kepada mayoritas.” Sabda ini sangat relevan dengan prinsip demokrasi yang menghindari tirani mayoritas.

Kemenangan dalam pemilu itu memang ditentukan oleh jumlah angka pemilih. Namun itu semua pada hakikatnya hanyalah permulaan. Pada ujungnya, nilai demokrasi itu dihitung pada bagaimana pemenang pemilu itu bisa melindungi minoritas. Jika tidak, maka demokrasi kita barulah pada tahap demokrasi angka-angka.
--oo0oo--

No comments:

Post a Comment