Oleh Ahmad Najib
Burhani*
Pemilihan gubernur DKI putaran kedua akan berlangsung
beberapa waktu lagi. Dua tahun lagi kita juga akan memilih pemimpin nasional
yang baru. Ada satu kriteria pemimpin yang baik yang sering terabaikan selama
ini, yaitu kepedulian dan pembelaannya terhadap kelompok minoritas. Tentu saja
kelompok ini tak terlalu berpengaruh dalam pemenangan calon gubernur atau
presiden. Tapi esensi dari demokrasi sesungguhnya terletak, diantaranya, pada bagaimana
seorang pemimpin yang terpilih dengan suara terbanyak itu melindungi kelompok
minoritas. Demokrasi diciptakan antara lain agar tak terjadi apa yang disebut
dengan tirani mayoritas.
Selama ini sering terjadi, seorang walikota, bupati,
gubernur, atau presiden merasa ketakutan untuk memberikan pembelaan terhadap
hak-hak minoritas hanya karena takut akan kehilangan suara dari kelompok yang
mengklaim sebagai representasi mayoritas. Pada pemilihan lurah di desa Umbulan,
Cikeusik, misalnya, ada calon yang berjanji akan mengusir Ahmadiyah dari desa
itu jika ia terpilih menjadi kepada desa. Begitu terpilih, dengan beragam upaya
ia mencoba mewujudkan janji itu.
Peristiwa seperti itu terjadi juga di tempat-tempat lain
seperti di Kuningan, Jawa Barat. Bahkan pada tingkat nasional pun hal yang
serupa juga terjadi. Untuk menjaga agar tak kehilangan dukungan dari kelompok
yang seakan-akan mewakili suara mayoritas, seorang pemimpin pemerintahan tunduk
pada tuntutan kelompok ini meski ia harus melanggar hak-hak beragama dari
kelompok minoritas.
Negara dan Agama
Mengenai peran negara dalam kaitannya dengan kelompok agama
minoritas, John Locke pernah berkata bahwa setiap keyakinan keagamaan itu
ortodok (benar) untuk dirinya sendiri meski mereka mengklaim bahwa hanya
kelompoknya saja yang benar (2003, 215). Karena itu, dalam konteks ini, negara
tidak memiliki otoritas untuk menghakimi mana paham keagamaan yang benar dan
salah. Inilah posisi yang semestinya diambil oleh negara sekuler seperti
Indonesia.
Tentu saja sudah menjadi hak institusi keagamaan seperti
MUI, Muhammadiyah, dan NU untuk mengelaurkan fatwa yang memberikan rambu-rambu
tentang keyakinan keagamaan yang bisa diterima atau harus ditolak. Namun
pemerintah tak memiliki kewajiban untuk mentaati satu fatwa tertentu atau
berpihak pada paham keagamaan tertentu. Tugas dari negara sesuai konstitusi
adalah memberikan ketenteraman kepada rakyat dan melindungi warganya untuk
secara aman menjalankan kegiatan keagamaan yang mereka anut.
Jika pemimpin atau pemerintah berpihak pada paham teologi
tertentu, maka lembaran hitam sejarah akan terulang. Pada masa kekhilafahan
Al-Makmun dalam dinasti Abbasiyah di Baghdad, pemerintah mengadopsi Mu’tazilah
sebagai paham resmi negara. Akibatnya, kelompok Sunni mengalami persekusi.
Salah satu tokoh Sunni yang menderita penyiksaan adalah Ahmad bin Hanbal.
Dalam dunia kontemporer, Saudi Arabia adalah contoh lain.
Hanya Wahhabi yang boleh hidup di sana, sementara paham Islam lain tak boleh
ada. Jika Indonesia meniru Saudi Arabia atau Pakistan dalam memperlakukan
Ahmadiyah, maka inkuisisi (mihnah)
terhadap kelompok ini dan kelompok kecil lain tak akan pernah ada habisnya.
Maka, satu-satunya solusi adalah bahwa pemimpin atau negara tak boleh berpihak
pada teologi tertentu.
Demokrasi Angka-angka
Dalam sebuah sabdanya, Nabi Muhammad berkata, “Bukanlah
bagian dari umatku jika ada kelompok mayoritas atau kuat tapi tak menyayangi
minoritas atau lemah. Dan juga bukan bagian dari umatku jika ada kelompok
minoritas tapi tak hormat kepada mayoritas.” Sabda ini sangat relevan dengan
prinsip demokrasi yang menghindari tirani mayoritas.
Kemenangan dalam pemilu itu memang ditentukan oleh jumlah
angka pemilih. Namun itu semua pada hakikatnya hanyalah permulaan. Pada
ujungnya, nilai demokrasi itu dihitung pada bagaimana pemenang pemilu itu bisa
melindungi minoritas. Jika tidak, maka demokrasi kita barulah pada tahap
demokrasi angka-angka.
--oo0oo--
No comments:
Post a Comment