Tuesday, December 25, 2012

Potret Buram Situasi Anak Ahmadiyah

KPAI.go.id, March 21, 2011
 
Diskriminasi dan kekerasan selalu membuat anak menjadi korban yang paling tidak berdaya untuk menghindar atau melawan. Ketika masyarakat dan pemerintah tidak menangani dengan baik, perlakuan ini dapat melahirkan generasi yang agresif dan depresif, sehingga trauma dan dendam tetap tertanam dalam hati, pikiran dan alam bawah sadarnya. Dibutuhkan intervensi yang komprehensif sehingga dapat keluar dari trauma dan pengalaman pahit serta merubah pengalaman tersebut menjadi energi positif yang dapat menjadikan kehidupannya lebih baik.

Masih segar dalam ingatan kita tentang tragedi berdarah menimpa warga Ahmadiyah di Cikeusik Banten yang menelan korban nyawa. Perdebatan panjang tentang ajaran Ahmadiyah hampir melupakan nasib anak-anak yang mengalami trauma akibat kekerasan tersebut. Tulisan singkat ini diambil dari hasil penelitian Firdaus Mubarik tahun 2009 untuk laporan pemantuan pelaksanaan Konvensi Hak Anak (KHA), Buku Diary anak-anak Ahmadiyah yang dikumpulkan oleh Marya dan Informasi yang penulis dapatkan dari Jemaat Ahmadiyah.
Pada tahun 2002 sekitar 50 anak Ahmadiyah diungsikan dari Selong, Lombok Timur ke Tasikmalaya Jawa Barat. Anak-anak dipaksa berangkat walaupun mereka menolak karena tetap ingin tinggal bersama orang tuanya. Sesampai di Tasikmalaya, Jawa Barat, anak-anak dikumpulkan di mesjid, diberi pengarahan dan di sebar ke rumah-rumah warga Ahmadiyah serta Panti Asuhan.
Tahun 2006 kembali terjadi penyerangan di Lombok Tengah dan tahun 2007 di Ketapang, Lingsar, Mataram. Anak-anak kembali diungsikan ke Tasikmalaya. Rentetan kekerasan terhadap warga Ahmadiyah terjadi dibeberapa tempat Bogor, Parung, Banten dan Tasikmalaya. Pengalaman ini membuat Pimpinan Ahmadiyah harus menyediakan asrama khusus bagi anak-anak Ahmadiyah secara eksklusif. Ketika dikonfirmasi ke anggota Jemaat Ahmadiyah, dijelaskan bahwa banyak teror, intimidasi dan kekerasan terjadi jika anak-anak dibiarkan sekolah di sekolah biasa. Sistem pendidikan ekslusif ini dapat membuat anak-anak Ahmadiyah jauh dari lingkungan sosialnya.
Pengalaman yang disampaikan oleh anak-anak Ahmadiyah ini diharapkan mampu membuka mata dan hati kita semua, ternyata banyak anak-anak yang hidup dalam bayang-bayang kekerasan. Kita tidak mau mereduksi kekerasan demi kekerasan karena ketidakmampuan kita memberikan jaminan situasi yang aman dan nyaman untuk kelangsungan hidup mereka.
Perlakuan di Sekolah
Anak-anak Lombok yang mengungsi ke Tasikmalaya menceritakan pengalaman di sekolah sebelum mengungsi ke Tasikmalaya. Anak-anak tersebar di beberapa sekolah, baik SD maupun SMP di daerah Lombok. Beberapa anak pernah mengalami putus sekolah dan berpindah-pindah sekolah karena terjadi kekerasan dan pemukulan oleh anak lain di sekolah. Mereka lebih memilih bergaul dengan anak-anak non muslim. Berikut ada beberapa penjelasan anak Ahmadiyah untuk mengetahui situasi anak di sekolah :
“Pertama alhamdulillah bawaan temen-temen bagus semua, tapi begitu dia tau saya adalah  anggota Ahmadiyah, saya diolok-olok dan tidak mau diajak main. Guru-guru juga nanya-nanya sambil ngeleceh-lecehin, apa sih Ahmadiyah itu. ”
“Ketika SMP, teman-teman saya tidak tahu saya Jemaat Ahmadiyah karena saya kos di Pengung, di wilayah orang Bali, jadi saya dikira bukan orang Islam tapi orang Bali. Saya takut karena di SMP saya orang nya nakal-nakal, takut digebuk”.
Ada beberapa anak yang sampai megalami kekerasan fisik selain pengucilan, terror, intimidasi dan diskriminasi. Seperti yang diceritakan seorang anak yang ditemui di lapangan.
“Keluar dari sekolah, ada yang membalikan badan pada saya, saya langsung di pukul, lama-kelamaan yang lainnya turut campur akhirnya saya dan teman saya dikeroyok. Saya sampai luka-luka, begitu selesai memukul, mereka langsung naik ke truk langsung pada pulang meninggalkan kami disitu dan semenjak itu saya tidak sekolah. Saya ketakutan dan akhirnya saya pindah ke sekolah lain”.
Pengungsian
Setelah terjadi penyerangan tahun 2002, seluruh warga Ahmadiyah di evakuasi untuk menghindari bentrok dengan penyerang. Hidup di pengungsian merupakan pengalaman yang paling buruk bagi anak-anak. Mereka dihadapkan pada situasi berbahaya, mulai dari lingkungan yang tidak sehat karena keterbatasan air bersih, MCK dan tempat tidur yang tidak aman untuk anak-anak.
Di tempat pengungsian anak rentan mengalami pelecehan seksual, eksploitasi, kekerasan, penelantaran, perdagangan orang dan perlakuan salah lainnya. Pengungsi warga Ahmadiyah di Lombok sudah terjadi sejak tahun 2002, baru-baru ini terdengar berita PLN memutuskan listrik ke Transito karena pengungsi belum bisa bayar tunggakan listrik sebesar Rp. 2 Juta.
“Kami dibawa ke Transito. Depsos memberi beras, sarden dan indomi. Itu makanan sehari-hari sebagai pengungsi. Air hanya mengalir malam hari. Beda lagi kondisinya di Polres, tempat tidurnya tidak layak. Kami menahan diri tidak mandi sampai dua hari karena kamar mandinya jorok sekali. Polisinya merasa terganggu, kami dipindahkan ke Gedung KNPI, katanya angker, banyak penampakan. Tempatnya benar-benar tidak layak ditempati”.
Situasi ini memaksa orang tua mengungsikan anaknya ke Tasikmalaya agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terhadap anaknya. Memisahkan anak jauh dari orang tua ini sangat rentan menjadi korban perdagangan orang.
Rasa aman
Dampak dari perlakuan yang diskriminatif dari masyarakat serta insiden-insiden yang terjadi membuat perasaan takut dan tidak aman ketika berhubungan dengan masyarakat. Aparat keamanan dalam hal ini Polisi dianggap tidak cukup melindungi mereka dan memberikan rasa aman yang dibutuhkan.
“Waktu penyerangan ada yang terluka tembak, dilarikan ke rumah sakit. Belum sembuh sudah di suruh pulang, sehingga saya sangat kecewa dengan aparat keamanan. Karena masih banyak terror, akhirnya kami dibawa ke Mataram di asrama Transito”.
“Kami dievakuasi paksa oleh polisi, dengan alasan, mereka yang akan menjaga semua tempat tinggal kami. Kami bersikeras untuk tetap tinggal disitu karena kami ingin mempertahankan hak kami, namun setelah dievakuasi, jam sepuluh malam saya kesitu lagi, akhirnya saya melihat bahwa semua bangunan yang ada disana, khususnya yang terdiri dari bilik, rata dengan tanah. Rumah kakak saya rata dengan tanah. Saya rasa itu bukan tindakan pertolongan untuk melakukan evakuasi secara paksa, mengapa? Seharusnya kalau ingin menolong kami, mereka harusnya menjaga rumah-rumah kami, menjaga harta benda kami”.
Kehidupan di Tasikmalaya
Melihat situasi sulit dan tidak ada jaminan keamanan, anak-anak diungsikan ke Tasikmalaya. Salah seorang anak di SMA Plus Alw Tasikmalaya menceritakan pengalamannya.
“Ketika itu masih kelas 4 SD, dibawa pake bis, tidak bawa apa-apa dan tidak tau mau dibawa kesini. Saya tidak mau dibawa ke Alw (Tasikmalaya) karena ada yang nakut-nakutin, katanya Alw  begini, begitu, kejam, tertekan dan terisolasi di desa. Sering dimarah-marahin, dianggap pembantu, dianggap apa gitu, katanya. Saya dipaksa, kata bapak, bagaimanapun caranya kamu harus kesitu untuk sekolah, saya sampai menangis-nagis harus berpisah dengan orang tua.”
“Meskipun saya tinggal bukan sama orang tua kandung sendiri, disini sudah seperti orang tua kandung. Mereka pernah bilang mau mengirim surat  ke bapak saya di kampung karena ingin mengangkat saya sebagai anak, tapi saya gak tau apakah bapak saya mau menyerahkan saya pada orang tua angkat disini.”
Setiap anak memiliki pengalaman masing-masing selama tinggal dengan orang tua pengganti. Penempatan anak-anak pengungsi dalam keluarga seperti ini lebih baik daripada penempatan di panti asuhan karena tidak berimbang antara jumlah pengasuh dan jumlah anak. Dalam penelitian Firdaus dijelaskan bahwa pengasuh lebih berfungsi sebagai pengawas dan sangat kurang jiwa kepengasuhannya. Untuk anak-anak yang jauh dari orang tua, trauma karena penyerangan, membutuhkan figur orang tua dan konseling untuk menghilangkan trauma. Tapi hal ini tidak didapatkan di panti asuhan.
Adaptasi
Hidup jauh dari orang tua pada umur yang rata-rata masih usia SD bukan hal yang mudah. Keluarga tempat mereka tinggal adalah orang-orang baik yang mau menampung mereka. Trauma masih kelihatan pada ekspresi ketakutan dan selalu curiga kepada setiap orang yang belum dikenal. Anak-anak tersebut sangat gelisah jika mengetahui orang yang berada di dekatnya adalah orang-orang yang sangat benci terhadap Jemaat Ahmadiyah. Mereka serasa ingin lari dan lari menjauh agar tidak diganggu atau dikeroyok oleh orang-orang tersebut.
Ini merupakan bentuk trauma yang dialami oleh anak-anak karena menyaksikan langsung rumahnya di bakar, barang-barang mereka di jarah, mereka terusir dari rumahnya dan orang tua mereka dipukuli karena mempertahankan harta dan rumahnya. Trauma ini membuat anak sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya.
Dari wawancara yang dilakukan terdapat indikasi bahwa beberapa anak gagal melakukan adaptasi dengan lancar, terutama pada pengungsian gelombang pertama.
“Kita cuma seminggu di transito, kerjanya main terus, terus didaftarin kesini. Kami kira disini kota, tapi kok begini, dingin, pertama kesini tidak kuat karena dingin bangat. Meskipun jadi pembantu, tetap harus diterima karena hidup jauh dari orang tua. Hidup merantau memang pahit. Saya selalu ingat pesan bapak, kamu harus “tahan banting” di negeri orang”.
Sebagian anak-anak Lombok yang mengungsi ke Tasikmalaya tahun 2002 – 2003 terpaksa kembali ke Lombok dengan alasan tidak dapat menyesuaikan diri dan banyak pengalaman yang tidak menyenangkan. Penyerangan kembali terjadi, tahun 2007, mereka terpaksa kembali ke Tasikmalaya karena tidak adanya jaminan keamanan dan tidak mungkin mendapatkan pendidikan yang layak karena warga Ahmadiyah tinggal di pengungsian.
Relasi dengan Orang Tua
Hubungan dengan orang tua dilakukan melalui surat dan telpon. Setiap ada kesempatan menelpon, mereka akan menghubungi orang tuanya.
“Waktu kelas empat sampai kelas enam sering mengirim surat, pas SMP sampai sekarang sering telpon ke kampung. Pengen ketemu orang tua tapi banyak yang memberi saran pulangnya nanti saja kalau sudah berhasil, kalau sekarang pulang ke Lombok nanti menambah beban orang tua. Akhirnya memutuskan tetap disini”.
Respon terhadap perlakuan yang diterima
Tidak cukup kata-kata dan ekspresi untuk mewakili kekecewaan anak-anak Ahmadiyah terhadap perlakuan yang mereka terima. Mereka hanya bisa berkeluh kesah dan mengharapkan pada Tuhan agar mereka terlepas dari semua perlakuan yang sangat tidak manusiawi tersebut, bahkan muncul keinginan untuk mencari suaka ke keluar negeri karena saudara-saudara mereka merasa prihatin dengan nasib yang mereka alami, berikut ungkapan anak-anak yang diwawancarai.
“Benar-benar kecewa, marah bangat! kenapa sih? Kenapa Negara ini harus begini? Kenapa tidak seperti dulu, aman, tentram, sentosa, subur, makmur, sejahtera! Kenapa hanya karena perbedaan menjadi bunuh-bunuhan, kami kehilangan hak milik, kehilangan hak sebagai warga Negara, hak sebagai seorang anak, hak dilindungi. Para pejabatnya tidak bisa apa-apa, apa gunanya mereka bertitle professor, drs., dra., spd., mpd., gak ada gunanya! perasaan jadi sebel bangat dan kecewa.”
“Respon dari saudara kami yang diluar negeri sana, kasihan ya, suruh kesini saja biar saya yang tampung katanya gitu. Saudara saya sudah bikin passport untuk pergi ke Kanada, terus bapak juga sudah bikin passport karena mau mengajukan suaka Australia. Walaupun di Negara orang, mereka masih toleransi, meskipun mereka tidak beragama atau atheis, komunis, tapi mereka saling menghargai dan sangat menerapkan toleransi”.
Harapan
Dalam penelitian ini juga diungkap tentang harapan yang disampaikan oleh anak-anak tersebut.
“Saya ingin agar semua kita dibukakan hatinya agar anak-anak lain tidak mengalami apa yang saya alami sekarang. Kalau menurut saya sumbernya dari Presiden. Soalnya yang bisa menyuruh-nyuruh semuanya Presiden sama suara yang nyentrik-nyentrik di dpr, mpr. Tidak ada tindakan apapun. Sudah, taro disitu mereka aman (Transito), tapi siapa bilang kita aman”.
“Harapannya pemerintah lebih sadar dan memikirkan nasib rakyatnya, terus pejabat-pejabatnya mohon diganti dengan pemimpin yang sebenarnya, yang mengayomi rakyatnya”.
Masih banyak kisah tragis dan potret buram nasib anak-anak Ahmadiyah. Mudah-mudahan tulisan singkat ini dapat mendorong kita untuk menggali lebih dalam apa yang terjadi pada anak-anak Ahmadiyah. Perdebatan dan keputusan tentang status Ahmadiyah sama sekali tidak menggugurkan hak anak-anak Ahmadiyah untuk dilindungi sebagai warga Negara dan anak yang jelas-jelas dijamin haknya oleh Undang-Undang. (Puncak, Bogor, 16 Maret 2011)

Retrieved from: http://www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/artikel/240-potret-buram-situasi-anak-ahmadiyah.html

No comments:

Post a Comment