Tuesday, May 17, 2011

Homo Sacer dan Akar Tragedi Politik

Homo Sacer dan Akar Tragedi Politik
Posted by Paralaks on Oct 23, '07 2:13 AM for everyone

Mengapa orang demikian mudah dirampas kehidupannya, direnggut kebebasannya, hidup tanpa hak, disepelekan, menderita dalam siksaan, dijerumuskan dalam kekerasan, dikorbankan dalam kobaran kerusuhan, serta ditargetkan sebagai sasaran pemerkosaan sebagaimana terjadi di penjara-penjara Guantanamo, peristiwa Gerakan 30 September, dan kerusuhan rasial di Indonesia pada 1998? Singkatnya, apa yang menyebabkan kita cenderung gagal memahami penderitaan hingga terus berkubang dalam tragedi? Apa akarnya? Menjawab pertanyaan ini, muncul filsuf Italia, Giorgio Agamben. Agamben menunjuk gejala tipe paradigma kedaulatan tertentu di dunia kontemporer sebagai akar tragedi politik di atas. Bagaimana ini dijelaskan?

Untuk itu, kita harus memulai dengan memahami konsep Agamben mengenai modus kehidupan (life). Mengacu pada pemahaman Yunani Kuno, Agamben menerima pembedaan antara zoê atau naked-life (hidup sebegitu saja) dan bios. Zoê mengekspresikan fakta sederhana kehidupan biasa segala makhluk, termasuk manusia, binatang, dan dewa-dewa, sedangkan bios menandai bentuk atau laku kehidupan tertentu untuk individu atau kelompok. Menurut Agamben, dunia kontemporer kita telah menghapus perbedaan di antara kedua modus kehidupan warisan Yunani Kuno ini.

Penghapusan perbedaan antara zoê dan bios mengakibatkan dunia sekarang kehilangan pegangan untuk mengalami forma-forma kehidupan (form-of-life). Akibatnya, kita makin memaknai kehidupan secara dangkal, semata-mata sebagai fakta begitu saja. Ringkasnya modus kehidupan kita makin terjerumus semata-mata ke arah zoê ketimbang kehidupan berkualitas (bios)

Padahal, menurut Agamben, hidup harus didefinisikan tidak semata-mata sebagai fakta, tapi harus sebagai dan selalu juga sebagai possibilities of life. Sebagaimana Heidegger yang mengajarkan "kecemasan" sebagai tanda keberanian menyongsong masa depan yang menyokong otentisitas kehidupan, Agamben juga mengajarkan bahwa hanya dengan memahami hidup sebagai peluang dan kemungkinan untuk kehidupan itu sendiri, rasa sedih dan kebahagiaan manusia menjadi punya tempat serta nilai.

Namun, berbeda dengan Heidegger yang menolak humanisme dan menetapkan pandangan "manusia otentik" sebagai lawan dari das man, Agamben sebaliknya, meyakini semacam pandangan subyek tertentu dalam keyakinan bahwa ragam dan kualitas forma kehidupan harus mengatasi segala bentuk kekuasaan. Dengan itu, ia bermaksud memelihara regangan antara modus zoê dan modus bios. Pada saat yang sama ia menerima diktum Marcilus Padua yang mengatakan: "Civitatem communitatem esse institutam propter vivere et bene vivere hominem in ea" (Kepolitikan adalah sebuah kebersamaan yang didirikan demi kehidupan dan kehidupan yang baik orang-orang di dalamnya) (Agamben, Means Without End, halaman 2-3).

Lebih lanjut, menurut Agamben, meluasnya pandangan dangkal mengenai kehidupan yang melulu zoê telah menghantarkan dunia kontemporer kita ke gerbang bencana, yakni kembalinya cara pandang untuk meletakkan manusia semata-mata sebagai Homo sacer. Konsep Homo sacer dipetik Agamben dari praktek hukuman paling kuno dalam tradisi hukum Romawi. Sacer bisa diartikan sebagai sacred dalam bahasa Inggris, yang dalam tradisi hukum Romawi itu menunjuk pada the one whom the people have judged on account of a crime.

Bukan hanya itu, lebih jauh lagi Homo sacer juga berarti it is not permitted to sacrifice this man, yet he who kills him will not be condemned for homicide (Agamben, Homo Sacer, hlm. 65). Dengan demikian, Homo sacer adalah manusia yang direduksi menjadi nihil sedemikian rupa tanpa hak dan perlindungan apa pun. Tapi uniknya, justru karena ia demikian tak berharganya, ia kemudian disakralkan hingga terlarang untuk dikorbankan dalam ritual apa pun. Ia boleh dimusnahkan dan pembunuhannya tidak dipandang sebagai pembunuhan secara hukum, tapi ia sama sekali tak berharga untuk dijadikan korban sesembahan buat dewa-dewa. Di sini Homo sacer adalah subyek yang didefinisikan oleh hukum, tapi sekaligus untuk dieksklusi ke luar dari hukum.

Di titik inilah kemudian Agamben menemukan kesamaan antara konsepsi Homo sacer ini dan konsepsi kedaulatan yang selama ini dipegang oleh kepolitikan pada umumnya. Kedaulatan, semenjak Aristoteles hingga George Bush junior, dipahami sebagai semacam intervensi hukum terhadap politik yang penerapannya pada saat yang sama mengatasi hukum itu sendiri. Dengan begitu, kedaulatan selalu memiliki sisi state of emergency atau state of exception. Kedaulatan menetapkan hukum sekaligus mengecualikan dirinya untuk tunduk di bawah hukum yang sama. Pada Aristoteles, pengandaian kedaulatan sebagai state of exception digunakan sebagai sarana yang diberikan kepada negara untuk mentransformasi man menjadi citizen, dari zoê ke bios. Namun, di luar Aristoteles, yang paling disorot Agamben adalah Carl Schmitt.

Schmitt mendefinisikan kedaulatan tidak menurut fungsi eksekutif dan yuridisnya, tapi lebih dalam kerangka pengecualian atau keluarbiasaan kuasa. Pemegang kedaulatan adalah orang yang mampu menunda hukum dalam saat darurat. Menurut dia, sebagaimana Allah menunda hukum alam dalam mukjizat, pemegang kedaulatan adalah ia yang mampu menyela hukum-hukum negara, untuk memutuskan kapan bertindak, meski tanpa dasar preseden atau dasar prinsip apa pun. Di sini, menurut dia, yang disebut berdaulat adalah kemampuan Godlike menyatakan keadaan darurat dan mengambil keputusan di luar hukum. Di sini konsepsi yuridis Romawi Kuno mengenai Homo sacer itu tampil secara mirip dengan konsepsi kedaulatan.

Bukan hanya itu, secara unik kedaulatan sebagai state of exception ini gawatnya kemudian juga mengembangkan dirinya selaku hukum yang memilah secara diskursif mana zoê (bare life) dan mana bios. Dari sini, menurut Agamben, state of exception tak lain adalah akar totaliterisme itu sendiri. Lebih lanjut ia kemudian mencontohkan apa yang dilakukan Hitler pada 28 Februari, begitu berkuasa Hitler menetapkan Dekrit Perlindungan Rakyat dan Negara yang menganulir pasal dalam Konstitusi Republik Weimer mengenai perlindungan kebebasan sipil (Agamben, State of Exception, hlm. 2).

Agamben menilai bahwa kepolitikan kontemporer kita saat ini terus mendaur ulang konsepsi state of exception sebagai sarana pragmatis menjalankan kehidupan umum. Akibatnya, selama kedaulatan terus dimaknai sebagai kekuasaan untuk menentukan dan memutuskan dalam kedaruratan, selama itu pula penyingkiran hak asasi, kedurjanaan terhadap martabat manusia terus dimungkinkan. Perang dan penghancuran terhadap Irak diikuti dengan perampasan hak-hak sipil serta pelanggaran hak asasi manusia yang diperagakan oleh Bush adalah salah satu contoh yang dimaksud Agamben.

Pengabaian dan diskriminasi terhadap korban pembantaian pada 1965 di Indonesia; kasus Tanjung Priok dan Talang Sari, Lampung; serta Kerusuhan Mei adalah contoh yang lain. Di titik ini, untuk menanggulangi tragedi politik-hukum tersebut, sebagaimana filsuf Zizek, Agamben menyarankan dimulainya upaya merehabilitasi politik dari hukum, yakni dengan memisahkan atau memberikan ruang antara hukum dan politik supaya tindakan emansipasi masih bisa dimungkinkan. Sayangnya, bagaimana persisnya rehabilitasi dan pemisahan itu masih belum dijelaskan oleh Agamben.

Robertus Robet
Tulisan ini dimuat di KORAN TEMPO, Minggu 21 Oktober 2007

No comments:

Post a Comment