Republika, 17 Februari 2011
Menelisik Rusuh Cikeusik (Bagian 2)
Tak ada yang pernah menyangka bahwa Suparman, 42 tahun, akan menjadi pengikut Ahmadiyah. Apalagi jika melihat masa kecilnya yang dihabiskan di Kampung Peundey, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten, hingga dia lulus Sekolah Menengah Atas.
Suparman kecil dikenal sebagai anak yang pintar dan alim sejak mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar (SD) 1 Umbulan hingga melanjutkannya di salah satu madrasah aliyah di Kecamatan Menes, Pandeglang. Keluarga Suparman telah menetap di kampung itu sejak sekitar tahun 1970-an.
Aminah (60) dan Matori (56), orang tua Suparman, berasal dari Cirebon, Jawa Barat. Aminah mengisahkan, setamat sekolah Suparman pernah meminta kepadanya agar disekolahkan ke luar negeri. Namun, permintaan tersebut tidak dikabulkan karena kedua orang tuanya tidak sanggup menanggung biayanya.
Orang tua Suparman hanya mengandalkan hasil panen dua petak sawah milik mereka untuk makan dan hidup sehari-hari. "Kita tidak punya apa-apa, kita orang miskin," kata Aminah kepada Republika, pekan lalu.
Ditambah lagi, Aminah juga harus menghidupi tujuh saudara kandung Suparman. Mereka adalah Tarno, Roni, Mulyadi, Suhirman, Maryana, Nayati, dan Nurhayati. Karena itu, Aminah hanya bisa memberikan restu kepada Suparman untuk merantau ke Jakarta.
Selama luntang-lantung di Jakarta, Suparman bekerja serabutan. Namun, Suparman gagal menaklukkan Ibu Kota. Lantaran tidak memiliki pekerjaan tetap, sekitar tahun 80-an, Suparman kembali lagi ke Kampung Peundey. Dia memutuskan untuk membantu keluarganya bertani.
Pada 1992, dia merantau ke Filipina bersama seorang jemaat Ahmadiyah bernama Ismail. Suparman mengenal Ismail dari adik iparnya, Rafiudin, yang lebih dahulu ikut sebagai jemaat Ahmadiyah. Ismail yang mengajaknya ke negeri tetangga itu. Dia baru kembali ke kampung halamannya pada 2002 dan sudah beristri Haina Toang Aquino alias Saniah, warga negara Filipina.
Dari sanalah, Suparman mulai kenal dan masuk Ahmadiyah. Dan karena itu pula, nama Ismail kemudian ditambahkan di depan nama aslinya menjadi Ismail Suparman.
Tidak betah di kampung, Suparman dan istri sempat pindah ke Bogor dan baru kembali lagi pada 2008. Sejak itu, Suparman mulai menyebarkan ajaran Ahmadiyah yang diciptakan Mirza Ghulam Ahmad ini, terutama kepada seluruh anggota keluarganya.
Orang tua dan saudara kandung Suparman akhirnya ikut menjadi jemaat Ahmadiyah. Padahal, sebelumnya orang tua Suparman terkenal sebagai orang alim dan pernah menjadi penghulu kampung. Sejak itulah perilaku keluarga Suparman mulai berubah. Ayah dan ibunya semakin jarang bergaul. Bahkan, mereka sudah tidak mau lagi datang ke masjid. Segala kegiatan keagamaan dilakukan di rumah.
Warga Kampung Peundey, semula tidak begitu peduli dengan aktivitas Suparman dan keluarganya di Ahmadiyah. "Sepanjang tidak merekrut dan berbuat onar," kata Asep, warga setempat.
Namun beberapa bulan terakhir, Suparman mulai mencari anggota dari luar keluarganya. "Imam masjid, Ustadz Sujana, berhasil dia bujuk. Bahkan, anak imam masjid, Acep Suracep, jadi sekretaris Suparman. Dari sinilah warga mulai jengkel," cerita Asep lagi.
Warga kampung juga keberatan dengan cara beribadah Ahmadiyah yang tidak lazim. Pengikut Suparman tidak pernah lagi shalat Jumat berjamaah di masjid, tapi tetap mengaku sebagai Muslim. Puncak keresahan warga terjadi pada pertengahan 2010, Suparman dibelikan rumah oleh Mansyur, warga Bandung, Jawa Barat, yang kemudian dijadikan tempat peribadatan Ahmadiyah di Kecamatan Cikeusik.
Letak rumah itu hanya sekitar 50 meter dari rumah keluarga Suparman. "Shalat tarawih, shalat Jumat, shalat Idul Fitri, dan Idul Adha pun mereka tidak mau bersama warga yang lain. Mereka bikin jamaah sendiri," ungkap Badriyah, tetangga Suparman.
Warga Kampung Peundey sebenarnya masih sayang pada Suparman. Karena itu, warga dan tokoh masyarakat berusaha untuk menyadarkan dan memintanya kembali menjalankan ajaran Islam yang benar. Namun, Suparman tetap tidak mau berubah pendirian. "Saya sudah berkali-kali mengingatkan Suparman," kata Kepala Desa Umbulan, M Johar.
Kepada Johar, Suparman mengaku tetap pada pendiriannya karena alasan materi. "Suparman mendapat tunjangan Rp 10 juta per bulan," sebut Johar. Uang tersebut digunakan untuk biaya operasional Suparman dalam menyebarkan Ahmadiyah di wilayahnya.
Sejak beredar SMS bakal ada massa yang mendatangi rumahnya, Johar berkali-kali meminta Suparman dan keluarganya untuk mengungsi. "Hanya bapaknya Suparman yang mau mendengarkan saya," ujar Johar menambahkan.
Suparman, istri, dan anaknya baru bisa dievakuasi oleh Polres Pandeglang sehari sebelum insiden berdarah Cikeusik pecah, Ahad (6/2) lalu. Itu pun mereka berhasil dievakuasi dengan alasan surat-surat kependudukan istrinya yang berkewarganegaraan Filipina tidak lengkap. ed: budi raharjo
http://koran.republika.co.id/koran/14/129282/Suparman_Digaji_Ahmadiyah_Rp_10_Juta_per_Bulan
Menelisik Rusuh Cikeusik (Bagian 2)
Tak ada yang pernah menyangka bahwa Suparman, 42 tahun, akan menjadi pengikut Ahmadiyah. Apalagi jika melihat masa kecilnya yang dihabiskan di Kampung Peundey, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten, hingga dia lulus Sekolah Menengah Atas.
Suparman kecil dikenal sebagai anak yang pintar dan alim sejak mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar (SD) 1 Umbulan hingga melanjutkannya di salah satu madrasah aliyah di Kecamatan Menes, Pandeglang. Keluarga Suparman telah menetap di kampung itu sejak sekitar tahun 1970-an.
Aminah (60) dan Matori (56), orang tua Suparman, berasal dari Cirebon, Jawa Barat. Aminah mengisahkan, setamat sekolah Suparman pernah meminta kepadanya agar disekolahkan ke luar negeri. Namun, permintaan tersebut tidak dikabulkan karena kedua orang tuanya tidak sanggup menanggung biayanya.
Orang tua Suparman hanya mengandalkan hasil panen dua petak sawah milik mereka untuk makan dan hidup sehari-hari. "Kita tidak punya apa-apa, kita orang miskin," kata Aminah kepada Republika, pekan lalu.
Ditambah lagi, Aminah juga harus menghidupi tujuh saudara kandung Suparman. Mereka adalah Tarno, Roni, Mulyadi, Suhirman, Maryana, Nayati, dan Nurhayati. Karena itu, Aminah hanya bisa memberikan restu kepada Suparman untuk merantau ke Jakarta.
Selama luntang-lantung di Jakarta, Suparman bekerja serabutan. Namun, Suparman gagal menaklukkan Ibu Kota. Lantaran tidak memiliki pekerjaan tetap, sekitar tahun 80-an, Suparman kembali lagi ke Kampung Peundey. Dia memutuskan untuk membantu keluarganya bertani.
Pada 1992, dia merantau ke Filipina bersama seorang jemaat Ahmadiyah bernama Ismail. Suparman mengenal Ismail dari adik iparnya, Rafiudin, yang lebih dahulu ikut sebagai jemaat Ahmadiyah. Ismail yang mengajaknya ke negeri tetangga itu. Dia baru kembali ke kampung halamannya pada 2002 dan sudah beristri Haina Toang Aquino alias Saniah, warga negara Filipina.
Dari sanalah, Suparman mulai kenal dan masuk Ahmadiyah. Dan karena itu pula, nama Ismail kemudian ditambahkan di depan nama aslinya menjadi Ismail Suparman.
Tidak betah di kampung, Suparman dan istri sempat pindah ke Bogor dan baru kembali lagi pada 2008. Sejak itu, Suparman mulai menyebarkan ajaran Ahmadiyah yang diciptakan Mirza Ghulam Ahmad ini, terutama kepada seluruh anggota keluarganya.
Orang tua dan saudara kandung Suparman akhirnya ikut menjadi jemaat Ahmadiyah. Padahal, sebelumnya orang tua Suparman terkenal sebagai orang alim dan pernah menjadi penghulu kampung. Sejak itulah perilaku keluarga Suparman mulai berubah. Ayah dan ibunya semakin jarang bergaul. Bahkan, mereka sudah tidak mau lagi datang ke masjid. Segala kegiatan keagamaan dilakukan di rumah.
Warga Kampung Peundey, semula tidak begitu peduli dengan aktivitas Suparman dan keluarganya di Ahmadiyah. "Sepanjang tidak merekrut dan berbuat onar," kata Asep, warga setempat.
Namun beberapa bulan terakhir, Suparman mulai mencari anggota dari luar keluarganya. "Imam masjid, Ustadz Sujana, berhasil dia bujuk. Bahkan, anak imam masjid, Acep Suracep, jadi sekretaris Suparman. Dari sinilah warga mulai jengkel," cerita Asep lagi.
Warga kampung juga keberatan dengan cara beribadah Ahmadiyah yang tidak lazim. Pengikut Suparman tidak pernah lagi shalat Jumat berjamaah di masjid, tapi tetap mengaku sebagai Muslim. Puncak keresahan warga terjadi pada pertengahan 2010, Suparman dibelikan rumah oleh Mansyur, warga Bandung, Jawa Barat, yang kemudian dijadikan tempat peribadatan Ahmadiyah di Kecamatan Cikeusik.
Letak rumah itu hanya sekitar 50 meter dari rumah keluarga Suparman. "Shalat tarawih, shalat Jumat, shalat Idul Fitri, dan Idul Adha pun mereka tidak mau bersama warga yang lain. Mereka bikin jamaah sendiri," ungkap Badriyah, tetangga Suparman.
Warga Kampung Peundey sebenarnya masih sayang pada Suparman. Karena itu, warga dan tokoh masyarakat berusaha untuk menyadarkan dan memintanya kembali menjalankan ajaran Islam yang benar. Namun, Suparman tetap tidak mau berubah pendirian. "Saya sudah berkali-kali mengingatkan Suparman," kata Kepala Desa Umbulan, M Johar.
Kepada Johar, Suparman mengaku tetap pada pendiriannya karena alasan materi. "Suparman mendapat tunjangan Rp 10 juta per bulan," sebut Johar. Uang tersebut digunakan untuk biaya operasional Suparman dalam menyebarkan Ahmadiyah di wilayahnya.
Sejak beredar SMS bakal ada massa yang mendatangi rumahnya, Johar berkali-kali meminta Suparman dan keluarganya untuk mengungsi. "Hanya bapaknya Suparman yang mau mendengarkan saya," ujar Johar menambahkan.
Suparman, istri, dan anaknya baru bisa dievakuasi oleh Polres Pandeglang sehari sebelum insiden berdarah Cikeusik pecah, Ahad (6/2) lalu. Itu pun mereka berhasil dievakuasi dengan alasan surat-surat kependudukan istrinya yang berkewarganegaraan Filipina tidak lengkap. ed: budi raharjo
http://koran.republika.co.id/koran/14/129282/Suparman_Digaji_Ahmadiyah_Rp_10_Juta_per_Bulan
No comments:
Post a Comment